Entah berapa detik nafasku tertahan menatap laki-laki yang sedang melotot ke arah kami itu. Namun, tiba-tiba saja Kak Dimas langsung mencekik leher lelaki itu hingga terjadilah pergulatan diantara mereka.Mereka berguling-guling di lantai saling menindih dan saling memukul. Untuk beberapa saat aku terdiam terpaku, bingung harus berbuat apa."Sarah, cepat pergi dari sini!" ucap Kak Dimas sambil terus berusaha melumpuhkan lelaki itu.Membawa dompet berwarna hitam yang berisi kartu identitas milik Sulis, aku berlari kencang menuruni anak tangga lalu keluar menemui Iksan dan teman-temannya yang berjaga.Hah hah hahBerkali-kali aku menelan ludah dengan nafas yang terengah-engah. "To-tolong di dalam sana Kak Dimas diserang anak buah Sulis!" Aku berjongkok merasakan dada yang terasa sesak sambil terus mengusap keringat yang mulai bercucuran membasahi wajah."Tapi apa dompet itu sudah ditemukan Rah?" tanya Iksan dengan raut wajah panik."Sudah,""Syukurlah kalau begitu. Kamu, cepat bawa Sa
Benar saja, pemuda itu langsung melajukan motornya semakin kencang, bahkan tubuh ini rasanya melayang-layang di udara saking kencangnya.Namun, tiba-tiba saja ia mengerem motornya secara mendadak membuat dadaku menghantam keras punggung pemuda itu."Astaga! Ada apa sih?" bentakku merasa kesal."Lihat ke depan, Mbak."Mataku membeliak, melihat dua orang lelaki yang sedang menghadang kami di tengah jalan. Saat ini posisi kami benar-benar terdesak, sementara di belakang sana anak buah Sulis yang lain juga semakin mendekat."Apa Mbak membawa senjata api?" tanya pemuda ini.Terlihat kedua lelaki yang menghadang kami di depan sana sedang turun dari motornya lalu berjalan mendekat."Tidak ada, senjata api ada di tangan Kak Dimas dan Iksan. Bagaimana ini, aku tidak ingin menyerahkan dompet ini pada mereka?" Aku memukul-mukul punggung pemuda di depanku dengan rasa panik."Aha, aku punya ide. Pegangan yang kuat ya Mbak, kalau perlu tutup mata saja."Ia kembali menghidupkan motor dan melajukanny
Pemuda itu masih melongo menatap wajahku, matanya yang bulat ditambah lubang hidungnya yang kembang kempis membuatku ingin tertawa kencang."Lihat ini," ujarku menyeringai tipis."I-ini, paspor Sulis Mbak?" tanya pemuda itu."Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya?" Aku memperagakan seseorang yang sedang viral di media sosial.Pemuda yang berdiri di hadapanku ini malah terbahak dengan wajah menengadah."Ketawa lagi, kutendang ke jurang tubuhmu nanti." Aku mendelikkan mata lalu berjongkok melihat ban motor yang pecah tak berbentuk."Gila sih ini, Mbak emang pandai! Aku malah nggak kepikiran dari tadi," sahutnya mengacungkan ke dua jempolnya ke arahku."Yaelah, gini-gini aku juga pinter kali," ucapku tersenyum tipis."Sudahlah, sekarang kita pikirkan bagaimana caranya kita pulang. Apa kamu bawa ponsel?" tanyaku."Bawa dong, bentar aku hubungi Iksan dulu," jawabnya sambil merogoh ponsel dari dalam sakunya."Oh iya kita belum sempat kenalan, siapa namamu?" tanyaku lagi."Mau tahu aja apa mau tah
Lelaki itu terlihat berpikir keras sambil mengalihkan pandangannya. Entah berapa banyak uang yang digunakan Sulis untuk membayar anak buahnya, hingga dalam keadaan terdesak saja mereka masih ingin membela perempuan itu."Hem, mungkin saat ini dia sedang dalam perjalanan menuju Ibukota, aku sudah berbicara sekarang cepat lepaskan aku!" bentak lelaki itu."Jangan coba-coba untuk berbohong ya! Cepat katakan yang sebenarnya!" bentak Kevin lagi sambil mentoyor kepala anak buah Sulis menggunakan moncong pistolnya."Aku tidak berbohong! Lagi pula temanku sudah mendapatkan dompet hitam yang berisi paspor itu, bisa saja malam ini Nyonya langsung meninggalkan Indonesia," jawab lelaki itu menyeringai."Sekarang katakan dimana alamat lengkap Sulis bersembunyi!" "Aku sudah bilang jika dia sedang dalam perjalanan menuju Ibukota. Apa kalian tuli, hah?"Feelingku mengatakan jika lelaki ini benar, sepertinya Sulis sudah percaya diri mendapatkan paspor dan kartu identitasnya untuk melarikan diri ke lu
"Apa? Sulis membakar rumah kita?" tanya Mama panik."Iya Ma, coba lihat video ini! Bagian dapur rumah kita sudah terbakar," jawab Kak Dimas sambil memperlihatkan layar ponselnya ke arahku dan Mama.Benar saja bagian dapur terlihat api sudah membumbung tinggi, jika petugas pemadam kebakaran terlambat sudah pasti rumah itu akan terbakar semuanya."Dimas, kemarikan ponselnya! Biar aku hubungi temanku yang seorang petugas pemadam kebakaran," ujar Kevin.Kali ini aku tidak bisa berpikir jernih, rasanya aku tidak rela jika rumah peninggalan kakekku itu harus terbakar hanya karena perempuan itu."Halo Rian, ada kebakaran di blok B kompleks Perumahan Permai. Apakah kamu sudah mendapatkan laporan?"Terdengar Kevin sedang berbicara dengan seseorang di sambungan teleponnya. Sedangkan aku hanya bisa diam dengan perasaan yang hancur, rasa benci ini kian membara setelah melihat Sulis tidak habis-habisnya menghancurkan kebahagiaanku."Baiklah, tolong cepat ya. Aku dan keluarga yang rumahnya terbakar
Saat ini matahari telah benar-benar terbit, cahayanya pun menyeruak masuk ke dalam rumah bersamaan dengan dibukanya pintu rumah ini lebar-lebar.Tiba-tiba dari arah belakang aku mendengar suara benda jatuh, dengan secepat kilat aku berlari menghampiri asal suara itu. Ternyata di dapur ada seorang lelaki yang sedang mengutak-atik tabung gas milikku."Hei, siapa kamu?!" teriakku, orang itu langsung membalikkan badan dengan raut wajah terkejut.Dapat dipastikan lelaki itu merupakan orang suruhan Sulis yang ditugaskan untuk membakar rumah ini juga."Ada apa, Rah?"Kak Dimas dan Kevin masuk ke dapur dan mendapati lelaki itu yang kebingungan karena sudah terkepung."Oh ada kamu rupanya?"Kevin langsung menodongkan senjata api ke arah lelaki itu, sepertinya ia sedikit ketakutan karena jumlah kami yang lebih banyak sementara ia hanya seorang diri.Kevin memberi kode pada Kak Dimas untuk maju dan melumpuhkan lelaki itu, sementara dirinya tetap menodongkan senjata apinya."Ayo ikut!" tegas Kak
(Pov Sulis)"Dasar bodoh! Ini dompetnya kosong, kemana isinya, hah?" Aku melemparkan dompet itu ke wajah anak buahku."Apa?"Mereka malah melongo, menatap dompet yang terjatuh ke lantai lalu dengan tangan bergetar mereka pun mengambil benda itu."Maaf Nyonya, sepertinya paspor dan kartu identitas Nyonya sudah diambil oleh Sarah. Maafkan kami tidak mengecek isinya terlebih dulu sebelum kami pergi.""Dasar tidak berguna! Cepat kalian cari perempuan itu dan jangan kembali sebelum kalian berhasil mendapatkan semua kartu identitasku!" "Baik Nyonya."Dasar menantu tidak tahu diri! Lihat saja kau Sarah, akan aku buat kau malu seumur hidupmu!Bukan hanya mengomersialkan videonya tetapi aku akan menyebarluaskan video syurnya itu pada komunitas lelaki hidung belang. Aku harap para lelaki itu memburu Sarah karena penasaran terhadap tubuhnya.Tiba-tiba ponselku bergetar, ada sebuah pesan video masuk ke ponselku. Mata ini membeliak kala melihat isi video itu.Ternyata Sarah sudah membakar paspor
"Hahaha..."Tiba-tiba terdengar suara tawa seorang lelaki dari arah belakang. Mataku membulat saat melihat seorang lelaki dewasa berjalan lalu duduk di sampingku sambil cengar-cengir menampilkan deretan giginya yang kuning.Sepertinya lelaki ini mengalami gangguan jiwa, karena ia tidak berhenti tertawa dan tidak terkejut dengan kehadiranku.Rambutnya gondrong dengan kumis dan jenggot yang menghiasi wajahnya yang bersih. "Emm! Emmm! Emmm!"Aku mengerang berharap lelaki itu mengerti jika aku memintanya untuk membuka ikatan di tangan dan kakiku ini.Tetapi lelaki itu malah tak henti-hentinya tertawa, Setelah itu ia menyenderkan punggungnya ke dinding sambil menatap wajahku dengan tatapan kosong."Emmm! Emmmm! Emmm!"Tenggorokanku rasanya sakit karena terlalu keras mengerang, tetapi lelaki itu masih tetap diam dan menatapku dengan tatapan kosong. Sial, lelaki gila ini memang tidak bisa diandalkan.Aku hanya bisa pasrah karena tubuhku yang lemah tidak bisa membuka ikatan kaki dan tanganku
(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t
Tiba di rumah Kevin."Syukurlah, kalian sudah sampai rumah, ayo masuk!" ucap Mbak Wati sambil membukakan pintu."Bagaimana keadaanmu, Dim?" tanya Mbak Wati pada Kak Dimas."Sudah lebih baik, Ti. Makasih ya disela-sela kesibukanmu mengurus Adinda kamu masih sempetin buat jengukin aku." Kak Dimas tersenyum manis.Ya, aku memang menceritakan pada Kak Dimas jika Mbak Wati selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya."Iya sama-sama.""Semoga kamu betah tinggal disini ya, Dim," sahut Kevin sambil tersenyum."Iya Vin, aku pasti betah tinggal disini kok, apalagi adaa..." Kak Dimas tidak melanjutkan ucapannya."Ada siapa hayoo? Ada Mbak Wati ya...?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Mbak Wati yang sedang menggendong Adinda pun tampak tersenyum dengan wajah memerah."Apa sih, Rah? Enggak kok.""Emm, ya udah deh. Yuk aku antar ke kamar, Kakak istirahat aja ya.""Maaf ya Rah, ngerepotin kamu jadinya," ujar kak Dimas."Nggak repot kok, masa ngurusin Kakak sendiri bilang repot
"Syukurlah Kakak sudah sadar," ucapku sambil berjalan ke ranjang rumah sakit dengan gembira. Kak Dimas perlahan membuka kelopak matanya dan berkata dengan susah payah."Air... Air..."Dengan cepat Mbak Wati mengambilkan gelas berisi air matang yang ada di atas nakas dan menyerahkannya padaku.Setelah meminum beberapa teguk air Kak Dimas melihat ke sekeliling."Sarah, kita ada dimana?""Kita ada di rumah sakit, Kak," jawabku."Rumah sakit?" Kak Dimas menatap ke depan dengan tatapan kosong sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu."Iya, Kakak mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari rumahku dan sudah beberapa hari ini Kakak mengalami koma.""Sudah berapa lama Kakak koma?" tanya Kak Dimas lagi."Lima hari.""Apa? Tapi Kakak merasa baru tidur beberapa jam saja," ucapnya sambil memegang kepalanya."Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kamu bisa mengalami kecelakaan, Dim?" tanya Mbak Wati."Saat perjalanan pulang dari rumah Kevin, pandangan mataku kabur karena cuaca malam
Kami kembali ke depan ruang ICU, Adinda pun sudah terlelap di pangkuan Kevin."Wati, kamu pulang saja ya biar aku dan Sarah saja yang menjaga Dimas. Kasihan Adinda kalau kita ajak tidur disini,” ucap Kevin pada Mbak Wati."Iya Mbak, kamu pulang sama Adinda ya, besok lagi saja kalau Mbak mau kesini," sahutku."Ya sudah kalau gitu Mbak pulang dulu ya Rah, Vin. Besok pagi aku akan kesini mengantarkan pakaian untuk kalian," ucap Mbak Wati."Iya Ti, supirku sudah menunggu di depan jadi kamu tidak perlu menunggu lama." "Iya, terimakasih.Mbak Wati pun akhirnya pulang ke rumah bersama Adinda.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya, aku merasakan leher ini begitu kaku dan nyut-nyutan, mungkin ini karena efek begadang semalaman di rumah sakit."Aargh..." Kevin pun terlihat merenggangkan tulang-tulangnya yang mungkin terasa kaku.Mata Kevin tampak berubah merah sebab tak tidur. Diliriknya jam yang tergantung di dinding rumah sakit, sudah menunjukkan pukul enam pagi."Sayang, Mas belikan sarap