Aline menghela napas panjang, testpack-testpack itu berjejer di lantai kamar mandi. Apakah tidak ada kado lain yang bisa mereka berikan selain puluhan testpack bekas pakai milik Aline? "Mas, kurang berapa sih?" Aline sudah mengantuk, sementara Adam, dia masih semangat mencelupkan ujung testpack itu ke dalam urine milik Aline yang ditampung di jar kecil. "Bentar, masih kurang dua puluh lagi." jawab Adam santai tanpa memalingkan wajah. Dua puluh lagi? Aline kontan melotot, ingin rasanya dia berteriak namun sudah kehabisan daya karena matanya sendiri tinggal lima watt saja. Aline menguap, mengutarakan kantuknya dalam bentuk lain. Harap-harap Adam peka, kalau tidak, entah harus berapa lama dia berdiam diri di dalam kamar mandi bersama Adam macam ini. "Udah ngantuk, Sayang?" Adam masih tidak menoleh, untungnya sih dia peka. "Iya, Mas! Ngantuk banget udahan." jawab Aline menegaskan. Dia memang sudah begitu mengantuk. Dan kegiatan mencelupkan ujung testpack itu sangat membosankan sekal
"Kamu mau ikut Adam pulang, Lin? Nggak di sini aja?"Sebuah pertanyaan langsung menyapa Aline begitu dia masuk ke dalam ruang makan. Aline tersenyum, menarik kursi dan duduk di atas kursi yang ada di seberang mamanya. "Iya, ikut dong. Papa gimana kerjaannya?" Aline meraih secangkir chamomile tea, menyesap cairan hangat itu hingga tinggal separuh di dalam cangkir. "Beres, lancar. Kamu masih sering komunikasi sama Rosa, Lin?"Aline mengambil selembar roti, melirik sang papa sekilas lalu meraih toples selai kacang. "Masih, Pa. Tiap hari malah berkabar terus. Sering video call juga sama Refal." Jawab Aline seraya mengoleskan selai kacang di atas selembar roti. "Dia itu kemarin mau dicarikan jodoh sama papa mertuamu. Eh nolak." Beni menyuapkan nasi ke dalam mulut, papanya itu harus selalu sarapan dengan nasi, sebuah kebiasaan yang sama sekali tidak bisa diganggu gugat. "Memang udah nggak mau nikah lagi, Pa. Pengennya cuma sekali seumur hidup." sebuah prinsip yang membuat Aline terkes
Kelvin menghela napas panjang. Ia baru saja beres memarkirkan mobil di area parkir gedung perkantoran milik calon mertuanya. Ia melepaskan seat belt dengan segera, menatap pantulan wajahnya di cermin dengan saksama. "Rapi, kan? Masa iya datang ke kantor calon papa mertua malu-maluin sih?" Kelvin agak minder sebenarnya, tapi apa boleh buat? Menolak perintah dari Beni, sama saja minta izin jadi menantu dicoret permanen! Dengan keyakinan penuh, Kelvin membuka pintu mobil, melangkah turun dari sana dan bergegas melangkah menuju gedung. Dia memang tidak memakai setelan jas macam para eksekutif muda, hanya kemeja dan celana bahan rapi. Baru saja ia hendak menghampiri pintu masuk, seorang security sudah menyambutnya dengan sangat ramah. "Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa dibantu?" Kelvin tersenyum, "Saya diundang pak Beni bertemu beliau, Pak." "Oh ... pak Kelvin, ya? Mari silahkan. Tadi bapak sudah pesan suruh antar ke ruangan beliau. Nanti biar dibantu sama resepsionis, Pak."Kembali Ke
"Ya Aleta maunya kami berdua mandiri, Pa. Benar-benar bisa berdiri sendiri." Kelvin dengan sangat hati-hati menjelaskan, tentu dia tidak ingin mendapatkan masalah perihal penolakannya atas tawaran Beni barusan. Bukan apa-apa, masalahnya itu adalah prinsip yang Aleta miliki sejak dulu sekali. Tidak peduli bapaknya punya perusahaan sendiri, Aleta lebih memilih bekerja di tempat lain, tanpa bayang-bayang nama besar orang tuanya sama sekali. Beni menghela napas panjang. Wajahnya berubah keruh sejak penolakan itu Kelvin utarakan. Bukan salah Beni kalau dia kecewa, orang tua mana yang tidak kecewa kalau kejadiannya seperti ini? "Terus papa kerja mati-matian selama ini buat apa kalau nggak ada yang mau nerusin, Vin? Coba kamu ada di posisi papa, gimana perasaan kamu?" tantang Beni yang seketika membuat Kelvin menundukkan wajah. "Ya Kelvin paham, Pa, ta--""Sudah!" potong Beni cepat dengan nada tegas. "Jemput Aleta, bawa dia kesini juga sekarang, Vin! Papa harus ngomong sama kalian berdua
“Kamu pasti ngomong aneh-aneh, kan, sama papa?”Kelvin yang tengah mencoba fokus dengan setir kontan melonjak. Sejak keluar dari gedung perkantoran tempat di mana Aleta bekerja, gadis itu selalu mengomel panjang-lebar, dan ujungnya, Kelvin mendapat sebuah tuduhan yang sama sekali tidak pernah dia lakukan.“Aku ngomong apaan sih? Memang pikirmu aku ngomong apa sama papa?” Kelvin mencoba sabar, fokusnya tentu segera membawa gadis ini ke kantor sang papa, biarkan bapaknya sendiri yang bilang, daripada Kelvin salah bicara dan malah tambah memperkeruh suasana.“Ya mana aku tahu? Memang kamu ngomong apaan sama papa?” salak gadis itu galak.“Jadi begini ....” sedikit menjelaskan tidak ada salahnya, “Aku tadi tiba-tiba ditelpon sama papa, Sayang. Disuruh papa pergi ke kantor. Yaudah aku kesana dong. Masa iya aku mau nggak datang?”Aleta bergeming, dua tangannya masih dilipat di depan dada.“Pas aku sampai di sana, papa udah nungguin ternyata. Dan kamu tahu, apa yang papa bilang ke aku?”“Mana
Aleta mendadak merasakan lidahnya begitu kelu. Perlahan tapi pasti, ia mengangkat wajah. Karena kalau tidak ... bisa dipastikan Beni akan murka dan hilang kesabaran. Aleta menatap mata yang masih terasa hangat meskipun pancaran mata itu begitu tajam. Ia menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjawab segala macam ketakutan yang membelenggunya selama ini.“Sebenarnya ... aku cuma takut kalau tidak bisa sebaik papa, pa. Mewarisi semua ini dari papa macam sebuah beban yang benar-benar berat. Aku harus bisa membawa perusahaan ini lebih maju di tangan aku, atau kalau tidak ... aku malah akan membuat semuanya jadi kacau.” Suara Aleta bergetar, ia sudah mengerahkan semua keberaniannya untuk menjawab.“Kamu belum coba, Ta ... bagaimana bisa kamu berpikiran, bahkan menyimpulkan hal tersebut tanpa kamu coba dulu?” suara Beni berubah lebih lembut, membuat mata Aleta mendadak terasa panas.“Aku nggak akan coba-coba dengan tanggung jawab sebesar ini, Pa. Perusahaan ini bukan ajang p
"Masa nggak bisa lagi, Dam?"Terdengar protes dari seberang membuat Adam tersenyum geli membayangkan bagaimana raut ekspresi mamanya detik ini. Sekuat tenaga Adam menahan tawanya agar tidak pecah, ia sengaja mengerjai mamanya, kado yang akan Adam berikan sepadan kok, jadi dia tidak akan takut kualat pada wanita yang sudah melahirkan dia kedunia ini.“Ma ... jadwal Adam lagi banyak-banyaknya ini!” tentu ini sebuah kebohongan, Adam sudah request libur di hari spesiali itu. Bahkan sudah meminta bantuan dokter bedah lain pada hari itu jika ada hal-hal yang tidak diinginkan.“Alah!” tukas suara itu gemas. “Dari dulu itu terus alasan kamu, Dam! Mama sampe bosen dengernya!” omel suara itu terdengar sangat kesal.“Loh ... namanya juga dokter, Ma. Mama loh yang support Adam bisa jadi kayak begini.” Kilah Adam membela diri, intinya ia ingin membuat mamanya itu kesal sampai kemudian kado spektakuler yang sudah Adam dan Aline siapkan tiba saatnya diberikan.“Kan kamu juga yang kepengen, Dam! Coba
“Jadi, untuk apa kamu tumben banget ngajak makan aku di sini?”Aline meletakkan gelas es cokelat yang dia pesan. Satu tangan meraih tissu untuk menyeka mulut, lalu menatap kembarannya yang duduk tepat di depan Aline.“Jujur aja ya, Ta ... Papa curhat dan minta tolong sama aku tadi.”Rasanya tidak perlu ada yang ditutupi, Aline mengabaikan semua pesanan yang terhantar di atas meja, matanya fokus menatap bagaimana Aleta nanti menanggapi hal serius yang hendak dia bicarakan.Di luar dugaan, Aleta tidak menjawab dengan beberapa kata atau kalimat, ia malah tertawa terbahak-bahak membuat Aline melotot terkejut dengan apa yang dilakukan Aleta. Ada apa dengan gadis itu?“Eh ... seriusan, Ta! Kulempar gelas tau rasa kamu nanti!” salak Aline gemas.“Sory ... bukan bermaksud apa-apa, cuma kalau hanya masalah penerus perusahaan papa, semua itu udah clear.”Mata Aline membulat. Dia tidak salah dengar, kan? Sudah clear? Apakah itu artinya saudarinya ini sudah sepakat untuk membantu papa mereka mene
"Kamu serius?"Bukan pertanyaan lain yang Kelvin lemparkan, ia langsung mencecar Aleta begitu mereka bertemu di depan kantor Aleta. Tidak salah kalau sampai Kelvin masih tidak percaya dengan keputusan yang Aleta buat, pasalnya sejak dulu Aleta selalu menolak permintaan Beni untuk bergabung di perusahaan keluarga dan sekarang? "Bisa kita pending nanti untuk interview-nya? Bantuin dulu dong!" Aleta langsung menarik tangan Kelvin masuk ke gedung. Kelvin pun menurut saja, ia membiarkan Aleta membawanya masuk ke dalam gedung, melangkah ke sofa yang ada di loby gedung. "Tolong bantuin bawa ke mobil, ya?" pinta Aleta dengan seulas senyum manis. Sejenak Kelvin tertegun, ada dua kardus di sana. Kelvin mengalihkan pandangan, menatap Aleta yang masih mengukir senyum manis di wajah. "Ka-kamu beneran resign?" tanya Kelvin seolah masih tidak percaya. Kini tawa Aleta tergelak, ia mencubit gemas pipi Kelvin, membuat Kelvin memekik antara terkejut dan kesakitan dibuatnya. "Kamu pikir aku tadi h
"Vin, kamu handle proyek yang ini, ya?"Berkas-berkas itu dihantarkan Beni secara langsung ke mejanya, membuat Kelvin segera meraih dan membacanya dengan saksama. Nilai proyek ini sangat jauh di bawah proyek dengan Irfan, tapi bagi Kelvin, itu bukan masalah yang serius. Selama ia tidak harus sering bertemu dengan lelaki itu, semua lebih dari cukup. "Deal! Kelvin sangat berterimakasih sama Papa." ucap Kelvin sembari tersenyum. Beni balas tersenyum, ia menepuk bahu Kelvin dengan lembut."Sebenarnya Papa ingin kamu tetap di sana, Vin. Nilai proyek dan prospek ke depannya sangat menjanjikan untuk kariermu, tapi sayang...."Kelvin tersenyum, "Tidak apa, Pa. Bukankah ini yang Kelvin minta? Setidaknya keputusan ini tidak membuat Aleta terus menerus khawatir."Beni kembali tersenyum, setuju dengan apa yang Kelvin katakan barusan. Misi visi mereka sama, yaitu membuat Aleta bahagia dan itu sudah mutlak. "Baiklah kalau begitu, Vin. Kamu bisa pelajari dulu untuk proyek baru mu, kalau ada pert
"Ke kantor pak Beni, Pak?"Hendra terkejut, hari ini tidak ada jadwal meeting dengan perusahaan Beni, lantas untuk apa Irfan meminta untuk diantarkan ke sana. "Iya, kesana. Emangnya tadi saya bilang kita mau kemana, Hen?"Kalimat tanya yang dilemparkan balik pada Hendra adalah sebuah penegasan bahwa Irfan tidak main-main dengan ucapannya. Hendra menghela napas panjang, ia mengangguk pelan sembari mempersilahkan Irfan melangkah lebih dulu. Hendra kembali teringat pada sosok Kelvin. Apakah Irfan minta diantar ke sana hanya agar bisa melihat Kelvin? Hendra terus memunculkan siluet wajah Kelvin dalam pikiran, memang kalau diperhatikan, ada beberapa bagian wajah yang mirip dengan Irfan. Kalau hanya sekilas, tidak akan ditemukan kemiripan itu, namun kalau diperhatikan dengan saksama, ada wajah Irfan di sana. "Kok ngelamun, Hen? Kenapa?"Pertanyaan itu kontan membuat Hendra tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati mata itu dengan memperhatikan dirinya. "Saya teringat putra Bapak, Pak
"Astaga!"Beni menghela napas panjang, sementara Aleta, ia bersandar di kursi teras dengan wajah lesu. Selesai sudah ia menceritakan rahasia terbesar dalam hidup Kelvin. Ia sedikit takut sebenarnya, takut Kelvin marah karena Aleta sudah ingkar janji untuk menjaga rahasia ini dari siapapun. Tapi Aleta lakukan ini juga demi Kelvin! "Jadi secara nggak langsung, kamu minta papa tarik Kelvin dari proyek papa sama dia?"Aleta segera menoleh, kepalanya terangguk dengan cepat. Wajahnya berubah, menyorotkan sebuah permohonan. "Tapi belum tentu juga, kan, si Irfan tahu kalau Kelvin ini anak kandung dia, Ta?" wajah Beni nampak ragu. "Pa ... dia udah tahu siapa mama Kelvin, kalaupun sekarang dia belum tahu, cepat atau lambat dia akan tahu!" kekeuh Aleta tidak ingin di bantah. "Coba nanti papa carikan ganti dulu, sebenarnya ini proyek pas banget dan bagus buat Kelvin, Ta." desis Beni lirih. "Nggak bagus kalau nanti dia sampai kenapa-kenapa, Pa! Aku nggak mau itu kejadian!" tegas Aleta mengult
"Bagaimana kerjasama mu dengan Beni, Fan? Sudah sampai mana?"Irfan tersentak, ia mengangkat wajah dan mendapati wajah lelaki itu tengah menatap lurus ke arahnya. Dia adalah Setiawan, papa kandung Irfan, orang yang mewariskan segala macam kekayaan dan kekuasaan yang sekarang ada di tangan Irfan. "Baik, Pa. Semua baik. Lusa mungkin kami sudah harus ada di lokasi untuk meninjau dan memantau secara langsung proyek berjalan." jawab Irfan mencoba fokus dan mengenyahkan bayangan Yeni dan Kelvin yang terus bercokol dalam kepalanya. Di meja makan itu tidak hanya ada Irfan dan Setiawan, ada Mery, istri Irfan dan Clarisa, anak bungsu Irfan. Orang-orang ini adalah orang yang tidak boleh tahu, rahasia apa yang selama ini tersimpan, bahwa sebenarnya Irfan memiliki anak lain di luar pernikahannya. "Jangan sampai mengecewakan Beni, papa sudah peringatkan kamu berulang kali, kan? Dia bisa menjadi tonggak supaya perusahaan kita makin kokoh." ucap Setiawan yang entah sudah keberapa kali. Irfan hany
"Dia habis nemuin kamu? Serius? Tapi kamu nggak apa-apa kan?" Seketika Aleta panik. Bagaimana tidak kalau calon suaminya ditemui oleh lelaki yang sejak dulu sekali ingin membunuhnya tak peduli dia adalah ayah kandung dari Kelvin. "Emang dia mau ngapain aku sih, Yang? Aku malah takut dia nekat nyari mama, ganggu mama lagi." jelas suara itu risau. "Dia ngomong apa emang?" kejar Aleta penasaran, harusnya tadi dia tidak langsung pulang, jadi dia bisa melihat dan mendengar langsung apa yang lelaki itu katakan pada Kelvin. "Cuma nanya aku bener anak mama apa bukan. Entah dia tahu dari mana, keceplosan juga tadi dia ngomong kalau dia itu dulu temen deket mama." Aleta mendengus perlahan, baru tahu dia kalau Irfan ini orangnya sedikit tidak tahu malu. "Kamu jawab apa? Kamu pura-pura nggak tahu soal rahasia mama sama Irfan, kan?" kekhawatiran mulai menyelimuti hati Aleta, ia benar-benar takut kalau sampai Irfan tega menyakiti Kelvin! "Ya aku berlagak bodoh, sekalian mau mancing reaksi di
“Jadi gimana?” cecar Irfan begitu Hendra duduk di kursi yang ada di depan meja kerja Irfan.Nampak Hendra menghela napas panjang, ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel dari dalam sana. Hendra nampak fokus pada benda itu beberapa saat sampai kemudian ia menyodorkan ponselnya ke depan Irfan.Dengan segera Irfan meraih ponsel yang disodorkan padanya. Mata Irfan menyipit membaca rentetan data yang ada di sana, hingga kemudian mata itu membelalak ketika membaca nama orang tua dari lelaki yang hendak menikah dengan putri rekan bisnis Irfan.“Ye-Yeni?” tangan Irfan bergetar hebat, ia mengankat wajah, menatap Hendra yang nampak heran melihat perubahan pada wajah Irfan.“Betul, Pak. Itu ibu kandung dari si Kelvin.” jawab Hendra yang membuat Irfan segera menyandarkan tubuh di kursi.Otaknya mendadak blank. Jadi benar Kelvin adalah anak dari Yeni? Tapi belum tentu itu anak Irfan, kan? Bisa saja Kelvin adalah anak Yeni dengan suaminya, ada nama laki-laki yang tercatat sebagai ayah dari Kelvin d
"Bagaimana kalau benar dia ...."Irfan baru saja hendak memikirkan kemungkinan terburuk, ketika tiba-tiba ponsel di atas meja berdering nyaring. Ia tersentak terkejut, dengan bergegas diraihnya benda itu dan segera mengangkat panggilan yang dilayangkan kepadanya. "Gimana, Hen?" Tanya Irfan tak sabar. "Saya sudah dapat semua informasi mendetail tentang calon menantu pak Beni, Pak. Saya da--.""Posisimu di mana?" Tanya Irfan dengan segera. "Saya masih di kampus te--.""Ke ruangan saya sekarang! Saya tunggu!"Tut! Irfan segera memutuskan sambungan telepon. Hatinya benar-benar risau. Ia ingin Hendra menjelaskan dan memberitahu semua informasi itu secara langsung di hadapan Irfan. "Semoga tidak seperti apa yang aku pikirkan." Irfan mendesah panjang. Kepalanya mendadak pening. Tentu ini bukan hal yang mudah untuknya kalau benar ternyata anak itu adalah buah cintanya dengan Yeni. Baik dulu maupun sekarang, kehadirannya akan menjadi sebuah masalah besar! Hal yang kemudian membuat Irfan
"Bapak nggak apa-apa?"Irfan tersentak, ia menatap ke arah sebelahnya, di mana Hendra nampak tengah memperhatikan dirinya dengan saksama. "Fine. Saya nggak apa-apa." Irfan menghela napas panjang, berusaha menyunggingkan seulas senyum untuk menutupi pikirannya yang berkecamuk. "Bapak yakin? Sejak tadi saya lihat Bapak seperti tidak fokus. Bapak benar-benar tidak apa-apa? Atau mungkin merasa pusing?"Irfan terkekeh, kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban akan kekhawatiran Hendra. Ternyata anak buahnya begitu memperhatikan Irfan dengan detail. Sampai-sampai dia tahu bahwa sejak tadi pikiran Irfan memang melayang sampai mana-mana.Bagaimana Irfan bisa tenang, kalau wajah dan sorot mata pemuda tadi mengingatkan Irfan pada seseorang pada masa lalu yang bahkan sudah Irfan lupakan sekian lamanya. "Hen, masih ingat tugas yang tadi saya kasih ke kamu?" Irfan benar-benar penasaran, kali ini tujuan Irfan berbeda. Ia memang penasaran, tapi dalam konteks lain."Tentu masih ingat, Pak. Bapak