Tanpa sadar, telapak tanganku mendarat di pipi kanan Harry. Entah apa yang ia lakukan di rumah ini. Tanpa bertanya, ia menuduhku yang tidak-tidak.
"Jaga mulutmu, Harry!"
Baron berdiri mematung menyaksikan adegan yang tak mengenakkan barusan. Aku tahu, ia pasti takkan senang dituduh macam-macam.
"Bukankah itu sebuah kenyataan? Kau begitu murahan. Berjalan dengan seorang lelaki ...."
"Sudah, Harry. Jangan bertengkar di depan pintu. Kau dari mana saja, Nur? Bukankah tadi kau bilang pergi ke rumah Nyonya Vivian untuk mengambil sebuah surat?" tanya Ibu memotong pembicaraan Harry. Lelaki itu menghembuskan napas dengan kasar. Matanya liar mengamati Baron dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pasti Harry merasa cemburu.
"Aku ...."
Mulutku tak sanggup lagi melanjutkan. Getaran di bibir ini sangat kuat. Mata ini mulai panas karena genangan cairan bening. Cairan itu memaksa untuk keluar.
"Kau kenapa?"
Semakin ditany
"Tapi mengapa, Tuan? Apa yang dilakukan oleh Baron?""Anda bisa datang langsung ke kantor kami, Nyonya.""Baiklah."Ibu menatap wajahku dengan seksama. Ia mengangkat alis seolah bertanya, apa yang terjadi pada Baron. Tanpa bicara, aku berdiri meninggalkan Ibu di meja makan. Mungkin dengan beribu pertanyaan di benaknya."Nur, kau mau ke mana?" teriak Ibu dari luar saat aku mengganti pakaian di dalam kamar. Tangan ini gemetar tak karuan. Jantung berdebar begitu cepat seolah berpacu dengan detik jam. Gerakan tubuh ini terasa kian melambat saat kurasakan nyeri di lengan sewaktu memasukkan tangan ke dalam lengan baju. Tak sabar ingin cepat-cepat menemui Baron di sana."Argh.""Nur, kau tak apa-apa?""Sama seperti tadi, Bu. Memasukkan tanganku ke dalam lengan baju itu membuat lenganku ngilu.""Biar aku bantu.""Tak usah. Sudah selesai."Saat ke luar kamar, Ibu menghadang jalanku. Sepertinya ia begitu khawati
"Apa yang terjadi padaku, Bu? Mengapa kalian sedih sekali?"Ibu menggeleng, tetapi air matanya terus mengalir. Firasatku mulai buruk. Pasti ada sesuatu yang terjadi padaku, tetapi Ibu tak mau mengatakannya."Katakan, Bu."Ibu menarik lengan Ferdy dan Teddy. Ia membawa anak-anak ke luar ruangan. Tak lama, ia kembali seorang diri. Air mata itu masih saja mengalir bagai sungai kecil di pipinya."Nur, aku tak mau kehilanganmu.""Mengapa Ibu bicara seperti itu?""Dokter bilang, kau mengalami gegar otak akibat pukulan keras. Tadi kupikir kau sudah tiada karena koma beberapa jam. Ini keajaiban. Kau benar-benar perempuan yang kuat, Nur."Saat kami mengobrol, beberapa orang petugas kepolisian memasuki ruangan. Salah seorang dari mereka membawa sebuah kayu balok yang dibungkus dengan plastik. Untuk apa balok itu? Di belakang mereka, aku melihat seorang perempuan yang menggendong seekor anjing berbulu tebal. Ibunya Tuan Felix. Untuk
"Kau bercanda?"Tawa perempuan ber-eyeshadow warna gelap itu memecah kesunyian ruangan tempatku terbaring. Ia seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. Ia pikir aku bercanda. Namun tak lama, tawanya terhenti saat melihatku tak tertawa sama sekali."Kau serius?" tanya perempuan itu lagi. Ia menurunkan anjing yang sedari tadi duduk di pahanya. Anjing itu duduk di lantai seraya menjulurkan lidah. Apa di rumah sakit ini bebas membawa binatang peliharaan?"Aku serius, Nyonya."Wajah perempuan itu berubah sangar. Mata sipitnya ia paksa membelalak ke arahku. Lengan besarnya meraih leherku dan aku pun susah untuk bernapas."Jadi benar yang dikatakan oleh menantuku? Kau telah membunuh putraku yang merupakan majikanmu sendiri? Mengapa? Apa salah putraku?"Anjing yang sedari tadi hanya diam, menjadi gelisah saat melihat Nyonya Margareth mencekik leherku. Andai anjing itu bisa bicara, mungkin ia akan berlari ke luar d
Nyonya Margareth mendekat. Lengan besarnya menjambak rambutku dan menyeret hingga kutunjukkan lokasi tempat Tuan Felix dikubur."Cepat tunjukkan di mana putra kesayanganku kau kubur!""Di sini, Nyonya," tunjukku pada sebuah pot besar bunga adenium. "Tapi aku hanya membantu mengubur. Aku bukan pembunuh.""Felix putraku. Felix-ku kau kubur di sini? Pantas saja bruno-ku menggaruk-garuk tanah ini waktu itu," tanya perempuan itu seraya meludahi wajah ini. Ia sama sekali tak mendengar pengakuanku. Nyonya Vivian berakting begitu sempurna. Ia ikut mendekat dan menutup mulut dengan kedua telapak tangannya."Ya ampun! Kau ... teganya kau membunuh majikanmu dan mengubur jasadnya di halaman rumahnya sendiri," ucap Nyonya Vivian pura-pura terkejut. Ia berlutut dan menangis sejadinya sambil memanggil-manggil nama Tuan Felix.Petugas melepas borgol di tanganku, lalu mendorong tubuh ini hingga tersungkur di dan tersandar di bibir pot bunga besar itu.&n
Selimut pembungkus itu masih terlihat utuh meskipun bergelimang tanah. Namun aroma yang keluar dari dalam selimut itu serasa mampu membunuh segala pembuluh. Mungkin aroma itu telah menembus dinding-dinding tembok rumah warga karena disampaikan oleh angin siang ini.Perlahan bungkusan itu dibuka oleh beberapa petugas. Tak sulit untuk membukanya. Mereka memotong tali pengikatnya dengan gunting yang tajam. Bungkusan itu terbuka. Sesosok mayat tampak terbujur dengan anggota badan yang masih utuh.Muntah. Akhirnya kami semua tak sanggup lagi menahannya. Sebusuk inikah aroma bangkai manusia? Kupikir bangkai ayam sudah busuk. Ternyata bangkai manusia seratus kali lebih busuk hingga mengorek isi perut orang yang mencium aromanya.Nyonya Margareth sebagai ibunya saja tak sanggup mendekat. Ia jijik saat melihat jasad yang masih utuh. Awalnya ia mendekat ingin memeluk. Aroma itu membuatnya muntah dan menjauh.Plak!Lagi-lagi tamp
Sudah tiga bulan ini, aku bekerja sebagai buruh cuci dan gosok. Rumah majikanku berada di Utara, sedangkan tempat tinggalku di Selatan. Berat di ongkos, memang. Namun, semua harus kulakoni agar dua buah hatiku bisa makan dan jajan.Setiap awal bulan, gaji yang tak seberapa hanya bisa singgah. Sebab, sudah ada lobang yang menunggu untuk ditutupi. Yakni, utang di warung dekat rumah. Di sanalah kami bergantung sebelum waktu gajianku tiba. Alhamdulillah, daripada tak melihat uang sama sekali.Menjadi janda tidaklah enak. Aku harus berjuang sendiri tanpa bantuan Ibu. Ibuku tak mempunyai penghasilan. Ia hanya diam di rumah menunggu uluran tangan anak-anaknya.Sedih, entah mengapa nasib Ibu waktu muda bisa turun kepadaku. Beliau menjadi buruh cuci ketika Ayah telah tiada. Hal itu juga terjadi padaku. Berbeda kasus tentunya. Suamiku tak meninggal. Ia pergi memilih perempuan lain yang lebih molek dan montok. Sedangkan aku, pendek dan jelek. Padahal aku
Gadis kecil itu duduk bersimpuh seraya menunduk. Telapak tangannya menyentuh lantai. Tubuhnya berguncang hebat saat kutanya. Semakin kutanya, semakin kuat isak tangisnya. Sepertinya ia tak mau bercerita. Aku jadi bingung bagaimana cara membujuknya.Mudah terharu adalah kelemahanku. Bibir ini ikut bergetar saat mendengar isakannya. Tak terasa air mataku mengalir. Namun lekas kuseka agar ia tak melihat. Aku harus membujuknya. Aku harus bertanya. Tak boleh terlihat lemah agar ia percaya, aku bisa menjadi pelindungnya. Meskipun aku tak begitu yakin bisa melindunginya."Bicaralah, Nona. Siapa tahu, saya bisa membantu," bujukku seraya berjongkok. Tangan kananku menyentuh pundak kirinya yang masih terasa bergetar. Gadis berambut lurus itu menggeleng. Ia menepis tanganku dari pundaknya. Ia lantas berdiri dan membanting pintu dengan kuat."Saya mau pulang, Nona!" teriakku dari luar. Namun tak ada jawaban.Tak ada y
Sejenak kusingkirkan segala hal mengenai peristiwa di tempat kerja. Aku pun memulai aktifitas di rumah. Stok bahan untuk lauk nanti malam belum ada. Aku harus berutang lagi di warung Sakinah. Semoga ia mau memberi utangan karena kurasa sudah hampir mencapai batasan. Jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang."Kau mau ke mana, Nur?" tanya Ibu saat aku hendak melangkah ke luar. Perempuan yang kucinta itu merogoh sesuatu dari balik dinding kamarnya."Aku mau berutang di warung Sakinah. Bahan dapur sudah habis, Bu.""Tidak usah berutang. Ambil uang ini, bayar semua utangmu."Ibu menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Tumben sekali ia memegang uang sebanyak ini. Biasanya selalu mengeluh, saudaraku yang lain jarang memberi. Mereka tak mampu. Sama sepertiku."Uang dari mana, Bu?""Jangan banyak tanya. Pergi saja beli bahan dapur. Hari sudah sore."
Selimut pembungkus itu masih terlihat utuh meskipun bergelimang tanah. Namun aroma yang keluar dari dalam selimut itu serasa mampu membunuh segala pembuluh. Mungkin aroma itu telah menembus dinding-dinding tembok rumah warga karena disampaikan oleh angin siang ini.Perlahan bungkusan itu dibuka oleh beberapa petugas. Tak sulit untuk membukanya. Mereka memotong tali pengikatnya dengan gunting yang tajam. Bungkusan itu terbuka. Sesosok mayat tampak terbujur dengan anggota badan yang masih utuh.Muntah. Akhirnya kami semua tak sanggup lagi menahannya. Sebusuk inikah aroma bangkai manusia? Kupikir bangkai ayam sudah busuk. Ternyata bangkai manusia seratus kali lebih busuk hingga mengorek isi perut orang yang mencium aromanya.Nyonya Margareth sebagai ibunya saja tak sanggup mendekat. Ia jijik saat melihat jasad yang masih utuh. Awalnya ia mendekat ingin memeluk. Aroma itu membuatnya muntah dan menjauh.Plak!Lagi-lagi tamp
Nyonya Margareth mendekat. Lengan besarnya menjambak rambutku dan menyeret hingga kutunjukkan lokasi tempat Tuan Felix dikubur."Cepat tunjukkan di mana putra kesayanganku kau kubur!""Di sini, Nyonya," tunjukku pada sebuah pot besar bunga adenium. "Tapi aku hanya membantu mengubur. Aku bukan pembunuh.""Felix putraku. Felix-ku kau kubur di sini? Pantas saja bruno-ku menggaruk-garuk tanah ini waktu itu," tanya perempuan itu seraya meludahi wajah ini. Ia sama sekali tak mendengar pengakuanku. Nyonya Vivian berakting begitu sempurna. Ia ikut mendekat dan menutup mulut dengan kedua telapak tangannya."Ya ampun! Kau ... teganya kau membunuh majikanmu dan mengubur jasadnya di halaman rumahnya sendiri," ucap Nyonya Vivian pura-pura terkejut. Ia berlutut dan menangis sejadinya sambil memanggil-manggil nama Tuan Felix.Petugas melepas borgol di tanganku, lalu mendorong tubuh ini hingga tersungkur di dan tersandar di bibir pot bunga besar itu.&n
"Kau bercanda?"Tawa perempuan ber-eyeshadow warna gelap itu memecah kesunyian ruangan tempatku terbaring. Ia seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. Ia pikir aku bercanda. Namun tak lama, tawanya terhenti saat melihatku tak tertawa sama sekali."Kau serius?" tanya perempuan itu lagi. Ia menurunkan anjing yang sedari tadi duduk di pahanya. Anjing itu duduk di lantai seraya menjulurkan lidah. Apa di rumah sakit ini bebas membawa binatang peliharaan?"Aku serius, Nyonya."Wajah perempuan itu berubah sangar. Mata sipitnya ia paksa membelalak ke arahku. Lengan besarnya meraih leherku dan aku pun susah untuk bernapas."Jadi benar yang dikatakan oleh menantuku? Kau telah membunuh putraku yang merupakan majikanmu sendiri? Mengapa? Apa salah putraku?"Anjing yang sedari tadi hanya diam, menjadi gelisah saat melihat Nyonya Margareth mencekik leherku. Andai anjing itu bisa bicara, mungkin ia akan berlari ke luar d
"Apa yang terjadi padaku, Bu? Mengapa kalian sedih sekali?"Ibu menggeleng, tetapi air matanya terus mengalir. Firasatku mulai buruk. Pasti ada sesuatu yang terjadi padaku, tetapi Ibu tak mau mengatakannya."Katakan, Bu."Ibu menarik lengan Ferdy dan Teddy. Ia membawa anak-anak ke luar ruangan. Tak lama, ia kembali seorang diri. Air mata itu masih saja mengalir bagai sungai kecil di pipinya."Nur, aku tak mau kehilanganmu.""Mengapa Ibu bicara seperti itu?""Dokter bilang, kau mengalami gegar otak akibat pukulan keras. Tadi kupikir kau sudah tiada karena koma beberapa jam. Ini keajaiban. Kau benar-benar perempuan yang kuat, Nur."Saat kami mengobrol, beberapa orang petugas kepolisian memasuki ruangan. Salah seorang dari mereka membawa sebuah kayu balok yang dibungkus dengan plastik. Untuk apa balok itu? Di belakang mereka, aku melihat seorang perempuan yang menggendong seekor anjing berbulu tebal. Ibunya Tuan Felix. Untuk
"Tapi mengapa, Tuan? Apa yang dilakukan oleh Baron?""Anda bisa datang langsung ke kantor kami, Nyonya.""Baiklah."Ibu menatap wajahku dengan seksama. Ia mengangkat alis seolah bertanya, apa yang terjadi pada Baron. Tanpa bicara, aku berdiri meninggalkan Ibu di meja makan. Mungkin dengan beribu pertanyaan di benaknya."Nur, kau mau ke mana?" teriak Ibu dari luar saat aku mengganti pakaian di dalam kamar. Tangan ini gemetar tak karuan. Jantung berdebar begitu cepat seolah berpacu dengan detik jam. Gerakan tubuh ini terasa kian melambat saat kurasakan nyeri di lengan sewaktu memasukkan tangan ke dalam lengan baju. Tak sabar ingin cepat-cepat menemui Baron di sana."Argh.""Nur, kau tak apa-apa?""Sama seperti tadi, Bu. Memasukkan tanganku ke dalam lengan baju itu membuat lenganku ngilu.""Biar aku bantu.""Tak usah. Sudah selesai."Saat ke luar kamar, Ibu menghadang jalanku. Sepertinya ia begitu khawati
Tanpa sadar, telapak tanganku mendarat di pipi kanan Harry. Entah apa yang ia lakukan di rumah ini. Tanpa bertanya, ia menuduhku yang tidak-tidak."Jaga mulutmu, Harry!"Baron berdiri mematung menyaksikan adegan yang tak mengenakkan barusan. Aku tahu, ia pasti takkan senang dituduh macam-macam."Bukankah itu sebuah kenyataan? Kau begitu murahan. Berjalan dengan seorang lelaki ....""Sudah, Harry. Jangan bertengkar di depan pintu. Kau dari mana saja, Nur? Bukankah tadi kau bilang pergi ke rumah Nyonya Vivian untuk mengambil sebuah surat?" tanya Ibu memotong pembicaraan Harry. Lelaki itu menghembuskan napas dengan kasar. Matanya liar mengamati Baron dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pasti Harry merasa cemburu."Aku ...."Mulutku tak sanggup lagi melanjutkan. Getaran di bibir ini sangat kuat. Mata ini mulai panas karena genangan cairan bening. Cairan itu memaksa untuk keluar."Kau kenapa?"Semakin ditany
Pengap, napasku terasa sesak. Setiap kali menghirup napas, udara yang kudapatkan hanya sedikit. Rasanya karbondioksida yang kuhembuskan kembali terhirup. Dada ini terasa sempit. Aku di mana? Apa aku sudah mati?Sembari terus berusaha bernapas, aku mencoba berkonsentrasi. Tidak, ini bukan di dalam tanah. Kulitku bisa merasakan semacam serat kain. Ya, tadi aku memasuki garasi, lalu tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam kepala ini. Sakitnya masih terasa hingga kini. Apa kepalaku sengaja dipukul? Pasti ulah Nyonya Vivian.Napasku terengah-engah. Rasanya tubuhku berendam dalam genangan keringat. Panas sekali seperti berada di dalam balutan selimut tebal saat musim kemarau.Ya, aku tahu sekarang. Pasti tubuh ini sedang terkurung dalam beberapa helai selimut. Seperti yang dilakukan Nyonya Vivian pada suaminya waktu itu. Mungkin ia mengira diriku sudah tak bernyawa.Dadaku semakin sesak. Merintih meski percuma. Takkan ada yang mendengarnya
"Jangan serba ingin tahu, Nyonya."Baron terkekeh mendengar jawabanku. Ia menutup mulut agar suara tawanya tak terlalu nyaring. Perempuan itu terdiam dengan wajah memerah bak udang rebus. Ia membuka pintu lemari pendingin dan menyuruhku pergi."Pergilah! Aku muak melihat wajahmu.""Baiklah. Kapan perlu, saya tak kembali lagi ke rumah ini."Perempuan yang mengenakan hotpants itu menoleh. Ia menaruh cemilan yang baru saja ia keluarkan dari lemari pendingin itu di atas meja makan, lalu berjalan ke arahku."Nur, kau tak boleh bicara seperti itu. Aku membutuhkanmu di sini. Hanya kau yang bisa kuandalkan.""Oh, ya?""Iya, Nur. Tetaplah bekerja di sini. Baron kan selalu ada untuk menemanimu bila kau merasa takut sendirian.""Baiklah, saya pulang dulu, Nyonya.""Besok kau kembali, kan, Nur?""Iya, Nyonya."Entah mengapa, aku menjadi sedikit berani dan lancang terhadapnya. Mungkin karena kartu as perempu
"Bruno, kau berulah lagi? Ayo sini sama mami."Baron mendekati perempuan itu. Ia menyerahkan anjing itu ke tangan si nyonya. Anjing itu seolah tak mau digendong. Saat hendak digendong oleh si nyonya, anjing itu melompat dan kembali berlari ke halaman belakang. Kami bertiga hanya melongo.Sepertinya Baron tak akrab dengan perempuan itu. Mungkin ia juga jarang datang ke rumah ini. Baron kembali berlari menuju halaman belakang. Kami berdua pun mengekor di belakangnya. Sejenak kulupakan cucian karena takut kuburan Tuan Felix akan digali oleh anjing ibunya."Bruno, mari kita pulang. Felix tak ada di rumah."Perempuan itu berbicara pada anjingnya. Ia berjalan setengah berlari dan menangkap bruno yang asik menggaruk-garuk tanah di sekitar pot besar bunga adenium."Lihat kakimu, jadi kotor, kan?" Ia berbicara lagi dengan anjingnya seraya menepuk-nepuk kaki si anjing agar tanah yang menempel di kakinya bisa terbuang. Kuku anjing itu memang