Darren sungguh heran melihat perubahan sikap istri keduanya. Tidak seperti biasa, kali ini Sabrina sangat agr3s1f. Darren pun baru merasakan sampai kl1m4ks lebih dari tiga kali. Permainan yang baru ia alami sepanjang hidupnya. Bermain hampir tiga jam bahkan sampai ia kewalahan. "Sayang, sebentar lagi Magrib. Nanti lagi mainnya." Nyerah. Darren menyerah saat Sabrina mulai mer4angsangnya kembali. Memang sangat n1kmat. Tapi, Darren tidak terbiasa. "Habis Magrib main lagi, ya?" Permintaan Sabrina disambut kekehan kecil Darren sembari menarik tubuh mungilnya. "Kamu habis minum obat kvat?" tanya Darren menatap lekat Sabrina. "Enggak, Tuan. Saya enggak minum obat apa-apa. Memangnya kenapa?" Sabrina balik bertanya. Darren menatap lekat Sabrina. Membelai lembut pipi wanita yang dicintai. "Enggak kenapa-napa. Ya sudah, kita mandi besar dulu. Sebentar lagi adzan Magrib.""Tapi, habis Magrib main lagi. Saya ingin cepat hamil, Tuan. Saya mohon," rengek Sabrina menatap sendu wajah suaminya.
"Aku bilang enggak mau! Enggak sudi aku lihat muka dia!" Ibu Renata langsung menimpali. Napasnya turun naik, menatap lekat pak Sugeng. "Dengar dulu, Re ... kamu mesti ketemu sama dia. Buat perjanjian atau kesepakatan di atas materai. Kalau enggak ada itu, nanti kamu diperas sama mereka. Aku enggak mau itu terjadi. Hanya satu kali saja bertemu dengannya. Kamu suruh dia pergi keluar kota atau keluar negeri. Jangan tinggal di sini apalagi sampai mengusik keluarga kita. Kalau dia enggak mau menyanggupi, jangan kamu kasih uang. Tapi, kalau dia menyanggupi, berikan sejumlah uang yang kita tentukan. Dan ingat, kamu enggak boleh ngebiarin dia meminta sendiri uangnya. Kamu yang harus menentukan berapa rupiah yang dia dapat." Panjang lebar Pak Sugeng menjelaskan maksud sarannya. Meski kekayaan yang dia miliki sekarang berasal dari keluarga ibu Renata, tetapi Pak Sugeng juga tidak mau ada orang yang memanfaatkan keluarganya. Dia adalah kepala keluarga. Sudah menjadi kewajibannya menjaga istri
Sabrina tergagap mendengar pertanyaan ibu Renata. Ia menelan saliva, bingung mau menjawab apa? Ekor mata Sabrina melirik suaminya, minta dibantu menjawab. "Ehm, tadi ... tadi Sabrina terlalu lama ... hmm ... terlalu lama apa ya, Sayang?"Kedua mata Sabrina membeliak mendengar Darren justru menggodanya. "Sudah, sudah. Enggak usah kamu jawab! Sekarang duduklah! makan yang banyak, Sabrina. Supaya kamu enggak sakit lagi, maag kamu enggak kumat lagi. Supaya kami semua enggak kamu repotin."Ibu Renata mengerti penyebab cara jalan Sabrina yang meng4ngk4ng. Itu pasti karena obrolan mereka tadi. Ibu Renata yang hanya memberi waktu sampai dua bulan. Ibu Renata menggelengkan kepala, melirik Sabrina yang menyantap makan malam sambil merunduk. Mungkin karena merasa malu. "Darren, besok kamu mesti masuk ke kantor. Mama dan papa mau ada urusan. Mungkin sampai sore di luar. Jadi kerjaan di kantor harus kamu yang nge-handle," ucap ibu Renata selesai menyantap makan malamnya. "Iya, Ma. Besok aku ke
*** "Aku mau pulang dulu," ucap seorang wanita yang beberapa menit lalu usai melampiaskan h4sr4t biologisnya pada seorang pria selain suaminya. Mereka baru saja melakukan perzinahan. Pertahanan Angelica goyah oleh rayuan Andre. Sebelumnya Angelica tak mau melakukan itu lagi pada Andre. Lelaki itu sering kali melakukan hubungan terlarang dengan banyak wanita. Ada ketakutan dalam hati Angelica jika Andre mengidap penyakit mematikan. Tetapi, lagi dan lagi ia mudah terpedaya oleh bujuk rayu Andre. "Jangan dong, Sayang ... aku masih kangen sama kamu." Andre menarik pinggang Angelica hingga tubuh wanita itu jatuh ke atas pangkvannya."Andre aku mohon. Aku harus pulang. Aku enggak mau Darren curiga lagi," kata Angelica berusaha melepaskan rengkuhan kedua tangan Andre pada pinggang rampingnya. Jika Angelica sudah menyebut nama Darren, Andre tidak bisa berbuat apa-apa. Ia sangat benci dan muak pada lelaki itu. Sudah tidak mempedulikan Angelica, tapi tak juga menceraikannya. Berdalih ingin me
"Kenal, Ma. Om Ady papa kandungnya Angelica."Tubuh ibu Regina mundur selangkah, kedua mata membulat dan mulut menganga lebar. Ia tak menyangka kalau lelaki yang mengajaknya menikah esok, adalah papa kandung kekasih anak tunggalnya. "Ka-kamu jangan bercanda, Dre." Kepala ibu Regina menggeleng berulang kali, tak mau percaya akan kenyataan yang dihadapi. Berbeda dengan Pak Adyatama. Walaupun awalnya terkejut, tetapi ia tetap tenang. Justru itu lebih baik. Kalau dia dan ibu Regina sudah menikah, Andre tidak akan mengganggu Angelica lagi. "Andre benar, Regina. Aku memang papa kandung Angelica." Sangat tenang, Pak Adyatama membenarkan ucapan Andre. Giliran Andre yang tampak panik. Ia takut kalau ibu Regina mengatakan dirinya adalah kekasih Angelica. "Ma, aku mau bicara sama Mama sebentar. Ikut aku! Om, bentar ya, kami tinggal dulu," ujar Andre."Iya, Dre."Andre memegang lengan mamanya agar menjauh dari Pak Adyatama. "Dre, maafin Mama. Mama enggak tau kalau mas Ady ----""Tenang, Ma ..
Usai salat Subuh, Sabrina bersiap-siap hendak pulang kampung. Beberapa pakaian dan kebutuhan lainnya sudah dikemasi di dalam koper kecil. Hati Darren sangat berat melepaskan Sabrina pulang kampung sendirian. Dia ingin ikut, menemani Sabrina di sana akan tetapi ibu Renata melarang keras. Mengingat kedua orang tuanya itu ada urusan penting. Entah urusan apa. "Tuan, saya berangkat sekarang, ya?" ucap Sabrina duduk bersimpuh di depan kedua kaki suaminya. Darren yang duduk di sisi ranjang menghela napas berat. Menarik tubuh istrinya, berpelukan. "Aku enggak mau pisah sama kamu, Sayang," lirih, Darren berucap. Kedua matanya berembun, menahan tangisan. Entah bagaimana nantinya jika tidak ada Sabrina di rumah ini. "Saya hanya dua hari saja di sana, Tuan," timpal Sabrina melepaskan pelukan Darren. Lelaki itu tetap memandang wajah istrinya penuh kasih sayang. Membelai pipi Sabrina yang mulus dan putih berseru. "Aku pasti sangat merindukanmu, Sayang." Lagi, ungkapan mesra Darren membuat jant
Teriakan ibu Renata sama sekali tidak dihiraukan Darren. Pak Sugeng memegang tangan wanita yang dicintainya itu. "Sayang, bicaramu sangat keterlaluan. Darren bukan robot yang bisa kamu atur sesukamu. Anak kita manusia yang punya akal, hati dan perasaan. Jangan sampai Darren membenci kita, Sayang. Aku mohon, kali ini dengarkan apa kataku.""Tapi, kalau Sabrina sampe dua bulan belum juga hamil gimana, Mas?" sentak ibu Renata menghalau tangan suaminya. Pak Sugeng hanya menghela napas berat."Pagi, Mama ... pagi, Papa ...." Belum sempat Pak Sugeng menjawab pertanyaan istrinya, Angelica datang ke ruang makan menyapa mereka. "Pagi, Angelica," balas Pak Sugeng, memaksakan bibir tersenyum. Terlihat sekali kalau ibu Renata sangat tidak menyukai kedatangan menantu pertamanya itu. Pandangan Angelica mengarah pada kursi Darren dan Sabrina. "Ma, Pa, Darren sama perempuan kampungan itu kemana? Mereka belum bangun? Tumben amat," celetuk Angelica. Namun, pertanyaan Angelica tak ada yang menjawa
Hati Darren sangat bahagia mendapat balasan pesan singkat dari Sabrina, wanita yang sangat ia cintai. Bibirnya menyunggingkan senyum sepanjang jalan menuju kantor. Kerinduannya pada Sabrina semakin besar. Darren sudah bertekad, pulang dari kantor akan menyusul Sabrina di kampungnya. Tiba di kantor, Darren berjalan cepat hendak ke ruangannya. Ia ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan hari ini. Jika pekerjaanya cepat selesai, Darren akan cepat bertemu Sabrina. Langkah Darren terhenti ketika melewati ruangan pak Sugeng. Dari kaca ruangan, Darren melihat kedua orang tuanya dan juga Pak Hendrik sedang berbincang. Dalam hati, ia bertanya. 'Sebenarnya mama dan papa ada urusan apa sampai memanggil pengacara keluarga?'Darren menggelengkan kepala, menghalau rasa penasaran. Dia tidak mau tahu urusan kedua orang tuanya. Yang jelas, sekarang Darren harus segera menyelesaikan pekerjaannya. ***Sedikit pun ibu Regina tak menyangka kalau ibu Renata mengajaknya bertemu. Usai melangsungkan per
"Tadi apa kata dokter? Kamu ikut masuk juga ke ruangan dokter kan waktu Darren dipanggil?"Mertua dan menantu itu berjalan beriringan. Meski Sabrina agak sungkan, tapi sekarang dia tidak bisa menjaga jarak lagi dengan ibu Renata. Wanita yang telah melahirkan suaminya itu selalu berusaha mendekati Sabrina. Dia tampaknya mulai menyukai bahkan sudah menyayangi wanita yang berasal dari kampung itu. "Iya, Ma. Tadi saya ikut menemani Mas Darren ke dalam ruangan dokter Sasti. Hasilnya alhamdulillah negatif," jawab Sabrina, suaranya terdengar sangat lembut membuat hati ibu Renata tenang. "Syukurlah, Mama ikut senang," ucap ibu Renata mengajak Sabrina duduk di ruang keluarga. "Mbaaakk ... Mbak Tutiii ...." Panggilan ibu Renata membuat Mbak Tuti bergegas menghampiri. "Iya, Nyonya?" Setengah membungkuk Mbak Tuti bertanya. "Tolong buatin Es Jeruk peras dua. Buat saya dan buat Sabrina. Cepetan ya, Mbak!" titah ibu Renata pada salah satu asisten rumah tangganya. "Baik, Nyonya."Mbak Tuti lang
Angelica sangat terkejut mendengar ucapan Darren. Tidak menyangka Darren mengetahui penyakit yang dideritanya. Seingatnya, dia tidak bercerita pada siapapun. Lalu, Darren tahu dari siapa?"Jangan nuduh sembarangan kamu! A-aku enggak punya penyakit itu!" elak Angelica gugup. Sikapnya berubah salah tingkah. Darren menyunggingkan senyum sinis. "Kalau enggak punya penyakit itu, ngapain kamu ke sini? Dasar tukang bohong!"Belum sempat Angelica menanggapi, nama Darren sudah dipanggil asisten dokter. Darren dan Sabrina meninggalkan Angelica yang masih mematung di tempat. 'Sialan! tau dari siapa dia kalau aku punya penyakit itu? Argh!'gumam Angelica membalikkan badan, meninggalkan poly penyakit kulit dan kelamin. Angelica ke kantin lebih dulu, menunggu Darren dan Sabrina pergi dari rumah sakit. Usai menjalani pemeriksaan dan mengetahui hasilnya, Darren dan Sabrina tersenyum bahagia. Dokter Sasti sudah dapat memberikan hasilnya dari mendengar penuturan Darren dan melihat kondisi alat v1ta
Pagi hari di kediaman keluarga Wirawan. Semua penghuni rumah itu sedang menikmati sarapan bersama. Wajah Sabrina terlihat sangat segar dan semakin cantik. Sedari tadi, diam-diam ibu Renata memerhatikan menantunya. Dalam hati, ia pun mengakui jika Sabrina memiliki kecantikan yang alami. Bukan cantik karena make up atau skincare. "Ma, aku enggak perlu ke rumah sakit, Males." Ucapan Darren menyentak lamunan Ibu Renata. Ia menoleh danberdehem, mengambil sepotong roti tawar panggang dan memberinya selai."Demi kesehatanmu, demi Sabrina, demi calon cucu Mama." Tanggapan ibu Renata singkat tapi sangat jelas, membuat Darren tak bisa berkutik lagi. "Saya temani ya, Mas? Boleh kan, Ma?" Ibu Renata dan yang lainnya menoleh pada Sabrina. Tidak biasanya Sabrina berbicara pada saat sarapan. Biasanya dia bicara ketika ditanya. "Hm ... boleh. Tapi, kalian enggak boleh keluyuran kemana-mana. Kamu mesti ingat, Darren. Jam lima harus berangkat ke Bali," tandas ibu Renata menatap lekat anak semata wa
"Enggak boleh! Kamu jangan egosi, Darren! Istrimu lagi hamil muda. Kandungannya masih rentan. Jakarta-Bali itu bukan jarak yang dekat."Tubuh Darren seketika lemas. Tangannya menggaruk kepala yang tak gatal. Darren benar-benar bimbang. Tidak mungkin sehari bolak-balik Jakarta - Bali. Menolak pun, Darren tidak akan bisa. Selama ini apapun perintah mamanya selalu dituruti. Tapi, yang dikatakan ibu Renata memang benar. Kandungan Sabrina masih sangat rentan. "Darren, kamu perbanyak puasa. Kata pak Ustad, puasa sunnah dapat menahan n4fsu," sambung ibu Renata. Berbicara sangat sungguh-sungguh. Belum sempat Darren menanggapi, Sabrina datang membawa potongan brownies yang masih mengepul. Kedua mata ibu Renata membeliak, senyumnya melebar. Hatinya begitu bahagia karena yang brownies yang diinginkan sudah ada di depan mata. "Ma, nih brownies-nya udah matang. Masih mengepul. Selamat mencicipi," kata Sabrina sumringah. Menyodorkan sepiring brownies yang sudah dipotong-potong. "Terima kasih, S
Ibu Renata kembali ke ruang keluarga. Bibirnya tak henti tersenyum membayangkan brownies buatan menantunya sudah matang. Pasti rasanya sangat lezat. "Ma, lihat Sabrina enggak?""Mau ngapain kamu nyariin Sabrina?" Ibu Renata balik bertanya. Intonasi suaranya agak ketus. "Ya kan, Sabrina istri aku, Ma. Gimana sih? Aku mau tidur tapi mau cari Sabrina dulu. Mama lihat enggak?"Ibu Renata memutar bola mata malas mendengar ucapan anak tunggalnya. "Sini kamu! Duduk dulu sama Mama. Sabrina aman. Dia lagi di dapur. Lagi bikinin brownies buat Mama!" Darren melepaskan cekalan tangan ibu Renata dari lengannya."Mama serius? Malam-malam begini nyuruh istriku bikin Brownies?""Bukan Ma--""Inget, Ma ... Sabrina lagi hamil. Dia lagi ngandung cucu Mama!" sela Darren mengingatkan ibu Renata. "Kamu pikir Mama udah pikun? Mama juga ingat! Bukan Mama yang nyuruh Sabrina, Darren. Dia sendiri yang mau. Mama juga enggak tau dia ada di dapur. Tadinya Mama nyuruh si Mbok dan Mbak Tuti. Eh pas Mama ke dap
Sedikitpun ibu Renata tidak terkejut mendengar kabar Angelica mengalami penyakit itu. Pikir ibu Renata, masih untung Angelica mengidap penyakit Gonore, bukan HIV. Tapi, sisi lain ibu Renata merasa kasihan pada ibu Anita. Sahabatnya itu pasti selalu memikirkan keadaan Angelica. "Ya sudah, jangan terlalu kamu pikirkan. Lebih baik kamu fokus saja dengan kesehatanmu. Masalah Angelica cukup didoakan, supaya dia cepat sembuh dari penyakitnya dan cepat sadar atas sikap buruknya."Ibu Anita terdiam, hanya terdengar helaan napas dan isak tangis yang tertahan. "Sekarang udah malam, kamu harus istirahat, Anita." Ibu Renata tidak ingin terlalu lama membahas tentang mantan menantunya itu. "Iya. Nanti aku istirahat. Re, terima kasih. Kamu selalu jadi pendengar setiaku. Dari dulu sampai sekarang. Terima kasih banyak.""Sudahlah, jangan terlalu berlebihan. Kita ini udah lama bersahabat. Wajar saja kalau aku demikian."Walau sifatnya agak keras, tapi ibu Renata tidak ingin berbangga hati atau gila
Malam hari di kediaman keluarga Wirawan, Sabrina dan Ibu Renata sedang berbincang di ruang keluarga. Sedangkan Darren dan Pak Sugeng di ruang kerja. Mereka membahas proyek yang berada di luar kota tepatnya di kota Bali. Ada salah satu pengusaha sana yang ingin proyeknya dipegang perusahaan Darren. "Sabrina, mungkin minggu depan suamimu akan keluar kota. Ada proyek yang perlu pengawasan dia," ujar ibu Renata mengawali pembicaraan. Sabrina yang duduk berdekatan dengan ibu mertua cukup terkejut. Tidak menyangka jika Darren ditugaskan keluar kota padahal ia sedang hamil.. "Meskipun Darren di luar kota, kami akan menjagamu dengan baik. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu tinggal bilang sama Mama."Sabrina menganggukkan kepala, tersenyum manis. "Iya, Ma. Terima kasih." Hanya kalimat itu yang terucap dari mulut Sabrina. Ia masih takut salah jika berbincang dengan ibu Renata. "Darren melakukan itu demi masa depan anakmu juga. Kalau Darren enggak kerja keras, nanti kalian hidup miskin. Ya meman
Mendengar keinginan Andre, seketika otak Angelica berputar. Mencari ide agar bisa menolak keinginan anak kandung ibu Regina itu. Tidak mungkin Angelica melakukan hubungan suami istri dalam kondisi alat v1t4lnya seperti saat ini. "S-Sayang, aku ... aku baru saja datang bulan. Ja-jadi aku ... aku enggak bisa ma-main dulu." Suara Angelica bergetar. Tidak bisa menyembunyikan ketakutannya. Bibir Andre yang sebelumnya tersenyum langsung meredup. Ia sangat kesal karena keinginannya tidak dapat dipenuhi padahal Andre sudah datang jauh-jauh dari Bandung ke Jakarta, sudah repot-repot membooking kamar hotel. "Cepatlah datang! Aku menunggumu!" Angelica memejamkan kedua mata. Andre memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu tanggapannya. Sudah dapat dipastikan, lelaki itu pasti marah. Tetapi, mau bagaimana lagi? Angelica pasti tidak bisa menikmati permainan Andre jika kondisi itunya masih sakit, perih dan panas. Setelahnya, Angelica membuka pintu rumah, menuju dapur, mengambil segelas air da
Lelaki yang duduk di samping Angelica berbisik. Angelica terkejut, menelan saliva, menghela napas berat. Ia tak langsung menjawab, pura-pura tak mendengar. Angelica memerhatikan penampilan sendiri. Ia tak mengenakan pakaian s3ksi, pakaiannya justru tertutup dan longgar. Tapi, kenapa lelaki yang duduk di sampingnya bertanya demikian?"Jangan pura-pura enggak dengar. Aku tau, kamu wanita peliharaan Mami Veni."Sontak, Angelica mendongak, menoleh dan memicingkan kedua mata menatap lelaki yang tengah menyeringai. "Ba-bagaimana kamu tau?" tanya Angelica heran. "Aku pernah melihatmu waktu nganterin si Bos. Kata si Bos, kamu sangat lezat. Kamu tenang saja, walaupun aku anak buah si Bos. Tapi, aku sehat. Aku banyak uang. Aku bisa membayarmu lebih besar dari si Bos. Permainanku juga sangat lembut. Enggak kayak si Bos," jelas lelaki sangat pelan tapi terdengar jelas di telinga. Angelica baru ingat lelaki yang duduk di sampingnya itu. Dia adalah lelaki yang mengantar klien terakhirnya ke kama