"Aaaaakkk!""Aaak!"Mulutku menganga sambil terus meronta dengan cara memukul-mukul tangan Mas Rama. Tetapi bukannya dilepaskan, ia malah semakin mempererat cengkramannya."Sarah, kita lihat saja siapa yang akan mati saat ini," bisiknya tepat di samping telingaku.Saat ini wajah Mas Rama begitu dekat dengan wajahku. Kesempatan ini kugunakan untuk membalas serangannya dengan cara mencubit lehernya dengan kedua tanganku."Aaarrggghhh!"Ia mengerang kesakitan saat kuku-kukuku menancap di lehernya. Akhirnya cengkraman tangan Mas Rama pun terlepas karena saat ini ia merintih sambil memegangi lehernya. Gegas aku berdiri lalu menendang organ vitalnya dengan sekuat tenaga. "Aaaargghh!"Mas Rama mengerang kesakitan sambil berguling-guling di tanah. Sementara aku meraba-raba permukaan tanah untuk mencari pisau yang terpental entah kemana."Sarah?""Dimana kamu?"Terdengar suara Kak Dimas dari atas sana, aku menengadah lalu berteriak dengan melambai-lambaikan kedua tanganku."Kak Dimas! Aku di
Semoga saja video itu segera viral dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, hingga orang-orang di muka bumi ini membencinya."Dasar biadab! Ayo kita arak saja dia!"Satu orang warga mengikat kedua tangan Mas Rama ke belakang dengan kencang, lalu satu orang lagi mengalungkan tali pada lehernya dengan tambang panjang.Tali tersebut pun ditarik hingga mau, tidak mau Mas Rama harus berjalan mengikuti tali itu. Sungguh malang nasibmu Mas, kini kamu persis seperti hewan peliharaan yang sedang ditarik oleh pemiliknya."Ayo jalan! Kita datangi rumahmu itu!""Ya benar, siapa tahu masih ada tahanan wanita yang disembunyikan di dalam rumah itu!"Mas Rama diarak menuju rumahnya, semakin lama semakin banyak juga warga yang berdatangan. Bahkan warga luar daerah saja banyak yang berdatangan menggunakan motor. "Tolong, aku sudah tidak kuat! Kakiku terluka karena digigit binatang buas. Tolong, tolong aku, luka ini harus segera di tangani!" teriak Mas Rama dengan wajah memelas.Dari kakinya yang terluk
(Pov Rama)Sungguh menyakitkan rasanya, saat tubuhku lemah tidak berdaya tetapi tidak ada satu pun warga yang merasa iba.Dengan berteriak mereka mencaci maki dan menghinaku. Bahkan dalam keadaan telanjang mereka tidak segan-segan melempari tubuhku dengan menggunakan kayu serta batu. Beruntung polisi datang, sehingga aku bisa segera dibawa ke rumah sakit. Luka di kaki akibat gigitan binatang buas ketika di hutan itu terasa amat menyakitkan.Setelah habis dua botol cairan infus dan dua kantung darah barulah tubuhku kembali membaik, tidak terlalu lemas seperti tadi. Kenapa Sarah begitu tega, membiarkanku diarak warga dalam keadaan kakiku yang terluka parah seperti ini? Bahkan saat ini dia ada di luar, bersama dengan beberapa orang anggota polisi itu. Tetapi yang kucemaskan saat ini adalah ibu, entah ada dimana ia sekarang. Keadaan tidak memungkinkan untuknya menemuiku kemari dan aku juga tidak bisa menghubunginya karena daya ponselku yang habis.Namun, aku sedikit lega karena malam i
(Pov Rama)Jika kasus ini beredar, tidak menutup kemungkinan polisi akan segera menguak kasus ini sampai ke akar dan mereka yang terlibat dengan bisnis ibu pasti akan segera di tangkap.Semoga ibu segera bertindak agar hal itu tidak terjadi, karena bisa jadi nasibku akan menjadi lebih buruk, jika tidak ada lagi orang di luar sana yang bisa membantuku terbebas dari hukuman nanti. Aku yakin setelah ini, publik pasti akan terus mendesak aparat kepolisian untuk segera menyelesaikan kasus ini hingga tuntas."Kenapa, Mas? Kamu takut? Kok murung begitu? Aku kasih tahu ya, mulut netizen itu memang lebih sadis dari apapun apalagi mereka bisa menguak apa saja hanya dengan jejak digitalnya. Aku harap setelah ini kamu bisa menerima hukuman dengan lapang dada, karena sebentar lagi kejahatanmu dan keluargamu itu akan segera terbongkar," ucap Sarah lagi membuat mentalku semakin memburuk."Dasar laki-laki tak punya hati, sudah mau mati saja kamu sama sekali tidak mau meminta maaf pada orang-orang ya
(Sarah)Beberapa hari ini kami menginap di rumah Bu Yanti yang sebelumnya sudah di sewa Kak Dimas. Perempuan itu baik dan begitu penyayang terhadapku, beberapa kali ia mengungkapkan rasa sedihnya saat mendengar kisah hidupku dan bayiku.Beberapa hari ini kami semua juga sudah mendapatkan surat panggilan dari kantor polisi sebagai saksi sekaligus korban kejahatan Sulis dan keluarganya.Tetapi hingga saat ini Sulis belum juga tertangkap, keberadaannya masih menjadi misteri entah ada dimana. Terakhir aku bertemu dengannya, ia terluka di bagian wajahnya tetapi polisi tidak menemukan keberadaan Sulis, baik di rumah sakit ataupun di puskesmas desa ini. Aku yakin perempuan itu pasti melarikan diri ke Jakarta.Namun aku tidak menyerah, dengan yakin aku memberikan alamat lengkap apartemen Sulis di Jakarta dan polisi mengatakan akan terus mencari Keberadaan perempuan itu sampai ke Ibukota.Polisi juga mengatakan jika mereka akan memanggil kami lagi untuk dijadikan saksi sekaligus korban pada
Aku menyorotkan senter ke sekeliling, tidak ada pilihan lain selain memecahkan kaca jendela dapur karena kunci pintu depan dan belakang rumah ini pasti ada di tangan pihak kepolisian saat ini."Bagaimana jika kita pecahkan saja kaca jendela itu, Kak?"Kak Dimas menganggukkan kepala, ia pun pergi ke arah samping untuk mengambil sebuah batu besar lalu menghantamkannya beberapa kali ke arah kaca jendela hingga akhirnya kaca itu pun pecah berkeping-keping."Sebentar, Kakak bersihkan dulu pecahan kaca yang masih menempel pada kusennya."Terlihat masih ada banyak pecahan kaca yang terselip di kusen itu, dengan telaten Kak Dimas pun menyingkirkan pecahan kaca itu dengan menggunakan batu.Kak Dimas terlihat melepaskan kain korden yang tergantung di jendela lalu diserahkan ke padaku untuk membalut telapak tangan agar tidak tergores pecahan kaca itu."Gunakan kain ini supaya tanganmu tidak terluka!"Hingga akhirnya kami pun berhasil masuk ke dalam, berjalan menaiki anak tangga dalam keadaan ge
Entah berapa detik nafasku tertahan menatap laki-laki yang sedang melotot ke arah kami itu. Namun, tiba-tiba saja Kak Dimas langsung mencekik leher lelaki itu hingga terjadilah pergulatan diantara mereka.Mereka berguling-guling di lantai saling menindih dan saling memukul. Untuk beberapa saat aku terdiam terpaku, bingung harus berbuat apa."Sarah, cepat pergi dari sini!" ucap Kak Dimas sambil terus berusaha melumpuhkan lelaki itu.Membawa dompet berwarna hitam yang berisi kartu identitas milik Sulis, aku berlari kencang menuruni anak tangga lalu keluar menemui Iksan dan teman-temannya yang berjaga.Hah hah hahBerkali-kali aku menelan ludah dengan nafas yang terengah-engah. "To-tolong di dalam sana Kak Dimas diserang anak buah Sulis!" Aku berjongkok merasakan dada yang terasa sesak sambil terus mengusap keringat yang mulai bercucuran membasahi wajah."Tapi apa dompet itu sudah ditemukan Rah?" tanya Iksan dengan raut wajah panik."Sudah,""Syukurlah kalau begitu. Kamu, cepat bawa Sa
Benar saja, pemuda itu langsung melajukan motornya semakin kencang, bahkan tubuh ini rasanya melayang-layang di udara saking kencangnya.Namun, tiba-tiba saja ia mengerem motornya secara mendadak membuat dadaku menghantam keras punggung pemuda itu."Astaga! Ada apa sih?" bentakku merasa kesal."Lihat ke depan, Mbak."Mataku membeliak, melihat dua orang lelaki yang sedang menghadang kami di tengah jalan. Saat ini posisi kami benar-benar terdesak, sementara di belakang sana anak buah Sulis yang lain juga semakin mendekat."Apa Mbak membawa senjata api?" tanya pemuda ini.Terlihat kedua lelaki yang menghadang kami di depan sana sedang turun dari motornya lalu berjalan mendekat."Tidak ada, senjata api ada di tangan Kak Dimas dan Iksan. Bagaimana ini, aku tidak ingin menyerahkan dompet ini pada mereka?" Aku memukul-mukul punggung pemuda di depanku dengan rasa panik."Aha, aku punya ide. Pegangan yang kuat ya Mbak, kalau perlu tutup mata saja."Ia kembali menghidupkan motor dan melajukanny
(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t
Tiba di rumah Kevin."Syukurlah, kalian sudah sampai rumah, ayo masuk!" ucap Mbak Wati sambil membukakan pintu."Bagaimana keadaanmu, Dim?" tanya Mbak Wati pada Kak Dimas."Sudah lebih baik, Ti. Makasih ya disela-sela kesibukanmu mengurus Adinda kamu masih sempetin buat jengukin aku." Kak Dimas tersenyum manis.Ya, aku memang menceritakan pada Kak Dimas jika Mbak Wati selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya."Iya sama-sama.""Semoga kamu betah tinggal disini ya, Dim," sahut Kevin sambil tersenyum."Iya Vin, aku pasti betah tinggal disini kok, apalagi adaa..." Kak Dimas tidak melanjutkan ucapannya."Ada siapa hayoo? Ada Mbak Wati ya...?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Mbak Wati yang sedang menggendong Adinda pun tampak tersenyum dengan wajah memerah."Apa sih, Rah? Enggak kok.""Emm, ya udah deh. Yuk aku antar ke kamar, Kakak istirahat aja ya.""Maaf ya Rah, ngerepotin kamu jadinya," ujar kak Dimas."Nggak repot kok, masa ngurusin Kakak sendiri bilang repot
"Syukurlah Kakak sudah sadar," ucapku sambil berjalan ke ranjang rumah sakit dengan gembira. Kak Dimas perlahan membuka kelopak matanya dan berkata dengan susah payah."Air... Air..."Dengan cepat Mbak Wati mengambilkan gelas berisi air matang yang ada di atas nakas dan menyerahkannya padaku.Setelah meminum beberapa teguk air Kak Dimas melihat ke sekeliling."Sarah, kita ada dimana?""Kita ada di rumah sakit, Kak," jawabku."Rumah sakit?" Kak Dimas menatap ke depan dengan tatapan kosong sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu."Iya, Kakak mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari rumahku dan sudah beberapa hari ini Kakak mengalami koma.""Sudah berapa lama Kakak koma?" tanya Kak Dimas lagi."Lima hari.""Apa? Tapi Kakak merasa baru tidur beberapa jam saja," ucapnya sambil memegang kepalanya."Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kamu bisa mengalami kecelakaan, Dim?" tanya Mbak Wati."Saat perjalanan pulang dari rumah Kevin, pandangan mataku kabur karena cuaca malam
Kami kembali ke depan ruang ICU, Adinda pun sudah terlelap di pangkuan Kevin."Wati, kamu pulang saja ya biar aku dan Sarah saja yang menjaga Dimas. Kasihan Adinda kalau kita ajak tidur disini,” ucap Kevin pada Mbak Wati."Iya Mbak, kamu pulang sama Adinda ya, besok lagi saja kalau Mbak mau kesini," sahutku."Ya sudah kalau gitu Mbak pulang dulu ya Rah, Vin. Besok pagi aku akan kesini mengantarkan pakaian untuk kalian," ucap Mbak Wati."Iya Ti, supirku sudah menunggu di depan jadi kamu tidak perlu menunggu lama." "Iya, terimakasih.Mbak Wati pun akhirnya pulang ke rumah bersama Adinda.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya, aku merasakan leher ini begitu kaku dan nyut-nyutan, mungkin ini karena efek begadang semalaman di rumah sakit."Aargh..." Kevin pun terlihat merenggangkan tulang-tulangnya yang mungkin terasa kaku.Mata Kevin tampak berubah merah sebab tak tidur. Diliriknya jam yang tergantung di dinding rumah sakit, sudah menunjukkan pukul enam pagi."Sayang, Mas belikan sarap