”Pertanyaanmu barusan membuatku benar-benar yakin kamu telah mendapat ingatanmu kembali, William ....”Sontak ia tertegun kelu. Sial! Mengapa mulut ini tiada henti membeberkan rahasiaku yang harusnya kusimpan rapat-rapat? rutuknya pada diri sendiri. "Wilbert tidak ada di dalam situ. Ia dalam perawatan di rumah sakit." Terdengar sang dokter memberi jawaban yang dinantikannya setelah beberapa saat berselang. "Lantas mengapa semua orang menyadari aku bukanlah Wilbert? Tak biasanya mereka bisa dengan cepat mengenaliku ...."Dokter yang tengah melepaskan pakaian dinasnya tersebut lagi-lagi tergelak –kali ini gelak itu terdengar sinis. "Tentu saja mereka mengetahuinya dengan sangat jelas. Dibandingkan dirimu yang sehat bugar, Wilbert untuk bangkit bangun pun ia tak mampu!"Tuturan lantang dari Dokter Monger itu membuatnya terkesiap. Dengan membelalak tak percaya, didekatkannya wajah ke samping pria tua tersebut. “Apakah maksudmu, Wilbert akan segera meninggal?" gumamnya dengan tatapan
Oleh mimpi buruk yang berulang, lagi-lagi ia tersentak bangun dari lelap. Sembari melempar pandangan menyisir sekeliling, buru-buru diatasinya nafasnya yang memburu. Bangku-bangku penumpang yang kosong membuatnya menolehkan mata ke luar jendela. Bus yang ditumpanginya itu tengah berhenti di tempat peristirahatan. Mentari juga telah kembali menerangi permukaan bumi. Erangan bergemuruh dari dalam perut seketika mengingatkannya akan rasa lapar yang sempat tertunda. Tanpa berkeinginan menunda lebih lama lagi, langkahnya segera menghambur keluar bus menuju ke minimarket 24 jam yang ada di sekitar tempat itu. Lorong yang memajang minuman menjadi tujuan pertamanya kala memasuki ruangan dengan etalase dimana-mana itu. Ia mencari sebotol espresso siap saji sebagai salah satu nutrisi pagi harinya. Setelahnya, baru disusurinya rak bagian pangan siap santap untuk menemukan makanan padat sarapannya. Seorang anak laki-laki yang berdiri di ujung lorong dekat lemari pendingin menarik perhatiannya.
Perutnya yang meraung kembali menyadarkannya pada kebutuhan terhakiki dirinya saat ini. Ia memutuskan untuk kembali memikirkan jalan keluarnya setelah mengisi sang perut. Ditepuknya pundak Tuan Smith dan memaksakan diri untuk tergelak sekalipun terdengar mirip tersedak. “Tidak masalah, Mike. Lagipula aku tidak sedang terburu-buru.” Didudukkannya diri ke belakang pick-up milik Tuan Smith dan makan dengan lahap begitu berhasil membuka bungkusan roti lapis yang sempat diletakkannya di tempat itu saat membantu pria tua tersebut tadi. “Bisa berikan padaku tiketnya? Aku bisa membantumu mengejar bus itu,” ujar Tuan Smith tak berputus asa. Sepertinya kalimat ‘tidak masalah’-nya barusan tidak mampu mengusir perasaan bersalah yang menghinggapi batin pria tua tersebut. Dan entah mengapa kepanikan yang sempat menghampirinya tadi, kini telah menular pada pria tua itu. Kali ini ia menyunggingkan senyuman yang tampak lebih baik ke arah Tuan Smith. Namun dikarenakan terlalu sibuk menyelesaikan
Suara denting peralatan makan menyentuh piring mewarnai makan siang keluarga Smith. Lagi-lagi Tuan Smith membuka pembicaraan, menyibak keheningan dari atas meja makan. Pria tua itu mengarahkan tatapan pada gadis yang duduk di seberang kiri meja sesaat sebelum menggesernya kepada Jack. "Sam, Jack. Mulai hari ini Tuan Ethan Neil akan jadi anggota keluarga kita. Kalian berteman baik-lah dengannya ...."Terdengar Jack serta merta memekik girang oleh pengumuman Tuan Smith barusan. "Samantha Smith. Selamat bergabung, Tuan Neil," ujar gadis yang duduk tepat berseberangan meja dengannya tersebut sembari menyodorkan tangan. Sambutan-sambutan sarat kehangatan sebuah keluarga yang belum pernah diterimanya itu sontak menggelitik relung batinnya. Kendati demikian, ia tak lantas membiarkan diri terjeda tanpa tanggapan. Disambutnya seluruh sambutan tersebut dalam sekali pandang bersama seulas senyum. "Terima kasih semuanya ....""Jack dan Sam mengisi liburan mereka dengan membantu kami mengurus p
PLAKK!!!Sebuah tamparan mendarat di atas pipi kecilnya. Tubuh kecilnya terhuyung beberapa langkah ke belakang. Ia membalas tatapan menghujam dari sosok yang berdiri di hadapannya itu. "Aku mengajak Wilbert bermain karena dia yang memintaku!" Pria tersebut sontak kian mengencangkan wajah dengan tangan terkepal di depan dada. "Masih berani berkelit kamu! Karena ulahmu, Wilbert kini terbaring sakit!" "Aku mengatakan yang sebenarnya!" geramnya tak mau mengalah. Pria itu pun berseru berang. Sosok yang harus dipanggilnya 'Papa' tersebut tampak mulai mengurai balutan tali pinggang dan mempersiapkan benda itu dalam remasan tangan. "Kamu seharusnya turut duduk belajar seperti dia! Bukan malah mempengaruhinya untuk bermain seperti anak-anak liar di luar sana!" "Aku punya waktuku sendiri untuk belajar, tapi yang pasti tidak sepanjang hari!"Sebuah libasan telak mendarat pada lengannya yang serta merta membuat dirinya terkesiap."Teruslah membantahku!" jerit pria tersebut padanya dengan mat
Sore itu, ia melihat anak laki-laki dengan sepatu boots cokelat itu menghampirinya. "Hai, Jack," sapanya singkat kala anak tersebut telah sangat dekat. "Mengapa kamu tak juga menceritakan pada Grandpa?""Soal?" ia melirik sekilas ke arah Jack yang melompat ke atas pagar pembatas lahan dan duduk di atasnya. "...kalau aku hampir mencuri semua camilan-camilan itu." Ia tertegun, menjedakan kesibukannya sejenak, lalu menatap hening ke arah anak laki-laki itu beberapa saat. Masih belum menuturkan tanggapan apapun, ia melanjutkan pekerjaannya memanen kubis-kubis kembali. "Menurutmu, apakah bijaksana untuk menceritakan hal buruk yang bahkan belum terjadi pada Mike?"Jack beringsut dan melompat turun dari tempatnya duduk. Anak tersebut menghampiri sisinya hingga nyaris tak berjarak. "Mengapa?" tanya anak itu lagi.Ia tersenyum pada Jack di sela pekerjaannya. Dikedipkannya mata ke arah anak tersebut. "Agar kamu memiliki kesempatan untuk memperbaiki sikap yang tidak baik itu."Jack terhen
"Samantha?" ujarnya lirih tertahan ke arah sosok tersebut. Sontak sosok itu tersentak dan memicing silau mengatasi sorotan cahaya senter. "Bagaimana kamu tahu aku ada di sini!?" sergah Samantha mengernyit gusar. Menyadari gadis itu tak nyaman, ia pun segera menggeser arah sorotan benda penerangannya tersebut. Dengan langkah hati-hati, dihampirinya gadis itu. "Sam, ini sudah gelap juga dingin. Mengapa kita tidak balik saja ke rumah dan membicarakan masalahmu di sana?""Sebaiknya kamu saja yang balik, Ethan. Aku masih ingin sendiri di sini," ujar Samantha sengau yang terdengar tengah berusaha menyembunyikan isak. Sekonyong-konyong ia menangkap keresahan mendalam dalam diri Samantha. Keresahan yang mendorong gadis itu nekad menyeberangi pagar pembatas demi menemukan tempat untuk menyendiri. Diberanikan diri untuk duduk di samping Samantha. Lalu sesaat hanya hening tanpa kata. Benaknya mulai berputar mencari kalimat pembuka pembicaraan di antara mereka. Dan, seketika menemukan awalan
Ia mulai menyeruput kopi panas yang dengan cepat menjadi suam itu. Dalam keterdiamannya, dirinya memutuskan. Ada baiknya ia segera membiasakan hidup dengan penyamarannya ini. Sekalipun dibayangi oleh rasa sungkan karena menutupi kebenaran diri dari Tuan dan Nyonya Smith. Ia juga tak memungkiri tengah memanfaatkan kebaikan hati mereka demi mendapatkan tempat berteduh dan bersembunyi. "Terima kasih. Juga maaf soal kejadian tadi ...."Suara yang terdengar dari arah belakang itu sontak mengejutkannya. Ia terkesiap menahan nafas serta segera menoleh. Samantha tampak mengulas sebuah senyuman kikuk padanya. Sembari melemparkan tatapan yang meminta izin, gadis itu duduk hati-hati di sampingnya. "Aku sungguh menyesal telah mengucapkan kata-kata yang menyakitkan tadi padamu, Ethan. Padahal itu bukan salahmu." Ia hanya tersenyum kilas menanggapi ucapan Samantha. "Tidak apa-apa," ujarnya singkat dengan suara berdesir. Gadis tersebut meredupkan pandangannya dan tertunduk. "Aku tahu kamu pun
"Hah?" Ia mendelik semakin tak paham dengan ucapan Dave. "Apa maksudmu?" Alih-alih segera menyahut, sosok yang duduk di depan kemudi itu tampak berkonsentrasi penuh ke depan. Entah dikarenakan tidak memiliki cukup kesabaran atau alasan lainnya, Dave bersikeras mencari jalan alternatif untuk menghindari kemacetan yang tengah menghadang. Sementara menanti penjelasan dari Dave, kian banyak praduga yang bermunculan di benaknya. Turut dilayangkannya lirikan pada kaca tengah lalu spion untuk memeriksa keadaan sekitar. Setidaknya itu yang dapat dilakukannya saat ini demi mengatasi rasa gusar. Sejauh telisiknya, ia tidak menemukan tanda-tanda adanya penguntit. Apakah kini diriku boleh merasa tenang? Apakah kehadiran Dave mampu menjanjikanku keamanan? "Bahkan anak kembar sekalipun tidak memiliki sidik jari yang sama. Tidakkah kamu bertanya apa sebabnya kamu dapat dengan mudah melewati setiap sistem pengaman bersidik jari milik Wilbert? Tidakkah kamu memikirkan jawabannya?"Oleh tuturan Da
Seolah menangkap maksud tatapannya dengan tepat, pria itu segera bersuara. "Sebaiknya kita melanjutkan pembicaraan di tempat lain sebelum mengundang perhatian orang sekitar dengan interaksi penuh keakraban ini," usul Dave sembari menepis debu yang menempel pada bagian bawah celana jinsnya. Kemudian pria tersebut melangkah di depan seolah yakin akan diikuti. Setelah terjeda dalam pertimbangan beberapa saat, ia memutuskan untuk menyusul. Diraihnya ransel yang sempat terhempas tadi. Menepuk-nepuk benda berwarna hitam itu lalu menata kembali talinya ke atas pundak. Kendati tidak menoleh, Dave terlihat menurunkan laju derap. Pria itu membiarkannya menyetarakan langkah tanpa perlu tergesa-gesa. "Pertemuan dengan Ross di depan Guggenheim tadi malam bukan rencanaku sama sekali. Itu benar-benar di luar dugaanku. Tetapi, kamu dengan cepat menyimpulkan tanpa mendengarkan," terdengar Dave memberi penjelasan sedikit lebih panjang lebar dari biasanya."Tentu saja aku lebih mempercayai mataku da
Baru saja selangkah menapaki tangga bus, sebuah tangan mencengkeram kuat lengannya serta menariknya turun. Sontak ia terkesiap dan menoleh. Sembari memekik gusar, dikibaskannya tangan yang masih tercengkeram itu berulang kali. "Hey! Apa yang ...." "Kalau aku jadi kamu, aku takkan melakukannya ...." ujar sosok dari balik kerudung jaket hitam tersebut padanya. Suara berdesir kasar yang segera mengingatkannya pada seseorang. Dave. Belum sempat ia membuka mulut untuk menyergah ucapan pria itu, sosok tersebut telah melanjutkan ucapan, "Nashville adalah tempat pertama yang akan mereka datangi untuk mencarimu." Diputuskannya untuk membendung kehendaknya untuk melawan. Batinnya mengatakan agar ia tidak gegabah dan memberi kesempatan mendengarkan. Dibiarkannya diri digiring menjauh dari samping bus.Begitu giringan pria tersebut berhenti, ia mendelik tajam ke arah Dave. Dengan sebelah tangan yang bebas, ia balas mencengkeram kerah jaket pria tersebut. "Jebakan apa lagi yang kini tengah ka
Kedua bola matanya bergerak liar seiring benak dan batinnya saling menimbang. Hatinya mengerucut kecut.Tetapi, bagaimana jika ternyata Dave merencanakan jebakan? Atas dasar apa aku dapat mempercayainya? Bisa saja dia salah satu dari orang Abe yang ditugaskan melacak dan memastikan keberadaanku. Sekonyong-konyong kian tercekam oleh pikiran sendiri, ia bergeming. Disandarkannya pucuk dahi pada pintu loker, melanjutkan menimbang. Jika memang demikian, bukannya Dave memiliki banyak kesempatan mencidukku saat dalam perjalanan ke New York? Setelah beberapa saat mengulum bibirnya, diputuskannya untuk menyudahi keterpakuannya pada rasa ragu. Diraihnya sepatu kets tua yang selalu disimpannya di dalam loker dan mengenakannya. Bersama rentetan pertanyaan yang dipersiapkannya, dibulatkannya tekad menghadapi resiko demi memperjelas keingintahuannya akan diri. Ia juga baru dapat memutuskan apakah Dave orang yang layak dipercaya atau tidak setelah menemui pria tersebut hari ini.Udara malam di pe
"Halo!" Sapaan yang datang dari balik punggungnya tersebut sontak mengejutkannya. Ia tak dapat mencegah dirinya untuk tidak terlonjak. Ia menoleh dengan kedua mata yang membulat sempurna. Mendapati sosok sang penyapa kian membuatnya tersentak. Bahkan hingga nyaris tak mampu mengatasi rasa terkejutnya. Dengan berusaha tak terdengar gelagapan, ia kemudian hanya bergumam menanggapi sekenanya. "Oh, hai ...." ucapnya pelan sembari melintas hening ke arah pintu belakang dapur restoran. Dikulumnya bibir menahan resah. Ini gawat! Bagaimana Dave bisa menemukanku? Aku yakin ini bukan sekedar kebetulan! Batinnya memekik segusar-gusarnya."Tidakkah kamu dapat menyapa teman lamamu dengan lebih baik, Tuan William Anderson?"Serta merta langkahnya terhenti. Sekali lagi ia mendapatkan serangan mengejutkan. Kendati hendak berkelit dan kabur, sekujur tubuhnya kelu begitu saja oleh teguran Dave barusan. Dengan tidak memutar tubuh sepenuhnya, ia menanggapi. "Sepertinya kamu salah mengenali orang. Nama
Matanya menangkap sesosok yang melesat hilang ke balik pohon di dekat tempat pembuangan sampah. Ia terkesiap menahan nafas. Siapa itu? Mengapa tampak seperti baru saja memata-matai tempat ini? Apakah mereka berhasil mengetahui keberadaanku?Sekali lagi ia memberanikan diri memeriksa lewat jendela.Tiada siapapun di luar sana. Bahkan setelah berulang kali mengerjap dan menyisir berkeliling, ia hanya menemukan keheningan malam. Aku yakin tadi melihat seseorang. Atau aku hanya terlalu was-was hingga berhalusinasi? Berapa lama lagi aku bisa bersembunyi di sini hingga aku ditemukan oleh mereka? Dengan langkah letih, dilanjutkan langkah dari dapur menuju ke kamar mandi satu bilik khusus karyawan. Ia butuh berbilas untuk menggelontorkan resahnya. Dibiarkannya bulir-bulir air yang dingin dari pancuran mendera permukaan tubuhnya. Dihelanya nafas panjang. Masih terus berjuang mengatasi badai kalut dalam batin. Aku tidak tahan lagi. Selalu merasa terjepit di antara rasa was-was ini seakan mem
Sekonyong-konyong sebersit pikiran muncul ke permukaan, ia memutuskan berhenti hening. Hati-hati dibalasnya tatapan pria yang telah kembali duduk di balik meja kerja tersebut."Tuan Gustav. Mungkin ini sebuah permintaan yang terdengar lancang ...." Sembari mengulum bibir sendiri, ia terjeda untuk menata keberanian sesaat. "Kalau boleh... saya mohon diizinkan bermalam di sini. Saya bisa merangkap sebagai penjaga keamanan sekaligus berberes-beres. Bagaimana?" tawarnya kemudian.Baik dirinya maupun Tuan Gustav hanya saling mengadu pandang dalam diam beberapa saat.Hingga pria bertubuh gembur tersebut menepuk tangan dan berdeham dari balik meja. "Kamu tidak ada masalah dengan hukum, kan?" tanya Tuan Gustav padanya bersama tatapan menelisik.Dengan sigap ia mengatasi keterhenyakannya. Sekali lagi ia tergelak miris. "Tidak ada. Ini semua hanya dikarenakan masalahku dengan keluarga semata," ujarnya dengan nada yakin. "Apakah masalahmu itu tidak akan berdampak pada tempat kerjamu?" tanya ata
Kakinya yang mulai berteriak letih sekonyong-konyong menyadarkannya. Dirinya tidak mungkin terus berlari. Kemudian ia pun serta merta bertekad nekad berbelok ke lorong buntu di belakang deretan gedung pertokoan sebelah kirinya tersebut. Matanya dengan sigap mencari tempat persembunyian. Dihampirinya salah satu pintu dan mencoba membukanya. Namun, lempengan berbahan besi itu hanya bergeming menutup. Hatinya mulai menggeliat resah diterpa rasa panik. Bersama bibir yang tiada henti mengumpat, ia kembali mencoba pada pintu demi pintu di deretan lorong tersebut. Hingga menemukan pintu yang terbuka pada percobaan keempat. Tanpa menyia-yiakan waktu bahkan untuk menarik nafas, ia menghambur masuk. Lekas-lekas ditutupnya kembali pintu dengan nyaris tanpa debam. Segera setelah matanya telah terbiasa dengan temaram ruangan, ia mengedarkan pandangan mencari tempat menyamarkan diri. Derap para pengejarnya yang samar-samar kian mendekat mengingatkannya agar segera bergegas. Segera ditekuknya tubuh
Langkahnya seketika terhenti. Sebuah ranjang dorong tampak menyembul pada salah satu pintu yang berada beberapa langkah di depannya. Setelah terjeda beberapa saat bersama rasa was-was, ia kembali lanjut mengendap-endap. Semakin langkahnya mendekati ranjang tersebut, semakin dirinya tercekik oleh ketercekaman. Hingga dirinya mampu mendengar degupan jantungnya dengan lantang di telinga. Namun semua itu tidak melebihi keingintahuannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan mata ke arah sosok di atas ranjang dorong tersebut. Dan, sontak terkesiap. Fransisca!? Bagaimana bisa?Ranjang yang secara mendadak bergulir ke arahnya itu kembali membuatnya terkesiap. Ia serta merta melompat ke tepian demi menghindar. Sekonyong-konyong baru menyadari kehadiran sosok yang tengah mendorong pembaringan beroda tersebut. "Dokter Monger!? Aku ...."Belum usai ia menyapa, pria berjubah putih itu dengan mendelik lebar padanya serta membuka mulut dengan lantang. "Sudah kukatakan PERGI DARI SINI!" bentak sang dokter