Makan malam itu berjalan dipenuhi dengan keheningan. Selalu seperti itu dan tidak ada kehangatan di dalamnya. Hal itulah yang terkadang membuat Amora heran kenapa keluarga Sean begitu suka mengadakan makan malam bersama dan hanya keheningan yang menyelimuti.Wanita paruh baya yang masih cantik di umurnya yang sekarang menatap ke arah Amora untuk memulai pembicaraan. “Jadi, bagaimana?”Kali ini Sean yang mengangkat suara, “Bagaimana apanya, Mom?”Tentu saja dia tahu akan ke arah mana jalan pembicaraan ini. Karena tentu saja ini bukan pertama kalinya pertemuan makan malam hanya diisi pertanyaan perihal tentang anak yang justru akan menyakiti hati dan perasaan istrinya tersebut.“Tentu saja tentang anak, Sean.” Juliet kembali mengalihkan pandangan ke arah Amora yang sejak tadi begitu santai dan menikmati makan malamnya. “Jadi, kau sudah memeriksakan diri?”Mendengar hal tersebut, Sean langsung mendengkus pelan. Sejujurnya dia mulai jengah jika yang diangkat dalam pembicaraan mereka hanya
Sean tampak mondar mandir di dalam kamar. Barusan ia mencoba menghubungi ponsel Valerie tetapi hanya operator wanita yang menjawab pertanda ponsel itu tidak aktif.Rasa bersalah menyelimuti perasaan Sean, pemikiran tentang apa yang wanita itu lakukan sekarang terus mengganggunya.“Sialan!” pekiknya kesal pada dirinya sendiri.Amora yang baru keluar dari kamar mandi merasa jengah melihat Sean yang seperti punya beban pikiran. Sudah sejak tadi pria itu mondar mandir dengan ponsel di tangannya dan tampak tengah berusaha menghubungi seseorang.Apakah Sean bak orang gila karena memikirkan Valerie?Dengan kasar Amora langsung menarik ponsel itu dari tangan Sean dan mengecek siapa gerangan yang suaminya itu hubungi. Dan benar saja, ternyata Valerie yang ia coba hubungi.“Apa yang kau lakukan, Amora?” pekik Sean kesal karena Amora malah ikut campur dengan urusannya.Dengan wajah menantang, Amora balas menatap Sean dengan marah. “Justru aku yang harus bertanya, Sean. Apa yang kau lakukan denga
“Cium aku!”“A—apa?”Permintaan gila macam apa ini? Baru saja mereka bersitegang dan tiba-tiba istrinya itu malah meminta ciuman. Bagaimana mungkin?“Kenapa?” tanya Amora marah. “Salahkah aku sebagai istri sah meminta ciuman dari suamiku, huh?”Sean menggeleng-gelengkan kepalanya. Kesal karena Amora malah meminta ciuman, padahal ia benar-benar tidak mood. Pikirannya masih di tempat Valerie, dan jika ia melakukan ini pada Amora itu hanya menjadi keterpaksaan.“Sudahlah, Amora. Aku benar-benar tidak mood, sebaiknya kita istirahat saja,” ujar Sean menolak permintaan istrinya tersebut.Kemarahan langsung menguasai Amora, bisa-bisanya ia malah ditolak mentah-mentah oleh suaminya tersebut. Tidak pernah ia menerima penolakan selama pernikahan mereka yang sudah berjalan empat tahun. Tetapi tiba-tiba kali ini Sean malah menolaknya dan itu semua karena Valerie.“Kau menolakku karena memikirkan Valerie, bukan? Akui saja bahwa kau sudah mencintainya dan mulai melupakanku.”Lalu dengan ahli Amora
Valerie menelungkupkan kepalanya di atas meja makan. Di depannya tersaji hidangan steik yang kini sudah mulai dingin, bahkan lilin yang akan menemani kesyahduan makan malam mereka kini hanya tersisa setengahnya.Ada perasaan sedih yang menyelimuti perasaannya pasalnya ia sudah mempersiapkan segalanya dengan segenap hati, hanya untuk menyenangkan hati dan perasaan Sean. Akan tetapi pria itu tak kunjung datang.Pada mulanya masih ada keyakinan besar kalau Sean akan muncul meskipun ia tak membalas pesan dan mengiyakan ajakannya tersebut. Tetapi saat jam dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari Valerie semakin yakin kalau Sean memang tidak pulang.Katai saja dirinya bodoh yang tetap menunggu sesuatu yang sia-sia, karena dia memang bodoh. Rasanya enggan untuk berdiri dari tempat itu, takut jika ia masuk ke dalam kamar dan Sean datang. Dan ia tidak ada di sana untuk menyambut kepulangannya.Ya, dia memang masih berharap sesuatu yang sia-sia.Hingga suara pesan masuk ke dalam ponselny
“Sean?” Valerie terbangun dengan rasa sakit di kepala yang menyerang. Semalam ia tidak tahu berapa lama ia menangisi dirinya yang bodoh dan begitu mudah terperdaya dengan segala perhatian-perhatian yang diberikan oleh Sean. Tetapi entah kenapa orang pertama yang dicarinya saat terbangun adalah Sean. Pemikiran bodohnya kembali menganggap jika Sean akan datang seperti malam-malam sebelumnya, tertidur di sampingnya dengan memeluk tubuhnya erat. Tetapi ternyata semuanya nihil, pria itu tidak di sampingnya. Sama seperti apa yang diharapkannya. “Sadarlah, orang yang kau cari tidak ada di sini. Dia tengah berbahagia dengan istri tercintanya.” Dan gambar kemesraan antara Sean dan Amora seketika menyadarkannya. Mengharapkan Sean adalah hal yang tabu, hubungan mereka tercipta karena perjanjian. Jadi, setelah ia berhasil melahirkan anak untuk Sean dan Amora, maka dia juga harus siap kehilangan segalanya. Kehilangan Sean ... dan tentu saja kehilangan darah dagingnya sendiri. Dengan langkah
Valerie langsung membalikkan tubuhnya setelah mendengar ucapan dari Sean. Tetapi pria itu masih setia memerangkapnya, menyudutkannya dengan pinggiran wastafel dengan tubuh kekar Sean.“Bu—bukankah kalian di hotel?”Sean langsung mengerutkan keningnya tanda tidak mengerti dengan perkataan Valerie. “Hotel?”Terjawablah sudah kalau gambar itu hasil kiriman dari Amora yang dikirim melalui ponsel Sean. Dan malah berbohong entah karena alasan apa.Valerie segera menggeleng. “Ti—tidak ... bukan apa-apa, Sean.” Sean tersenyum, mulai mencium leher Valerie dan membuatnya kegelian. “Ayo, katakan!” pintanya memaksa.Valerie kembali menggeleng. Mendorong tubuh kekar itu dan terkikik. “Sudah, Sean. Aku kegelian. Tadi aku salah bicara, bukan apa-apa,” ucap Valerie cepat berusaha menghentikan kegiatan Sean di lehernya. Dan mencoba mengalihkan pria itu agar tidak lagi memaksanya mengulang perkataannya barusan.Sean yang pada awalnya hanya bermaksud untuk mengerjai wanita itu, malah ikut terpancing. M
Sean tidak kunjung beranjak dari sana, ia tetap setia duduk di pinggiran ranjang dengan segudang pikiran yang berkecamuk di dalam kepalanya.Semua itu bermula dari telepon wanita bernama ‘suster Anna’ dan segala perkataannya yang mengundang banyak pertanyaan di dalam kepala Sean.Ternyata selama ini ia hanya mengenal tubuh Valerie, tetapi tidak dengan kehidupannya.Oleh karena itu ia belum pergi karena sengaja menunggu Valerie terbangun. Ia ingin mengulik sedikit kehidupan perempuan itu, agar rasa penasarannya sedikit mereda.Mungkin tidak ada salahnya jika ia terkesan penasaran dengan kehidupan Valerie, toh wanita itu sudah menjadi istrinya dan sebentar lagi akan menjadi ibu dari anaknya.Tidak tahu berapa jam ia bertahan di sana, sampai sebuah pergerakan kecil di susul dengan terbukanya kedua bola mata itu membuat Sean bernapas lega.“Sean?” tanya Valerie dengan suara serak, sembari mengucek kedua matanya untuk menyesuaikan penglihatannya. “Jam berapa ini?”Sean melirik sekilas ke a
Setelah melewati perdebatan panjang yang penuh dengan drama bersama Sean, pada akhirnya dia berada di sini, dalam taksi yang akan mengantarnya menuju ke rumah sakit. Memang tidak mudah meminta izin kepada Sean karena pria itu begitu keukeuh ingin mengetahui tentang siapa itu ‘suster Anna’. Bahkan lebih gilanya lagi, banyak sekali pemikiran-pemikiran konyol yang keluar dari kepalanya yang dituduhkan kepada dirinya yang baginya sangat tidak masuk akal.Tetapi untunglah ia bisa terlepas juga tanpa harus menjawab jujur segala pertanyaan-pertanyaan yang pria itu lontarkan. Semua itu karena di sela-sela perdebatan mereka suster Anna kembali menghubungi, Sean ingin kembali mengambil ponsel itu tetapi kalah cepat dari Valerie.Alhasil, ia tidak membiarkan Sean kembali berbicara pada perempuan itu. Takut jika tiba-tiba suster Anna keceplosan dan malah membeberkan segala rahasianya. Tentunya hal itu kembali mengundang perdebatan, mengingat sifat Sean yang keras kepala. Ya, typical pria arogan
“Kalian berdua berciuman! Kau membiarkan pria lain mencium dan menyentuh tubuh yang sudah menjadi milikku. Kau sangat-sangat menjijikkan di mataku!”Napas Sean berubah terengah-engah, dengan kasar ia lalu mendorong Valerie ke belakang dan membuatnya terbanting di kasur.Valerie masih berusaha menghindar, berusaha melepaskan diri dari tindihan tubuh Sean yang keras dan berat. Berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Sean yang kuat dan tanpa ampun. Tetapi pria itu terlalu kuat, terlalu marah. Bahkan Sean sama sekali tidak menyadari kalau perbuatannya yang begitu kasar sudah melukai dan menyakiti tubuh Valerie yang rapuh.Pria itu seperti kerasukan setan. Matanya menyala penuh kebencian ketika menatap ke arah Valerie. Dengan ketakutan yang amat sangat, Valerie masih berusaha memberontak dan turun dari ranjang. Tetapi Sean berhasil menangkapnya dan kembali membantingnya di ranjang dengan kasar, lalu menindihnya sekuat tenaga.Valerie mengernyit merasakan cengkeraman tangan Sean yang kas
“Wanita murahan harus diperlakukan selayaknya wanita murahan pada umumnya!”Kata-kata Sean yang diucapkan dengan nada dingin dan ketenangan menakutkan itu seolah-olah bergaung di ruangan yang hening itu.Pria itu sudah berhasil melepaskan kemejanya dan membuka ikat pinggang celananya, lalu meletakkannya di atas nakas ujung ranjang. Ekspresi wajahnya tenang, namun kedua bola matanya memancar begitu dingin. Dan ketenangan pria itulah yang malah membuat Valerie gemetar takut.“P—please ... dengarkan aku dulu, Sean! Kau harus mendengarkan semuanya ....”Valerie masih mencoba membujuk pria itu agar mendengar penjelasannya, bukannya langsung menuduhnya seperti yang dia lihat. Namun, mendapati ekspresi wajah Sean, ia tahu semua usahanya tidak akan pernah berhasil.Sean terlalu marah, pria itu telah dibutakan oleh kemurkaannya.“Lepaskan kemeja yang kau kenakan, Valerie!” perintah Sean dengan nada datar.Wajah Valerie langsung berubah pucat pasi mendengar perintah yang dilontarkan oleh Sean d
“Sa—sakit ...” rintih Bara mengernyit ketika Amora mengusap luka di sudut bibirnya dengan kapas.“Sebenarnya apa yang kau lakukan? Kenapa Sean bisa semarah itu?” tanya Amora yang sejak tadi penasaran hal apa yang Bara lakukan sampai menyulut amarah Sean. Mereka berdua baru saja pulang dari rumah sakit setelah mengelabui Andre dan Shela untuk diberikan kepercayaan mengurus pria ini. Dan luka-luka yang ada di tubuh Bara akibat pukulan dari Sean sangat-sangat fatal, hidungnya patah dan tiga tulang rusuknya retak sehingga harus ditahan dengan sebuah perban. Belum lagi ditambah dengan luka lebam di seluruh tubuh dan wajah Bara yang membuatnya benar-benar terlihat memprihatinkan.Mata Bara bahkan sudah mulai membengkak membiru. Pukulan demi pukulan yang Sean layangkan benar-benar brutal.“Aku mencium wanita itu di hadapan Sean!” jawab Bara tanpa rasa bersalah sedikit pun, bahkan ia melontarkan kalimat itu dengan penuh kebanggaan.Bola mata Amora langsung melebar sempurna mendengar pengakua
“Sean, apa yang dikatakan pria itu semuanya bohong. Bahkan aku tidak mengenalnya dan dia pria gila!” Valerie berusaha menjelaskan ketika mereka sudah sampai di penthouse dan Sean masih menyeretnya dengan kasar memasuki kamar tidur mereka. Dan setelah membuka pintu, Sean langsung menghempaskan tubuh Valerie kasar ke tengah ranjang. “Dia berbohong, Sean!” Napas Valerie berubah tersengal putus asa mencoba meyakinkan Sean.Ingin rasanya Sean mempercayai perkataan Valerie bahwa Bara lah yang tengah berbohong. Hanya saja, bagaimana mungkin Bara bisa tahu siapa itu Valerie sehingga sengaja melakukan hal tersebut untuk mempengaruhinya. Jadi, justru Bara yang berkata benar dan Valerie berbohong.“Dia sama sekali tidak mengenalmu dan apa hubungan kita. Jadi, bagaimana mungkin dia berbohong?” tanya Sean datar, dengan tangannya yang bergerak membuka kancing kemejanya satu persatu.“Dia berbohong, percayalah padaku! Kami tidak berpapasan di luar seperti perkataannya, justru dialah yang masuk ke
“Apa yang kau lakukan pada istriku, sialan?” teriak Sean dengan amarah yang menggebu-gebu.Sean sengaja memberitahukan kepada Bara siapa sebenarnya Valerie. Dia bukan karyawan biasa di perusahaan ini, melainkan wanita itu sudah menjadi istrinya. Jadi, bagaimana mungkin Bara berani melakukan hal tak senonoh seperti apa yang dilihatnya barusan pada Valerie.Untuk melampiaskan amarahnya yang begitu menggebu-gebu, Sean terus menyarangkan pukulan demi pukulan yang membuat Bara kewalahan dibuatnya.“Mana aku tahu, Sean! Perempuan ini sendiri yang menawarkan diri padaku. Jadi, kenapa aku harus menolaknya?” balas Bara dengan nada terbata-bata, merasa kesakitan dan nyeri di seluruh tubuhnya akibat pukulan Sean yang tidak main-main.Meskipun kemarahan Sean sudah meluap-luap padanya, tetapi tetap saja Bara memancing amarah pria itu untuk semakin menjadi-jadi. Bukan tanpa alasan ia melakukan semua ini, tentu saja ia harus menyelamatkan pernikahan Amora. Meskipun ia benci setengah mati pada pria d
Para kolega bisnisnya akhirnya pulang juga, rapat akhirnya selesai. Dan semuanya berjalan sesuai keinginannya, dengan kata lain agenda rapatnya sukses besar.Hanya saja entah kenapa ia tidak bisa merasa lega, padahal yang dia nanti-nantikan akhirnya berhasil. Seakan ada sebuah kekhawatiran yang melandanya, dan membuatnya kalut luar biasa.Bahkan ia tidak bisa fokus mengikuti rapat ini, dan ia hanya mempercayakan semuanya kepada sekretarisnya. Ia hanya menjadi pengamat, sekaligus jika dimintai pendapat tetapi ia tidak turun tangan langsung untuk mempresentasikan hasil rapat tersebut.“Ada apa sebenarnya? Kenapa seperti ada beban berat yang mengganjal di dalam hatiku, padahal semuanya berjalan sesuai keinginan.”Sean berbisik pada dirinya sendiri, mempertanyakan kegundahan yang ia rasakan saat ini.‘Kau tahu kenapa?’ tanya balik suara hatinya.“Ah ya, aku tahu mengapa.”Sean mengakuinya.Semuanya tentu saja karena satu nama. Sebuah nama yang akhir-akhir ini begitu mempengaruhinya. Seora
“Ba—bara?”Valerie mengucapkan nama itu dengan kepala yang terus berpikir keras. Ia tidak tahu siapa pria di hadapannya, bahkan tidak tahu menahu apa gerangan yang membuatnya memasuki ruangan Sean tanpa bersama pria itu.“Apa Anda mencari Sean? Dia tengah ada rapat penting,” ucap Valerie memperingatkan, kalau-kalau pria di hadapannya ini datang mencari Sean.Bara tersenyum miring kemudian Mengangguk. “Hmm ... Sean sendiri yang memintaku untuk menunggunya di sini,” jawabnya dengan santai sambil bergerak mendekati Valerie yang tidak jauh dari tempatnya.Seketika suasana berubah jadi canggung, Valerie merasa tidak enak jika hanya berduaan dengan pria asing di dalam ruangan tertutup ini. Bahkan dia takut Sean akan salah paham kepadanya meskipun ia tahu tidak mungkin dirinya melakukan sesuatu yang tidak akan disukai oleh suaminya tersebut.“Ah, benarkah? Sebelumnya Sean tidak memberitahuku kalau akan ada temannya yang akan datang,” balas Valerie kembali dengan nada kikuk.Seketika ia meras
“Aku tinggal di sini tidak apa-apa, kan?”Sean dan Valerie saat ini sudah berada di ruangan CEO perusahaan ini. Sean sudah bersiap-siap untuk menghadiri rapat, tetapi rasanya berat jika harus meninggalkan Valerie seorang diri di ruangannya.Valerie memberikan anggukan kecil. “Iya, Sean. Ini sudah yang ketiga kalinya kamu berpamitan tetapi belum juga pergi,” jawab Valerie sembari terkekeh.Terlihat sekali bukan dirinya yang berat dibiarkan seorang diri di dalam ruangan luas dan megah bercampur maskulin itu. Melainkan Sean sendiri yang seakan enggan untuk meninggalkannya, padahal Valerie sama sekali tidak keberatan.“Apa kau yakin? Aku takut jika kau kenapa-kenapa di sini tanpa aku, Valerie,” ucap Sean kembali dengan nada nelangsa.Valerie kembali terkekeh. “Tidak apa-apa, Sean. Aku baik-baik saja. Lagi pula, ini adalah perusahaan yang di dalamnya banyak manusia. Kalaupun ada apa-apa, aku bisa meminta tolong pada mereka. Dan juga durasi rapat itu tidak memakan waktu selama berhari-hari
Semua mata hanya tertuju pada dua sejoli yang baru saja memasuki pintu gedung perusahaan Kyler Group. Bagaimana tidak, CEO dari perusahaan mereka kini menggandeng seorang wanita yang ia ketahui adalah salah satu karyawan di perusahaan ini.Valerie yang menyadari tatapan itu seketika merasa tidak nyaman, dia segera menjauh agar kemesraan yang diperbuat oleh Sean tidak terlalu jelas. Namun, bukannya Sean membiarkan Valerie menjauh darinya dia justru meraih pinggang Valerie dan memeluknya. Setelah itu ia kembali menghela Valerie memasuki perusahaannya tanpa peduli dengan tatapan penasaran dari para karyawan yang kebetulan ada di sana dan melihat kedatangannya.“Sean, lepaskan aku!” pinta Valerie dengan nada berbisik, sembari berusaha menjauhkan tangan Sean dari pinggangnya.Namun bukannya melepaskan pelukannya sesuai permintaan Valerie, Sean justru semakin mengeratkannya. Ia lalu menunduk dan menatap Valerie tidak suka. “Memangnya ada yang salah?”Sean mengatakan kalimat itu dengan nada