"Kamu mau ikut Adam pulang, Lin? Nggak di sini aja?"Sebuah pertanyaan langsung menyapa Aline begitu dia masuk ke dalam ruang makan. Aline tersenyum, menarik kursi dan duduk di atas kursi yang ada di seberang mamanya. "Iya, ikut dong. Papa gimana kerjaannya?" Aline meraih secangkir chamomile tea, menyesap cairan hangat itu hingga tinggal separuh di dalam cangkir. "Beres, lancar. Kamu masih sering komunikasi sama Rosa, Lin?"Aline mengambil selembar roti, melirik sang papa sekilas lalu meraih toples selai kacang. "Masih, Pa. Tiap hari malah berkabar terus. Sering video call juga sama Refal." Jawab Aline seraya mengoleskan selai kacang di atas selembar roti. "Dia itu kemarin mau dicarikan jodoh sama papa mertuamu. Eh nolak." Beni menyuapkan nasi ke dalam mulut, papanya itu harus selalu sarapan dengan nasi, sebuah kebiasaan yang sama sekali tidak bisa diganggu gugat. "Memang udah nggak mau nikah lagi, Pa. Pengennya cuma sekali seumur hidup." sebuah prinsip yang membuat Aline terkes
Kelvin menghela napas panjang. Ia baru saja beres memarkirkan mobil di area parkir gedung perkantoran milik calon mertuanya. Ia melepaskan seat belt dengan segera, menatap pantulan wajahnya di cermin dengan saksama. "Rapi, kan? Masa iya datang ke kantor calon papa mertua malu-maluin sih?" Kelvin agak minder sebenarnya, tapi apa boleh buat? Menolak perintah dari Beni, sama saja minta izin jadi menantu dicoret permanen! Dengan keyakinan penuh, Kelvin membuka pintu mobil, melangkah turun dari sana dan bergegas melangkah menuju gedung. Dia memang tidak memakai setelan jas macam para eksekutif muda, hanya kemeja dan celana bahan rapi. Baru saja ia hendak menghampiri pintu masuk, seorang security sudah menyambutnya dengan sangat ramah. "Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa dibantu?" Kelvin tersenyum, "Saya diundang pak Beni bertemu beliau, Pak." "Oh ... pak Kelvin, ya? Mari silahkan. Tadi bapak sudah pesan suruh antar ke ruangan beliau. Nanti biar dibantu sama resepsionis, Pak."Kembali Ke
"Ya Aleta maunya kami berdua mandiri, Pa. Benar-benar bisa berdiri sendiri." Kelvin dengan sangat hati-hati menjelaskan, tentu dia tidak ingin mendapatkan masalah perihal penolakannya atas tawaran Beni barusan. Bukan apa-apa, masalahnya itu adalah prinsip yang Aleta miliki sejak dulu sekali. Tidak peduli bapaknya punya perusahaan sendiri, Aleta lebih memilih bekerja di tempat lain, tanpa bayang-bayang nama besar orang tuanya sama sekali. Beni menghela napas panjang. Wajahnya berubah keruh sejak penolakan itu Kelvin utarakan. Bukan salah Beni kalau dia kecewa, orang tua mana yang tidak kecewa kalau kejadiannya seperti ini? "Terus papa kerja mati-matian selama ini buat apa kalau nggak ada yang mau nerusin, Vin? Coba kamu ada di posisi papa, gimana perasaan kamu?" tantang Beni yang seketika membuat Kelvin menundukkan wajah. "Ya Kelvin paham, Pa, ta--""Sudah!" potong Beni cepat dengan nada tegas. "Jemput Aleta, bawa dia kesini juga sekarang, Vin! Papa harus ngomong sama kalian berdua
“Kamu pasti ngomong aneh-aneh, kan, sama papa?”Kelvin yang tengah mencoba fokus dengan setir kontan melonjak. Sejak keluar dari gedung perkantoran tempat di mana Aleta bekerja, gadis itu selalu mengomel panjang-lebar, dan ujungnya, Kelvin mendapat sebuah tuduhan yang sama sekali tidak pernah dia lakukan.“Aku ngomong apaan sih? Memang pikirmu aku ngomong apa sama papa?” Kelvin mencoba sabar, fokusnya tentu segera membawa gadis ini ke kantor sang papa, biarkan bapaknya sendiri yang bilang, daripada Kelvin salah bicara dan malah tambah memperkeruh suasana.“Ya mana aku tahu? Memang kamu ngomong apaan sama papa?” salak gadis itu galak.“Jadi begini ....” sedikit menjelaskan tidak ada salahnya, “Aku tadi tiba-tiba ditelpon sama papa, Sayang. Disuruh papa pergi ke kantor. Yaudah aku kesana dong. Masa iya aku mau nggak datang?”Aleta bergeming, dua tangannya masih dilipat di depan dada.“Pas aku sampai di sana, papa udah nungguin ternyata. Dan kamu tahu, apa yang papa bilang ke aku?”“Mana
Aleta mendadak merasakan lidahnya begitu kelu. Perlahan tapi pasti, ia mengangkat wajah. Karena kalau tidak ... bisa dipastikan Beni akan murka dan hilang kesabaran. Aleta menatap mata yang masih terasa hangat meskipun pancaran mata itu begitu tajam. Ia menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjawab segala macam ketakutan yang membelenggunya selama ini.“Sebenarnya ... aku cuma takut kalau tidak bisa sebaik papa, pa. Mewarisi semua ini dari papa macam sebuah beban yang benar-benar berat. Aku harus bisa membawa perusahaan ini lebih maju di tangan aku, atau kalau tidak ... aku malah akan membuat semuanya jadi kacau.” Suara Aleta bergetar, ia sudah mengerahkan semua keberaniannya untuk menjawab.“Kamu belum coba, Ta ... bagaimana bisa kamu berpikiran, bahkan menyimpulkan hal tersebut tanpa kamu coba dulu?” suara Beni berubah lebih lembut, membuat mata Aleta mendadak terasa panas.“Aku nggak akan coba-coba dengan tanggung jawab sebesar ini, Pa. Perusahaan ini bukan ajang p
"Masa nggak bisa lagi, Dam?"Terdengar protes dari seberang membuat Adam tersenyum geli membayangkan bagaimana raut ekspresi mamanya detik ini. Sekuat tenaga Adam menahan tawanya agar tidak pecah, ia sengaja mengerjai mamanya, kado yang akan Adam berikan sepadan kok, jadi dia tidak akan takut kualat pada wanita yang sudah melahirkan dia kedunia ini.“Ma ... jadwal Adam lagi banyak-banyaknya ini!” tentu ini sebuah kebohongan, Adam sudah request libur di hari spesiali itu. Bahkan sudah meminta bantuan dokter bedah lain pada hari itu jika ada hal-hal yang tidak diinginkan.“Alah!” tukas suara itu gemas. “Dari dulu itu terus alasan kamu, Dam! Mama sampe bosen dengernya!” omel suara itu terdengar sangat kesal.“Loh ... namanya juga dokter, Ma. Mama loh yang support Adam bisa jadi kayak begini.” Kilah Adam membela diri, intinya ia ingin membuat mamanya itu kesal sampai kemudian kado spektakuler yang sudah Adam dan Aline siapkan tiba saatnya diberikan.“Kan kamu juga yang kepengen, Dam! Coba
“Jadi, untuk apa kamu tumben banget ngajak makan aku di sini?”Aline meletakkan gelas es cokelat yang dia pesan. Satu tangan meraih tissu untuk menyeka mulut, lalu menatap kembarannya yang duduk tepat di depan Aline.“Jujur aja ya, Ta ... Papa curhat dan minta tolong sama aku tadi.”Rasanya tidak perlu ada yang ditutupi, Aline mengabaikan semua pesanan yang terhantar di atas meja, matanya fokus menatap bagaimana Aleta nanti menanggapi hal serius yang hendak dia bicarakan.Di luar dugaan, Aleta tidak menjawab dengan beberapa kata atau kalimat, ia malah tertawa terbahak-bahak membuat Aline melotot terkejut dengan apa yang dilakukan Aleta. Ada apa dengan gadis itu?“Eh ... seriusan, Ta! Kulempar gelas tau rasa kamu nanti!” salak Aline gemas.“Sory ... bukan bermaksud apa-apa, cuma kalau hanya masalah penerus perusahaan papa, semua itu udah clear.”Mata Aline membulat. Dia tidak salah dengar, kan? Sudah clear? Apakah itu artinya saudarinya ini sudah sepakat untuk membantu papa mereka mene
"Mama ada nelpon tadi?"Aline mengerutkan kening, ia meletakkan novel yang sejak tadi dia baca, lalu menurunkan kaki dari sofa. Ada apa dengan suaminya ini? Kenapa pulang kerja malah menanyakan mamanya? "Enggak. Memang kenapa?" tentu Aline penasaran, suami ini kenapa? Adam nampak menghela napas panjang, melangkah masuk ke dalam ruang baca milik mereka dan duduk di sebelah sang istri. "Di teror papa aku tadi. Dipaksa ikut acara mama. Kupikir mama nelpon terus nyuruh kamu neror aku juga." jelas Adam sambil meraih kepala Aline dan membenamkan kepala itu ke dadanya."Kalau itu sih udah dari kemarin mama bujuk aku supaya maksa kamu ikut acara dia, cuma nggak aku lakuin aja perintah mama." jawab Aline yang kontan membuat Adam mencebik."Ah ... jadi kamu udah disuruh juga nih?"Tawa Aline kontan pecah, ia terbahak-bahak melihat betapa masam wajah suaminya ini. Kenapa harus sejelek itu wajah Adam? Toh sebenarnya dia akan tetap ikut dalam acara itu dan jangan lupa, kalau semua kejutan untu