Gadis kecil itu duduk bersimpuh seraya menunduk. Telapak tangannya menyentuh lantai. Tubuhnya berguncang hebat saat kutanya. Semakin kutanya, semakin kuat isak tangisnya. Sepertinya ia tak mau bercerita. Aku jadi bingung bagaimana cara membujuknya.
Mudah terharu adalah kelemahanku. Bibir ini ikut bergetar saat mendengar isakannya. Tak terasa air mataku mengalir. Namun lekas kuseka agar ia tak melihat. Aku harus membujuknya. Aku harus bertanya. Tak boleh terlihat lemah agar ia percaya, aku bisa menjadi pelindungnya. Meskipun aku tak begitu yakin bisa melindunginya.
"Bicaralah, Nona. Siapa tahu, saya bisa membantu," bujukku seraya berjongkok. Tangan kananku menyentuh pundak kirinya yang masih terasa bergetar. Gadis berambut lurus itu menggeleng. Ia menepis tanganku dari pundaknya. Ia lantas berdiri dan membanting pintu dengan kuat.
"Saya mau pulang, Nona!" teriakku dari luar. Namun tak ada jawaban.
Tak ada yang bisa kulakukan. Kepada siapa kunci garasi ini akan kuserahkan. Bila garasi tak dikunci, orang yang tak punya niat jahat akan berubah pikiran. Mereka akan mudah masuk karena pintu rumah pun tak ada pengaman. Kunci rumah ini dipegang semua pemilik rumah. Felicia tak mau keluar. Tuan dan nyonya belum pulang. Aku bisa telat pulang ke rumah kalau begini keadaannya.
Ponsel bututku berdering. Kulihat nomor Tuan Felix memanggil. Tumben sekali. Tak biasanya ia meneleponku seperti ini.
"Halo, Tuan."
"Jangan coba-coba bicara dengan Felicia," ancamnya di ujung telepon. Belum sempat kujawab, sambungan telepon langsung ia putus.
Ponselku kembali berdering sebelum kumasukkan ke dalam tas. Tuan Felix lagi. Ada apa dengannya. Apa ada yang terlupa?
"Halo, Tuan."
"Jangan bicara apa-apa pada Nyonya."
"Baik, Tuan."
Tut tut tut.
Sopan sekali majikanku ini. Memutus sambungan telepon secara tiba-tiba. Ia pikir aku ini bukan manusia? Kesal juga rasanya diperlakukan seperti ini.
Lagi-lagi ia mengancamku. Aku bisa kehilangan pekerjaan bila tak mengindahkan ancamannya. Untung tadi Felicia tak bicara apa-apa. Namun, tak mungkin kututupi masalah ini dari nyonya.
***
Satu jam sudah aku berdiri di garasi. Kaki terasa pegal sekali. Tak sopan bila harus menunggu di ruang keluarga. Mereka tak pernah berbasa-basi. Aku pun tak mau lancang. Cukup mengikuti peraturan tuan rumah saja.
"Nur!"
Harusnya aku senang ada yang datang. Berarti aku bisa segera pulang. Mendengar suara Tuan Felix membuatku merinding. Takut ia akan melakukan yang tidak-tidak pada Felicia.
"Iya, Tuan."
Orang ini tak suka memencet bel. Ia lebih suka berteriak memanggil namaku bila meminta dibukakan pintu garasi.
"Apa kau bertanya pada Felicia?" tanya pria plontos itu dengan tatapan dingin saat garasi terbuka.
"Tidak, Tuan."
"Jangan suka ikut campur urusan orang."
"Baik, Tuan. Saya cuma mau pulang. Itu saja."
"Pergilah."
"Baik."
Ia memasuki mobil dan memarkirkannya di dalam garasi. Pintu besar yang terbuat dari besi tertutup rapat. Aku pun pergi dengan berat hati. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam sana.
Tin tin!
Suara klakson mengagetkanku. Aku tak menyadari adanya mobil karena menoleh ke belakang sembari berjalan. Pikiranku melayang ke dalam bangunan besar yang baru saja lima langkah kutinggalkan.
"Nur? Kau melamun?" tanya pemilik mobil yang membunyikan klakson tadi. Ia membuka kaca mobil dan menjulurkan kepala.
"Nyonya? Untung Nyonya cepat datang. Aku ...."
"Kau kenapa, Nur?"
Ah, aku lupa kalau tuan melarangku mengatakan sesuatu pada nyonya. Mereka bisa bertengkar dan aku dipecat. Sebelum ada bayangan pekerjaan lain, aku harus bisa menutup mulut.
"Tidak, maksudku. Untung Nyonya cepat datang. Aku mau pulang."
"Apa Tuan belum pulang?"
"Sudah, Nyonya."
"Berarti tidak masalah kau pulang, Nur. Kupikir kau meninggalkan Felicia sendiri di rumah."
Nyonya Vivian berpikir bahwa Felicia akan aman bila adanya Tuan Felix. Aku sendiri tak yakin. Apa nyonya tak pernah curiga akan tindak tanduk suaminya? Ah, sudahlah. Lebih baik pulang sebelum disuruh melakukan hal lain.
"Aku permisi pulang, Nyonya."
"Iya, Nur."
Mobil itu berhenti di depan pintu garasi. Kulihat ia memencet bel yang menempel di dinding sebelah kiri. Tak lama, kulihat Tuan Felix membuka pintu garasi. Mereka berciuman dan berpelukan dengan mesra. Aku masih berdiri di sini. Di pinggir jalan tepat di depan tempat mereka berpelukan. Tuan Felix menyadari keberadaanku. Ia mengancam akan menebas leherku dengan isyarat jari telunjuk ia goreskan di lehernya. Matilah aku.
***
Sesampai di rumah, kulihat anak-anak tengah menikmati berbagai macam snack yang tak pernah kubelikan.
"Dari mana kalian mendapatkan uang?" tanyaku pada mereka setelah mengganti pakaian.
"Tadi Bi Laila datang ke sini bersama seorang paman. Mereka membawa kami ke supermarket," terang putra sulungku--Ferdy.
Laila datang ke sini bersama seorang lelaki? Siapa dia? Anak-anak ini mengenal suami Laila. Pasti mereka akan menyebut nama suami temanku itu.
"Apa yang kalian maksud itu Paman Jhoni?"
"Bukan, Bu," jawab Teddy--putra bungsuku yang sedari tadi sibuk mengunyah.
Apa maksud Laila datang ke rumah tanpa sepengetahuanku? Biasanya ia menelepon terlebih dahulu. Bila aku tak di rumah, ia akan mengurungkan niatnya untuk datang. Siapa kira-kira lelaki yang datang bersamanya?
"Ferdy, apa kau tahu siapa nama paman yang datang bersama Bi Laila?"
"Tidak, Bu."
"Bagaimana ciri-cirinya?"
"Orangnya tinggi, putih, rambutnya plontos, Bu."
Deg!
Tidak mungkin. Tidak mungkin Tuan Felix repot-repot datang ke sini untuk membawa anakku berbelanja. Ah, otakku tersugesti gara-gara kejadian di sana. Pikiranku selalu tertuju pada orang itu. Dadaku terasa sesak setiap kali mengingat ancamannya.
Daripada menduga-duga, lebih baik kuhubungi Laila. Ia harus menjelaskan maksud dan tujuannya membawa pergi anak-anak tanpa izinku.
"Halo, Nur," jawab Laila di ujung telepon setelah beberapa kali kuhubungi.
"Laila, apa benar kau datang ke rumahku dan membawa anak-anak ke supermarket?"
"Apa kabar, Nur? Apa kau senang bekerja di rumah Tuan Felix?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan, Laila. Jawab saja pertanyaanku."
"Iya, aku yang membawa Tuan Felix ke rumahmu. Dia ingin menemui Ferdy dan Teddy. Apa itu salah?"
Aku menarik napas berat. Membawa anak orang ke luar rumah tanpa izin. Laila menganggap itu tak salah. Aku tak mau memarahinya karena ia berjasa. Ia yang mempertemukanku dengan keluarga Nyonya Vivian. Emosi ini harus kutahan.
"Bukan begitu, Laila. Lain kali kabari aku dulu, ya."
"Oke."
Beribu tanda tanya bersarang di benakku. Mengapa Tuan Felix sok baik pada anak-anak? Apa tujuan Tuan Felix yang sebenarnya. Tadi kami bertemu, ia tak membahas tentang ini. Ia malah mengancam hendak membunuhku. Ya, Tuhan. Apa yang harus kulakukan?
Bersambung
Sejenak kusingkirkan segala hal mengenai peristiwa di tempat kerja. Aku pun memulai aktifitas di rumah. Stok bahan untuk lauk nanti malam belum ada. Aku harus berutang lagi di warung Sakinah. Semoga ia mau memberi utangan karena kurasa sudah hampir mencapai batasan. Jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang."Kau mau ke mana, Nur?" tanya Ibu saat aku hendak melangkah ke luar. Perempuan yang kucinta itu merogoh sesuatu dari balik dinding kamarnya."Aku mau berutang di warung Sakinah. Bahan dapur sudah habis, Bu.""Tidak usah berutang. Ambil uang ini, bayar semua utangmu."Ibu menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Tumben sekali ia memegang uang sebanyak ini. Biasanya selalu mengeluh, saudaraku yang lain jarang memberi. Mereka tak mampu. Sama sepertiku."Uang dari mana, Bu?""Jangan banyak tanya. Pergi saja beli bahan dapur. Hari sudah sore."
Sulit sekali mata ini dipejamkan. Miring ke kiri dan ke kanan, telungkup dan telentang. Hanya wajah Tuan Felix yang terbayang. Seperti orang jatuh cinta, tetapi dengan debar yang berbeda. Debar jatuh cinta itu indah. Debar yang kurasa saat ini menakutkan. Memang tak enak menjadi orang miskin. Bila terpojok, tak ada tempat untuk berlindung.Ponsel butut kecil berfitur senter yang kutaruh di samping bantal, berdering. Suaranya begitu nyaring hingga membuat Ferdy dan Teddy menggeliat. Lekas kusambar dan bangkit dari pembaringan. Nama Sofia--kakak tertuaku terpampang di layar ponsel berwarna abu-abu itu."Halo, Kak.""Nur, aku tak sabar ingin mengucapkan terima kasih padamu. Uang sewa rumahku sudah dibayar Ibu. Ia bilang, uang itu dari majikanmu. Sebenarnya suamiku melarang untuk menelepon selarut ini. Maaf jika aku mengganggu tidurmu."Ya, Tuhan. Sofia juga dilibatkan dalam hal ini. Ia bahkan tak mengenal Tua
Rahasia Majikanku#5Tuan Felix bergegas keluar dari mobil dan menyalami guru Felicia. Matanya menyiratkan ketidaksukaan akan kehadiranku. Aku pun masuk ke dalam dengan lutut sedikit gemetar. Setelah diingat-ingat, ternyata aku belum sarapan.Izin dari nyonya, tak membuatku lancang begitu saja. Makanan dan minuman semuanya tersedia. Apa yang tak bisa kubeli dan kumakan di rumah, di sini bahkan tak disentuh oleh pemiliknya. Lebih baik merendam cucian saja. Nanti rasa lapar ini juga akan hilang dengan sendirinya."Apa yang kau bicarakan dengan guru Felicia?" tanya Tuan Felix setelah kulihat perempuan itu pergi. Mobilnya masih di luar. Mungkin si tuan hendak pergi lagi."Saya tidak membicarakan apa-apa, Tuan. Guru itu hanya menanyakan keadaan Felicia.""Mana Felicia?""Di kamarnya. Nona berbaring setelah saya kompres. Tadi kepalanya terasa sangat panas."
Rahasia Majikanku#6Di perjalanan pulang, mataku tertuju pada sebuah bangunan berwarna cokelat. Sepertinya orang-orang yang ada di dalam bangunan itu sangat tepat untukku meminta pertolongan."Minggir, Pak."Sedikit terlewat dari bangunan itu karena angkutan umum yang kunaiki jalannya terlalu kencang. Sang sopir sedikit menyeringai saat kuserahkan beberapa lembar uang seribuan. Terang saja ia marah. Aku meminta turun secara tiba-tiba.Sedikit perasaan canggung, kulangkahkan kaki menuju meja informasi. Seorang lelaki berseragam cokelat muda itu tersenyum padaku dan mempersilakan untuk duduk. Dingin. Entah karena ruangan ini berpendingin, entah telapak tanganku memang dingin. Entahlah. Kakiku seakan mati rasa."Ada yang bisa saya bantu, Nona?"Lelaki itu memanggilku nona. Mungkin karena tubuhku yang kecil mungil dan tinggi badan satu meter setengah saja tak sampai. And
Rahasia Majikanku#7"Mengapa kau pulang lama sekali, Nur?" sambut Ibu di depan pintu. Ferdy dan Teddy kulihat tengah asik menikmati sesuatu."Aku tadi ke kantor polisi, Bu. Aku juga pergi ke rumah Harry.""Kantor polisi? Untuk apa?" tanya Ibu dengan mata terbelalak. Aku tahu ia pasti ketakutan mendengar lembaga itu kusebut. Sembari berjalan menuju meja makan tempat Ferdy dan Teddy, Ibu mengikuti langkahku dari belakang."Aku melaporkan Tuan Felix.""Kau sudah gil*, Nur. Apa yang telah dia lakukan hingga kau ingin melaporkannya pada polisi?"Ibu menarik lenganku dengan kasar. Ia menatap dalam ke arah mataku. Kami bersitatap di detik pertama. Detik selanjutnya kupalingkan pandangan pada makanan yang ada di meja."Aku tak tahu, Bu. Entah apa yang dia lakukan. Yang jelas, aku akan mengumpulkan bukti yang kuat," ucapku seraya mencomot ayam goreng krispi d
Rahasia Majikanku 8Kami berdua memasuki garasi. Nyonya Vivian menaiki mobilnya dan menyalakan mesin. Aku pun menggantung tas di dinding dan memulai pekerjaan. Yakni, mengumpulkan pakaian kotor penghuni rumah. Entah berapa kali mereka berganti pakaian. Setiap hari selalu saja ada banyak cucian. Terkadang ada pakaian yang tak kukenali ikut tercuci mau tak mau. Pakaian itu telah tercampur di dalam keranjang mereka."Nur, kunci garasinya," teriak Nyonya Vivian dari mobilnya."Baik, Nyonya."Suasana menegangkan bila kami hanya berdua di rumah. Tuan Felix tak banyak bicara. Sekali bicara, ia hanya akan menimbulkan ketakutan dalam diri ini. Mungkin rasanya lebih baik ia diam. Semoga hari ini ada petunjuk dan kesempatan untuk mengumpulkan bukti kejahatannya.***Nomor ponsel Nyonya Vivian telah kupindahkan ke ponsel android. Ternyata nomor itu langsung terhubung ke aplikasi Whats
Muncrat!Beberapa tusukan ia tikamkan oleh Nyonya Vivian tepat di dada sebelah kiri lelaki berbibir merah itu. Darah merah segar menyembur dari sana. Ia mengerang dan berlutut. Matanya melotot dan tangannya menggapai seperti minta pertolongan. Kaki ini terasa kaku. Tubuhku bergetar hebat dan rasanya ingin muntah. Tak lama, kulihat lelaki itu tampak tumbang dengan posisi menelungkup di lantai. Apa ia mati?Perempuan itu berdiri menjauh beberapa langkah dari tempatnya semula. Ia berjalan mundur seraya mengangkat kedua telapak tangan. Pisau digenggamannya terhempas ke lantai. Ia balik badan dan menatapku dengan wajah panik."Nur, kau melihatnya?"Pertanyaan macam apa itu. Tentu saja aku melihatnya. Mataku tak rabun apalagi buta. Perempuan itu menatap kedua telapak tangannya yang bersimbah darah. Lantai keramik yang putih telah memerah. Lelaki bertubuh kekar itu tumbang dengan beberapa tusukan di dada.
Nyonya Vivian sudah mengizinkan untuk pulang. Aku pun kembali memasukkan kain ke dalam keranjang. Kain yang tadi tak jadi disetrika. Saat mengangkat kain tersebut, aku lupa bahwa ponsel kuletakkan di sana hingga ponsel itu terjatuh ke lantai."Apa itu, Nur?" tanya Nyonya Vivian yang berjalan ke arahku. Rumah yang sepi membuat suara ponsel jatuh terdengar jelas. Apalagi perempuan itu masih duduk di meja makan."Ponsel saya terjatuh, Nyonya.""Apa ponselmu baik-baik saja?""Saya rasa begitu, Nyonya."Untung Nyonya Vivian tak curiga. Ponsel ini mati total saat kupungut dari lantai. Antara mati karena rusak dan kehabisan baterai. Kameranya terlalu lama menyala. Kemungkinan besar hanya kehabisan baterai saja. Ponsel ini tak sebagus saat pertama dibeli dahulu. Kondisinya sudah setengah uzur. Jadi harus hati-hati saat memakainya. Untung saja Harry mau menyerahkan. Semoga ponsel ini menangka
Selimut pembungkus itu masih terlihat utuh meskipun bergelimang tanah. Namun aroma yang keluar dari dalam selimut itu serasa mampu membunuh segala pembuluh. Mungkin aroma itu telah menembus dinding-dinding tembok rumah warga karena disampaikan oleh angin siang ini.Perlahan bungkusan itu dibuka oleh beberapa petugas. Tak sulit untuk membukanya. Mereka memotong tali pengikatnya dengan gunting yang tajam. Bungkusan itu terbuka. Sesosok mayat tampak terbujur dengan anggota badan yang masih utuh.Muntah. Akhirnya kami semua tak sanggup lagi menahannya. Sebusuk inikah aroma bangkai manusia? Kupikir bangkai ayam sudah busuk. Ternyata bangkai manusia seratus kali lebih busuk hingga mengorek isi perut orang yang mencium aromanya.Nyonya Margareth sebagai ibunya saja tak sanggup mendekat. Ia jijik saat melihat jasad yang masih utuh. Awalnya ia mendekat ingin memeluk. Aroma itu membuatnya muntah dan menjauh.Plak!Lagi-lagi tamp
Nyonya Margareth mendekat. Lengan besarnya menjambak rambutku dan menyeret hingga kutunjukkan lokasi tempat Tuan Felix dikubur."Cepat tunjukkan di mana putra kesayanganku kau kubur!""Di sini, Nyonya," tunjukku pada sebuah pot besar bunga adenium. "Tapi aku hanya membantu mengubur. Aku bukan pembunuh.""Felix putraku. Felix-ku kau kubur di sini? Pantas saja bruno-ku menggaruk-garuk tanah ini waktu itu," tanya perempuan itu seraya meludahi wajah ini. Ia sama sekali tak mendengar pengakuanku. Nyonya Vivian berakting begitu sempurna. Ia ikut mendekat dan menutup mulut dengan kedua telapak tangannya."Ya ampun! Kau ... teganya kau membunuh majikanmu dan mengubur jasadnya di halaman rumahnya sendiri," ucap Nyonya Vivian pura-pura terkejut. Ia berlutut dan menangis sejadinya sambil memanggil-manggil nama Tuan Felix.Petugas melepas borgol di tanganku, lalu mendorong tubuh ini hingga tersungkur di dan tersandar di bibir pot bunga besar itu.&n
"Kau bercanda?"Tawa perempuan ber-eyeshadow warna gelap itu memecah kesunyian ruangan tempatku terbaring. Ia seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. Ia pikir aku bercanda. Namun tak lama, tawanya terhenti saat melihatku tak tertawa sama sekali."Kau serius?" tanya perempuan itu lagi. Ia menurunkan anjing yang sedari tadi duduk di pahanya. Anjing itu duduk di lantai seraya menjulurkan lidah. Apa di rumah sakit ini bebas membawa binatang peliharaan?"Aku serius, Nyonya."Wajah perempuan itu berubah sangar. Mata sipitnya ia paksa membelalak ke arahku. Lengan besarnya meraih leherku dan aku pun susah untuk bernapas."Jadi benar yang dikatakan oleh menantuku? Kau telah membunuh putraku yang merupakan majikanmu sendiri? Mengapa? Apa salah putraku?"Anjing yang sedari tadi hanya diam, menjadi gelisah saat melihat Nyonya Margareth mencekik leherku. Andai anjing itu bisa bicara, mungkin ia akan berlari ke luar d
"Apa yang terjadi padaku, Bu? Mengapa kalian sedih sekali?"Ibu menggeleng, tetapi air matanya terus mengalir. Firasatku mulai buruk. Pasti ada sesuatu yang terjadi padaku, tetapi Ibu tak mau mengatakannya."Katakan, Bu."Ibu menarik lengan Ferdy dan Teddy. Ia membawa anak-anak ke luar ruangan. Tak lama, ia kembali seorang diri. Air mata itu masih saja mengalir bagai sungai kecil di pipinya."Nur, aku tak mau kehilanganmu.""Mengapa Ibu bicara seperti itu?""Dokter bilang, kau mengalami gegar otak akibat pukulan keras. Tadi kupikir kau sudah tiada karena koma beberapa jam. Ini keajaiban. Kau benar-benar perempuan yang kuat, Nur."Saat kami mengobrol, beberapa orang petugas kepolisian memasuki ruangan. Salah seorang dari mereka membawa sebuah kayu balok yang dibungkus dengan plastik. Untuk apa balok itu? Di belakang mereka, aku melihat seorang perempuan yang menggendong seekor anjing berbulu tebal. Ibunya Tuan Felix. Untuk
"Tapi mengapa, Tuan? Apa yang dilakukan oleh Baron?""Anda bisa datang langsung ke kantor kami, Nyonya.""Baiklah."Ibu menatap wajahku dengan seksama. Ia mengangkat alis seolah bertanya, apa yang terjadi pada Baron. Tanpa bicara, aku berdiri meninggalkan Ibu di meja makan. Mungkin dengan beribu pertanyaan di benaknya."Nur, kau mau ke mana?" teriak Ibu dari luar saat aku mengganti pakaian di dalam kamar. Tangan ini gemetar tak karuan. Jantung berdebar begitu cepat seolah berpacu dengan detik jam. Gerakan tubuh ini terasa kian melambat saat kurasakan nyeri di lengan sewaktu memasukkan tangan ke dalam lengan baju. Tak sabar ingin cepat-cepat menemui Baron di sana."Argh.""Nur, kau tak apa-apa?""Sama seperti tadi, Bu. Memasukkan tanganku ke dalam lengan baju itu membuat lenganku ngilu.""Biar aku bantu.""Tak usah. Sudah selesai."Saat ke luar kamar, Ibu menghadang jalanku. Sepertinya ia begitu khawati
Tanpa sadar, telapak tanganku mendarat di pipi kanan Harry. Entah apa yang ia lakukan di rumah ini. Tanpa bertanya, ia menuduhku yang tidak-tidak."Jaga mulutmu, Harry!"Baron berdiri mematung menyaksikan adegan yang tak mengenakkan barusan. Aku tahu, ia pasti takkan senang dituduh macam-macam."Bukankah itu sebuah kenyataan? Kau begitu murahan. Berjalan dengan seorang lelaki ....""Sudah, Harry. Jangan bertengkar di depan pintu. Kau dari mana saja, Nur? Bukankah tadi kau bilang pergi ke rumah Nyonya Vivian untuk mengambil sebuah surat?" tanya Ibu memotong pembicaraan Harry. Lelaki itu menghembuskan napas dengan kasar. Matanya liar mengamati Baron dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pasti Harry merasa cemburu."Aku ...."Mulutku tak sanggup lagi melanjutkan. Getaran di bibir ini sangat kuat. Mata ini mulai panas karena genangan cairan bening. Cairan itu memaksa untuk keluar."Kau kenapa?"Semakin ditany
Pengap, napasku terasa sesak. Setiap kali menghirup napas, udara yang kudapatkan hanya sedikit. Rasanya karbondioksida yang kuhembuskan kembali terhirup. Dada ini terasa sempit. Aku di mana? Apa aku sudah mati?Sembari terus berusaha bernapas, aku mencoba berkonsentrasi. Tidak, ini bukan di dalam tanah. Kulitku bisa merasakan semacam serat kain. Ya, tadi aku memasuki garasi, lalu tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam kepala ini. Sakitnya masih terasa hingga kini. Apa kepalaku sengaja dipukul? Pasti ulah Nyonya Vivian.Napasku terengah-engah. Rasanya tubuhku berendam dalam genangan keringat. Panas sekali seperti berada di dalam balutan selimut tebal saat musim kemarau.Ya, aku tahu sekarang. Pasti tubuh ini sedang terkurung dalam beberapa helai selimut. Seperti yang dilakukan Nyonya Vivian pada suaminya waktu itu. Mungkin ia mengira diriku sudah tak bernyawa.Dadaku semakin sesak. Merintih meski percuma. Takkan ada yang mendengarnya
"Jangan serba ingin tahu, Nyonya."Baron terkekeh mendengar jawabanku. Ia menutup mulut agar suara tawanya tak terlalu nyaring. Perempuan itu terdiam dengan wajah memerah bak udang rebus. Ia membuka pintu lemari pendingin dan menyuruhku pergi."Pergilah! Aku muak melihat wajahmu.""Baiklah. Kapan perlu, saya tak kembali lagi ke rumah ini."Perempuan yang mengenakan hotpants itu menoleh. Ia menaruh cemilan yang baru saja ia keluarkan dari lemari pendingin itu di atas meja makan, lalu berjalan ke arahku."Nur, kau tak boleh bicara seperti itu. Aku membutuhkanmu di sini. Hanya kau yang bisa kuandalkan.""Oh, ya?""Iya, Nur. Tetaplah bekerja di sini. Baron kan selalu ada untuk menemanimu bila kau merasa takut sendirian.""Baiklah, saya pulang dulu, Nyonya.""Besok kau kembali, kan, Nur?""Iya, Nyonya."Entah mengapa, aku menjadi sedikit berani dan lancang terhadapnya. Mungkin karena kartu as perempu
"Bruno, kau berulah lagi? Ayo sini sama mami."Baron mendekati perempuan itu. Ia menyerahkan anjing itu ke tangan si nyonya. Anjing itu seolah tak mau digendong. Saat hendak digendong oleh si nyonya, anjing itu melompat dan kembali berlari ke halaman belakang. Kami bertiga hanya melongo.Sepertinya Baron tak akrab dengan perempuan itu. Mungkin ia juga jarang datang ke rumah ini. Baron kembali berlari menuju halaman belakang. Kami berdua pun mengekor di belakangnya. Sejenak kulupakan cucian karena takut kuburan Tuan Felix akan digali oleh anjing ibunya."Bruno, mari kita pulang. Felix tak ada di rumah."Perempuan itu berbicara pada anjingnya. Ia berjalan setengah berlari dan menangkap bruno yang asik menggaruk-garuk tanah di sekitar pot besar bunga adenium."Lihat kakimu, jadi kotor, kan?" Ia berbicara lagi dengan anjingnya seraya menepuk-nepuk kaki si anjing agar tanah yang menempel di kakinya bisa terbuang. Kuku anjing itu memang