“Kamu jangan asal bicara ya. Kamu itu bukannya selingkuhan suami saya? Jangan coba-coba bohongin saya!”Dia tertawa dengan sorot mata tak biasa, “Suami Tante itu Papa saya.”Deg.Aku terdiam, masih mencerna ucapannya.Gadis itu mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalam tasnya.Hatiku langsung teriris melihat foto Mas Nata berdampingan dengan Mbak Nadia yang sedang menggendong seorang bayi. Fotonya seperti foto lama karena mereka terlihat masih muda.“Ini, foto aku saat baru dilahirkan. Dan ini ….” Dia menunjukkan foto dengan formasi sama hanya saja ada gadis kecil yang kutaksir seusia Yuna. Dan satu lagi, foto yang sepertinya diambil baru-baru ini.“Saat aku ulang tahun ke lima dan foto terbaru, bulan kemarin saat aku ulang tahun ke 16. Sengaja aku bawa biar Tante nggak bisa nyangkal lagi. Ini asli ya, Tan. Bukan editan. 17 tahun lebih Papa dan Mama aku nikah dan Tante hadir buat jadi perusak. Ya, Tante minimal tahu dirilah. Sampai kapanpun pelakor nggak bakalan menang. Kalau masih
“Mama tahu soal ini?” Kutatap wajah Mama yang langsung pucat setelah melihat semua bukti yang kuberikan.Aku tidak mau lagi menyembunyikan apapun karena itu juga beban untukku. Laisa memberikan album foto pernikahan Mas Nata dan Mbak Nadia padaku dan aku perlihatkan pada Mama. Dan bukti lain yang memperkuat. Jika Mama sudah tahu, tidak ada alasan Mama untuk memintaku bertahan di samping Mas Nata.Hati ini terlanjur luka, setiap melihatnya bahkan perihnya semakin terasa.“17 tahun … Nata membohongi Mama.” Suara Mama bergetar, buliran bening berjatuhan membasahi pipi. “Apa dia anggap Mama ini udah mati?”Mama menarik napas dalam lalu berdiri sambil memegangi dadanya. Baru saja akan kembali bicara tubuhnya ambruk ke sofa.“Mama!” Aku menjerit kaget.Tidak mau Mama kenapa-napa, aku langsung membawanya ke rumah sakit diantar supir tanpa memberi tahu Mas Nata lebih dulu.Dengan gelisah aku menunggu dokter keluar dari ruangan. Perasaanku tidak karuan, aku tidak menyangka Mama akan langsung p
POV Hana[Tante harus tepati janji Tante.]Aku menghela napas panjang membaca pesan dari Laisa. Dia memang yang memberikan banyak bukti padaku hingga Mas Nata tak bisa menyangkal lagi. Tapi tetap saja aku menyayangkan apa yang sudah kulakukan dengan begitu gegabah sampai berdampak pada Mama.Soal Mas Nata. Aku memang akan membiarkannya bersama dengan istri dan anaknya yang lain. Aku tidak mau hidupku runyam hanya karena diganggu apalagi Laisa itu sudah bisa berpikir dewasa dan mengerti. Pasti tidak akan membiarkanku bersama dengan papanya. Sedangkan Yuna masih kecil, dia belum mengerti apa-apa. Mungkin Yuna juga akan menjadi salah satu korban keegoisan Mas Nata tapi aku tidak akan membiarkan dia menderita. Aku bisa mengurus Yuna sendiri tanpa Mas Nata.Setelah lumayan lama di rumah sakit, Mama diperbolehkan untuk pulang meskipun tetap dalam pantauan dokter. Aku terus mengusahakan yang terbaik agar Mama segera pulih. Dari rumah juga aku mengerjakan tugas kantor, bagaimanapun itu sudah
POV HanaAku tidak bisa benar-benar ikut bersama Bang Hamdan, bagaimanapun aku tidak boleh menjauhkan Yuna dari Mas Nata.Untuk saat ini pilihan terbaik hanya pindah rumah saja, sedangkan orang tuaku sudah berada di kampung. Bang Hamdan masih menemaniku di sini. Bang Hamdan dan Ayah tidak bisa ada dalam satu rumah karena jelas nantinya malah ribut terus, bisa jadi Bang Hamdan selalu mengaitkan apa yang terjadi padaku dengan apa yang sudah diperbuat ayah di masa lalu.Alasanku yang lain juga karena ingin dekat dengan Mama. Aku tidak akan bisa meninggalkan Mama begitu saja karena rasa bersalah selalu menggelayuti hati. Bahkan saat Mama berangkat ke luar negeri, aku hanya bisa melihat dari kejauhan. Aku masih tidak mau bertemu dengan Mas Nata.Bahkan hari ini Yuna saja dijemput Bang Hamdan, mungkin nanti setelah Bang Hamdan kembali bertugas maka aku harus mencari pengasuh atau kembali tinggal bersama ibu dan ayah agar bisa menemani Yuna karena aku harus bekerja. Sebentar lagi aku akan be
“Serius amat mukanya? Memang mau?” Samudra tergelak sambil memegangi perutnya.“Apaan sih, Sam. Nggak lucu tahu.”“Kalo udah selesai interview. Traktir ya, udah aku bantuin loh dulu. Masa nggak ngasih apa-apa.”“Ish. Udah banyak duit juga masih minta traktir.”Langkahku terayun keluar dari lift dengan tergesa menuju ruangan yang dituju. Sampai di sana ternyata masih belum dimulai, aku diberitahu kalau orang yang akan melakukan interview ternyata ada kendala hingga datang terlambat.CEO perusahaan ini yang akan langsung melakukan interview. Aku mendapat panggilan untuk interview menjadi sekretaris nantinya, memiliki pengalaman membuatku bisa ada di sini sekarang apalagi aku pernah bekerja bukan di perusahaan abal-abal. Perusahaan milik keluarga Mas Nata itu perusahaan impian bagi para pencari pekerjaan yang ingin memiliki karir cemerlang.Kembali menjadi wanita karir membuat waktu akan tersita. Masalahnya sekarang aku sudah memiliki Yuna yang juga harus diperhatikan. Berat juga sebenar
Mengorbankan pekerjaan yang baru kudapat untuk bisa melihat Mama secara langsung. Akhirnya aku pergi bersama dengan Mas Nata kesana, Yuna juga ikut.Mas Nata juga tidak mengatakan apa-apa soal Mama membuatku semakin khawatir.Selama perjalanan hanya Yuna yang sibuk berceloteh, dia tampak senang. Wajahnya sumringah tidak seperti hari-hari sebelumnya yang selalu murung.“Mama sakit?” Tangan mungil Yuna menyentuh keningku.“Nggak kok. Mama nggak sakit.”“Mukanya kayak orang sakit kok. Iya ‘kan, Pa?” Yuna melirik Mas Nata yang duduk di sebelahnya.Mungkin maksud Yuna wajahku pucat. Efek terlalu tegang jadi seperti ini. Bagaimana tidak tegang jika aku saja belum tahu kondisi Mama di sana. Aku ingin memastikan dengan melihat secara langsung.“Kamu nggak enak badan?” Giliran Mas Nata yang bertanya.“Aku sehat kok.”Untuk menghindari pembicaraan dengan Mas Nata, aku memilih untuk memejamkan mata. Biar saja Yuna bersama dengan papanya. Aku hanya tidak ingin memperlihatkan sesuatu yang tak pant
“Mas, tolong jangan ganggu ya. Aku lagi ngomongin soal kerjaan, mending kamu ke rumah saja. Yuna di rumah.”“Ayo pulang.” Mas Nata menarik tanganku sampai aku berdiri dari duduk.“Mas, apaan sih.” Aku mencoba melepaskan cengkraman tangannya.“Lepas. Nggak sopan, narik-narik tangan orang lain.” Samudra menghentak tangan Mas Nata dan menarikku ke belakang tubuhnya.“Kamu siapa? Dia bukan orang lain, dia-”“Aku mantan istri kamu, Mas. Jelas aku ini orang lain,” pangkasku.“Han-”“Kita ke ruangan aku saja.”Samudra memanggil petugas keamanan untuk menahan Mas Nata agar tidak mengikutiku dan Samudra.Lagi pula apa yang dilakukannya itu. Apa dia lupa atau pura-pura lupa dengan status aku dan dia yang sudah selesai. Mungkin kalau istri atau anaknya lihat, nanti malah aku yang jadi bahan rujak mereka lagi. Padahal aku selalu menghindar, salah Mas Nata yang selalu mendekat.“Dia jadinya kayak orang pembuat rusuh diusir begitu.”“Ya salah sendiri. Lagian kamu itu, punya mantan buang pada tempat
POV Nata“Aku yakin, setelah nanti Mama lihat anak kita, pasti hati Mama luluh.” Kugenggam erat tangan Nadia.Terlihat jelas sorot gelisah dari matanya. Kami sudah tiga bulan menikah, aku sama sekali tidak memberitahu Mama soal pernikahan ini karena dari awal Mama tidak suka pada Nadia. Mama bahkan tidak mengatakan dengan jelas apa yang tidak disukai dari Nadia.Aku nekat menikahi Nadia karena aku tidak mau kehilangannya.“Mas, kalau Mama masih nggak kasih restu. Apa kamu bakalan ninggalin aku?”“Sayang, kamu jangan bicara begitu dong. Sampai kapanpun aku nggak bakalan ninggalin kamu kok. Nggak ada wanita lain yang aku cintai selain kamu. Aku janji.”Kejadian belasan tahun lalu itu melintas dalam benak. Aku mengingkari janjiku pada Nadia karena sudah mencintai wanita selain dia. Hana, wanita yang Mama pilihkan untukku. Awalnya aku memang tidak mencintainya tapi seiring berjalannya waktu dengan kebersamaan kami, cinta itu tumbuh tanpa bisa dicegah apalagi ada kehadiran Yuna di tengah-t
"Ganta.""I miss you so bad, Baby." Ganta hendak melangkah mendekati Yuna."Oh, Mas ini selingkuhannya Yuna pasti," celetuk Bu Nani."Jangan sembarangan ya, Bu!" Yuna naik pitam."Saya calon …." Ganta menyeringai, sengaja menggantung perkataannya."Ganta, apa-apaan sih. Sana pulang, ngapain kesini?" Yuna tidak mau Ganta malah membuatnya semakin malu."Aku kesini mau jemput kamu, Baby.""Rumah aku di sini, kamu nggak usah macem-macem ya! Kita udah putus, sekarang kamu pergi dari sini."Keributan yang terjadi mengundang penasaran beberapa tetangga yang lain.Ingin sekali Ganta menarik paksa tangan Yuna agar wanita itu ikut dengannya. Namun ia sadar dengan melakukan itu yang ada Yuna malah semakin tidak suka padanya."Buka blokirannya, kalau nggak … nanti aku datang lagi.""Iya. Sana pergi."Yuna bisa bernafas lega saat Ganta akhirnya pergi. Ia harus segera menyelesaikan urusannya dengan Ganta. Padahal hubungan mereka sudah berakhir."Yuna, Yuna. Tampang aja polos.""Ternyata bener punya
Senyum di bibir Yuna tidak luntur, hatinya berbunga setelah kerinduan yang berbulan-bulan ini tertahan akhirnya bersambut. Pipinya memanas mengingat apa yang terjadi tadi malam. Kali kedua untuk mereka tapi tentu saja berbeda karena melakukannya dalam keadaan sadar sepenuhnya, bukan efek dari obat perangsang.Masih dengan posisi yang sama, Yuna mendongak. Menatap Afnan yang masih terlelap, gurat lelah nampak jelas. Afnan memang masih lelah setelah perjalanan ke kota tapi ulah Yuna lelah Afnan semakin bertambah. Rencananya sudah berhasil, Yuna sangat yakin setelah ini Afnan tidak akan mungkin kepincut oleh Rinda.Tok. Tok.“Bu … Ibu ….” Yuna terperanjat, ia malah kembali memejamkan mata. Tidak mau kalau Afnan tahu ia lebih dulu bangun dari lelaki itu.Afnan langsung terjaga mendengar suara adiknya. Dengan gerakan perlahan ia menarik tangannya yang dijadikan bantal oleh Yuna. Menyambar baju dan memakainya dengan asal karena takut suara Nisa akan membangunkan kedua bidadarinya yang masih
Untung saja Yuna belum menanggalkan cardigan yang dipakainya. Jadi ia bisa menyelamatkan harga dirinya. Malunya tidak ada obat kalau sudah tampil menggoda dan Afnan masih menolak.Meskipun kesal, Yuna tidak memperlihatkannya. Ia belajar untuk menahan diri apalagi Afnan baru saja kembali setelah perjalanan jauh yang menguras tenaga."Hari masih panjang, ini masih siang. Nggak etis juga kalau siang-siang ada suara meresahkan." Ia mencoba menghibur diri lalu keluar dari kamar.Setidaknya ia harus membuat hatinya lebih tenang.Ia memilih merebahkan tubuhnya di tempat biasa Afnan berbaring setiap malam."Keras banget. Betah dia tiap malem tidur di sini? Kalau aku yang tidur di sini bisa-bisa sakit semua badanku."Yuna mengambil posisi duduk, tidak nyaman berbaring dengan kondisi tempat yang tak nyaman. Padahal baru beberapa detik, bayangkan Afnan yang beberapa malam ini tidur di sana. Ia sama sekali tidak protes.Tidak ada larangan dari Yuna untuk Afnan tidur dengannya, hanya saja lelaki i
Yuna tidak membalas pesan Angel tapi langsung menghubungi gadis itu.“Na, tad-”“Cewek itu bukan istrinya Afnan! Nggak usah sok tahu.” Yuna berucap dengan ketus.“Lah, kok kamu marah sih. Afnan 'kan orang lain, ngapain juga kesel gitu.”Napas Yuna mulai berat. “Afnan itu suami aku, Angel. Suami aku!” Ia menjelaskan penuh penekanan.Angel malah tertawa. “Ngelawaknya nggak usah gitu juga kali, Na.”“Terserah mau percaya atau nggak. Pokoknya nggak usah kamu berharap lagi ke Afnan, aku sama dia udah punya anak. Jadi nggak usah coba deketin Afnan lagi!”Belum sempat Angel bicara, Yuna lebih dulu memutuskan sambungan telepon. Ponsel mahal itu dilemparnya sembarangan saking kesalnya.Sekarang Yuna sudah tidak peduli jika rahasianya terbongkar, karena baru Sisil yang tahu dan gadis itu bersedia tutup mulut. Sedangkan pada Angel, Yuna mengakui sendiri soal hubungannya dan Afnan karena cemburu.Beginilah jadinya saat keadaan berbalik. Dulu Yuna yang mencampakkan Afnan, sekarang ia malah takut k
“Saya nggak lama kok, kalau Kia rewel telpon aja.” Afnan lebih dulu mengalihkan pembicaraan.“Nomor kamu aja aku nggak punya.”Beberapa bulan ini mereka benar-benar hilang kontak, Afnan hanya sering komunikasi dengan Orang tua Yuna saja.“Mana hp kamu?”“Di saku.” Yuna mengarahkan dagunya ke arah saku jeans yang dikenakan. “Ambil.” Kedua tangannya memegang Kiarra, ia tidak mau ambil resiko kalau mengembalikan Kiarra pada Afnan nanti malah anak itu tidak mau lagi digendong olehnya.Lelaki itu tampak ragu, padahal hanya mengambil ponsel di dalam saku. Wanita di depannya bukan orang lain, masih istrinya.“Cepetan, ambil. Biar kamu juga cepet pulang lagi.” Suara Yuna membuat Afnan tersentak.Sedikit ragu, lelaki itu mengambilnya, ia menyimpan nomornya di sana.“Nggak di kota nggak di desa, ada aja penggoda.” Yuna mencebik, ia tampak tak rela melihat Afnan sudah pergi bersama dengan Rinda.Pertama bertemu namun sudah menganggap gadis itu sebagai musuh karena ia bisa melihat Rinda memiliki
“Kenapa Kia nggak mau aku gendong?” Yuna kesal setengah mati, apalagi tadi Kia menangis di depan Rinda.Rasanya Yuna sangat malu. Salah sendiri karena ia tidak pernah ada di samping putrinya. Bu Dini malah menawarkan Yuna untuk tinggal agar Kiarra bisa mengenal lebih dekat ibunya sendiri.Sebelumnya Yuna menempati villa tapi karena ditawarkan untuk tinggal di rumah Afnan, maka ia tidak akan menolak. Ia merasa tidak rela kalau Kiarra lebih dekat dengan orang lain daripada dengan dirinya yang notabene ibu kandung bayi itu.“Ini pertama kali kalian ketemu, wajar Kia belum bisa mengenali.” Afnan yang sedang menimang Kiarra, sesekali melirik wanita yang masih berstatus istrinya itu.Berada di dalam kamar yang sama membuat keduanya sedikit canggung. Namun keberadaan Kiarra tidak membuat kecanggungan itu kentara.Semua orang sudah tidur. Ini sudah jam sembilan malam, sebenarnya Kiarra akan susah tidur saat siangnya tidak tidur.Yuna tidak akan membiarkan Rinda dekat-dekat lagi dengan Kiarra,
Yuna bisa pulang dalam keadaan lebih tenang karena Sisil tidak mengatakan apapun pada Angel dan Ganta. Yuna sangat takut, karena kalau nanti semuanya tersebar maka ia tidak akan sanggup menghadapi teman-temannya yang lain. Dipastikan ia akan kena hujat.Tapi sebagai gantinya, Yuna harus menjelaskan semua pada Sisil tentang apa saja yang sudah terjadi. Yuna percaya karena Sisil bukan orang yang akan menceritakan keburukan orang lain. Tapi tetap saja namanya rahasia sudah diketahui orang lain ada rasa cemas yang tak mungkin bisa hilang begitu saja.“Nggak denger apa yang Mama bilang sih.” Pulang ke rumah langsung disambut omelan sang mama. Dari raut wajah Yuna, Hana sudah bisa menebak yang terjadi pada putrinyaWanita muda itu menghempaskan tubuh di samping mamanya.“Untung cuman Sisil yang tau,” adunya.“Sekarang Sisil doang, lama kelamaan yang lain juga bakalan tahu. Kalian nikah karena kecelakaan, itu pun bukan hal yang disengaja. Sedangkan Kia, ada di tengah-tengah kita dalam keada
“Udah lama pulang, Rin?” Ia langsung mengalihkan pembicaraan.“Baru kemarin malam, Mas. Mau liburan dulu, nanti kalau udah kerja Rinda tinggal di kota soalnya.”Afnan mengangguk. “Bapak ada, Rin?”“Ada, Mas. Lagi sarapan, masuk yuk. Sekalian ikut sarapan.”“Makasih, Rin. Aku tadi udah sarapan.”“Ya udah, duduk dulu. Biar Rinda buatkan kopi.”“Nggak usah repot-repot, Rin.” Afnan menolak dengan halus. “Aku di teras aja ya.”“Rinda suka direpotin Mas Afnan kok.” Gadis itu tersenyum manis sebelum melangkah masuk ke dalam rumahnya.Rinda masih sama, gadis manis yang murah senyum. Ia sama sekali tidak pernah merendahkan Afnan karena kondisinya yang tak punya apa-apa. Mereka dari dulu teman mengobrol, kalau ikut bapaknya mengontrol kebun, Rinda pasti sesekali ikut hanya untuk melihat Afnan.Di saat gadis di luaran sana menyukai lelaki yang tampan, kaya dan keren. Tapi Rinda tidak, ia terpesona dengan kesederhanaan sosok Afnan. Bisa dibilang Afnan itu cinta pertamanya. Bahkan banyaknya lelaki
"Afnan, dada aku sakit." Yuna meringis sambil memegangi dadanya.Masih dalam posisi berbaring, ia terusik dari tidur karena nyeri di payudaranya karena ASI yang tidak dikeluarkan."Afnan!" Kembali Yuna memanggil namun tidak ada sahutan dari si pemilik nama.Akhirnya ia menyambar ponsel miliknya untuk menelpon Afnan, namun ponsel lelaki itu tergeletak di atas nakas.Yuna mengernyit heran. Menghela napas berat lalu mengubah posisi menjadi duduk."Dia kemana? Handphonenya nggak dibawa lagi." Yuna mendengkus, ia sangat sensitif setelah melahirkan, lebih mudah marah."Yuka ...." Memanggil adik keduanya karena tahu mamanya tidak ada di rumah mengantar si bungsu ke tempat Oma Rani.Pintu kamar terbuka, Yuka datang dengan sendok di tangannya. Ia sedang menikmati akhir pekan sambil menonton acara kesukaannya, malah diganggu sang kakak."Apa, Kak?""Bang Afnan mana?"Yuka mengernyit. "Loh, kemarin 'kan pulang. Kakak lupa kalau Bang Afnan pulang sama Kia?"Deg.Kenapa aku bisa lupa?Kehadiran Af