Gerbang tinggi bercat hitam mengkilap dengan sentuhan emas pada tiap ukiran mewahnya tersebut tampak membuka kala sedan yang ditumpanginya itu tiba. Semuanya masih tampak sama. Helaian kenangan pahit bertebaran ke dalam ingatan menguak rasa getir kalbunya. Ia menahan nafas. Sekalipun tidak tengah memejamkan mata, pandangannya seakan mampu melihat jelas sosoknya bersama Ann melintasi gerbang yang sama 12 tahun lalu dengan membawa serta segala luka dalam jiwa. Momok terbesar yang mengawali segala mimpi buruknya. Eddy menghentikan mobil beberapa meter dari pintu utama mansion. “Sebaiknya saya menunggu Anda di sini saja,” ujar sekretarisnya itu menoleh dari depan kemudi. Ia hening sesaat sebelum menuruni sedan yang ditumpanginya tersebut. Kelebatan ingatan masa lalu yang masih tiada henti mengusiknya seketika membuatnya bergidik resah. Langkahnya terasa berat dan patah-patah menuju pintu. Ah, Sial! Bahkan saat menghadapi maut saja aku tidak segugup ini! Umpatnya dalam batin.Pekik gus
Tuan Abraham mendelik padanya. Pria tua itu kemudian menyeringai setelah berhasil mengatasi kejutan yang diterima barusan. “Wah! Tak kuduga kini kamu piawai berpura-pura. Ternyata kamu tidak benar-benar kehilangan ingatan. Dan juga watakmu itu tak pernah berubah, William! Yang selalu kamu lakukan hanyalah membangkang!”Ia balas melontarkan delikan yang tak kalah sengit kepada Tuan Abraham. "Bagaimana mungkin aku bisa berubah dengan kehidupan sialan yang kujalani selama 12 tahun ini!? Kamu mengusirku namun di sisi lain, kamu selalu mengusikku!" sergahnya yang terdengar mirip raungan. Seolah sergahannya barusan memberi pukulan telak pada pria tua tersebut, Tuan Abraham tak melayangkan bantahan apapun kini. Sekalipun demikian, ia selalu memasang mata awas. Dilihatnya Tuan Abraham beringsut mendekat ke arah pintu. Sekalipun tengah mengadu emosi, ia dapat menebak niat pria tua itu untuk meninggalkan ruangan. Karena ia tahu betul karakter pria yang telah 28 tahun menjadi papanya itu. Se
Perlahan ia membuka pelupuk mata. Kemudian memicing lalu mengerjap. Dari kepala hingga ke ujung tumitnya ia merasakan rasa berdenyut seperti dipenuhi oleh memar. Sekujur tubuhnya terasa remuk redam. Bahkan untuk mengusap tengkuknya yang terasa sakit ia tak berkesempatan. Kedua tangannya terikat bagai sandera kini. Ia mengerang tertahan. Bekapan kain pada mulutnya membuat nafasnya terasa berat. Setidaknya ia masih memiliki kedua mata yang terbuka untuk mencari tahu mengetahui keberadaan dirinya. Oleh karena keremangan dalam ruangan, butuh beberapa saat baginya mengenali tempatnya berada itu. Ruang penyimpanan bawah tanah di mansion keluarga Anderson. Ia mengingsutkan diri seperti ulat. Diangkatnya tubuh dan bersandar pada tembok terdekat. Kain di depan mulutnya terasa mengembang kempis seiring nafasnya yang terengah-engah. Semakin dalam ia menarik udara bagi nafasnya, semakin dirinya terengah-engah. Ia melirik lalu melayangkan pandangan menyusuri ruangan yang dipenuhi dengan deretan
Sekonyong-konyong ia terhenyak. Segera ditolaknya kebaikan wanita tua itu. Ia tak ingin Bu Anastasia terkena masalah karena ketahuan menyelamatkan bahkan membawanya kabur. Wanita itu hanya memiliki mansion ini sebagai tempat berteduh. Wanita yang amat menyayanginya tersebut akan aman dan baik-baik saja jika tak terlibat dengan masalahnya. Dibawanya diri menjauh dari pintu keluar, kemudian menatap lekat pada wajah yang dipenuhi guratan usia itu. "Aku tak ingin menyusahkanmu. Pergilah dan bersikaplah seolah tak melihatku disini," ujarnya pada Bu Anastasia. Alih-alih menuruti, wanita tua itu menggeleng. "Aku tak mengerti mengapa tuan selalu memperlakukanmu dengan sangat berbeda sejak dulu ...." Lagi-lagi terdengar keluhan gusar dari Bu Anastasia. Bersama gelak getir, ia membuang tatapannya sejenak. “Kurasa tak perlu membahasnya ....” gumamnya dalam keterjedaan asa. Kemudian dengan sunggingan senyum tipis, dikembalikannya tatapan ke arah wanita itu. "... setidaknya kamu selalu member
Sekujur tubuhnya terasa berdenyut perih serasa baru saja tergerus. Buru-buru ia menata ritme nafas dengan mengembalikan oksigen ke dalam ruang nafasnya secepat mungkin. Dengan masih menyamarkan diri pada celah antara tembok dan van putih, ia memutar otak menanti ide selanjutnya datang menghampiri. Cahaya alam kian meredup seiring mentari yang perlahan membenamkan diri ke peraduan membuat jarak pandangnya turut terbatas. Kini ia lebih mengandalkan telinganya untuk membaca keadaan sekitar. Para penjaga berkaki empat telah dilepas bebas ke halaman depan demi memberi penjagaan tambahan. Dan, ia sadar benar waktunya untuk mengandalkan tempat persembunyiannya saat ini tidak akan berlangsung lama. Para penjaga kekar berbulu hitam mengkilap itu pasti dengan cepat akan menemukannya lewat penciuman tajam mereka, terlebih-lebih jika diinstruksikan. Dirinya juga sadar kemungkinan untuk mengendap-endap melintasi halaman depan mansion yang luas itu tanpa ketahuan adalah hal yang nyaris mustahil. H
”Pertanyaanmu barusan membuatku benar-benar yakin kamu telah mendapat ingatanmu kembali, William ....”Sontak ia tertegun kelu. Sial! Mengapa mulut ini tiada henti membeberkan rahasiaku yang harusnya kusimpan rapat-rapat? rutuknya pada diri sendiri. "Wilbert tidak ada di dalam situ. Ia dalam perawatan di rumah sakit." Terdengar sang dokter memberi jawaban yang dinantikannya setelah beberapa saat berselang. "Lantas mengapa semua orang menyadari aku bukanlah Wilbert? Tak biasanya mereka bisa dengan cepat mengenaliku ...."Dokter yang tengah melepaskan pakaian dinasnya tersebut lagi-lagi tergelak –kali ini gelak itu terdengar sinis. "Tentu saja mereka mengetahuinya dengan sangat jelas. Dibandingkan dirimu yang sehat bugar, Wilbert untuk bangkit bangun pun ia tak mampu!"Tuturan lantang dari Dokter Monger itu membuatnya terkesiap. Dengan membelalak tak percaya, didekatkannya wajah ke samping pria tua tersebut. “Apakah maksudmu, Wilbert akan segera meninggal?" gumamnya dengan tatapan
Oleh mimpi buruk yang berulang, lagi-lagi ia tersentak bangun dari lelap. Sembari melempar pandangan menyisir sekeliling, buru-buru diatasinya nafasnya yang memburu. Bangku-bangku penumpang yang kosong membuatnya menolehkan mata ke luar jendela. Bus yang ditumpanginya itu tengah berhenti di tempat peristirahatan. Mentari juga telah kembali menerangi permukaan bumi. Erangan bergemuruh dari dalam perut seketika mengingatkannya akan rasa lapar yang sempat tertunda. Tanpa berkeinginan menunda lebih lama lagi, langkahnya segera menghambur keluar bus menuju ke minimarket 24 jam yang ada di sekitar tempat itu. Lorong yang memajang minuman menjadi tujuan pertamanya kala memasuki ruangan dengan etalase dimana-mana itu. Ia mencari sebotol espresso siap saji sebagai salah satu nutrisi pagi harinya. Setelahnya, baru disusurinya rak bagian pangan siap santap untuk menemukan makanan padat sarapannya. Seorang anak laki-laki yang berdiri di ujung lorong dekat lemari pendingin menarik perhatiannya.
Perutnya yang meraung kembali menyadarkannya pada kebutuhan terhakiki dirinya saat ini. Ia memutuskan untuk kembali memikirkan jalan keluarnya setelah mengisi sang perut. Ditepuknya pundak Tuan Smith dan memaksakan diri untuk tergelak sekalipun terdengar mirip tersedak. “Tidak masalah, Mike. Lagipula aku tidak sedang terburu-buru.” Didudukkannya diri ke belakang pick-up milik Tuan Smith dan makan dengan lahap begitu berhasil membuka bungkusan roti lapis yang sempat diletakkannya di tempat itu saat membantu pria tua tersebut tadi. “Bisa berikan padaku tiketnya? Aku bisa membantumu mengejar bus itu,” ujar Tuan Smith tak berputus asa. Sepertinya kalimat ‘tidak masalah’-nya barusan tidak mampu mengusir perasaan bersalah yang menghinggapi batin pria tua tersebut. Dan entah mengapa kepanikan yang sempat menghampirinya tadi, kini telah menular pada pria tua itu. Kali ini ia menyunggingkan senyuman yang tampak lebih baik ke arah Tuan Smith. Namun dikarenakan terlalu sibuk menyelesaikan
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe
"Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama
Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem
Sekonyong-konyong sebersit pikiran muncul ke permukaan, ia memutuskan berhenti hening. Hati-hati dibalasnya tatapan pria yang telah kembali duduk di balik meja kerja tersebut."Tuan Gustav. Mungkin ini sebuah permintaan yang terdengar lancang ...." Sembari mengulum bibir sendiri, ia terjeda untuk menata keberanian sesaat. "Kalau boleh... saya mohon diizinkan bermalam di sini. Saya bisa merangkap sebagai penjaga keamanan sekaligus berberes-beres. Bagaimana?" tawarnya kemudian.Baik dirinya maupun Tuan Gustav hanya saling mengadu pandang dalam diam beberapa saat.Hingga pria bertubuh gembur tersebut menepuk tangan dan berdeham dari balik meja. "Kamu tidak ada masalah dengan hukum, kan?" tanya Tuan Gustav padanya bersama tatapan menelisik.Dengan sigap ia mengatasi keterhenyakannya. Sekali lagi ia tergelak miris. "Tidak ada. Ini semua hanya dikarenakan masalahku dengan keluarga semata," ujarnya dengan nada yakin. "Apakah masalahmu itu tidak akan berdampak pada tempat kerjamu?" tanya ata
Kakinya yang mulai berteriak letih sekonyong-konyong menyadarkannya. Dirinya tidak mungkin terus berlari. Kemudian ia pun serta merta bertekad nekad berbelok ke lorong buntu di belakang deretan gedung pertokoan sebelah kirinya tersebut. Matanya dengan sigap mencari tempat persembunyian. Dihampirinya salah satu pintu dan mencoba membukanya. Namun, lempengan berbahan besi itu hanya bergeming menutup. Hatinya mulai menggeliat resah diterpa rasa panik. Bersama bibir yang tiada henti mengumpat, ia kembali mencoba pada pintu demi pintu di deretan lorong tersebut. Hingga menemukan pintu yang terbuka pada percobaan keempat. Tanpa menyia-yiakan waktu bahkan untuk menarik nafas, ia menghambur masuk. Lekas-lekas ditutupnya kembali pintu dengan nyaris tanpa debam. Segera setelah matanya telah terbiasa dengan temaram ruangan, ia mengedarkan pandangan mencari tempat menyamarkan diri. Derap para pengejarnya yang samar-samar kian mendekat mengingatkannya agar segera bergegas. Segera ditekuknya tubuh
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter