“... lakik elu aman, kan?” Sebuah pertanyaan yang sejak tadi menempel kuat dalam ingatan dan telinga Aline. Nagita bertanya apakah Adam aman atau tidak, lalu apa tadi jawaban Aline? Tentu Aline jawab dengan jawaban yang sesuai dengan apa yang dia ketahui sekarang ini. “Gue nggak tau, Ta. Lu tau kan, gue kawin sama dia itu dadakan banget kemarin? H-7 sebelum acara, lu bisa bayangin nggak kalo ada di posisi gue?” “Ah elu!” tukas suara itu tegas. “Kalo calonnya sepotensial mas Adam mah gue enjoy dan tenang aja, Lin. Gila apa kayak gitu dilepeh gitu aja? Lu ibarat kata dapat harta karun peninggalan raja Fir`aun dari si Aleta, Lin.” Cih! Harta karun Fir`aun katanya! Dasar pengeretan memang sahabatnya satu ini! “Ya nggak gitu juga kale, Ta. Kan gue juga pengen punya pilihan sendiri.” Kilah Aline mencoba menyanggah Nagita. “Emang bisa jamin pilihan elu lebih baik dari pilihan nyokap-bokap lu?” Ah! Aline menghela napas panjang. Ia menghirup udara dalam-dalam. Agaknya untuk kali ini dia
Adam menghela napas panjang, ia menyandarkan tubuh di jok mobil dengan mata terpejam. Napasnya tidak beraturan dengan keringat sebiji jagung membasahi dahi dan wajahnya. Tidak! Adam tidak sedang beres bercinta, tetapi dia ketakutan sampai banjir keringat dingin macam ini. Jantungnya berdegub dua kali lebih cepat, sungguh ia sebenarnya tidak suka berada di posisi seperti ini.“Gusti, kenapa begini amat, sih?” runtuknya sambil melemparkan ponsel itu ke jok yang ada di sebelahnya.Adam mengusap keringat dengan tangan, berusaha menetralkan napas dan menenangkan dirinya. Menjadi pembohong itu sama sekali tidak mengenakkan! Bayangan segala macam konsekuensi yang akan dan harus Adam terima terus terbayang jelas dalam otaknya.“Ayo ngomong, Dam! Ngomong aja apa yang terjadi, apa susahnya sih?” ia memaki dirinya sendiri, mengutuk kebohongan demi kebohongan yang sudah dia lakukan pada orang-orang yang dia cintai.Aline ... ini adalah puncak ketakutan Adam. Ia begitu takut kalau-kalau istrinya i
"Rajin-rajin ya, cepet bikinin cucu buat Mama."Sebuah bisikan menyapa telinga Aline ketika dia membantu mengeluarkan roti-roti yang masih hangat itu dari dalam loyang. Ia seketika langsung menoleh, menatap Desi yang nampak nyengir lebar sambil menaikkan kedua alis. Aline melongo, tentu dia paham kemana arah bicara sang mama. Apa maksud kata rajin yang tadi dilontarkan pada Aline. Sebuah kata yang otomatis menghadirkan bayangan erotis yang semalam Aline lalu bersama Adam. "Eh udah main merah aja muka kamu, Lin? Bayangin apa?"Kontan Aline tersentak, ia jadi salah tingkah dan langsung memalingkan wajah dari sang mama. Pura-pura sibuk menata roti-roti itu di rak pendingin dan mengabaikan tatapan setengah menggoda yang kini Desi lancarkan. Terdengar kikik suara Desi menertawakan anak bungsunya ini. "Apaan sih, Ma?" protes Aline jengah, ia mengerucutkan bibir sambil memasang muka masam. Tawa Desi pecah, ia terbahak-bahak sambil menimpuk punggung Aline, membuat raut wajah itu berubah m
Adam mengetuk pintu perlahan, rumah nampak sepi membuat Adam sedikit ragu untuk kembali mengetuk pintu rumah mertuanya. Pasti semua sudah beristirahat, bukan? Adam mengumpulkan niat dan keberanian, hingga ketika ia hendak kembali mengetuk pintu di depannya, tiba-tiba pintu itu sudah terbuka lebar. “Mas baru pulang?” sebuah wajah manis menyapa Adam dari balik pintu. Senyum Adam merekah, tangannya terulur mencubit gemas pipi itu. Membuat si pemilik pipi kontan menepis tangannya dengan wajah cemberut. “Nungguin, ya?” tanya Adam seraya masuk ke dalam rumah. Nampak laptop sang istri bertengger di atas meja ruang tamu. Jadi sejak tadi Aline menantikan kepulangannya sambil menyelesaikan pekerjaan di depan sini? Mendadak ada sebuah perasaan pedih menjalar di relung hati Adam. Rasanya ia sudah sangat berdosa pada istrinya sendiri. “Iya nungguin, lah, Mas. Kalau enggak siapa nanti yang bukain Mas pintu?” gumam Aline lalu menutup dan mengunci pintu depan. Adam mengangguk, kembali tersenyum
“... sampai subuh, ya? Berani?” Tentu saja Aline membelalak mendengar apa yang keluar dari mulut suaminya ini. Sampai subuh? Adam hendak mengajaknya bercinta sampai subuh? Yang benar saja! Aline memberontak, mendorong dada Adam dengan tangannya. Berusaha melepaskan diri dari kungkungan tubuh Adam yang sudah mengunci tubuhnya. Sayang ... Aline kalah tenaga dari suaminya itu, membuat dia lantas menyuarakan protesnya melalui kata-kata. “Mas! Jangan ngadi-adi!” meskipun berhasil menyuarakan protes, Aline tetap berusaha melepaskan diri. “Yang kemarin aja belum ilang perihnya, Mas!” tentu Aline tidak berbohong, inti tubuhnya masih terasa pedih, bahkan ketika berkemih, Aline harus mengernyit menahan pedih pada organ kewanitaannya itu. Adam memperkuat kunciannya, sama sekali tidak ingin mangsanya malam ini lepas begitu saja. Tubuh itu benar-benar menjadi candu Adam sekarang. Meskipun baru sekali Adam menyentuhnya kemarin, tapi rasanya Adam ingin terus mengulang dan mengulangi kembali momen
Adam mencengkeram kuat-kuat rambut sang istri yang tergerai di atas bantal. Matanya terpejam, bibirnya setengah terbuka meloloskan desah lirih yang begitu erotis. Keringatnya bercucuran, tubuhnya terasa amat panas. Tak dia sangka, Aline yang ketika pertama kali Adam jumpa dulu begitu pendiam dan cenderung suka menyendiri, tenyata menyimpan sesuatu yang seindah ini.Jika hal pertama yang Adam kagumi adalah manis bibir Aline, maka ketika Adam berhasil menyentuh istrinya hingga titik terdalam tubuhnya, maka kekaguman Adam kini bertambah. Tidak hanya pada betapa manis bibir itu, lembut dan halus seluruh permukaan kulitnya, tetapi juga pada rasa yang begitu luar biasa hingga membuat Adam sukses tergila-gila seperti ini.“M-Mmaass!” Aline memekik tertahan, ia balas mencengkeram kuat-kuat lengan Adam yang Adam gunakan sebagai tumpuhan.Adam membuka matanya, menatap pemandangan indah di bawah tubuhnya yang sangat tidak boleh dia lewatkan. Bagaimana wajah cantik itu memerah bersimbah peluh den
"Kamu ada rencana apa hari ini, Sayang?" Adam nampak mengancingkan kemeja biru muda dengan motif garis yang menjadi seragam khusus hari Kamis. Seperti biasa, pagi adalah waktu yang cukup sibuk bagi semua orang, semua orang kecuali Aline. Di saat yang lain ribut tengah bersiap pergi bekerja, tidak dengan Aline. Ia masih dengan mata setengah terpejam dan menguap berkali-kali sembari menantikan sang suami kemudian pergi bekerja. Dan khusus untuk hari ini, agenda Aline setelah Adam pergi ke rumah sakit adalah kembali tidur sampai nanti pukul sepuluh. "Balik tidur setelah Mas pergi kerja." Jawab Aline santai sambil kembali menguap. Adam menoleh, menatap sang istri yang duduk di tepi ranjang dengan penampilan yang masih berantakan. Adam terkekeh, ia meraih sisir kemudian menyisir rambutnya. "Belum cukup tidurnya semalam?" seharusnya Adam tidak bertanya, karena Adam tahu betul malam model apa yang mereka berdua lewati semalam. Aline sontak membelalak, ia menatap gemas ke arah sang suami
"Mak?" Aline memanggil sosok itu, kantuknya hilang seketika. Nota pembelian mainan anak laki-laki itu dia masukkan ke dalam dompet, entah mengapa, Aline merasa bahwa benda itu begitu penting hingga tidak boleh hilang. Aline menyusuri dapur, sampai ke ruang cuci, namun tidak nampak sosok paruh baya itu ada di sana. Kondisi dapur, pantry dan ruang laundry pun bersih, rapi, bersinar. Sebuah hasil pekerjaan yang sempurna hingga Aline tidak heran kenapa Adam bersikukuh tetap mau dibantu mak Surati meskipun beliau sudah tidak muda lagi. Di mana asistennya itu? Kenapa tidak ada? Bukankah beberapa saat yang lalu dia masih ada dan menawari Aline sarapan? Ya meskipun tadi Aline menolak dan memilih masuk ke dalam kamar sampai akhirnya secarik kertas itu dia temukan dan membuat kantuknya seketika hilang. Aline memilih mandi selepas menyimpan nota itu, ada sesuatu yang harus dia lakukan dan itu semua berhubungan dengan secarik kertas dan rasa penasaran Aline yang rasanya seperti hampir mencekik
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di
“Jadi gimana?” cecar Irfan begitu Hendra duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Irfan.Nampak Hendra menghela napas panjang, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Hendra nampak fokus pada benda itu beberapa saat sampai kemudian ia menyodorkan ponselnya ke depan Irfan.Dengan segera Irfan meraih ponsel yang disodorkan padanya. Mata Irfan menyipit membaca rentetan data yang ada di sana, hingga kemudian mata itu membelalak ketika membaca nama orang tua dari lelaki yang hendak menikah dengan putri rekan bisnis Irfan.“Ye-Yeni?” tangan Irfan bergetar hebat, ia mengankat wajah, menatap Hendra yang nampak heran melihat perubahan pada wajah Irfan.“Betul, Pak. Itu ibu kandung dari si Kelvin.” jawab Hendra yang membuat Irfan segera menyandarkan tubuh di kursi.Otaknya mendadak blank. Jadi benar Kelvin adalah anak dari Yeni? Tapi belum tentu itu anak Irfan, kan? Bisa saja Kelvin adalah anak Yeni dengan suaminya, ada nama laki-laki yang tercatat sebagai ayah dari Kelvin d
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak
'Kenapa wajah itu ....'Irfan sama sekali tidak tenang. Sejak masuk ruang meeting beberapa saat yang lalu, ia selalu mencuri pandang ke arah itu. Sosok lelaki yang tadi diperkenalkan sebagai calon menantu dari rekan bisnisnya, lelaki yang secara kebetulan sekali duduk tepat di hadapan Irfan. "Jadi untuk pembangunan gedung, rencananya ...."Uraian-uraian itu hanya masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak masuk ataupun hinggap ke dalam otak Irfan. Pikirannya malah melayang jauh menebus waktu, kembali ke masa dimana kesibukan Irfan hanyalah bersenang-senang dan membuang-buang uang. 'Kenapa raut wajah itu begitu mirip? Tapi mana mungkin?'Keringat mengucur dari dahi Irfan, siluet wajah cantik nan sederhana itu tergambar jelas di pikirannya. Gadis sederhana yang mencuri hati Irfan dan membuat egonya berambisi untuk mendapatkan hati gadis itu. 'Tidak! Tidak!' hati Irfan menjerit. 'Aku sudah meminta dia mengugurkan kandungan itu! Jadi sangat tidak mungkin k
"Gimana ini?"Kelvin berkeringat, ia sudah menghabiskan secangkir kopi untuk sekedar membuatnya rileks. Namun ternyata, caranya sama sekali tidak berhasil. Ia sudah bersiap di ruang meeting. Semua dokumen dan berkas-berkas sudah siap. Semua manager yang berkepentingan dalam meeting ini pun sudah terlihat ready. Hanya satu yang belum siap, sama sekali tidak siap, yaitu Kelvin sendiri! "Udah ready semua ya, Vin?"Beni melangkah masuk, nampak tengah merapikan dasi yang dia kenakan. Dengan susah payah Kelvin menghela napas panjang, kepalanya mengangguk sementara ia memaksa suara keluar dari mulutnya tidak peduli sejak tadi lehernya terasa seperti dicekik. "Ready, Pa! Semua udah siap!" jawab Kelvin akhirnya. "Bagus! Mereka udah di bawah. Ikut papa sambut mereka, ya?"Kembali Kelvin membelalak. Ia dengan susah payah menelan ludah dan menganggukkan kepala. Mau bagaimana lagi? Punya kuasa apa Kelvin menolak?Dengan ragu Kelvin bangkit, segera mengekor di belakang langkah Beni. Jantungnya
Kelvin menatap jarum jam yang terus berputar dengan teratur tanpa berhenti barang sedetikpun. Kurang tiga puluh menit lagi dan untuk pertama kalinya, Kelvin akan bertemu langsung dengan lelaki itu. "Aku harus gimana?" Kelvin mendesah, keringat mengucur tidak peduli ruangan ini sudah cukup dingin. Dalam seumur hidup, Kelvin pernah memohon agar tidak dipertemukan dengan lelaki itu. Bukan apa-apa, ingatan Kelvin akan cerita sang mama membuat Kelvin tidak yakin akan bisa menahan emosinya. "Kenapa baru aja dapet kerjaan, dipercaya bos sekaligus calon mertua, cobaan aku udah seberat ini, Tuhan?" Kelvin mendesah, ia diliputi kebimbangan yang luar biasa. 'Kamu harus buktikan dan tampar lelaki itu dengan cara elegan!'Kata-kata yang sejak tadi diucapkan Aleta terus berdegung dalam kepala. Semula Kelvin ingin calon istrinya itu mendukungnya untuk pergi dan menghindari pertemuan itu. Nyatanya, Aleta punya pandangan lain. Tapi apakah pertemuan dengan Irfan akan membuat lelaki itu lantas meny