(Pov Sarah)Sudah beberapa hari ini aku dan Kevin memantau rumah yang kudatangi kemarin dibantu oleh Alex yang merupakan teman Kevin. Namun, Sulis sama sekali tidak nampak di sana bahkan anak buah Sulis yang terlihat hanya beberapa orang saja, entah kemana yang lainnya."Bagaimana? Apakah kamu mendapatkan sesuatu?" tanya Kevin pada Alex.Lelaki itu ditugaskan untuk mencari informasi soal Sulis dari para anak buahnya. Keadaan tidak memungkinkan bagi kami untuk bertanya langsung pada mereka, karena semua anak buah Sulis sudah mengenali wajahku, Kak Dimas dan Kevin."Ternyata Sulis menghilang beberapa hari ini dan mereka semua sedang sibuk mencari perempuan itu kemana-mana," ujar Alex sambil melepas jaket kulitnya."Apa anak buah Sulis mengatakan terakhir kali Sulis pergi kemana dan menemui siapa?" tanyaku.Sangat tidak mungkin Sulis bepergian seorang diri tanpa mengatakan apapun pada salah satu anak buahnya. Padahal sejak dulu aku sangat tahu jika Sulis selalu bepergian membawa beberapa
Dari awal aku bercerita, Tasya banyak menyangkal. Sepertinya ia tidak percaya jika Mas Rama dan keluarganya sejahat itu."Asal kamu tahu ya Sya, aku sudah banyak bertarung dengan anak buah Sulis bahkan sampai ke hutan belantara. Dengan mata kepalaku sendiri, aku menyaksikan semua kekejaman Mas Rama dan keluarganya di desa itu, bahkan keluargaku dan Kevin yang menjadi saksinya. Mereka itu sangat kejam, menghalalkan segala cara hanya demi uang.""Oh Tuhan, jadi kamu menikah dengan orang yang salah? Jika begini aku jadi makin takut saja jika harus memilih seorang suami," ujar Tasya melongo.Aku mengerlingkan mata, kenapa ia jadi curhat?"Yang sabar ya Rah, aku berharap semoga bayimu itu cepat ditemukan. Pasti menyedihkan sekali berpisah dengan anak yang baru saja kita lahirkan." Ia menatap wajahku dengan tatapan prihatin."Aku jadi ingin bertemu Rama, ingin kutendang saja wajahnya itu. Keterlaluan banget sih! Udah jadi suami dan ayah juga, malah banyak tingkah. Dasar lelaki tak punya hat
(Pov Sulis)Air mataku tidak berhenti mengalir kala melihat Gilang makan dengan lahapnya, tangan kurusnya bergetar ketika ia menyuapkan nasi ke mulutnya. Mengunyah dengan ritme yang begitu cepat, seolah-olah ia tidak diberi makan berhari-hari."Emmm! Emmm!"Sambil mengunyah makanan Gilang menatap wajahku perlahan, terbengong untuk beberapa detik, namun tak sampai tiga detik perhatiannya kembali fokus pada makanannya. Tidak berselang lama pintu ruangan kembali terbuka, wanita yang mengenakan sebo itu masuk kembali."Sudah selesai belum makannya?! Kalau makan itu yang cepat! Itu lagi nasinya kok berantakan, cepat pungut!" teriak wanita itu dengan lantang.Dengan tangan bergetar Gilang memungut nasi yang berserakan di lantai satu persatu. Namun, wanita itu malah merebut piring yang ada di tangan Gilang dengan kasar, padahal di piring itu masih ada nasi yang tersisa."Makanya kalau makan yang cepat! Aku nggak punya banyak waktu untuk menunggu kamu selesai makan. Sekarang habis nggak habi
"Bukan aku yang mengurung putramu, Sulis. Tapi dia dikurung karena perbuatannya sendiri, kamu harus tau anakmu itu tumbuh menjadi anak yang berandalan, sering mabuk dan mengonsumsi obat-obatan terlarang sejak usianya menginjak remaja. Dia sudah berkali-kali masuk rumah sakit jiwa tetapi tidak sembuh-sembuh juga, hingga akhirnya jalan terakhir adalah mengurungnya.""Ha ha ha ha.."Rista tertawa lagi, ada banyak pertanyaan yang terbesit dalam benakku. Sebenarnya siapa yang mengasuh putraku selama ini? Apakah ia diasuh oleh Rista?"Aku sangat puas melihat putramu hancur dan merasakan sakit setiap harinya. Apa kamu ingin tahu siapa orang yang berperan besar memberikan obat-obatan terlarang itu?" tanya Ratih.Dadaku berdebar hebat saat ini, aku tidak siap mendengar hal buruk selanjutnya tentang Gilang. Duniaku seakan runtuh melihat hidup putraku hancur."Aku, Sulis. Akulah orang yang berperan besar sehingga Gilang bisa mengonsumsi obat-obatan terlarang itu!" teriaknya lagi di depan telinga
"Gilang, Gilang ayo bangun! Gak boleh tidur Nak, gak boleh!"Aku menepuk-nepuk pipi kurus Gilang, tetapi ia tetap diam dan tidak bergeming lalu aku menempelkan jari telunjuk ke bawah hidungnya, tidak ada udara yang ia hembuskan.Oh tidak, aku pasti salah menduga-duga. Ini pasti karena cuaca yang begitu dingin sehingga aku tidak bisa merasakan hembusan nafasnya."Tolong! Tolong!" teriakku sambil menangis.Lalu dari kejauhan terdengar suara deru mobil yang datang."Gilang bertahanlah!" Gegas aku berlari ke tengah jalan raya, berusaha menghentikan mobil yang lewat. "Tolong, tolong saya!" teriakku sambil melambaikan-lambaikan tangan.Laju kendaraan itu pun berhenti, lalu dua orang pemuda terlihat keluar dari dalam mobilnya."Ada apa Bu? Kenapa Ibu berdiri di tengah jalan?" tanya salah satu pemuda."Mas, tolong kami. Kami habis di rampok, putra sulung saya..." Aku menoleh ke tempat dimana Gilang berada."Terluka karena... di keroyok oleh preman tadi. Saya mohon bantu saya membawanya ke r
(Pov Sarah)Mengabaikan Mbak Linda aku memacu motor mengikuti kemana wanita bernama Fransisca itu akan pergi. Ini menyangkut bayiku sedangkan mama bisa diurus siapa saja, lagi pula Mbak Linda bukan bayi yang tidak bisa berbicara dan bertanya.Setelah lama mengikuti akhirnya mobil Fransisca masuk ke sebuah kompleks perumahan yang terkenal sangat elit, terbilang hanya orang-orang konglomerat sajalah yang mampu memiliki salah satu rumah di antara kompleks perumahan ini. Rumah-rumahnya megah dan mewah menjulang begitu gagahnya. Entah berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk memiliki satu buah rumah di dalam kompleks perumahan ini. Karena hari sudah malam para satpam di sana sampai meminta kartu identitasku. Tak lupa mereka mengajukan beberapa pertanyaan kenapa aku mendatangi perumahan ini di malam hari.Sedikit tertinggal karena aku harus menjawab beberapa pertanyaan para penjaga, tetapi untungnya aku tidak sampai kehilangan jejaknya. Ternyata mobil Fransisca sudah masuk ke sebuah
"Apa? Diculik katamu?" tanyaku dengan nada meninggi.Merasa kesal saja, mengapa Mbak Linda tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri? Mengapa harus aku pula yang ikut turun tangan."Iya Sarah, tadi Mbak tinggal sebentar ke kantin pas kembali Mama udah nggak ada. Suster bilang katanya udan dibawa pihak keluarga karena mau dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar. Mbak juga udah telepon Dimas, tapi dia sama sekali nggak tau apa-apa."Mbak Linda menjelaskan dengan panik, aku berdecak kesal karena merasa buntu. Di satu sisi aku khawatir pada Mama tapi di sisi lain aku sedang memikirkan cara untuk membawa kabur bayi ini."Sarah, dia Mama kamu juga kan? Ayo lakukan sesuatu, lagi pula kamu lagi dimana sih? Kok dari tadi Mbak tungguin nggak datang-datang juga?" Kali ini Mbak Linda seperti menyalahkanku."Biasakan kalau ada masalah itu tenang dan gunakan otak untuk berpikir. Mbak mau tahu sekarang aku ada dimana? Aku sedang mencari putriku saat ini!" ucapku dengan suara sedikit ada penekanan
"Kakak tenang saja, aku bisa jaga diri kok. Buktinya aku tidak tertangkap kan? Tadi tuh hampir saja aku bisa membawa bayiku, tapi karena Mbak Linda menelepon otakku langsung buyar gak bisa berpikir."Mbak Linda menoleh ke belakang dengan bersimbah air mata."Jadi maksudnya kamu nyalahin Mbak? Mama lebih penting karena dia dalam bahaya, Rah. Kamu harus ingat dia itu Mama kamu juga!""Aku tahu, tapi Mama sudah dewasa lagi pula Mbak sendiri ngapain cuma jagain Mama sebentar saja masa bisa kecolongan! Terus apa maksud Mbak bicara seperti itu, seolah-olah bayiku tidak penting begitu?" sahutku kesal."Bukannya nggak penting Rah, tapi saat ini Mama yang lebih membutuhkan pertolongan kita. Sedangkan bayimu baik-baik saja kan di sana?" ucapnya dengan terisak.Entah kenapa aku merasa keberatan dengan argumen Mbak Linda yang seolah-olah menganggap remeh bayiku."Kata siapa bayiku baik-baik saja di sana? Dia di asuh oleh perempuan yang memiliki bisnis kotor, sama dengan Sulis. Bayiku juga dalam
(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t
Tiba di rumah Kevin."Syukurlah, kalian sudah sampai rumah, ayo masuk!" ucap Mbak Wati sambil membukakan pintu."Bagaimana keadaanmu, Dim?" tanya Mbak Wati pada Kak Dimas."Sudah lebih baik, Ti. Makasih ya disela-sela kesibukanmu mengurus Adinda kamu masih sempetin buat jengukin aku." Kak Dimas tersenyum manis.Ya, aku memang menceritakan pada Kak Dimas jika Mbak Wati selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya."Iya sama-sama.""Semoga kamu betah tinggal disini ya, Dim," sahut Kevin sambil tersenyum."Iya Vin, aku pasti betah tinggal disini kok, apalagi adaa..." Kak Dimas tidak melanjutkan ucapannya."Ada siapa hayoo? Ada Mbak Wati ya...?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Mbak Wati yang sedang menggendong Adinda pun tampak tersenyum dengan wajah memerah."Apa sih, Rah? Enggak kok.""Emm, ya udah deh. Yuk aku antar ke kamar, Kakak istirahat aja ya.""Maaf ya Rah, ngerepotin kamu jadinya," ujar kak Dimas."Nggak repot kok, masa ngurusin Kakak sendiri bilang repot
"Syukurlah Kakak sudah sadar," ucapku sambil berjalan ke ranjang rumah sakit dengan gembira. Kak Dimas perlahan membuka kelopak matanya dan berkata dengan susah payah."Air... Air..."Dengan cepat Mbak Wati mengambilkan gelas berisi air matang yang ada di atas nakas dan menyerahkannya padaku.Setelah meminum beberapa teguk air Kak Dimas melihat ke sekeliling."Sarah, kita ada dimana?""Kita ada di rumah sakit, Kak," jawabku."Rumah sakit?" Kak Dimas menatap ke depan dengan tatapan kosong sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu."Iya, Kakak mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari rumahku dan sudah beberapa hari ini Kakak mengalami koma.""Sudah berapa lama Kakak koma?" tanya Kak Dimas lagi."Lima hari.""Apa? Tapi Kakak merasa baru tidur beberapa jam saja," ucapnya sambil memegang kepalanya."Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kamu bisa mengalami kecelakaan, Dim?" tanya Mbak Wati."Saat perjalanan pulang dari rumah Kevin, pandangan mataku kabur karena cuaca malam
Kami kembali ke depan ruang ICU, Adinda pun sudah terlelap di pangkuan Kevin."Wati, kamu pulang saja ya biar aku dan Sarah saja yang menjaga Dimas. Kasihan Adinda kalau kita ajak tidur disini,” ucap Kevin pada Mbak Wati."Iya Mbak, kamu pulang sama Adinda ya, besok lagi saja kalau Mbak mau kesini," sahutku."Ya sudah kalau gitu Mbak pulang dulu ya Rah, Vin. Besok pagi aku akan kesini mengantarkan pakaian untuk kalian," ucap Mbak Wati."Iya Ti, supirku sudah menunggu di depan jadi kamu tidak perlu menunggu lama." "Iya, terimakasih.Mbak Wati pun akhirnya pulang ke rumah bersama Adinda.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya, aku merasakan leher ini begitu kaku dan nyut-nyutan, mungkin ini karena efek begadang semalaman di rumah sakit."Aargh..." Kevin pun terlihat merenggangkan tulang-tulangnya yang mungkin terasa kaku.Mata Kevin tampak berubah merah sebab tak tidur. Diliriknya jam yang tergantung di dinding rumah sakit, sudah menunjukkan pukul enam pagi."Sayang, Mas belikan sarap