Rion sudah dipindahkan ke rumah sakit lain yang lebih dekat dengan rumahnya lima hari yang lalu. Kebetulan hari ini Minggu dan Kenzie berencana mengunjungi Rion di sana. "Enzie, mau ke mana?" tanya Angel. "Ke rumah sakit, Mbak." "Perjalanannya jauh, kamu sendirian?" tanya Angel, tentu saja dengan perasaan khawatir."Enggak jauh, kok. Rion udah dipindah ke rumah sakit yang dekat sama rumahnya." "Astaga, Mbak baru tau. Apa Rion masih belum ingat tentangmu, Enzie?" tanya Angel yang sudah tidak canggung. Dia telah menganggap Rion juga seperti adiknya, bahkan dia mengenal Rion lebih dulu sebelum mengetahui kalau dirinya ternyata pewaris Frederic Corp. Tak ayal, Angel sering menyebut nama Rion apabila di luar jam kantor. Kenzie terdiam, wajahnya terlihat sedih. "Belum, Mbak." Angel terlihat menyesali atas pertanyaan yang terlontar dari bibirnya. Dia mengusap pundak Kenzie dengan lembut, "Sabar, ya, Enzie. Mbak yakin, Rion akan segera ingat kamu." "Semoga, Mbak." Terdengar parau suara
Tepat di hari kesepuluh Rion diperbolehkan pulang, meskipun ingatannya belum pulih sepenuhnya. Keluarganya mempersiapkan sambutan di rumah, sedangkan Owen dan sopir pribadi Rion menjemputnya ke rumah sakit. "Sudah siap pulang, De?" Owen bertanya pada Rion saat dia membukakan pintu ruang inap, tentu saja senyum merekah terlihat dari bibir Rion saat melihat kakaknya datang. "Tentu saja! Aku sudah bosan berada di sini, Kak." Owen tersenyum dan mengusap pelan kepala Rion. "Tapi jangan nakal, kalau aku menyuruhmu terapi atau mengkonsumsi obat harus nurut, paham?" Rion mengangguk. Pemuda berkacamata itu terlihat semringah, luka-luka lecet yang ada di tubuhnya pun telah mengering. Tinggal mengembalikan beberapa memori yang masih hilang. Seiringnya berjalan waktu dan mengikuti hal-hal yang disuruh dokter pastilah kembali juga. Rion dan Owen berjalan dalam koridor rumah sakit. Entah kenapa dia merasa kehilangan akan sosok Kenzie yang tidak menemuinya hari ini. Mereka kemudian menaiki mob
Tidak disangka Wanda menjambak rambut Kenzie dan seketika itu si tomboy pun mengikuti gerak tangan Wanda. "Oh, Tuhan. Sayang, lepasin! Kasihan Kenzie," pinta Owen pada Wanda. "Enak aja, dia itu cewek gatel yang selalu goda kamu, Sayang!" "Kamu salah paham, Wanda." Owen mencoba melerai dan mencoba melepaskan cengkraman tangan Wanda di rambut Kenzie. Seketika itu Wanda melepaskan tangannya yang sedang menjambak rambut Kenzie. "Kalau saja kamu masih seperti itu sama dia, aku enggak segan-segan berbuat lebih sama si gatal ini!" Wanda menunjuk wajah Kenzie. Plak! Kenzie menampar pipi Wanda yang berakibat kekasih Owen itu terlihat meringis kesakitan. "Kamu berani menamparku?" Wanda bertanya dengan nada tinggi, tangannya memegang pipi dan matanya menyorot tajam ke arah Kenzie. "Seharusnya Nona yang terhormat itu bisa lebih bijak menyikapi hal ini. Apakah Nona Wanda melihat ini ruang kerja siapa?" "Bisa saja kamu memang sengaja menggoda pacar saya agar ke ruang kerjamu. Iya, kan?"
Malam semakin larut, harusnya penghuni bumi telah terlelap dalam dekap dingin dan heningnya malam. Namun, hal ini tidak berlaku pada Owen yang masih mengingat kejadian manis yang harusnya indah, di mana Rion dan Kenzie semakin dekat malah membuat Owen semakin terbakar kesal. Apa itu artinya dia cemburu? "Aarrggghhh! Kenapa hal ini terjadi padaku, Tuhan?" Owen melemparkan bantal ke sembarang sudut kamar. Dia terlihat kesal bahkan tidak dapat terlelap malam ini. Owen memutuskan untuk keluar menikmati angin malam di balkon rumah. Menatap langit malam yang dihiasi banyak bintang. "Kenzie, kenapa kamu membuatku gila?" Owen kesal karena wajah Kenzie seolah menghantui pikirannya. Bahkan, bintang-bintang di langit seolah membentuk wajah cantiknya dengan binar mata kehijauan yang sungguh cantik membuatnya semakin tersiksa. Waktu telah menunjukkan jam empat pagi. Bahkan mata Owen sebetulnya sudah terasa perih karena dia tidak dapat terlelap sama sekali. Matanya terjaga dan lebih parah lagi
Waktu telah menunjukkan jam tujuh malam. Kemala mengetuk pintu kamar Rion hanya sekadar memberikan obat padanya. "Eh, Mama. Obat lagi?" Rion sudah begitu hafal ketika Kemala mendatangi kamarnya. "Iya, la. Apa lagi?" ketus Kemala. "Makasih." Rion mengambil obat dari tangan Kemala. "Jangan lupa diminum!" cetus Kemala kemudian berlalu pergi. Rion masuk ke kamar dan memperhatikan obat tersebut. Dia begitu heran karena setelah meminum obat dari dokter malah semakin menyakitkan kepalanya. "Apa ini benar-benar resep Dokter? Atau––" Pikiran Rion melayang-layang membayangkan hal yang tidak-tidak. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak mengkonsumsi obat tersebut. Dia menyembunyikan obat tersebut di laci nakas dan berpura-pura tidur. Obat itu memang membuat ngantuk, tak ayal Rion selalu terlelap dan bangun pagi hari dengan sakit kepala yang semakin parah. Selalu seperti itu dan terus menerus selama mengkonsumsi obat tersebut.Benar saja, tidak berselang lama telinga Rion menangkap suara pin
Mobil Rion melesat ke kediaman Frederic setelah mengantarkan Kenzie kembali ke kantor. Sebentar dia ingin sekali kembali masuk kerja, tetapi keadaannya yang belum pulih benar dari amnesia dikhawatirkan malah akan memperlambat kembali ingatannya. "Tuan Rion?" sapa Khanza saat Rion hendak menaiki anak tangga. "Iya?" Rion menatap Khanza seperti biasa seolah-olah memang tidak pernah terjadi apa-apa. "Semalam saya ingin bicara sama Tuan, tapi––" ucap Khanza terjeda. "Tapi?" Rion menyipitkan mata menatap Khanza. Terlebih dia malah celingak-celinguk seolah memperhatikan sesuatu. Dia seperti terancam. "Boleh kita bicara di belakang?" ajak Khanza. Rion mengangguk, lalu mengikuti Khanza yang telah berjalan lebih dulu. Kini mereka berada di belakang rumah dengan pekarangan luas yang ditanami sayur mayur oleh pekerja di rumah Frederic. Awalnya memang kebun ini Yola yang membuat. Dia begitu menyukai mengurus kebun saat libur di kantor atau bahkan selepas bekerja untuk mengisi waktu senggangn
Rion tidak menginginkan kencannya gagal karena badmood pada Owen. Dia tetap memutuskan untuk mengajak keluar Kenzie meski hanya makan malam bersama. Mobil melesat di kegelapan malam. Hanya lampu-lampu warna oranye yang menerangi jalanan. Hingga akhirnya bertemu keramaian bahkan macet cukup parah. Berulang kali Rion melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Tenang, Rion. Belum juga jam delapan malam." Si Culun mencoba menenangkan hatinya. Perlahan mobil Rion terbebas dari kemacetan yang rapat, akhirnya mobil dapat melesat kencang ke apartemen Kenzie. Rion berjalan cepat dan menaiki lift untuk sampai ke apartemen Kenzie. Bel pun dipijit. "Rion?" Lagi, Kenzie begitu bahagia saat kekasihnya kembali menemuinya di apartemen. Rion tersenyum. "Boleh aku masuk?" tanya Rion karena sedari tadi Kenzie malah menatapnya dengan bibir tersenyum, tetapi sama sekali tidak menyuruhnya masuk. "Eh, iya, silahkan." Kenzie membuka pintu lebar. "Duduklah," ucap Kenzie sesaat berada di ruan
Rion masih memejamkan mata, tidak ada darah sama sekali, tetapi ada memar di bagian ujung bibir dan pelipis mata. "Rion, bangun, bangun, Rion ...." Kenzie masih berusaha membangunkan Rion. Beruntung Rion tersadar, tangannya bergerak dan bibirnya menggumamkan satu nama, "Mama ...." "Rion? Kamu sadar?" Tentu saja Kenzie senang meskipun nama yang dia sebut bukanlah dirinya. Perlahan, sepasang mata Rion terbuka dan terlihat wajah yang terlihat masih agak buram. Perlahan, semakin jelas terlihat dan akhirnya Rion tersenyum saat masih berada dalam pangkuan Kenzie. "Syukurlah kamu sadar. Apakah kamu mengingatku?" Besar harapan Kenzie agar Rion dapat mengingatnya selepas kepalanya terbentur. Sepertinya Kenzie terlalu banyak menonton film drama, di mana orang amnesia yang kepalanya terbentur akan menyembuhkan amnesia. "Kamu Kenzie, bukan?" Rion mengernyitkan dahi. Kenzie senang sekali mendengar jawaban dari Rion. Berulang kali dia mengucap syukur karena ingatan Rion telah kembali. "Tapi
Rupanya Rion dijadikan saksi karena terakhir Oris berbicara padanya dalam panggilan ponsel sebelum Oris meninggal dunia secara tidak wajar, sehingga dari pihak kepolisian memberikan keterangan tersebut. "Terima kasih, Pak!" Willson yang menjadi pengacara Rion berjabat tangan dengan polisi yang menangani Rion. Rion terbebas dari status saksi dari pembuahan Oris yang mungkin bisa saja dirinya akan berubah status menjadi tersangka apabila tidak didampingi oleh kuasa hukumnya. "Terima kasih, Pak!" Rion berjabat tangan dengan Willson dan saat kasus telah usai, mereka kembali terpisah karena Rion memang tidak dekat pada Willson dan hanya terikat kerjaan Willson saja yang menjadi pengacara. *** Banyak sekali kejadian yang menimpa Rion setelah Kenzie pergi. Hidupnya sepi bahkan terasa kosong karena satu-satunya orang yang dia sayang di dunia ini pun pergi meninggalkannya meskipun dia menjanjikan akan kembali. Namun, entah hal itu akan terealisasikan kapan? Tidak ada jaminan dari siapa pu
Sudah beberapa hari ini Khanza merasa was-was dengan keadaan Rion. Ingin bicara, tetapi dia tidak memiliki bukti yang kuat akan perbincangan adik tirinya karena Owen memang tidak menyebut nama Rion. Bisa saja Owen malah merencanakan pembunuhan untuknya, bukan? "Tuan, apakah Tuan Muda baik-baik saja?" tanya Khanza yang merasa khawatir dengan keadaan Rion. "Aku baik-baik saja." Rion kembali terdiam. Dia hanya memperhatikan halaman rumah dari balkon. Sudah beberapa hari semenjak kematian Frederic, Rion memang betah berlama-lama di balkon hanya memperhatikan keadaan rumah saja. "Sus?" Rion memanggil Khanza."Iya, Tuan." "Biasanya Suster mengajak Opah berjemur di sana." Rion menunjuk yang disertai bibir tersenyum, tetapi pandangannya seolah kosong.Khanza tidak menjawab, karena dia tahu kalau Rion hanya butuh didengarkan saja, bukan membutuhkan jawaban darinya. "Aku kangen sama Opah," ucap Rion yang terdengar pilu. Rupanya Rion masih terlihat berat sejak kepergian Frederic. Dia seol
Dokter itu menatap Rion dan Owen bergantian yang disertakan tarikan napas dalam sebelum dia menceritakan keadaan Frederic. "Hhuuufff ...." Napas itu terembus. "Kami tim dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuan Frederic tidak dapat tertolong." "Apa?!" Spontan Owen berucap. Rion tidak berkata apa-apa, dia berjalan mundur hingga akhirnya terpentok pada kursi stainless dan detik itu juga dia terduduk lemas, lakinya seolah tidak mampu menopang tubuhnya sendiri saat mendengar Frederic telah kembali pada-Nya.Rion menutup wajahnya. Ingin menangis, tetapi dia tahan sekuat tenaga meski akhirnya ada yang meluncur dari sudut matanya. "Menangis saja, Tuan Muda. Tangisan tidak akan menjatuhkan derajatmu sebagai seorang laki-laki," ucap Khanza yang duduk di sampingnya. Memang benar apa yang dikatakan oleh Khanza kalau tangis tidak akan membuat derajat laki-laki terjatuh. Laki-laki juga manusia, dia punya hati yang dapat merasakan sakit. Rion merasa sendirian. Ketika Frederic corp
Keadaan Frederic semakin memburuk. Sudah tiga hari dia masih koma, bahkan harapan untuk hidup sangatlah kecil menurut dokter. "Ya Tuhan ... cobaan apa lagi yang akan aku dapatkan setelah ini?" ucap Rion saat berada di kantor. Tidak dipungkiri, dirinya sangat sulit untuk berkonsultasi. Bahkan dalam tiga hari ini seolah raganya saja berada di kantor, tetapi jiwanya entah ke mana. Dia seolah terombang-ambing tanpa pijakan. "Permisi ...." Seseorang mengetuk pintu ruang kerja Owen. "Masuk!" Rion terperanjat saat suara seseorang mengetuk pintu. Dari balik pintu yang terbuka terlihat Angel yang membawa berkas dalam map warna biru. "Eh, Mbak. Silahkan duduk," ucap Rion. Angel tersenyum, menarik kursi lalu duduk. Namun, dia memperhatikan Rion yang seolah semakin terpuruk. "Kamu kenapa, Rion?" "Enggak apa-apa, Mbak," jawab Rion sekenanya. "Oh, iya. Apakah ada tender baru yang masuk?" sambung Rion seolah-olah mengalihkan pembicaraan. "Ada, bahkan cukup banyak. Yang Mbak khawatirkan itu
Kemala mengajak Owen ke ruang perawatan. Ternyata Wanda sedang tidur dan baru siuman sejak beberapa menit yang lalu. "Tante?" Owen menyapa mertuanya. "Owen, gimana keadaanmu, Nak? Kamu sakit apa? Kok, Tante enggak tau kamu dirawat. Apa Wanda mengetahuinya?" Seolah berbasa-basi, Nyonya Pranata bertanya pada calon menantunya. "Tidak, Tan. Wanda tidak tau apa-apa, lagian aku juga udah sehat, kok." Mungkin karena suara perbincangan Owen, Kemala dan ibunya, Wanda akhirnya membukakan mata. "Sayang? Kamu ada di sini?" Suara Wanda terdengar pelan. "Iya. Kamu kenapa, Sayang?" Owen bertanya dan saat itu sepasang mata Wanda kembali berkabut. Kemala mengerti kalau Wanda menginginkan cerita pada putranya dan dia mengajak Nyonya Pranata untuk ke luar dari ruangan tersebut. Agar mereka bisa leluasa mengobrol. "Kamu sayang aku enggak?" Tiba-tiba saja Wanda bertanya seperti itu dan hal ini dirasa aneh oleh Owen. "Kok, nanyanya begitu?" "Jawab aja, sayang atau enggak?" "Sayanglah, kamu, kan
Tepat jam sebelas siang, Rion sengaja pergi menemui Angel hanya untuk makan siang sekaligus membahas apa yang sebenarnya terjadi. "Mbak?" Rion memanggil."Iya." "Aku bingung harus menerangkannya seperti apa? Aku pun paham kalau sampai ada di posisi, Mbak. Aku pun akan salah paham. Tapi aku mohon percaya sama aku, Mbak. Aku bukan takut Mbak bilang sama Kenzie, karena aku benar. Hanya saja kalau keadaannya jauh seperti ini, aku takut Enzie terluka dan aku hanya bisa menatapnya menangis di layar ponsel." "Sebenarnya Mbak juga tidak percaya Rion, tapi penampilan dia tadi pagi? Ah, Mbak jadi inget Enzie ketika hendak dinodai oleh Pak Owen." "Tapi aku bukan Kak Owen, Mbak. Kami berbeda dan aku begitu mencintai Kenzie." "Iya, Mbak tau, Rion. Cinta memang bisa membutakan siapa saja." Sepertinya Angel masih belum sepenuhnya mempercayai pengakuan Rion. Dia juga tidak mempercayai kesimpulan yang ada di otaknya. Baginya, Rion terlalu tulus kalau sampai selingkuh, itu merupakan hal yang tida
"Permisi, Pak! Pak Rion?" Dari luar sana seorang wanita mengetuk pintu dan memanggil namanya. Rion seolah terperangkap, sementara otak Wanda begitu bergelayut rencana licik demi mendapatkan Rion. Tentu saja tujuan utamanya merupakan harta dan kepuasan melihat orang lain bertengkar. "Jangan Rion, aku mohon. Aku ini calon kakak iparmu." Terdengar suara Wanda memelas. "Maksud lu apa, Wanda?" Rion heran dengan kelakuan Wanda."Siapa aja yang ada di luar, tolooonggg!!! Tolong akuuuu!!!" Tiba-tiba saja Wanda berteriak setelah dia mengacak-acak penampilannya. Baik baju, juga rambut yang sedikit diacak-acak. Rion semakin bingung, dia tidak menyangka Wanda bersikap aneh di depannya. Lagi, Wanda berteriak histeris dan pintu ruang kerjanya pun terbuka. Sial, Wanda menjatuhkan dirinya ke pelukan Rion yang membuat orang yang melihat akan salah sangka. "Rion?" Ternyata yang masuk ke ruang kerja adalah Angel. Sial, Rion terjebak oleh permainan Wanda. "Maaf, saya mendorong pintu karena––" Angel
Rion akhirnya memanggil Khanza, padahal waktu hampir menunjukkan jam sebelas malam dan mereka bertiga masih mengungkap satu fakta yang tentu saja Frederic tercengang atas cerita Khanza. "Jadi, ayahmu dan ayah Owen itu Willson?" Frederic bertanya dengan ekspresi heran. "Iya, Tuan. Pak Willson merupakan ayah kandung kami, hanya berbeda ibu." Khanza membenarkan. "Lalu, kenapa Kemala malah menyebutkan kalau ayah dari Owen meninggal dunia?" tanya Frederic merasa heran. "Saya tidak ingin menyimpulkan, Tuan. Takut saya salah." Khanza menjawab sambil menunduk."Bicaralah, Suster. Jujur, aku sama sekali tidak bisa menggambarkan apa pun tentang peristiwa ini. Mungkin sedikitnya Suster bisa memberikan gambaran dari kehidupan ibunya Suster Khanza," pinta Rion. "Sesungguhnya––aku––" Khanza sepertinya ragu mengemukakan pendapatnya. "Bicaralah, tidak usah takut." Rion mencoba menenangkan."Pandanganku terhadap masalah ini mempunyai dua kemungkinan, Tuan. Pertama, Nyonya Kemala sengaja memalsuk
Sekitar jam tujuh malam, keluarga Frederic berkumpul di ruang makan. Namun, ada hal berbeda di sana karena bukan hanya makan malam saja yang mereka lakukan, tetapi ada lagi hal yang sesungguhnya menjadi inti dari permasalahan. "Rion, kenapa kamu bisa menghajar Kakakmu?" Frederic bertanya setelah semuanya selesai makan. "Mungkin Opah bisa tanya sendiri sama Kak Owen." Rion menjawab santai."Hallah! Tinggal jawab saja, kamu punya masalah apa sama Owen sampe bikin dia babak belur begitu?" sungut Kemala yang tidak terima."Semuanya harus berkumpul, Opah. Tidak bisa kalau ditanya hanya sepihak seperti ini. Bisa saja Kak Owen menyanggah atau bahkan aku yang menyanggah pengakuan Kak Owen." "Kamu itu memang dari dulu bikin aku emosi. Dasar anak sialan! Kamu tak ada bedanya dengan Mamamu yang selalu merebut kebahagiaan orang lain!" pekik Kemala dengan wajah kesal. "Stop! Lebih baik kamu istirahat, Kemala. Bukan kah kamu akan ke rumah sakit besok pagi?" ujar Frederic. "Lebih baik aku ke ru