Pukul lima sore, perutku mendadak mulas. Tetapi aku bingung harus menelepon Mas Rama sekarang atau nanti."Mbak...Mbak Wati..!!" teriakku memanggil Mbak Wati.Dengan tergesa-gesa Mbak Wati masuk kedalam kamarku yang tak kututup."Mbak, ini perutku rasanya mulas kaya mau datang bulan gitu. Apa ini tanda-tanda mau melahirkan ya, Mbak?" tanyaku pada Mbak Wati."Iya Non. Tapi masih lama kalau baru mulas sepeti itu," jawabnya."Mbak, tolong temani saya disini ya. Sebaiknya saya telepon Mas Rama sekarang atau nanti ya, Mbak?""Baik Non. Mungkin nanti saja Non, kalau sudah benar-benar mulas," jawab Mbak Wati sembari duduk disebuah karpet lantai.Semakin malam rasa mulasku semakin kuat, rasanya perut bagian bawahku seperti ditekan dengan kuat dan rasanya pun juga hilang, timbul."Mbak, tolong ambilkan ponsel saya," titahku sambil menahan sakit.Dengan sigap Mbak Wati mengambil ponsel dimeja rias dan menyerahkannya padaku. Segera kuhubungi Mas Rama dan terhubung."Halo..Mas.""Ada apa, sayang?
"Mas anak kita kenapa? Tadi dia sehat, sangat jelas kudengar dia menangis kencang?" teriakku pada Mas Rama sembari menangis.Aku sangat yakin jika bayiku terlahir sehat, saat aku mengalami kontraksi pun ia masih sempat menendang perutku dengan kuat. "Sepertinya bayi Nona, mengalami kebocoran jantung bawaan. Yang sabar ya, Non." ucap Mak Ijah.Beraninya ia berkata seperti itu, memangnya dia siapa dan bisa apa?"Tutup mulutmu! Jangan mengada-ada kamu ya! Kamu itu bukan dokter jadi gak usah sok tahu!" bentakku sembari menatapnya nyalang."Aku sudah bilang untuk melahirkan di rumah sakit, tapi kenapa kalian melarangku, hah? Jika aku melahirkan di rumah sakit, anakku akan langsung ditangani oleh ahlinya dan pasti sekarang ia bisa selamat," ucapku menatap Mas Rama dan Ibu."Kembalikan nyawa anakku! Kembalikan!!" teriakku dengan lantang.Mas Rama memelukku dengan erat, berusaha untuk menenangkan ku. Kini kulihat wajah Ibu yang menatapku penuh benci, mengapa ia sudah tak bersikap manis sepert
Apalagi aku melahirkan dibantu Mak Ijah seorang paraji di desa ini, kenapa ia tidak bicara pada para warga jika Bu Sulis orang paling kaya di desa ini sedang mendapat musibah?"Iya juga ya, ini sangat aneh. Apa jangan-jangan bayimu dijadikan tumbal lagi sama keluarga ini," ucap Mama.Aku langsung menoleh cepat. "Masa iya sih, Ma?"Aku merasa tak percaya, selama tinggal disini Aku tak merasakan kecurigaan yang mengarah ke hal mistis, justru malah banyak misteri yang belum terpecahkan olehku."Bisa saja kan Rah. Apalagi mertuamu kaya raya seperti ini,""Jangan nuduh yang tak ada bukti seperti itu, Ma. Begini, selama kamu tinggal disini apa ada hal yang mencurigakan Rah? Misal ada yang mengarah ke hal-hal mistis?" tanya Kak Dimas.Aku pun menceritakan semua kejadian yang kualami dirumah ini. Dari suara tangisan bayi hingga pembantu termasuk Mbak Wati yang hamil tanpa suami.Kak Dimas tampak berpikir keras."Pasti ini ada sesuatu, bukan hal mistis tetapi ini sebuah kejahatan kriminal besa
Aku meyibak kain kafan itu dengan sempurna, tak salah lagi yang kugendong ini bukanlah jenazah bayiku melainkan hanya sebuah boneka.Ingin sekali rasanya ku berteriak didepan semua orang dan memaki mereka yang telah mengelabuhi ku saat itu.Ku hapus air mata yang membasahi pipi dengan tatapan garang, lalu ku lempar boneka itu ke sembarang arah. Ini pasti ulah Ibu, tetapi apakah Mas Rama ikut ambil andil dalam dalam masalah ini? Atau ia hanya menjadi korban sehingga ia tak berani melawan dan berbuat apa-apa?Jika yang terkubur ditempat ini bukan anakku, lantas bayi yang kulahirkan saat itu sekarang ada dimana?Ya Allah, aku tidak tahan dengan misteri ini. Emosiku semakin memuncak membuat darahku rasanya memanas. Dengan nafas yang tak beraturan aku mencoba mengurai kembali kewarasan yang semula berantakan. Aku harus berusaha menata pikiran dan hati agar aku bisa berpikir dengan jernih.Aku rasa kejadian ini ada sangkut pautnya dengan rahasia besar Mas Rama dan keluarganya. Aku harus bi
"Ini pasti ulah Ibu kan, Mbak?" tanyaku dengan tatapan tajam."Iya Non. Saya harap Nona bisa main cantik dan jangan berontak. Karena kalau Nona berontak nasib Nona akan dalam bahaya bisa jadi akan bernasib sama seperti Sari," ucap Mbak Wati.Sekarang aku paham, jika ingin melawan mereka jangan menggunakan tenaga dan amarah. Tetapi aku harus bermain cantik dengan pikiran jernih. Aku harus menjadi serigala berbulu domba, walaupun diluarnya terlihat bodoh tetapi didalamnya sangat berbahaya."Iya Mbak. Saya paham sekarang," ucapku tersenyum sinis."Bagus, Nona harus bermain cantik, berusahalah untuk tetap tenang dan jangan gegabah," bisiknya lagi.Selama ini Mbak Wati selalu bungkam dan hanya memberikan kode-kode saja padaku, ternyata ia ingin aku faham tanpa harus dijelaskan tentang keluarga ini dan cara melawannya. "Sekarang kembalilah ke kamar, Nona. Jika ada kesempatan, saya akan memperlihatkan sesuatu pada Nona," ucap Mbak Wati.Meskipun penasaran aku hanya bisa menganggukkan kepal
Tak hanya ada beberapa wanita yang seperti dipenjara, tetapi didalam sana juga ada banyak perabotan-perabotan yang sudah usang. Mungkinkah mereka sudah lama berada di bawah sana?Kini aku bangkit lalu menatap Mbak Wati dengan penuh tanda tanya? Siapakah mereka? Dan Mengapa mereka bisa ada didalam sana?"Bagaimana Nona, apa sudah terlihat dengan jelas?" tanya Mbak Wati.Aku menganggukkan kepala, tidak mungkin aku bisa berbicara panjang lebar dengan Mbak Wati disini. Bisa saja ada pengawal Ibu yang datang dan mencurigai kami. "Baguslah, kalau begitu. Sekarang kita masuk lagi kedalam rumah sebelum ada orang lain yang memergoki kita, Nona."Mbak Wati kembali menutup lubang itu lalu kami kembali masuk kedalam. Aku duduk dimeja makan sembari berpikir."Mau minum apa Nona, biar saya buatkan?" tanya Mbak Wati."Buatkan aku teh saja, Mbak?" Dengan segera wanita itu menyeduh segelas teh lalu meletakkannya dihadapanku."Siapa mereka, Mbak?" tanyaku menatap lurus, sementara Mbak Wati berdiri di
Apalagi jika anakku tak kunjung ditemukan dan ia terlibat dalam masalah ini. Aku pastikan kamu akan hancur di tanganku sendiri. Lihat saja Mas, kedok mu akan terbongkar sebentar lagi."Mas, setelah kehilangan anak, kamu kok terlihat biasa saja seperti tak ada kesedihan yang terlukis didalam raut wajahmu?" tanyaku menatapnya."Kata siapa Mas tidak bersedih? Mas ini ayahnya, jelas hatiku hancur Rah. Tetapi Mas berusaha untuk menutupi semua kesedihan itu, karena Mas juga tak ingin terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Jadi mulai sekarang kita harus kuat ya,"Aku tersenyum miring, kamu kira aku bodoh Mas? Yang bisa kamu tipu dengan omong kosongmu itu!"Hem... Kapan kita akan kembali ke kota, Mas?" ucapku tersenyum palsu.Mas Rama langsung menatap wajahku."Mas sudah mengurus surat pindah kita ke desa ini, Rah. Jadi kita tidak akan kembali ke Kota lagi, rumah yang ada disana biar disewakan saja sama orang lain ya,"Senyum palsuku mendadak pudar. Apakah ini pertanda bahwa Mas Rama akan me
Jantungku berdebar makin hebat, ketika membaca pesan dari Kak Dimas.(Setelah satu jam barulah mereka keluar dari dalam gudang, tetapi mereka keluar tidak dengan membawa bayi itu)Aku tercengang dengan tatapan kosong menatap layar ponsel, sebenarnya apa yang mereka lakukan pada bayi itu? Lalu apakah bayi itu anakku?Sedih rasanya, disaat kita sudah mengandungnya selama sembilan bulan dan bertaruh nyawa untuk melahirkannya ke dunia. Akan tetapi aku tak diberi kesempatan untuk melihat bayi itu?Mereka begitu jahat, lihat saja suatu saat nanti akan kubalas mereka dengan setimpal meskipun mereka memiliki banyak pengawal tetapi aku sama sekali tidak takut dengan mereka.(Lalu kemana bayi itu Kak?) balasku.(Entahlah Rah. Karena kakak tidak bisa masuk kedalam gudang itu. Karena pintunya digembok dan diatas tembok pembatas nya dikelilingi dengan kawat berduri)Dulu, aku sudah pernah sekali diajak berkunjung ketempat itu dengan Mas Rama. Lokasinya lumayan jauh dari rumah ini, akan tetapi saa
(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t
Tiba di rumah Kevin."Syukurlah, kalian sudah sampai rumah, ayo masuk!" ucap Mbak Wati sambil membukakan pintu."Bagaimana keadaanmu, Dim?" tanya Mbak Wati pada Kak Dimas."Sudah lebih baik, Ti. Makasih ya disela-sela kesibukanmu mengurus Adinda kamu masih sempetin buat jengukin aku." Kak Dimas tersenyum manis.Ya, aku memang menceritakan pada Kak Dimas jika Mbak Wati selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya."Iya sama-sama.""Semoga kamu betah tinggal disini ya, Dim," sahut Kevin sambil tersenyum."Iya Vin, aku pasti betah tinggal disini kok, apalagi adaa..." Kak Dimas tidak melanjutkan ucapannya."Ada siapa hayoo? Ada Mbak Wati ya...?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Mbak Wati yang sedang menggendong Adinda pun tampak tersenyum dengan wajah memerah."Apa sih, Rah? Enggak kok.""Emm, ya udah deh. Yuk aku antar ke kamar, Kakak istirahat aja ya.""Maaf ya Rah, ngerepotin kamu jadinya," ujar kak Dimas."Nggak repot kok, masa ngurusin Kakak sendiri bilang repot
"Syukurlah Kakak sudah sadar," ucapku sambil berjalan ke ranjang rumah sakit dengan gembira. Kak Dimas perlahan membuka kelopak matanya dan berkata dengan susah payah."Air... Air..."Dengan cepat Mbak Wati mengambilkan gelas berisi air matang yang ada di atas nakas dan menyerahkannya padaku.Setelah meminum beberapa teguk air Kak Dimas melihat ke sekeliling."Sarah, kita ada dimana?""Kita ada di rumah sakit, Kak," jawabku."Rumah sakit?" Kak Dimas menatap ke depan dengan tatapan kosong sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu."Iya, Kakak mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari rumahku dan sudah beberapa hari ini Kakak mengalami koma.""Sudah berapa lama Kakak koma?" tanya Kak Dimas lagi."Lima hari.""Apa? Tapi Kakak merasa baru tidur beberapa jam saja," ucapnya sambil memegang kepalanya."Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kamu bisa mengalami kecelakaan, Dim?" tanya Mbak Wati."Saat perjalanan pulang dari rumah Kevin, pandangan mataku kabur karena cuaca malam
Kami kembali ke depan ruang ICU, Adinda pun sudah terlelap di pangkuan Kevin."Wati, kamu pulang saja ya biar aku dan Sarah saja yang menjaga Dimas. Kasihan Adinda kalau kita ajak tidur disini,” ucap Kevin pada Mbak Wati."Iya Mbak, kamu pulang sama Adinda ya, besok lagi saja kalau Mbak mau kesini," sahutku."Ya sudah kalau gitu Mbak pulang dulu ya Rah, Vin. Besok pagi aku akan kesini mengantarkan pakaian untuk kalian," ucap Mbak Wati."Iya Ti, supirku sudah menunggu di depan jadi kamu tidak perlu menunggu lama." "Iya, terimakasih.Mbak Wati pun akhirnya pulang ke rumah bersama Adinda.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya, aku merasakan leher ini begitu kaku dan nyut-nyutan, mungkin ini karena efek begadang semalaman di rumah sakit."Aargh..." Kevin pun terlihat merenggangkan tulang-tulangnya yang mungkin terasa kaku.Mata Kevin tampak berubah merah sebab tak tidur. Diliriknya jam yang tergantung di dinding rumah sakit, sudah menunjukkan pukul enam pagi."Sayang, Mas belikan sarap