Oh Tuhan, apa yang harus kulakukan sekarang? Kenapa ia tidak ikut tertidur seperti yang lainnya?"Bang Anton!" ucap Mbak Wati."Ngapain kalian disini?" tanya lelaki itu dengan tatapan menyelidik."Memangnya kenapa? Yang sopan ya kalau berbicara denganku, apa kamu lupa aku ini siapa?" ucapku sinis.Lelaki itu malah menyeringai."Ini masih pagi, tetapi kenapa semua orang bisa tertidur pulas? Dan anehnya tidak ada satupun orang yang bisa dibangunkan. Sementara kalian berada disini dengan keadaan terjaga. Apa yang sudah kalian lakukan, hah?" ujar penjaga bernama Anton itu.Rupanya ia sudah mulai mencurigaiku, apa boleh buat aku juga harus melenyapkan lelaki ini seperti Edy, beruntungnya tadi aku sempat menyelipkan sebuah belati di pinggangku sehingga aku tidak perlu pusing lagi untuk menyingkirkan Anton menggunakan alat apa."Saya hanya menemani Nona berkeliling sambil berfoto Bang," sahut Mbak Wati."Jangan bohong! Kamu pikir aku akan percaya dengan wanita jalang sepertimu, hah? Cepat mi
"Haha, mungkin. Tapi untungnya mayat itu sudah berhasil keluar Non. Oh iya, itu Kakak Nona sekarang sudah sampai mana?" "Sebentar Mbak, aku telepon dulu," ucapku sambil membuka layar ponsel lalu menghubungi nomor Kak Dimas."Halo. Bagaimana Rah?" ucap Kak Dimas di seberang sana."Sudah sampai dimana Kak? Apa masih jauh?""Sebentar lagi Rah, tunggu saja. Apa mayatnya sudah dibungkus?" tanya Kak Dimas."Sudah Kak, sudah kita masukkan ke dalam karung besar, tapi kalau bisa cepat ya Kak. Soalnya aku takut semua penghuni rumah keburu bangun,""Iya sabar dulu ya, ini Kakak juga sudah cepat kok. Kamu tunggu saja di tempat yang aman dan jangan sampai ada orang yang curiga saat melihat karung itu,""Baiklah," ucapku lalu menutup panggilan telepon.Aku berjalan mondar-mandir di dekat tembok pembatas dengan perasaan tegang, takut saja jika ada orang lain yang melihat karung itu."Mbak, menurutmu apa kita perlu pergi sekarang lalu melapor pada polisi? Mengingat aku sudah memiliki cukup bukti dan
"Ayo Mbak, kita harus cepat bersembunyi," ucapku sambil menatap Mbak Wati dengan panik.Kami pun buru-buru melangkah untuk bersembunyi, aku yang bersembunyi di balik lemari besar sementara Mbak Wati bersembunyi di bawah meja.Tak lama kemudian terdengar suara seperti batu yang digesekkan lalu terdengar suara dua orang laki-laki yang sedang mengobrol."Kemana sih si Anton di hubungi nggak bisa-bisa, Surya ditelepon juga nggak diangkat-angkat?" "Nggak tau tuh, kita kan juga sumpek jaga di bawah terus. Pada ngilang, nggak mau gantian jaga kali!?""Loh, kok gemboknya kebuka?" ucap salah satu penjaga yang hendak membuka pintu.Aku melotot menatap Mbak Wati yang ada di kolong meja, mereka pasti curiga kalau ada orang yang masuk ke dalam gudang. Semoga saja mereka tidak menggeledah ruangan ini, karena aku sudah cukup dan tidak ingin membunuh lagi."Iya ya? Apa mereka lupa mengunci gembok lagi?" "Entahlah, sudah biarin aja kita ke dapur saja yok sarapan dulu laper nih,"Lalu suara mereka p
Memang bukan hal mudah jika harus kabur dari tempat ini, tetapi kita harus berani agar kita bisa secepatnya bebas dari jerat tali kejahatan keluarga ini."Tetapi jika Mbak belum siap tidak apa-apa, aku akan pergi sendiri lalu melapor pada pihak kepolisian, kamu bisa menunggu di sini. Semoga bukti-bukti yang ada membuat polisi segera menggerebek tempat ini,""Aku ingin sekali ikut pergi dengan Nona, tetapi apa Nona yakin kita akan berhasil? Karena di setiap sudut desa ini banyak sekali orang suruhan Nyonya Sulis," Mbak Wati menatapku ragu."Aku yakin Mbak. Selagi kita belum mencoba, mana kita tahu hasil akhirnya," "Kalau begitu kamu pikir-pikir dulu saja, nanti setelah makan malam beri aku sebuah keputusan mau ikut atau tidak. Jika ikut, bawa barang yang diperlukan saja dan jangan membawa barang yang tidak berguna karena itu hanya akan merepotkan kita saat berlari nanti," ucapku lagi."Baiklah Nona."Tiba-tiba terdengar suara bel berbunyi, sepertinya ada tamu yang datang.Ting tung...
Mataku menyipit karena cahaya senter itu cukup menyilaukan mata, di depan sana terlihat ada dua orang laki-laki yang menghadang langkah kami. "Nona, bagaimana ini? Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Mbak Wati yang tampak ketakutan.Aku hanya diam, berpikir bagaimana caranya aku bisa melawan kedua orang itu. "Mbak, pindahkan tasmu ke depan jika mereka sudah dekat lemparkan pada mereka benda yang kita siapkan tadi," bisikku pada Mbak Wati.Kedua lelaki itu semakin mendekat, ternyata salah satu diantara mereka ada yang membawa senapan panjang, sepertinya mereka pengawal Ibu yang sedang berjaga di desa ini."Nona, aku sudah curiga denganmu sejak beberapa hari yang lalu dan ternyata kecurigaanku itu benar. Mau pergi kemana kalian tengah malam seperti ini?" tanya salah seorang pengawal Ibu."Apa Nona sudah mengetahui tentang rahasia Nyonya Sulis sehingga Nona berusaha melarikan diri saat ini?" tanya lelaki disebelahnya sambil menodongkan senapan ke arah kepalaku."Kamu juga Wati,
"Nona, bagaimana jika kita dorong mayat mereka ke jurang sana, di bawah sana itu hutan belantara pasti di sana banyak binatang buas yang siap memangsa mayat mereka," ujar Mbak Wati.Aku menoleh ke samping kanan, benar saja ternyata lima meter dari kami berdiri ada sebuah jurang yang cukup dalam."Baiklah, ayo kita seret mayat dua orang itu lalu kita lemparkan ke bawah sana, tapi pakai ini."Aku memberikan sepasang sarung tangan pada Mbak Wati, untung saja sebelum pergi tadi aku sempat mengambil beberapa sarung tangan plastik di dapur.Dalam kegelapan kami pun menyeret ke dua mayat itu dengan sekuat tenaga mendekati tepi jurang. "Ayo kita lempar ke bawah sana, Mbak."Aku menghirup nafas dalam, sebenarnya ada rasa bersalah di dalam lubuk hati ini. Aku sudah banyak membunuh beberapa pengawal Ibu. Tetapi aku terpaksa, karena jika mereka tidak ku bunuh, merekalah yang akan membunuhku.Mayat ke dua orang itu sudah kami lemparkan ke bawah sana, tapi saat menyorotkan senter ke bawah tubuh me
Seharusnya saat ini kami sedang mengistirahatkan badan, tetapi kami malah harus dikejutkan dengan kedatangan segerombolan lelaki, yang entah mereka siapa."Ayo kita dobrak pintunya! Dia pasti ada di dalam!" Terdengar suara lelaki di depan pintu rumah ini."Non, mereka siapa? Katanya rumah ini aman," Mbak Wati memegang tanganku dengan erat."Ayo kalian ikut Kakak!"Kami berlari mengikuti Kak Dimas menuju ke arah dapur, dengan gerak cepat ia mengambil tangga lalu meletakkannya tepat di bawah plafon yang berlubang."Cepat naik ke atas!" titah Kak Dimas.Dengan tubuh bergetar aku melangkah menaiki tangga lalu duduk di atas plafon rumah ini terlebih dahulu.Kemudian Mbak Wati terlihat menyusulku naik ke atas, aku pun bergeser lebih dalam agar tempat ini cukup untuk bersembunyi kami bertiga. Karena tak berselang lama, Kak Dimas ikut naik lalu ia menutup lubang tadi dengan rapat.Dalam ruangan yang begitu gelap aku hanya bisa berdoa semoga saja plafon rumah ini kuat menahan beban kami bertig
Tak berselang lama, terlihat Kak Dimas kembali dengan langkah perlahan, ia membetulkan tangga lalu menyuruh kami turun ke bawah.Dengan tubuh bergetar dan baju yang masih dalam keadaan basah aku mulai turun ke bawah sana dengan membawa senapan serta tas bawaanku."Kak, Mbak Wati pingsan di atas, bagaimana ini?" "Apaa.. pingsan?"Kak Dimas tampak berdecak, aku tahu pingsannya Mbak Wati justru semakin menambah kesulitannya."Cepat kamu ganti baju dulu, jalan pelan-pelan saja anak buah Diky sedang tidur di ruang tamu," bisik Kak Dimas."Iya, Kak."Aku masuk ke dalam kamar, berganti pakaian menggunakan celana Kak Dimas dan juga kaos miliknya. Sedikit longgar tapi tidak masalah dari pada aku harus menggunakan pakaian yang basah. Aku dan Mbak Wati memang sengaja tidak membawa baju ganti karena itu akan menambah beban kami saat berlari.Dan sekarang aku bingung, bagaimana dengan Mbak Wati? Ia memiliki tubuh yang kecil, jika memakai baju Kak Dimas pasti ia akan sangat kebesaran."Ini, pakai
(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t
Tiba di rumah Kevin."Syukurlah, kalian sudah sampai rumah, ayo masuk!" ucap Mbak Wati sambil membukakan pintu."Bagaimana keadaanmu, Dim?" tanya Mbak Wati pada Kak Dimas."Sudah lebih baik, Ti. Makasih ya disela-sela kesibukanmu mengurus Adinda kamu masih sempetin buat jengukin aku." Kak Dimas tersenyum manis.Ya, aku memang menceritakan pada Kak Dimas jika Mbak Wati selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya."Iya sama-sama.""Semoga kamu betah tinggal disini ya, Dim," sahut Kevin sambil tersenyum."Iya Vin, aku pasti betah tinggal disini kok, apalagi adaa..." Kak Dimas tidak melanjutkan ucapannya."Ada siapa hayoo? Ada Mbak Wati ya...?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Mbak Wati yang sedang menggendong Adinda pun tampak tersenyum dengan wajah memerah."Apa sih, Rah? Enggak kok.""Emm, ya udah deh. Yuk aku antar ke kamar, Kakak istirahat aja ya.""Maaf ya Rah, ngerepotin kamu jadinya," ujar kak Dimas."Nggak repot kok, masa ngurusin Kakak sendiri bilang repot
"Syukurlah Kakak sudah sadar," ucapku sambil berjalan ke ranjang rumah sakit dengan gembira. Kak Dimas perlahan membuka kelopak matanya dan berkata dengan susah payah."Air... Air..."Dengan cepat Mbak Wati mengambilkan gelas berisi air matang yang ada di atas nakas dan menyerahkannya padaku.Setelah meminum beberapa teguk air Kak Dimas melihat ke sekeliling."Sarah, kita ada dimana?""Kita ada di rumah sakit, Kak," jawabku."Rumah sakit?" Kak Dimas menatap ke depan dengan tatapan kosong sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu."Iya, Kakak mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari rumahku dan sudah beberapa hari ini Kakak mengalami koma.""Sudah berapa lama Kakak koma?" tanya Kak Dimas lagi."Lima hari.""Apa? Tapi Kakak merasa baru tidur beberapa jam saja," ucapnya sambil memegang kepalanya."Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kamu bisa mengalami kecelakaan, Dim?" tanya Mbak Wati."Saat perjalanan pulang dari rumah Kevin, pandangan mataku kabur karena cuaca malam
Kami kembali ke depan ruang ICU, Adinda pun sudah terlelap di pangkuan Kevin."Wati, kamu pulang saja ya biar aku dan Sarah saja yang menjaga Dimas. Kasihan Adinda kalau kita ajak tidur disini,” ucap Kevin pada Mbak Wati."Iya Mbak, kamu pulang sama Adinda ya, besok lagi saja kalau Mbak mau kesini," sahutku."Ya sudah kalau gitu Mbak pulang dulu ya Rah, Vin. Besok pagi aku akan kesini mengantarkan pakaian untuk kalian," ucap Mbak Wati."Iya Ti, supirku sudah menunggu di depan jadi kamu tidak perlu menunggu lama." "Iya, terimakasih.Mbak Wati pun akhirnya pulang ke rumah bersama Adinda.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya, aku merasakan leher ini begitu kaku dan nyut-nyutan, mungkin ini karena efek begadang semalaman di rumah sakit."Aargh..." Kevin pun terlihat merenggangkan tulang-tulangnya yang mungkin terasa kaku.Mata Kevin tampak berubah merah sebab tak tidur. Diliriknya jam yang tergantung di dinding rumah sakit, sudah menunjukkan pukul enam pagi."Sayang, Mas belikan sarap