Apalagi jika anakku tak kunjung ditemukan dan ia terlibat dalam masalah ini. Aku pastikan kamu akan hancur di tanganku sendiri. Lihat saja Mas, kedok mu akan terbongkar sebentar lagi."Mas, setelah kehilangan anak, kamu kok terlihat biasa saja seperti tak ada kesedihan yang terlukis didalam raut wajahmu?" tanyaku menatapnya."Kata siapa Mas tidak bersedih? Mas ini ayahnya, jelas hatiku hancur Rah. Tetapi Mas berusaha untuk menutupi semua kesedihan itu, karena Mas juga tak ingin terlalu berlarut-larut dalam kesedihan. Jadi mulai sekarang kita harus kuat ya,"Aku tersenyum miring, kamu kira aku bodoh Mas? Yang bisa kamu tipu dengan omong kosongmu itu!"Hem... Kapan kita akan kembali ke kota, Mas?" ucapku tersenyum palsu.Mas Rama langsung menatap wajahku."Mas sudah mengurus surat pindah kita ke desa ini, Rah. Jadi kita tidak akan kembali ke Kota lagi, rumah yang ada disana biar disewakan saja sama orang lain ya,"Senyum palsuku mendadak pudar. Apakah ini pertanda bahwa Mas Rama akan me
Jantungku berdebar makin hebat, ketika membaca pesan dari Kak Dimas.(Setelah satu jam barulah mereka keluar dari dalam gudang, tetapi mereka keluar tidak dengan membawa bayi itu)Aku tercengang dengan tatapan kosong menatap layar ponsel, sebenarnya apa yang mereka lakukan pada bayi itu? Lalu apakah bayi itu anakku?Sedih rasanya, disaat kita sudah mengandungnya selama sembilan bulan dan bertaruh nyawa untuk melahirkannya ke dunia. Akan tetapi aku tak diberi kesempatan untuk melihat bayi itu?Mereka begitu jahat, lihat saja suatu saat nanti akan kubalas mereka dengan setimpal meskipun mereka memiliki banyak pengawal tetapi aku sama sekali tidak takut dengan mereka.(Lalu kemana bayi itu Kak?) balasku.(Entahlah Rah. Karena kakak tidak bisa masuk kedalam gudang itu. Karena pintunya digembok dan diatas tembok pembatas nya dikelilingi dengan kawat berduri)Dulu, aku sudah pernah sekali diajak berkunjung ketempat itu dengan Mas Rama. Lokasinya lumayan jauh dari rumah ini, akan tetapi saa
Tubuhku rasanya lemas saking paniknya, aku tidak bisa mendengar hal buruk yang terjadi pada Kak Dimas. Jika bukan dia, siapa lagi yang akan membantuku memecahkan misteri keluarga ini."Lalu, dimana kalian sekarang?" tanyaku dengan suara bergetar."Di kampung Wonocolo, apa kamu bisa kesini?" tanya perempuan itu.Aku terdiam sejenak, seingatku kampung itu lumayan terpencil dan letaknya berada dekat dengan kawasan hutan."Aku akan kesana, tolong kamu kirimkan share lock nya sekarang ya, saya tunggu."Panggilan pun dimatikan setelah itu masuk sebuah pesan yang berisi sebuah alamat yang letaknya lumayan jauh dari desa ini.Segera aku berganti pakaian memakai celana jeans dan hoodie hitam tak lupa juga memakai sepatu boot agar tak ada orang yang bisa mengenaliku. Celingukan keluar, semoga tidak ada pengawal Ibu yang sedang berkeliaran.Dirasa sudah aman, segera aku keluar lewat pintu belakang setelah itu membuka pintu kecil pada tembok pembatas yang diperlihatkan Mbak Wati waktu itu.Berunt
Entah kenapa setelah mendengar ucapan Kak Dimas rasanya hati ini seperti diiris pisau tajam. Jangan sampai bayi itu adalah anakku. Meskipun aku tak memiliki bukti yang kuat tetapi aku yakin menghilangnya bayiku itu ada campur tangan dari Ibu dan Mas Rama."kira-kira itu bayi siapa ya Kak?" tanyaku dengan tatapan gelisah."Entahlah, Rah. Yang jelas bayi itu diambil Ibu mertuamu dari seseorang, lalu ia menyuruh pengawalnya untuk mengubur bayi itu di belakang gudang,"Kenapa harus di belakang gudang? Bukankah desa itu memiliki tempat pemakaman umum yang cukup luas? Rasanya aku semakin tak sabar ingin mengungkap semua kasus ini."Jangan sedih ya, Rah. Kita harus kuat dan berani untuk menghadapi semua ini," ucap Kak Dimas sembari menyentuh punggung tanganku."Tapi yang kita lawan itu bukan orang sembarangan Kak, dia suamiku, keluargaku sendiri Kak," jawabku sambil menatapnya putus asa.Bagaimana caraku untuk menang? Memang terkadang aku merasa yakin terhadap diriku sendiri, tetapi tak da
"Maaf ya kak, karena aku Kakak jadi seperti ini,""Gak masalah Rah, kalau bukan Kakak yang melindungi kamu, siapa lagi? Sekarang kamu pulang ya dan jangan cerita apa-apa pada Mama. Kakak sudah berbohong padanya jika Kakak hanya pergi liburan saja. Kakak disini punya waktu dua minggu, jadi kita harus cepat bertindak," ucap Kak Dimas menggenggam tanganku."Ya sudah, kalau gitu aku pulang dulu. Jaga diri baik-baik ya, Kak. Dan ini uang untuk pegangan Kakak selama disini," ucapku sembari memberikan beberapa lembar uang."Makasih ya, Rah. Kebetulan Kakak nggak ada uang cash," ucapnya tersenyum."Iya Kak. Sama-sama."Setelah berpamitan dengan Bu Yanti aku kembali menghampiri tukang ojek tadi, ia sedang duduk disebuah warung sambil meminum secangkir kopi."Sudah Neng?" tanya tukang ojek itu padaku."Sudah, Mas. Ayo kita pulang sekarang."Kami pun pergi meninggalkan kampung ini. Rasa takut mulai timbul, bagaimana jika nanti Ibu dan Mas Rama sudah di rumah dan mendapati aku tidak ada di rumah?
Benih? Harga tinggi? Apakah yang dimaksud pria asing itu adalah keturunan Mbak Wati? Mengingat jika Mbak Wati sudah pernah melahirkan sebelumnya. Bisa dikatakan jika Mbak Wati memiliki paras yang begitu cantik, jika ia melahirkan pasti ia akan melahirkan bayi yang tak kalah cantik darinya.Tubuhnya tinggi kurus, memiliki kulit putih, wajah yang bersih dan rambutnya pun panjang dengan bentuk wajah yang sempurna, hanya saja ia tidak telaten merawat dirinya, sehingga membiarkan kecantikan itu pudar dengan penampilannya yang sederhana.Tetapi yang menjadi pertanyaan ku saat ini, siapa yang sudah menghamili Mbak Wati? Bukankah ia hanya ada didalam rumah setiap harinya?Dan pria asing itu mengatakan jika benih dari Mbak Wati dihargai tinggi. Apakah mungkin bayi yang dilahirkan Mbak Wati itu sudah dijual dan diuangkan?Aku harus menyelidiki siapa laki-laki itu."Aku tidak akan memberikanmu barang jelek kali ini. Sekarang kamu berikan barang itu padaku," sahut Ibu."Aku sudah membawanya, ber
Sore ini terlihat Mbak Wati yang sedang memasak Untuk makan malam nanti. Saking sibuknya ia tak menyadari keberadaan ku dibelakangnya."Ehh.. Nona. Bikin kaget saja," ucapnya sembari mengelus dada."Lagian serius amat sih, Mbak." ucapku tertawa."Kemari Nona, saya mau bicara."Untuk pertama kalinya Mbak Wati menarik lenganku untuk memulai pembicaraan. Ia celingukan kearah dalam, lalu mengambil sesuatu dari keranjang cucian."Apakah pakaian ini milik Nona?" tanya Mbak Wati padaku sembari mengeluarkan hoodie dan celana jeans yang ku sembunyikan di keranjang cucian."Cepat sembunyikan, Mbak." titahku pada Mbak Wati."Berarti benar ini milik Nona?" tanya Mbak Wati penasaran."Iya, memangnya kenapa? Awas ya jika kamu buka mulut dengan Ibu atau Mas Rama," ancamku padanya.Mbak Wati menghela nafas pelan."Sebenarnya apa yang Nona lakukan dengan memakai baju itu? Untung saja Edy dan yang lainnya tak berhasil menangkap Nona," ucap Mbak Wati khawatir."Apa kamu mau tahu, apa yang sudah aku laku
"Tolong jawab pertanyaanku, Mbak?""Sudah pasti iya, Nona. Kemana lagi jika bukan dijual?"Kaki ini rasanya tak kuat lagi menopang tubuh yang mulai lemas, aku terduduk bersimpuh dilantai dengan bergelimang air mata. Rasanya aku tak percaya dengan ucapan Mbak Wati barusan.Tidak! Tidak! Anakku tidak boleh dijual!Jari jemariku mengepal erat. "Keterlaluan kamu, Mas. Lihat saja, suatu saat nanti aku akan membunuhmu! Lihat saja, aku akan membuat kalian menyesal dengan perbuatan yang sudah kalian lakukan!" ucapku penuh amarah."Sabar. Bukan hanya Nona, tetapi kedua anak saya juga sudah menjadi korban kejahatan mereka. Dan saya harap yang ketiga ini bisa selamat," ucap Mbak Wati memelukku.Dunia rasanya hancur dan langit terasa runtuh. Anakku, darah dagingku dijual oleh ayahnya sendiri. Apa laki-laki itu pantas dipanggil seorang ayah?Dengan nafas yang masih terasa sesak, akupun berdiri lalu berjalan ke arah kursi di meja makan. Duduk disana dengan hati yang tak karuan. "Ayo, kita harus me
(POV Sarah)Sejak satu bulan yang lalu Kak Dimas sudah bisa berjalan dengan normal, dan hari ini pula ia akan melaksanakan pernikahannya dengan Mbak Wati.Dengan uang tabungan Kak Dimas, pernikahan Kak Dimas dan Mbak Wati yang lumayan megah ini dilaksanakan disebuah gedung luas."Sah?""Sah!"Para saksi dan tamu undangan tersenyum bahagia, seketika rasa haru menyeruak apalagi pernikahan ini tidak dihadiri oleh kedua orang tua. Pada saat prosesi sungkeman pun Kak Dimas dan Mbak Wati hanya memelukku dan Kevin untuk meminta doa restu karena memang hanya kami yang merupakan saudaranya."Doakan Mbak dan Kakakmu ya, Sarah.""Iya Mbak, tolong terima Kakakku apa adanya ya, semoga kalian bahagia."Resepsi pernikahan akan dilaksanakan hari ini juga setelah dua atau tiga jam akad nikah. Dua gaun indah berbentuk mermaid dengan ekor yang panjang telah dipersiapkan. Silvia juga hadir, ia terlihat bahagia saat melihat mantan kekasihnya mengucapkan ijab kabul meskipun dengan orang lain.Mbak Wati ta
(Pov Wati)Hari bahagiaku telah tiba. Ya, hari ini adalah hari bahagiaku bersama Dimas. Aku telah melewati masa-masa sulit tidur menjelang pernikahanku ini.Di sebuah gedung mewah pernikahan aku dan Dimas pun di langsungkan. Banyak tamu undangan yang hadir menjadi saksi kisah cinta kami berdua.Aku lihat Dimas, calon suamiku itu menitikkan air matanya ketika Sarah dan para bridesmaids menggandeng diriku menghampiri meja akad nikah. Dimana sudah ada seorang penghulu yang tengah duduk dengan manis disana dan ada dua orang saksi pernikahanku yang tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali."Sarah, apa Mbak sedang bermimpi? Jika iya, tolong bangunkan Mbak, Rah!" tanyaku pada Sarah yang tetap berjalan menggandeng tanganku.Aku begitu bahagia melihat dekorasi ballroom hotel yang begitu indah dengan hiasan berbagai jenis bunga-bunga yang indah. Bahagia dan terharu itulah yang bisa aku gambarkan tentang perasaanku hari ini."Tidak Mbak, kamu tidak sedang bermimpi. Lihatlah di sana ada Kak
Aku pun ikut memasukkan uang dan beberapa barang berhargaku dan Kevin ke dalam tas perampok itu."Ambil ini, tapi lepaskan kakakku!" tegasku sambil melemparkan tas itu ke atas kasur."Bagus, awas kalau kalian berani menyerang, akan aku tembak!" tegas orang itu.Ia berjalan mengendap menuju kasur sambil menodongkan senjata ke arah kami semua, saat tubuhnya membungkuk karena ingin meraih tas dan saat itulah Kevin menendang punggungnya."Aaarghh!" Ia mengerang lalu berbalik badan.Kukira ia akan menyerang Kevin tapi ternyata ia malah menyerang Mbak Wati karena saat perampok itu lengah ia mengambil tas itu."Sarah, ambil ini!" teriak Mbak Wati sambil melemparkan tas itu ke arahku.Namun, Mbak Wati kembali disandera dengan pistol yang mengarah ke kepalanya."Jangan sakiti dia!" teriak Kak Dimas dengan suara lantang."Kalau tidak mau dia kusakiti, cepat serahkan tas itu padaku kalau tidak dia akan mati sekarang!" tegas perampok itu.Berani sekali orang ini, mencoba merampok di rumah polisi
(Pov Sarah)"Eh, Silvia, ayo masuk." Aku tersenyum lalu menggandeng Siska masuk ke dalam rumah.Silvia ini merupakan mantan kekasih Kak Dimas, beberapa tahun silam Kak Dimas sempat berencana ingin melamarnya. Namun, ia ditolak oleh keluarga Silvia lantaran keadaan ekonomi Kak Dimas yang baru saja memulai karirnya.Orang tua Silvia takut jika anaknya menikah dengan Kak Dimas akan hidup susah, hingga akhirnya mereka menjodohkan Silvia dengan lelaki lain."Sejak kamu berpisah dengan Kak Dimas, kita belum bertemu lagi ya, Sil. Kamu apa kabar?" tanyaku."Aku baik, Sarah. Maaf kemarin aku nggak bisa datang di acara pernikahanmu, karena Papaku meninggal tepat di hari bahagiamu makanya aku nggak bisa datang.""Innalilahi wa innailaihi raji'un, aku turut berduka cita ya Sil. Memangnya Papa kamu sakit atau kenapa?" tanyaku."Iya Sar, Papaku meninggal karena serangan jantung setelah mendengar kabar jika aku sudah berpisah dengan mantan suamiku.""Oh, jadi kamu sudah bercerai? Pantas saja kamu ke
"Hah!"Dengan cepat aku menoleh, hingga kami saling bertatapan."Aku serius, Ti. Aku nggak bohong!" Ia menyakinkan lagi."Emm... Kamu pikir-pikir dulu aja deh, aku tuh nggak sebaik yang kamu lihat," jawabku."Percayalah Ti, aku sungguh-sungguh mencintai dan menyayangimu. Aku tidak peduli dengan masa lalumu seburuk apapun itu, karena bagiku masa lalu tetaplah masa lalu, tidak akan bisa menjadi masa depan," ucapnya lagi."Jangan pernah berpikir kamu tidak lagi pantas untuk dicintai. Kamu tidak sendiri, aku, mereka, dia, dan kita semua pernah melakukan kesalahan di masa lalu dan mereka berusaha bangkit kembali, karena masih banyak orang yang peduli dan men-support agar kita tidak terus-menerus terjabak dimasa lalu. Dan kamu pun bisa begitu!"Aku hanya tersenyum sungkan lalu membawa Adinda masuk ke dalam. Dadaku berdebar-debar dan pipi ini mulai menghangat, aku merasa tidak kuat jika harus terus menerus dipandang oleh Dimas.Didalam kamar aku merenung, pantaskah aku yang kotor ini menjadi
(Pov Wati)Suatu kebahagiaan saat aku bisa terlepas dari belenggu kejahatan Sulis, apalagi saat ini aku dipertemukan dengan keluarga yang begitu baik.Aku bahagia ketika melihat Sarah menikah dengan lelaki yang ia cintai, dan orang yang ia cintai itu memperlakukannya seperti Ratu.Namun, ditengah-tengah kebahagiaan mereka hati kecilku terasa kosong. Umurku sudah dewasa tetapi tidak seperti perempuan lainnya yang sudah berumah tangga.Adakalanya terbesit rasa iri ketika melihat wanita-wanita seusiaku atau dibawah umurku yang sudah memiliki suami dan mempunyai anak. Sementara aku masih sendiri disini menanti sang pangeran membawa kuda kelana untuk menjemput dan membawaku ke istana pelaminan. Namun sayang seribu sayang, pangeran yang aku nantikan tidak kunjung datang menjemput, semuanya masih sebatas angan dan harapan.Seburuk apapun aku dimasa lalu tentu saja aku sangat menginginkan sosok suami yang baik dan bisa membimbingku ke jalan yang benar."Ti, kamu nggak merasa bosan di rumah t
Tiba di rumah Kevin."Syukurlah, kalian sudah sampai rumah, ayo masuk!" ucap Mbak Wati sambil membukakan pintu."Bagaimana keadaanmu, Dim?" tanya Mbak Wati pada Kak Dimas."Sudah lebih baik, Ti. Makasih ya disela-sela kesibukanmu mengurus Adinda kamu masih sempetin buat jengukin aku." Kak Dimas tersenyum manis.Ya, aku memang menceritakan pada Kak Dimas jika Mbak Wati selalu menyempatkan diri ke rumah sakit untuk menjenguk dirinya."Iya sama-sama.""Semoga kamu betah tinggal disini ya, Dim," sahut Kevin sambil tersenyum."Iya Vin, aku pasti betah tinggal disini kok, apalagi adaa..." Kak Dimas tidak melanjutkan ucapannya."Ada siapa hayoo? Ada Mbak Wati ya...?" tanyaku dengan tatapan menyelidik. Mbak Wati yang sedang menggendong Adinda pun tampak tersenyum dengan wajah memerah."Apa sih, Rah? Enggak kok.""Emm, ya udah deh. Yuk aku antar ke kamar, Kakak istirahat aja ya.""Maaf ya Rah, ngerepotin kamu jadinya," ujar kak Dimas."Nggak repot kok, masa ngurusin Kakak sendiri bilang repot
"Syukurlah Kakak sudah sadar," ucapku sambil berjalan ke ranjang rumah sakit dengan gembira. Kak Dimas perlahan membuka kelopak matanya dan berkata dengan susah payah."Air... Air..."Dengan cepat Mbak Wati mengambilkan gelas berisi air matang yang ada di atas nakas dan menyerahkannya padaku.Setelah meminum beberapa teguk air Kak Dimas melihat ke sekeliling."Sarah, kita ada dimana?""Kita ada di rumah sakit, Kak," jawabku."Rumah sakit?" Kak Dimas menatap ke depan dengan tatapan kosong sepertinya ia sedang mengingat-ingat sesuatu."Iya, Kakak mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang dari rumahku dan sudah beberapa hari ini Kakak mengalami koma.""Sudah berapa lama Kakak koma?" tanya Kak Dimas lagi."Lima hari.""Apa? Tapi Kakak merasa baru tidur beberapa jam saja," ucapnya sambil memegang kepalanya."Sebenarnya apa yang terjadi sehingga Kamu bisa mengalami kecelakaan, Dim?" tanya Mbak Wati."Saat perjalanan pulang dari rumah Kevin, pandangan mataku kabur karena cuaca malam
Kami kembali ke depan ruang ICU, Adinda pun sudah terlelap di pangkuan Kevin."Wati, kamu pulang saja ya biar aku dan Sarah saja yang menjaga Dimas. Kasihan Adinda kalau kita ajak tidur disini,” ucap Kevin pada Mbak Wati."Iya Mbak, kamu pulang sama Adinda ya, besok lagi saja kalau Mbak mau kesini," sahutku."Ya sudah kalau gitu Mbak pulang dulu ya Rah, Vin. Besok pagi aku akan kesini mengantarkan pakaian untuk kalian," ucap Mbak Wati."Iya Ti, supirku sudah menunggu di depan jadi kamu tidak perlu menunggu lama." "Iya, terimakasih.Mbak Wati pun akhirnya pulang ke rumah bersama Adinda.***Matahari sudah menunjukkan sinarnya, aku merasakan leher ini begitu kaku dan nyut-nyutan, mungkin ini karena efek begadang semalaman di rumah sakit."Aargh..." Kevin pun terlihat merenggangkan tulang-tulangnya yang mungkin terasa kaku.Mata Kevin tampak berubah merah sebab tak tidur. Diliriknya jam yang tergantung di dinding rumah sakit, sudah menunjukkan pukul enam pagi."Sayang, Mas belikan sarap