"Lalu bagaimana dengan Om Wisnu, Kak? Kapan jenazahnya akan dimakamkan?" tanyaku."Jenazahnya sudah dibawa pulang oleh Om Darma, itu urusannya Kakak gak mau ikut campur, Rah. Biar Om Darma saja yang mengurusnya," jawabnya."Kalau Om Darma pulang, berarti sekarang Kevin sendirian dong di rumah sakit?" tanyaku lagi."Tidak, Kevin di rumah sakit ditemani kerabatnya yang dari kalangan polisi kok. Makanya Kakak pulang, mau mandi dan istirahat Sebentar.""Oh ya sudah, kalau gitu Kakak mandi dulu sana! saking capeknya sampai kucel begitu, hehe..." titahku terkekeh."Aku pergi sebentar ya Kak, mau beli nasi padang di depan. Oh iya, Kakak belum makan kan?" tanyaku lagi."Belum Rah, kebetulan Kakak juga laper.""Ya udah nanti kita makan sama-sama aja. Oh iya, Kakak mau dibungkusin pakai lauk apa nih?""Samain aja deh, Rah. Biar nanti nggak rebutan," jawabnya tersenyum tipis.Aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum mengejek, setelah itu mengambil dompet lalu keluar dengan pakaian seadany
Setelah keluar dari rumah sakit, aku pun melajukan motor kembali menuju sebuah restoran tempat aku dam Mas Rama makan malam dahulu setelah ia menerima transferan dari Sulis. Namun, tujuanku kemari bukan untuk mengingatnya, tetapi karena rindu pada masakannya. Memilih tempat duduk paling ujung karena pengunjung lumayan ramai di jam makan siang seperti ini. Saat sedang menikmati makanan, aku melihat Fransisca berjalan menghampiri lalu duduk di belakangku sambil berbicara dengan seseorang di telepon.'Sepertinya Fransisca tidak mengenali wajahku sehingga ia terlihat santai saat melewati meja makan yang aku tempati ini, apa karena aku menggunakan kacamata ini ya?' batinku sambil membenarkan kacamata.Kini ia tidak bisa melihatku karena posisinya yang membelakangiku, selain ramai mungkin ia juga sedang fokus bicara dengan seseorang di teleponnya."Apa? Lukanya terus mengeluarkan nanah?""Bagaimana mungkin?""Aku tidak percaya hal ini akan terjadi pada Sulis, kukira dengan membawanya ke ru
Dadaku naik turun dan mendadak lidahku tercekat ketika ingin berbicara, aku tidak percaya ini!"Astaghfirullah, Sarah! Kamu bikin penasaran saja, sini Kakak mau lihat hasilnya," tegas Kak Dimas.Ia merebut surat itu dariku lalu membacanya dengan teliti, seketika tubuhku terasa lemas lalu terduduk di kursi besi."Hasilnya menyatakan jika bayi itu ternyata bukan anakmu, Rah?" ucap Kak Dimas sambil menoleh ke arahku.Seketika air mataku luruh dalam satu kedipan, aku terisak hingga tubuh terguncang.Bagaimana bisa anak yang kuimpikan siang dan malam itu ternyata bukan anak yang kulahirkan?Ya Tuhan, padahal aku begitu mengharapkan Baby Alice adalah bayi yang kulahirkan. Aku selalu memandangi foto bayi itu dan membayangkan banyak hal yang akan kami lewati ketika sudah bersama nanti. Tapi, kenapa semuanya jadi begini? Takdir memang tidak pernah adil, dia selalu mempermainkanku seolah aku ini boneka yang harus menurut padanya. Kenapa takdir begitu kejam padaku?Aku tergugu dengan tubuh be
Lekas berganti pakaian lalu mengeluarkan motor maticku ke halaman dan memanaskannya."Nanti ajarin Mbak bawa motor ya Rah, kayanya seru banget kalau bisa bawa motor sendiri.""Iya gampang kalau itu mah, tapi nanti biar diajarin Kak Dimas aja ya," sahutku sambil duduk di atas jok motor."Enggak ah, Mbak maunya diajarin sama kamu aja kalau sama Dimas, Mbak suka grogi soalnya," jawabnya.Aku langsung menoleh dengan wajah melongo."Cie... Cie!" godaku sambil menaik turunkan alis."Apaan sih, Rah?" Ia nampak membuang muka dan tersenyum malu-malu."Mbak bukan grogi karena itu ya?""Itu apa, hayo?" tanyaku menggoda."Kamu mikirnya Mbak grogi karena suka kan sama Dimas?""Eh, aku nggak bilang gitu loh Mbak! Mbak sendiri nih yang bilang kalau Mbak suka sama Kak Dimas," ucapku tersenyum tipis."Ih, gak gitu Rah! Kakakmu kan laki-laki sedangkan Mbak ini kan perempuan makanya Mbak suka deg-degan kalau deket-deket dia, makanya Mbak minta diajarin sama kamu aja. Kamu ini gimana sih?" Ia pura-pura m
"Begini saja, aku akan membantumu menyelidiki asal usul Baby Alice karena aku juga ragu pada Mami Fransisca, karena ia sering berbohong dan juga ingkar janji. Bagaimana, apa kamu tertarik dengan tawaranku?"Aku membuang pandangan lalu berfikir, setelah itu aku kembali menatapnya dengan serius."Apa jaminannya kalau kamu akan membantuku mencari asal usul bayi ini? Kamu pikir aku bodoh dan bisa percaya dengan ucapanmu begitu saja." Aku tersenyum sinis."Aku benar-benar tidak tahu Fransisca mendapatkan Baby Alice dari mana, tetapi aku tahu pasti jika bayi ini sudah dewasa, dia yang akan meneruskan bisnis-bisnis Mami Fransisca. Aku merasa tidak rela, jika anak secantik dia harus menjadi wanita seperti Fransisca. Terkadang aku berharap ada seseorang yang bisa membawa bayi ini pergi jauh dari kehidupan Mami Fransisca."Menatap Mirna untuk beberapa saat sambil mencerna ucapannya. Bukan hanya dia, aku juga merasa tidak rela jika bayi ini akan menjadi pewaris tunggal bisnis haram Fransisca."
Nafasku terengah-engah merasakan amarah yang kian membara di dalam dada. Aku sudah memberinya banyak uang tetapi malah ini yang kudapatkan, sebuah pengkhianatan yang tidak bisa kumaafkan."Sudah kukatakan Bu, aku tidak memalsukan hasil tes DNAmu."Ternyata ia masih saja mempertahankan kebohongannya."Kamu pikir aku bodoh apa? Aku sudah mendengar semua percakapanmu dengan temanmu tadi di rumah sakit. Aku bukan anak kecil yang bisa kamu tipu seperti ini ya!"Perempuan itu mundur dua langkah hingga punggungnya mentok ke dinding. Ia tidak bisa bergerak lagi karena didepannya ada senjata tajam yang kutodongkan."Itu... maksudku..." Ia nampak gelagapan dan makin ketakutan."Itu apa? Kamu sudah menerima uang dariku tetapi kamu juga menerima uang dari pihak lain kan sehingga kamu bisa membeli barang-barang mahal seperti yang kamu tunjukkan pada temanmu tadi? Sekarang katakan, siapa pihak lain yang sudah memberimu uang?""Aku tidak akan segan-segan melenyapkanmu jika kau coba-coba mempermaink
"Nanti akan aku jelaskan di rumah tapi sekarang aku mau pergi dulu, kalau Mbak mau ikut ya silahkan, tapi kalau Mbak mau pulang nanti bisa naik ojek di depan sana karena aku masih ada urusan yang harus kuselesaikan," jawabku."Ya sudah, Mbak ikut saja denganmu. Memangnya kamu mau pergi kemana, Rah?" tanya Mbak Wati."Aku akan kembali ke rumah sakit."Mata Mbak Wati langsung membulat, mungkin dipikirannya saat ini aku telah melakukan suatu hal yang konyol."Ya sudah, ayo kita kesana."Beruntung surat hasil tes DNA itu masih kusimpan dalam tas sehingga aku bisa langsung ke rumah sakit tanpa harus pulang ke rumah terlebih dahulu.Menemui kepala staf laboratorium rumah sakit ini memang sedikit sulit karena mereka mengatakan jika atasannya itu sedang banyak pekerjaan dan tidak bisa ditemui. Kami harus menunggu sekitar dua jam agar bisa menemuinya di jam istirahat."Maaf saya mengganggu waktu Bapak, beberapa hari yang lalu saya menerima hasil tes DNA yang dilakukan di rumah sakit ini tetapi
"Gimana di butik? Rame?" tanyaku sambil berjalan menghampiri Kak Dimas."Alhamdulillah lumayan rame, Rah. Oh iya, besok coba kamu bawa Linda ke rumah sakit aja ya Rah, dia sakit lagi tuh," ucap Kak Dimas."Sakit lagi? Padahal obatnya sudah habis loh, kok dia masih sakit ya?" tanyaku."Entahlah, kalau menurut Kakak sih lebih baik ia melakukan tes pemeriksaan misal tes HIV-AIDS gitu, soalnya dia kesakitan terus loh di panggul dan bawah perutnya sama demam lagi."Aku berdecak lalu merenung, semoga saja Mbak Linda tidak sampai terkena penyakit menjijikkan itu. Jika sampai ia terkena maka tidak menutup kemungkinan aku atau Mbak Wati pun juga akan ikut terkena.Oh Tuhan, jangan biarkan hal itu terjadi."Nih minum, aku buatin teh panas," ucap Mbak Wati sambil meletakkan nampan berisi dua cangkir teh di atas meja."Buat aku, Ti?" tanya Kak Dimas."Ya iyalah Kak, masa buat pak lurah," sahutku sambil tersenyum tipis."Ya siapa tahu tehnya buat kamu, Rah." Kak Dimas malah terkekeh."Udah-udah in
(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t
Tiba di rumah Kevin."Syukurlah, kalian sudah sampai rumah, ayo masuk!" ucap Mbak Wati sambil membukakan pintu."Bagaimana keadaanmu, Dim?" tanya Mbak Wati pada Kak Dimas."Sudah lebih baik, Ti. Makasih ya disela-sela kesibukanmu mengurus Adinda kamu masih sempetin buat jengukin aku." Kak Dimas tersenyum manis.Ya, aku memang menceritakan pada Kak Dimas jika Mbak Wati selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya."Iya sama-sama.""Semoga kamu betah tinggal disini ya, Dim," sahut Kevin sambil tersenyum."Iya Vin, aku pasti betah tinggal disini kok, apalagi adaa..." Kak Dimas tidak melanjutkan ucapannya."Ada siapa hayoo? Ada Mbak Wati ya...?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Mbak Wati yang sedang menggendong Adinda pun tampak tersenyum dengan wajah memerah."Apa sih, Rah? Enggak kok.""Emm, ya udah deh. Yuk aku antar ke kamar, Kakak istirahat aja ya.""Maaf ya Rah, ngerepotin kamu jadinya," ujar kak Dimas."Nggak repot kok, masa ngurusin Kakak sendiri bilang repot
"Syukurlah Kakak sudah sadar," ucapku sambil berjalan ke ranjang rumah sakit dengan gembira. Kak Dimas perlahan membuka kelopak matanya dan berkata dengan susah payah."Air... Air..."Dengan cepat Mbak Wati mengambilkan gelas berisi air matang yang ada di atas nakas dan menyerahkannya padaku.Setelah meminum beberapa teguk air Kak Dimas melihat ke sekeliling."Sarah, kita ada dimana?""Kita ada di rumah sakit, Kak," jawabku."Rumah sakit?" Kak Dimas menatap ke depan dengan tatapan kosong sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu."Iya, Kakak mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari rumahku dan sudah beberapa hari ini Kakak mengalami koma.""Sudah berapa lama Kakak koma?" tanya Kak Dimas lagi."Lima hari.""Apa? Tapi Kakak merasa baru tidur beberapa jam saja," ucapnya sambil memegang kepalanya."Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kamu bisa mengalami kecelakaan, Dim?" tanya Mbak Wati."Saat perjalanan pulang dari rumah Kevin, pandangan mataku kabur karena cuaca malam
Kami kembali ke depan ruang ICU, Adinda pun sudah terlelap di pangkuan Kevin."Wati, kamu pulang saja ya biar aku dan Sarah saja yang menjaga Dimas. Kasihan Adinda kalau kita ajak tidur disini,” ucap Kevin pada Mbak Wati."Iya Mbak, kamu pulang sama Adinda ya, besok lagi saja kalau Mbak mau kesini," sahutku."Ya sudah kalau gitu Mbak pulang dulu ya Rah, Vin. Besok pagi aku akan kesini mengantarkan pakaian untuk kalian," ucap Mbak Wati."Iya Ti, supirku sudah menunggu di depan jadi kamu tidak perlu menunggu lama." "Iya, terimakasih.Mbak Wati pun akhirnya pulang ke rumah bersama Adinda.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya, aku merasakan leher ini begitu kaku dan nyut-nyutan, mungkin ini karena efek begadang semalaman di rumah sakit."Aargh..." Kevin pun terlihat merenggangkan tulang-tulangnya yang mungkin terasa kaku.Mata Kevin tampak berubah merah sebab tak tidur. Diliriknya jam yang tergantung di dinding rumah sakit, sudah menunjukkan pukul enam pagi."Sayang, Mas belikan sarap