Alya menatap ponsel di tangannya, pesan dari Adrian terpampang jelas di layar: "Besok, jam tujuh malam, kita bertemu di restoran Veranda. Saya ingin kita membahas perjanjian ini lebih mendalam." Jantung Alya berdebar kencang, tidak mampu mengalihkan pikirannya dari tawaran yang baru saja diterimanya. Tawaran yang menjanjikan uang yang cukup untuk melunasi semua utang keluarganya, namun dengan harga yang sangat tinggi: menjadi tunangan pura-pura seorang CEO terkenal.Sejak pertemuan pertama mereka, Adrian Hilman, CEO muda dari perusahaan teknologi terbesar di Asia, sudah membuat Alya terperangkap dalam dunia yang tak pernah ia kenal. Pria itu bukan hanya karismatik dan tampan, tapi juga memiliki aura dominasi yang tak dapat diabaikan. Kini, ia meminta Alya untuk menjadi bagian dari sandiwaranya."Kenapa harus aku?" gumam Alya pada dirinya sendiri.Ia mencoba mencari alasan untuk menolak, tetapi bayangan wajah ibunya yang lelah dan tumpukan tagihan yang menumpuk di meja makan terus meng
Alya menatap cermin di kamar apartemennya, mengenakan blus satin lembut berwarna krem yang dipadukan dengan rok hitam sederhana. Penampilannya tampak berbeda, lebih elegan dari biasanya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Hari ini adalah hari pertama ia akan menjalani peran sebagai tunangan palsu Adrian Hilman.Adrian telah memintanya untuk datang ke kantor pusat perusahaan miliknya, Hilman Tech Corp. Ia ingin memperkenalkan Alya kepada staf-staf utama dan memulai strategi mereka untuk tampil di depan publik. Alya tahu ini bukan hal yang mudah, tetapi ia sudah berkomitmen.Ketika ia tiba di lobi kantor Adrian, pandangannya langsung tertuju pada arsitektur modern dan suasana profesional yang mendominasi tempat itu. Dinding-dinding kaca besar memantulkan cahaya matahari pagi, memberikan kesan megah namun dingin."Selamat pagi, Nona Alya," suara seorang wanita terdengar. Seorang resepsionis dengan senyum ramah menyapanya. "Pak Adrian sedang menunggu Anda di ruangannya
Alya melangkah memasuki rumah Adrian dengan perasaan yang campur aduk. Rumah itu lebih mirip istana modern daripada tempat tinggal biasa. Dinding kaca besar memamerkan pemandangan kota, sementara perabotan mahal dan desain minimalis memberikan kesan dingin dan berkelas."Selamat datang," suara Adrian menyambutnya. Pria itu berdiri di tengah ruang tamu, mengenakan pakaian kasual namun tetap terlihat memukau. "Bagaimana menurutmu?"Alya menatap sekeliling dengan canggung. "Rumah ini... luar biasa."Adrian tersenyum tipis. "Kamu akan terbiasa. Biarkan aku memberimu tur."Mereka berjalan melalui lorong-lorong panjang yang dipenuhi karya seni mahal dan perabotan elegan. Adrian menjelaskan fungsi setiap ruangan dengan nada santai, tetapi Alya merasakan sesuatu yang aneh—seolah-olah rumah ini terlalu sempurna, terlalu teratur, seperti tempat yang dibuat untuk menyembunyikan sesuatu."Ini kamarmu," kata Adrian akhirnya, membuka pintu ke sebuah kamar yang luas. Dindingnya dihiasi dengan warna
Keesokan paginya, Alya terbangun dengan perasaan tidak tenang. Percakapan aneh dengan Adrian semalam masih terngiang di kepalanya. Kata-katanya yang penuh misteri membuat Alya sulit memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik sikap dingin dan terkontrol pria itu. Ketika Alya turun ke lantai bawah, aroma kopi segar dan roti panggang menyambutnya. Dapur yang megah, dengan marmer hitam berkilauan dan peralatan dapur modern, tampak begitu berkelas. Namun, pemandangan yang lebih mengejutkan adalah Adrian yang duduk di meja makan, mengenakan kemeja putih santai dan sedang membaca koran pagi. "Selamat pagi," sapanya tanpa menoleh, seolah sudah tahu Alya berada di sana. "Selamat pagi," jawab Alya pelan, masih merasa canggung dengan situasi ini. Adrian menurunkan korannya dan menatapnya. "Kamu tidur nyenyak?" Alya ragu-ragu sebelum menjawab. "Ya, cukup nyenyak." "Tidak terlihat seperti itu," Adrian mengamati wajah Alya yang tampak sedikit lelah. "Apa kamu masih ragu dengan keputusanmu
Restoran mewah itu berdiri megah di tengah kota, dikelilingi gedung-gedung pencakar langit yang memancarkan cahaya terang di malam hari. Dari luar, restoran ini tampak seperti istana modern, dengan kaca-kaca besar yang memperlihatkan interior elegan di dalamnya. Adrian menggandeng Alya dengan tenang, membimbingnya melewati pintu besar yang dijaga oleh pelayan berpakaian rapi.“Tenang saja. Mereka tidak akan berbuat apa-apa,” bisik Adrian lembut, seolah membaca kegugupan Alya.Alya mengangguk kecil, tetapi tangannya yang bergetar di lengan Adrian mengungkapkan sebaliknya.Di ruang makan pribadi, beberapa orang dengan penampilan berkelas sudah menunggu. Mereka duduk dengan postur sempurna, mengenakan setelan mahal yang mencerminkan status mereka. Percakapan mereka terhenti saat Adrian dan Alya masuk. Tatapan mereka terfokus pada Alya, menilai dan menimbang, seolah mencoba menyingkap rahasia yang ia sembunyikan.“Selamat malam,” sapa Adrian dengan nada tenang, tapi penuh otoritas.Salah
Alya terbangun di pagi hari dengan perasaan gelisah yang menggantung berat di dadanya. Malam itu ia hampir tidak tidur, pikirannya terus berputar-putar memikirkan pesan-pesan misterius yang diterimanya dan peran Adrian dalam permainan berbahaya ini. Ketika sinar matahari menyusup melalui celah-celah tirai, Alya memutuskan bahwa ia tidak bisa lagi pasif.Ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.Saat Alya turun ke ruang makan, Adrian sudah duduk di meja makan, mengenakan jas hitam yang terlihat sempurna melekat di tubuhnya. Ekspresinya serius seperti biasa, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—seperti bayangan kekhawatiran di matanya.“Selamat pagi,” sapa Adrian tanpa mengangkat wajahnya dari ponsel.“Selamat pagi,” jawab Alya pelan, mencoba menyembunyikan perasaan gugupnya.Mereka makan dalam keheningan, hanya suara sendok dan garpu yang terdengar. Alya sesekali melirik Adrian, mencoba mencari tanda-tanda yang bisa mengungkapkan pikirannya. Namun, seperti biasa, pria itu se
Alya terbangun dengan rasa gelisah yang tidak ia pahami. Cahaya pagi menyelinap masuk melalui tirai jendela, tetapi sinar itu tidak membawa ketenangan. Semalam, pikirannya terus dikepung oleh pesan misterius dan perasaan bahwa seseorang mengawasinya. Saat ia bersiap untuk turun ke ruang makan, Adrian sudah tidak ada di kamar. Mungkin ia sudah pergi ke kantor atau sedang mengurus urusan penting lainnya. Alya merasa lega sekaligus kesal. Lega karena ia bisa memiliki waktu sendiri untuk berpikir, tetapi kesal karena Adrian selalu menghilang tanpa penjelasan. Di meja makan, seorang pelayan membawakan sarapan untuknya. “Tuan Adrian meninggalkan pesan untuk Anda, Nyonya,” kata pelayan itu sopan, menyodorkan sebuah amplop kecil. Alya membuka amplop itu dengan cepat. “Alya, aku harus pergi lebih awal untuk pertemuan penting. Tetap di rumah hari ini, dan jangan keluar tanpa pengawalan. Aku akan kembali malam nanti. Adrian.” Pesan itu sederhana, tetapi membuat Alya semakin curiga. Mengapa
Pagi itu, Alya tidak bisa memejamkan mata lebih lama. Pesan yang ia terima malam sebelumnya terus berputar di pikirannya. Si pengirim pesan, dengan jelas, tahu bahwa Alya tengah terjebak dalam dilema. Dan fakta bahwa pesan itu melarangnya memberi tahu Adrian, membuatnya semakin waspada.Alya duduk di meja makan dengan segelas kopi yang nyaris tidak tersentuh. Adrian, seperti biasa, sudah berangkat pagi-pagi sekali tanpa banyak penjelasan. Hal itu membuatnya sedikit lega, karena ia tidak perlu berbohong tentang rencana yang akan ia lakukan.Namun, sebuah pertanyaan besar terus menghantuinya: Apakah ia bisa mempercayai pengirim pesan itu? Bagaimana jika ini hanya salah satu dari jebakan yang Adrian maksudkan?Menepis keraguan yang terus menggerogoti pikirannya, Alya memutuskan untuk pergi ke kafe Horizon. Ia perlu tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, dan ia tahu bahwa hanya dengan mencari jawaban sendirilah ia bisa mengatasi perasaan tidak pasti ini.Di Kafe HorizonTepat pukul semb
Suara sirine memecah keheningan malam, membangunkan penduduk kota yang sebelumnya terlelap dalam mimpi. Jalan-jalan yang biasanya sepi kini dipenuhi oleh kendaraan patroli yang berlalu lalang. Namun di dalam gedung tua yang sudah usang, keheningan terasa begitu menyesakkan. Alya berdiri di tengah ruangan itu, matanya memindai setiap sudut dengan hati-hati. Adrian berdiri di belakangnya, mengamati dengan tatapan tajam. “Kita harus cepat. Tempat ini tidak aman.” Alya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Di tangannya, ia menggenggam dokumen yang sudah lusuh, namun masih jelas terlihat tulisan di atasnya. Dokumen itu adalah bukti pertama yang ia temukan tentang keterlibatan Adrian dalam sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang selama ini ia hindari untuk percaya. “Apa sebenarnya tempat ini?” tanya Alya, suaranya terdengar pelan, nyaris berbisik. Adrian tidak segera menjawab. Ia hanya menatap sekeliling, memastikan tidak ada orang lain di sekitar mereka. “Ini adalah salah satu tempat persemb
Hujan deras mengguyur kota malam itu, meninggalkan genangan air yang memantulkan lampu jalan yang berkilauan. Suara hujan yang menghantam atap rumah terasa menenangkan, tetapi bagi Alya, malam itu jauh dari kata damai. Ia duduk di tepi ranjangnya, menatap kosong ke arah jendela. Pikirannya kembali pada percakapan yang ia dengar tadi di depan ruang kerja Adrian. Kata-kata itu terus berulang di kepalanya, mengusik hatinya. Apakah ia sudah terlalu percaya pada Adrian? Ataukah selama ini ia hanya melihat sisi yang ingin ia lihat? Handphone di tangannya bergetar. Pesan dari Adrian masuk, tetapi ia ragu untuk membacanya. Ia menatap layar itu cukup lama sebelum akhirnya membuka pesan tersebut. "Alya, aku perlu bicara denganmu. Tolong jangan salah paham." Hanya itu isi pesannya. Tidak ada penjelasan. Tidak ada permintaan maaf. Alya menghela napas panjang. Semakin ia mencoba memahami situasi ini, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Ia ingat kembali ekspresi wajah Adrian
Alya melangkah keluar dari ruang makan dengan kepala yang penuh pikiran. Suara dentingan alat makan yang sebelumnya terdengar riuh kini terasa seperti gema dari kejauhan. Pertemuan terakhir dengan Adrian—dengan tatapan dingin dan kalimat tajamnya—masih membekas di hati Alya. "Alya, kenapa kamu membiarkan dirimu tenggelam sejauh ini?" bisiknya pada diri sendiri sambil menyandarkan punggung pada dinding koridor. Namun, sebelum ia bisa merenung lebih jauh, suara langkah kaki mendekat. Adrian berdiri di depannya dengan sorot mata yang tidak lagi menunjukkan kebekuan seperti tadi. Kali ini, ada sesuatu yang berbeda—campuran penyesalan dan kebimbangan. "Alya, kita perlu bicara," ujarnya pelan. Alya mengangkat dagunya, berusaha menunjukkan kekuatan, meski hatinya rapuh. "Apa lagi yang ingin kamu katakan, Adrian? Bukankah semuanya sudah jelas?" Adrian menghela napas, wajahnya terlihat lebih lelah daripada biasanya. "Aku tahu aku telah memperlakukanmu dengan cara yang salah. Tapi... a
Adrian memutar otaknya dengan cepat, mencari celah untuk keluar dari situasi yang tampaknya tidak memiliki jalan keluar. Pria-pria bersenjata itu mendekat perlahan, senjata mereka diarahkan langsung kepadanya dan Alya. Dalam kegelapan ruangan yang hanya diterangi oleh kilatan petir dari luar, wajah mereka tampak seperti bayangan kematian yang siap menjemput. Alya berdiri di belakang Adrian, mencoba menahan napas agar tidak membuat suara yang dapat memancing agresi dari para pria tersebut. Tangannya mencengkeram erat lengan Adrian, seolah ia adalah satu-satunya penghalang antara nyawa dan bahaya yang mengintai. Sementara itu, Adrian mencoba menilai situasi di sekelilingnya. Ruangan itu sempit, dipenuhi oleh lemari-lemari kayu tua yang mengeluarkan aroma lapuk. Hanya ada satu jendela kecil di sudut, tetapi tertutup rapat oleh jeruji besi yang tidak mungkin diloloskan tanpa alat. Jalan keluar lainnya adalah pintu yang kini dijaga oleh dua pria dengan senjata. Ia memejamkan mata sejena
Alya berlari di tengah hujan deras, kaki-kakinya terpeleset di jalanan basah. Napasnya terengah-engah, dan detak jantungnya berdetak seperti genderang perang. Flash drive di genggamannya terasa seperti bara panas, tetapi ia tidak melepaskannya. Apa pun yang ada di dalam benda kecil itu, ia tahu bahwa isinya adalah kunci dari semua pertanyaan yang menghantuinya selama ini.Bayangan pria misterius yang tadi menolongnya masih terngiang-ngiang di benaknya. Siapa dia? Mengapa dia rela mempertaruhkan nyawanya demi memberikan flash drive itu? Dan yang lebih membingungkan, mengapa dia menyebut Adrian sebagai satu-satunya orang yang bisa melindunginya?“Adrian…” gumam Alya sambil terus berlari. Wajah pria itu memenuhi pikirannya, bercampur dengan rasa marah, curiga, dan rasa cinta yang sulit ia hilangkan.Langkahnya berhenti mendadak ketika ia mencapai sebuah persimpangan jalan. Di tengah hujan yang semakin deras, Alya mencoba berpikir jernih. Adrian saat ini berada di tempat yang tidak ia ket
Langit malam menampakkan kegelapan yang mencekam. Hujan masih mengguyur deras, menciptakan harmoni yang menyeramkan dengan denting rintik air di atas atap kaca gedung tua tempat Alya kini berada. Tangannya gemetar, memegang dokumen-dokumen yang telah mengubah cara pandangnya terhadap Adrian untuk selamanya. Kata-kata pada lembaran itu membakar ingatannya, meninggalkan luka yang tak kasat mata. Adrian berdiri di seberang ruangan, wajahnya tegang. Udara di antara mereka seperti terhenti, tegang dengan keheningan yang penuh pertanyaan tak terjawab. Tidak ada yang berbicara, seolah-olah kata-kata telah lenyap dari dunia ini, meninggalkan hanya sorotan mata mereka yang saling bertemu dalam pertarungan emosional. "Alya," suara Adrian akhirnya memecah keheningan, berat dan penuh penyesalan. "Kau tidak seharusnya menemukan ini." Alya tertawa pelan, tapi tawanya dipenuhi kepahitan. "Tidak seharusnya? Adrian, aku sudah memberimu kepercayaan penuh, tapi ini? Ini yang kau sembunyikan dariku se
Alya berdiri di depan gedung kosong di Jalan Merpati, tempat yang disebutkan dalam pesan suara misterius itu. Hujan telah berhenti, menyisakan udara dingin yang menggigit kulitnya. Gedung itu tampak suram, dengan jendela-jendela pecah dan pintu kayu yang sudah lapuk oleh waktu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya suara angin yang berbisik di antara celah-celah bangunan."Ini tempatnya," gumam Alya pada dirinya sendiri, mencoba mengumpulkan keberanian.Ia melangkah masuk, mendapati lorong gelap yang dipenuhi debu dan puing-puing. Setiap langkahnya menggema, menciptakan suasana mencekam yang membuat bulu kuduknya berdiri. Di tangannya, ia menggenggam senter kecil yang diambil dari tasnya. Cahaya redup dari senter itu menyoroti dinding yang dipenuhi grafiti, sebagian besar berupa simbol-simbol yang tidak ia pahami.Tangga menuju lantai tiga tampak rapuh, tetapi Alya tetap melangkah dengan hati-hati. Dalam setiap langkah, ia merasa seperti ada mata yang mengawasinya, meskipun ia tidak
Hujan turun dengan deras malam itu, menciptakan tirai air yang hampir menghalangi pandangan ke luar. Alya berjalan dengan langkah tergesa, menghindari genangan air yang semakin meluas di sepanjang trotoar. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi pikirannya terlalu penuh untuk memedulikan rasa tidak nyaman itu. Amplop cokelat di dalam tasnya seperti beban tak kasatmata yang menarik setiap langkahnya lebih berat.Setiap suara di sekitar, dari deru mobil yang melintas hingga bunyi payung orang-orang di jalan, terasa seperti ancaman. Ia merasa diikuti, meskipun ketika ia menoleh, yang terlihat hanyalah bayangan-bayangan orang berlalu-lalang.Alya memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah kedai kopi kecil di sudut jalan. Tempat itu tampak kosong, hanya diisi beberapa pelanggan yang sibuk dengan minuman panas mereka. Ia memilih meja di sudut ruangan, menghadap ke luar jendela. Pandangannya terpaku pada hujan yang terus mengguyur, tetapi pikirannya jauh dari situ.Ia membuka tasnya perlahan,
Alya melangkah pelan di dalam ruangan yang sepi itu. Suara gemuruh hujan di luar jendela yang retak memberikan suasana yang semakin mencekam. Ruangan itu dingin, aroma debu bercampur dengan bau kayu lapuk menyeruak. Ia memegang amplop cokelat di tangannya, tetapi langkahnya terasa berat. Seolah setiap langkah membawa beban yang tak kasat mata.Perasaan ganjil menyelimuti Alya sejak ia menemukan tempat ini. Sebuah gudang tua di pinggiran kota yang seolah telah lama ditinggalkan. Namun, sesuatu tentang tempat ini terasa salah. Seolah-olah ruangan ini pernah menjadi saksi bisu dari banyak hal yang seharusnya tidak pernah terjadi.Ia berhenti di tengah ruangan, menatap meja kayu besar yang berada di sudut. Di atasnya terdapat tumpukan dokumen, peta, dan foto-foto yang berserakan. Alya tidak tahu harus mulai dari mana. Namun, rasa ingin tahunya lebih kuat daripada rasa takutnya. Ia membuka amplop cokelat itu dan mengeluarkan isinya—selembar surat dengan tulisan tangan Adrian, beberapa lemb