Alya melangkah keluar dari ruang makan dengan kepala yang penuh pikiran. Suara dentingan alat makan yang sebelumnya terdengar riuh kini terasa seperti gema dari kejauhan. Pertemuan terakhir dengan Adrian—dengan tatapan dingin dan kalimat tajamnya—masih membekas di hati Alya. "Alya, kenapa kamu membiarkan dirimu tenggelam sejauh ini?" bisiknya pada diri sendiri sambil menyandarkan punggung pada dinding koridor. Namun, sebelum ia bisa merenung lebih jauh, suara langkah kaki mendekat. Adrian berdiri di depannya dengan sorot mata yang tidak lagi menunjukkan kebekuan seperti tadi. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda—campuran penyesalan dan kebimbangan. "Alya, kita perlu bicara," ujarnya pelan. Alya mengangkat dagunya, berusaha menunjukkan kekuatan, meski hatinya rapuh. "Apa lagi yang ingin kamu katakan, Adrian? Bukankah semuanya sudah jelas?" Adrian menghela napas, wajahnya terlihat lebih lelah daripada biasanya. "Aku tahu aku telah memperlakukanmu dengan cara yang salah. Tapi... a
Hujan deras mengguyur kota malam itu, meninggalkan genangan air yang memantulkan lampu jalan yang berkilauan. Suara hujan yang menghantam atap rumah terasa menenangkan, tetapi bagi Alya, malam itu jauh dari kata damai. Ia duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya kembali pada percakapan yang ia dengar tadi di depan ruang kerja Adrian. Kata-kata itu terus berulang di kepalanya, mengusik hatinya. Apakah ia sudah terlalu percaya pada Adrian? Ataukah selama ini ia hanya melihat sisi yang ingin ia lihat? Handphone di tangannya bergetar. Pesan dari Adrian masuk, tetapi ia ragu untuk membacanya. Ia menatap layar itu cukup lama sebelum akhirnya membuka pesan tersebut. "Alya, aku perlu bicara denganmu. Tolong jangan salah paham." Hanya itu isi pesannya. Tidak ada penjelasan. Tidak ada permintaan maaf. Alya menghela napas panjang. Semakin ia mencoba memahami situasi ini, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Ia ingat kembali ekspresi wajah Adrian
Suara sirine memecah keheningan malam, membangunkan penduduk kota yang sebelumnya terlelap dalam mimpi. Jalan-jalan yang biasanya sepi kini dipenuhi oleh kendaraan patroli yang berlalu lalang. Namun di dalam gedung tua yang sudah usang, keheningan terasa begitu menyesakkan. Alya berdiri di tengah ruangan itu, matanya memindai setiap sudut dengan hati-hati. Adrian berdiri di belakangnya, mengamati dengan tatapan tajam. “Kita harus cepat. Tempat ini tidak aman.” Alya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Di tangannya, ia menggenggam dokumen yang sudah lusuh, namun masih jelas terlihat tulisan di atasnya. Dokumen itu adalah bukti pertama yang ia temukan tentang keterlibatan Adrian dalam sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang selama ini ia hindari untuk percaya. “Apa sebenarnya tempat ini?” tanya Alya, suaranya terdengar pelan, nyaris berbisik. Adrian tidak segera menjawab. Ia hanya menatap sekeliling, memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka. “Ini adalah salah satu tempat persemb
Alya membuka matanya dengan perlahan. Nyeri di pelipisnya seperti mengingatkan bahwa ia baru saja melewati malam yang penuh dengan ketegangan. Di sekitarnya, suasana terasa sepi, hanya terdengar deru angin yang menyusup melalui celah-celah kecil di dinding. Ia mencoba menggerakkan tubuhnya, namun rasa sakit yang tajam di bahunya membuatnya meringis. Ia berada di sebuah ruangan sempit dengan dinding kayu yang mulai lapuk. Jendela kecil di sudut ruangan membiarkan sinar matahari masuk, memperlihatkan tumpukan barang-barang tua yang berdebu. Aroma lembap memenuhi udara, membuatnya merasa terjebak di tempat yang asing. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, tetapi pikirannya terasa kacau. "Adrian," gumam Alya, suaranya hampir tak terdengar. Ia memaksakan tubuhnya untuk bangun, meski setiap gerakan terasa seperti siksaan. Ia harus memastikan Adrian selamat. Ia tidak bisa membiarkan pikiran buruk mengambil alih dirinya. Langkah kakinya terdengar berat saat ia mendekati pintu k
Bayangan malam yang menutupi kota semakin pekat saat angin berembus perlahan, membawa aroma hujan yang mengendap di jalanan aspal. Alya berdiri di balik tirai jendela kamar apartemennya, memandangi kegelapan yang kini terasa lebih akrab daripada cahaya siang. Sejak pesan misterius itu masuk ke dalam hidupnya, ia tahu bahwa segala sesuatu tidak akan pernah sama lagi.Dunia Alya dulunya begitu sederhana—kantor, teman-teman, dan rutinitas yang terkadang membosankan tetapi aman. Namun, malam itu semuanya berubah. Ia kini hidup dalam bayang-bayang ketakutan yang terus membayanginya, menenggelamkan setiap sisa keberanian yang ia miliki.Ponselnya bergetar di atas meja. Ia melirik layar, berharap itu hanya pesan biasa dari rekan kerja atau sekadar notifikasi tak penting. Tetapi layar itu kosong. Alya menghela napas panjang, mencoba menenangkan debar jantungnya yang terasa terlalu keras. Namun, perasaan was-was tetap mencengkram dirinya, seperti cakar tajam yang tak kunjung melepaskan.Langka
Malam yang pekat menyelimuti kota, dengan hanya beberapa lampu jalan yang memberikan penerangan redup di sela-sela gedung-gedung tinggi. Di sebuah apartemen kecil, Alya duduk di sudut ruangannya, mencoba mengatur napasnya yang tak beraturan. Pikirannya terus berputar, mencari makna di balik serangkaian peristiwa aneh yang belakangan ini menghantuinya.Ia memegang segelas air dengan tangan gemetar, mencoba menenangkan diri. Namun, bayangan gelap yang tadi malam muncul dalam hidupnya tidak kunjung hilang dari benaknya. Tatapan kosong tanpa wajah itu seakan terus menempel di pelupuk matanya, mengingatkannya bahwa ada sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap sedang mengintainya.Alya menatap ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ada puluhan pesan dari teman-temannya, tetapi ia tak berniat untuk membacanya. Pesan-pesan itu terasa seperti suara dari dunia yang berbeda—dunia yang tak lagi menjadi miliknya.Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk berdiri. Tubuhnya masih lemah, tetapi ia
Alya duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong. Kamar apartemennya yang kecil dan biasanya terasa nyaman, kini seolah menjadi jeruji penjara yang mengekangnya. Langit malam yang mengintip melalui jendela membawa perasaan asing yang menyesakkan. Ia menggenggam erat selimut yang melilit tubuhnya, seakan itu satu-satunya yang mampu menahan rasa dingin yang tak berasal dari udara. Pikirannya kacau. Setiap detik berlalu seperti alunan musik yang salah nada, membuatnya semakin sulit untuk berpikir jernih. Apa yang sebenarnya terjadi padanya? Mengapa setiap langkah yang diambil selalu membawa kembali ke arah yang sama—kegelapan dan ketakutan? Ia mengingat pria di lorong tadi. Wajahnya yang pucat dengan mata kosong itu terus membayangi pikirannya. Senyum dingin pria itu seperti ukiran yang tertanam di benaknya, seolah mengirim pesan bahwa apa pun yang Alya lakukan, ia tidak akan pernah benar-benar bebas. Di meja kecil di samping ranjang, ponselnya bergetar. Getaran itu membuatnya terlo
Alya terbangun dengan tubuh gemetar. Tubuhnya berkeringat, napasnya memburu, dan dadanya terasa sesak. Ia menatap sekeliling kamar dengan mata yang masih diliputi kecemasan. Semuanya tampak normal—dinding bercat krem yang lembut, tirai yang tertiup angin dari jendela yang setengah terbuka, dan aroma teh chamomile yang samar di udara. Tapi ada sesuatu yang salah, sesuatu yang membuat tengkuknya meremang.Bayangan mimpi buruk tadi malam masih menggantung di pikirannya. Ia bisa merasakan sentuhan dingin di bahunya, mendengar bisikan tajam yang memanggil namanya. Mimpi itu terasa nyata, begitu nyata hingga membuatnya sulit membedakan mana realitas dan mana khayalan.Dengan tangan gemetar, Alya meraih ponselnya di meja samping tempat tidur. Jam menunjukkan pukul 3:47 pagi. Ia mencoba menenangkan diri dengan membaca pesan atau membuka media sosial, tetapi layar kosong itu justru membuatnya semakin gelisah. Tidak ada satu pesan pun—tidak dari teman-temannya, tidak dari rekan kerjanya, bahkan
Alya menggenggam kemudi erat-erat, matanya menatap lurus ke depan sementara pikirannya berkecamuk. Jalanan malam yang sepi membentang di depannya, hanya diterangi oleh cahaya lampu jalan yang berpendar suram. Napasnya sedikit memburu, bukan karena ketakutan, tetapi karena antisipasi yang menggelitik dadanya. Pelabuhan lama. Tempat itu selalu menjadi perbincangan orang-orang, terkenal karena kisah-kisah kelam yang menyelimutinya. Tempat bagi mereka yang ingin menyembunyikan sesuatu, tempat pertemuan bagi orang-orang yang tidak ingin diketahui keberadaannya. Pikirannya masih melayang ke Adrian. Tatapan pria itu saat memergokinya tadi masih terukir jelas dalam ingatannya. Ketidakpercayaan, kemarahan, dan sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak dapat Alya artikan dengan pasti. Tapi yang jelas, Adrian tidak menyukai kepergiannya. Tapi ia tidak peduli. Ada hal yang lebih penting yang harus ia lakukan saat ini. Setelah beberapa menit berkendara, ia akhirnya sampai di lokasi yang dituju. Pel
Hujan rintik-rintik mengguyur kota malam itu, seolah menjadi saksi bisu atas kekacauan yang baru saja terjadi. Alya duduk di tepi ranjangnya, matanya terpaku pada lantai kayu yang dingin. Suasana hatinya serupa badai, penuh dengan kekhawatiran dan pertanyaan yang tak terjawab.Wanita yang mengaku sebagai istri Adrian telah meninggalkan ruangan itu dengan senyuman penuh arti, menyisakan kebisuan yang menghantui. Adrian, seperti biasanya, memilih untuk tidak memberikan penjelasan apa pun. Hanya keheningan yang membuat Alya semakin tenggelam dalam labirin pikirannya.Namun malam itu berbeda. Alya tidak bisa lagi menelan diam Adrian seperti sebelumnya. Selama ini, ia telah mengorbankan banyak hal untuk hubungan yang penuh teka-teki ini, tetapi kehadiran wanita itu memecahkan sesuatu dalam dirinya. Ia tidak lagi bisa bersikap pasrah.Langkah kaki Adrian terdengar mendekat. Pintu kamar mereka terbuka perlahan, memperlihatkan sosok pria itu dengan wajah yang penuh dengan ketegangan. Ia berdi
Alya memejamkan matanya, merasakan setiap helai udara yang dingin menyentuh kulitnya. Seluruh tubuhnya masih gemetar, bukan hanya karena hawa malam yang menusuk, tetapi juga akibat dari perasaan yang meluap-luap dalam hatinya. Kata-kata Adrian, pria yang selama ini ia anggap penyelamat sekaligus penjaranya, terus terngiang di benaknya.Langkah-langkah kecil Alya terdengar lemah saat ia melintasi koridor panjang rumah itu. Masing-masing langkahnya terasa berat, seolah ada rantai tak kasat mata yang mengikat kakinya. Tatapannya kosong, tapi pikirannya penuh. Suara Adrian, perasaan pengkhianatan, dan wajah pria asing yang tiba-tiba muncul malam itu bercampur menjadi satu, menciptakan badai dalam hatinya.Ketika tiba di kamarnya, Alya mengunci pintu dan menyandarkan tubuhnya di baliknya. Nafasnya memburu, dan ia mencoba menenangkan dirinya. Namun, pikirannya kembali mengarah pada wajah Adrian—wajah yang penuh dengan kepedihan, penyesalan, dan cinta yang membingungkan."Apa yang sebenarnya
Alya berdiri di depan cermin besar di kamar mereka, matanya masih basah oleh air mata yang tak kunjung berhenti. Pikirannya penuh dengan kebenaran pahit yang baru saja ia temukan. Dokumen-dokumen itu masih berserakan di atas meja, seperti hantu yang terus mengejarnya. Setiap kata yang ia baca terasa seperti belati yang menusuk jantungnya berulang kali.Adrian, lelaki yang ia percayai, lelaki yang ia cintai, ternyata menyimpan rahasia yang begitu mengerikan. Rahasia yang bukan hanya menghancurkan kepercayaannya, tetapi juga seluruh kehidupannya. Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan isak yang semakin keras. Namun, tubuhnya bergetar hebat, tangannya mengepal dengan kekuatan yang hampir melukai dirinya sendiri.Adrian berdiri di ambang pintu, diam dan penuh kehancuran. Tatapannya kosong, tapi wajahnya jelas menunjukkan penderitaan yang tak kalah dalam dari Alya. Ia ingin mendekat, ingin memeluk Alya, tapi langkahnya terasa begitu berat. Jarak di antara mereka kini lebih lebar dari sam
Denting jam di dinding terasa begitu menggema di ruangan yang sunyi. Alya duduk di sudut ruangan dengan tubuh gemetar, tangannya mencengkeram dokumen yang baru saja ia baca. Kata-kata dalam dokumen itu seakan menampar kenyataan yang selama ini ia pikir aman dan terkendali. Ia menatap Adrian dengan tatapan penuh kebingungan, namun lelaki itu tampak membisu, seolah waktu telah berhenti di antara mereka. "Apa maksud semua ini, Adrian?" Alya akhirnya bertanya dengan suara bergetar, mencoba mencari jawaban dari tatapan lelaki itu. "Kenapa semua ini terasa seperti jebakan yang kau buat sendiri?" Adrian tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya ke jendela, menatap langit malam yang kelam seakan mencari kekuatan di balik kegelapan itu. Sorot matanya menyiratkan campuran rasa bersalah, kemarahan, dan ketakutan. "Aku tidak pernah menginginkan ini terjadi," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan yang terbawa angin. "Jadi, kau tahu tentang ini?" Alya mendesak, nadanya meni
Hujan mengguyur deras di luar jendela, menciptakan simfoni yang menenangkan sekaligus penuh kecemasan di hati Alya. Ia duduk di sofa ruang kerja Adrian, tangannya menggenggam secangkir teh yang kini sudah mulai mendingin. Tatapannya terpaku pada tumpukan dokumen di meja Adrian, dokumen-dokumen yang sebagian besar bertuliskan nama yang tidak ia kenal.Adrian, yang biasanya begitu tenang dan terkendali, terlihat berbeda malam ini. Ia berjalan bolak-balik di ruang kerja dengan raut wajah tegang. Bibirnya terkatup rapat, seolah-olah ia sedang mencoba menahan kata-kata yang tak ingin diucapkan.“Adrian...” panggil Alya, suaranya terdengar ragu. “Ada apa sebenarnya? Kau tampak gelisah.”Adrian menghentikan langkahnya, menatapnya sejenak dengan tatapan yang sulit diartikan. “Ini bukan sesuatu yang perlu kau khawatirkan, Alya,” jawabnya, mencoba terdengar meyakinkan.Namun, Alya tahu lebih baik daripada percaya pada kata-kata itu. Selama beberapa minggu terakhir, ia telah belajar membaca emos
Ruangan itu diterangi oleh lampu gantung kristal yang memancarkan kilau lembut, menciptakan bayangan samar di dinding. Alya berdiri di sudut ruangan, jantungnya berdegup cepat. Gaun hitam panjang yang ia kenakan malam itu menonjolkan keanggunannya, tetapi juga membuatnya merasa rentan di tengah keramaian. Semua mata seolah tertuju padanya, atau lebih tepatnya, pada pria yang kini berdiri di sampingnya—Adrian.Pria itu mengenakan setelan jas yang sempurna, dengan dasi sutra yang senada dengan warna mata tajamnya. Senyum kecil yang menghiasi bibirnya seperti sebuah peringatan tersembunyi, membuat siapa pun yang menatapnya berpikir dua kali sebelum mendekat. Namun, Alya tahu bahwa senyum itu adalah bagian dari topeng yang Adrian kenakan. Di balik itu, ada badai yang siap menghancurkan siapa saja yang berani menantangnya.“Tenanglah,” bisik Adrian di telinganya, suaranya rendah tetapi penuh otoritas. “Ini hanya pesta.”Alya mengangguk pelan, meskipun tubuhnya kaku. “Hanya pesta?” tanyanya
Alya berdiri di depan cermin besar yang terpajang di sudut kamar. Kilauan lampu remang menyentuh kulitnya yang tampak bersinar, seolah membungkusnya dalam suasana yang memancarkan kemewahan dan ketegangan. Gaun sutra biru tua yang ia kenakan membalut tubuhnya dengan sempurna, setiap lekuknya diperlihatkan tanpa berlebihan. Namun, bukan penampilannya yang membuatnya terdiam di depan cermin. Pikirannya melayang pada kejadian-kejadian yang baru saja terjadi, terutama saat Adrian memandangnya dengan sorot mata yang tak biasa.“Apa yang sebenarnya dia pikirkan?” gumamnya pelan, suaranya hampir tidak terdengar di tengah heningnya ruangan. Ia teringat bagaimana Adrian, yang biasanya dingin dan tak tersentuh, tiba-tiba berubah menjadi sosok yang berbeda saat mereka berada di ruang makan tadi.Adrian, dengan jas hitam yang begitu rapi, terlihat seperti seorang raja di tengah kerajaan kecilnya. Tatapan tajamnya, senyum simpul yang sesekali muncul, dan caranya mengamati Alya—semuanya membuatnya
Cahaya pagi menyelinap perlahan melalui celah tirai, memantulkan bayangan samar di dinding kamar yang hening. Alya masih terbaring di ranjang, matanya tertutup, tetapi tubuhnya terasa lelah meski semalam ia memejamkan mata lebih lama dari biasanya. Dalam kepalanya, berbagai potongan kejadian terus berputar, membuat dadanya terasa sesak.Suara ketukan pintu yang lembut membangunkannya. Ia membuka mata dengan perlahan, membiarkan pandangannya beradaptasi dengan cahaya yang mulai memenuhi ruangan. Hanya beberapa detik berlalu sebelum ia menyadari bahwa ketukan itu berasal dari Adrian.“Alya, aku perlu bicara,” suara Adrian terdengar lebih tegas dari biasanya, seperti seseorang yang mencoba menutupi gejolak emosi di dalam dirinya.Alya bangkit dari ranjang, merapikan rambutnya yang sedikit kusut dengan jari-jarinya. Tanpa banyak berpikir, ia berjalan ke arah pintu dan membukanya. Di sana berdiri Adrian, mengenakan kemeja hitam yang membuat aura maskulinnya semakin mencolok. Matanya yang t