Rahasia Majikanku
#7"Mengapa kau pulang lama sekali, Nur?" sambut Ibu di depan pintu. Ferdy dan Teddy kulihat tengah asik menikmati sesuatu.
"Aku tadi ke kantor polisi, Bu. Aku juga pergi ke rumah Harry."
"Kantor polisi? Untuk apa?" tanya Ibu dengan mata terbelalak. Aku tahu ia pasti ketakutan mendengar lembaga itu kusebut. Sembari berjalan menuju meja makan tempat Ferdy dan Teddy, Ibu mengikuti langkahku dari belakang.
"Aku melaporkan Tuan Felix."
"Kau sudah gil*, Nur. Apa yang telah dia lakukan hingga kau ingin melaporkannya pada polisi?"
Ibu menarik lenganku dengan kasar. Ia menatap dalam ke arah mataku. Kami bersitatap di detik pertama. Detik selanjutnya kupalingkan pandangan pada makanan yang ada di meja.
"Aku tak tahu, Bu. Entah apa yang dia lakukan. Yang jelas, aku akan mengumpulkan bukti yang kuat," ucapku seraya mencomot ayam goreng krispi d
Rahasia Majikanku 8Kami berdua memasuki garasi. Nyonya Vivian menaiki mobilnya dan menyalakan mesin. Aku pun menggantung tas di dinding dan memulai pekerjaan. Yakni, mengumpulkan pakaian kotor penghuni rumah. Entah berapa kali mereka berganti pakaian. Setiap hari selalu saja ada banyak cucian. Terkadang ada pakaian yang tak kukenali ikut tercuci mau tak mau. Pakaian itu telah tercampur di dalam keranjang mereka."Nur, kunci garasinya," teriak Nyonya Vivian dari mobilnya."Baik, Nyonya."Suasana menegangkan bila kami hanya berdua di rumah. Tuan Felix tak banyak bicara. Sekali bicara, ia hanya akan menimbulkan ketakutan dalam diri ini. Mungkin rasanya lebih baik ia diam. Semoga hari ini ada petunjuk dan kesempatan untuk mengumpulkan bukti kejahatannya.***Nomor ponsel Nyonya Vivian telah kupindahkan ke ponsel android. Ternyata nomor itu langsung terhubung ke aplikasi Whats
Muncrat!Beberapa tusukan ia tikamkan oleh Nyonya Vivian tepat di dada sebelah kiri lelaki berbibir merah itu. Darah merah segar menyembur dari sana. Ia mengerang dan berlutut. Matanya melotot dan tangannya menggapai seperti minta pertolongan. Kaki ini terasa kaku. Tubuhku bergetar hebat dan rasanya ingin muntah. Tak lama, kulihat lelaki itu tampak tumbang dengan posisi menelungkup di lantai. Apa ia mati?Perempuan itu berdiri menjauh beberapa langkah dari tempatnya semula. Ia berjalan mundur seraya mengangkat kedua telapak tangan. Pisau digenggamannya terhempas ke lantai. Ia balik badan dan menatapku dengan wajah panik."Nur, kau melihatnya?"Pertanyaan macam apa itu. Tentu saja aku melihatnya. Mataku tak rabun apalagi buta. Perempuan itu menatap kedua telapak tangannya yang bersimbah darah. Lantai keramik yang putih telah memerah. Lelaki bertubuh kekar itu tumbang dengan beberapa tusukan di dada.
Nyonya Vivian sudah mengizinkan untuk pulang. Aku pun kembali memasukkan kain ke dalam keranjang. Kain yang tadi tak jadi disetrika. Saat mengangkat kain tersebut, aku lupa bahwa ponsel kuletakkan di sana hingga ponsel itu terjatuh ke lantai."Apa itu, Nur?" tanya Nyonya Vivian yang berjalan ke arahku. Rumah yang sepi membuat suara ponsel jatuh terdengar jelas. Apalagi perempuan itu masih duduk di meja makan."Ponsel saya terjatuh, Nyonya.""Apa ponselmu baik-baik saja?""Saya rasa begitu, Nyonya."Untung Nyonya Vivian tak curiga. Ponsel ini mati total saat kupungut dari lantai. Antara mati karena rusak dan kehabisan baterai. Kameranya terlalu lama menyala. Kemungkinan besar hanya kehabisan baterai saja. Ponsel ini tak sebagus saat pertama dibeli dahulu. Kondisinya sudah setengah uzur. Jadi harus hati-hati saat memakainya. Untung saja Harry mau menyerahkan. Semoga ponsel ini menangka
Sebagai teman yang telah berjasa mempertemukanku dengan Nyonya Vivian, aku tak mau memaksa Laila untuk bercerita. Ia pun tampak sangat terpukul saat mendengar ucapanku. Kuurungkan niat untuk menceritakan kejadian tadi siang pada Laila. Ini rahasia besar antara aku dan Nyonya Vivian. Ia tak perlu tahu. Meski ia pula yang membuatku terbawa-bawa dalam kasus besar ini. Tentu ia tak menyangka ini semua akan terjadi."Maafkan aku, Laila. Semoga saat tujuanmu tercapai, kau mau menceritakannya padaku.""Sedikit lagi, Nur. Sedikit lagi tujuanku akan tercapai.""Baiklah. Mana suamimu?""Dia ...."Air mata Laila jatuh lagi membentuk aliran sungai kecil dari pipi hingga sudut bibirnya yang merah alami tanpa sentuhan pewarna bibir itu. Ia mengulum bibir saat cairan bening itu nyaris melewati cela antara bibir atas dan bawah. Tangan kananku lantas terangkat dan menyeka pipinya."Ada apa
Mengapa Nyonya Vivian harus mengatakan bahwa suaminya sudah berangkat? Harusnya ia bisa memberi alasan yang lain. Ia bukan orang yang bodoh. Apa ia sengaja membuatku dihubungi oleh Laila? Ah, apa hubungannya. Tak mungkin begitu. Untung aku hanya menjawab tidak tahu. Semoga Laila percaya.Laila menutup telepon dengan sedikit mendengus. Ia pasti kesal sekali. Menunggu adalah hal yang membosankan. Kupikir Nyonya Vivian pergi ke toko perhiasannya. Ternyata ia tak ke sana. Setiap hari ada saja acaranya di luar sana. Andai aku jadi dia, apa mungkin aku akan seperti itu juga? Entahlah."Permisi, Nyonya."Kehadiran Baron yang tiba-tiba di hadapanku membuatku mengerjap menarik napas dan mengatur detak jantung yang tak beraturan. Bukan karena ada rasa yang berbeda, tetapi karena kehadurannya yang tiba-tiba bak setan di siang bolong."Kau membuatku kaget saja," ucapku seraya menghembus-hembuskan napas yang terasa sesak."Maaf, Nyonya."
Laila berjalan mendekat dengan perlahan ke arahku hingga jarak kami rapat. Ia menatap tajam ke dalam mataku. Tatapan yang aneh sekaligus menakutkan. Aku takut ketahuan."Tidak, Laila. Tuan Felix tak ada.""Mengapa mobilnya ada?""Aku ... aku tak tahu. Tadi Nyonya Vivian berkata bahwa aku hanya sendiri di rumah dan akan ada tukang kebun yang datang.""Tukang kebun?""Iya, namanya Baron. Apa kau mengenalnya?""Tidak."Aku mundur beberapa langkah agar napas ini tak tercium oleh Laila. Napas yang penuh kebohongan ini aromanya pasti sangat busuk. Akan mudah tercium bila posisi kami sangat rapat."Biasanya Baron bekerja satu kali dalam satu minggu. Hari ini Nyonya Vivian memintanya menemaniku agar aku tak takut bekerja sendirian.""Takut? Sejak kapan kau penakut?"Ya, Tuhan. Sepertinya aku telah salah bicara. Lidah ini tak biasa mengarang cerita. Aku yakin, suatu saat Laila akan mengetahuinya juga. Ia
"Masuklah, Laila. Kita bicara di dalam.""Tak usah, Nur. Sudah larut."Laila menolak masuk karena hari sudah larut malam. Padahal aku ingin bicara dari hati ke hati dengannya. Ia pamit pulang dengan raut wajah kecewa.Setelah pintu kukunci, aku pun balik badan hendak berjalan menuju kamar. Tanpa sadar, Ibu sudah berdiri di hadapanku. Kurasa ia mendengar pembicaraan kami tadi."Ada apa dengan Tuan Felix, Nur?""Entahlah, Bu. Aku lelah."Aku berlalu meninggalkan Ibu yang masih berdiri. Kulihat Ferdy dan Teddy sudah tertidur pulas. Semoga mereka selalu dilindungi dari segala marabahaya dan orang-orang yang berniat jahat.***Napasku terengah-engah. Jantungku berdegup kencang. Kaki tak kuat lagi untuk berlari. Namun lelaki yang di belakangku terus mengejar tanpa henti.Sesekali aku menoleh ke belakang. Dalam remang cahaya rembulan dapat kulihat pisau yang ia ayunkan.Entah siapa itu. Aku
"Kunci ini? Kunci ini untuk ... untuk pergi ke gudang. Tadi Baron menyuruhku menaruh arit."Nyonya Vivian menatapku curiga. Ia tak menanggapi. Setelah mengambil rangkaian kunci itu, ia pun menyuruhku pulang. Syukurlah."Bila ada yang menanyakan tentang Felix, kau jawab saja tidak tahu. Kau tahu itu, Nur?""Baik, Nyonya. Aku juga mau membahas itu.""Pulanglah.""Iya, Nyonya."Rencana untuk menghapus jejak di gagang cangkul, gagal sudah. Mungkin bisa kucoba esok hari. Bagaimana kabar Felicia sekarang? Apa ia menemukan alamatku? Anak itu membuatku penasaran saja.***Dari halaman, kulihat Ibu mondar-mandir seperti orang gelisah di teras. Langkahnya terhenti saat melihatku. Apa Ibu sudah bertemu Felicia?"Nur, untung kau cepat pulang. Anak itu ....""Ada apa, Bu? Anak yang mana?""Anak perempuan berseragam sekolah, kulit putih, rambut lurus itu anak majikanmu, bukan?""Felicia?"
Selimut pembungkus itu masih terlihat utuh meskipun bergelimang tanah. Namun aroma yang keluar dari dalam selimut itu serasa mampu membunuh segala pembuluh. Mungkin aroma itu telah menembus dinding-dinding tembok rumah warga karena disampaikan oleh angin siang ini.Perlahan bungkusan itu dibuka oleh beberapa petugas. Tak sulit untuk membukanya. Mereka memotong tali pengikatnya dengan gunting yang tajam. Bungkusan itu terbuka. Sesosok mayat tampak terbujur dengan anggota badan yang masih utuh.Muntah. Akhirnya kami semua tak sanggup lagi menahannya. Sebusuk inikah aroma bangkai manusia? Kupikir bangkai ayam sudah busuk. Ternyata bangkai manusia seratus kali lebih busuk hingga mengorek isi perut orang yang mencium aromanya.Nyonya Margareth sebagai ibunya saja tak sanggup mendekat. Ia jijik saat melihat jasad yang masih utuh. Awalnya ia mendekat ingin memeluk. Aroma itu membuatnya muntah dan menjauh.Plak!Lagi-lagi tamp
Nyonya Margareth mendekat. Lengan besarnya menjambak rambutku dan menyeret hingga kutunjukkan lokasi tempat Tuan Felix dikubur."Cepat tunjukkan di mana putra kesayanganku kau kubur!""Di sini, Nyonya," tunjukku pada sebuah pot besar bunga adenium. "Tapi aku hanya membantu mengubur. Aku bukan pembunuh.""Felix putraku. Felix-ku kau kubur di sini? Pantas saja bruno-ku menggaruk-garuk tanah ini waktu itu," tanya perempuan itu seraya meludahi wajah ini. Ia sama sekali tak mendengar pengakuanku. Nyonya Vivian berakting begitu sempurna. Ia ikut mendekat dan menutup mulut dengan kedua telapak tangannya."Ya ampun! Kau ... teganya kau membunuh majikanmu dan mengubur jasadnya di halaman rumahnya sendiri," ucap Nyonya Vivian pura-pura terkejut. Ia berlutut dan menangis sejadinya sambil memanggil-manggil nama Tuan Felix.Petugas melepas borgol di tanganku, lalu mendorong tubuh ini hingga tersungkur di dan tersandar di bibir pot bunga besar itu.&n
"Kau bercanda?"Tawa perempuan ber-eyeshadow warna gelap itu memecah kesunyian ruangan tempatku terbaring. Ia seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. Ia pikir aku bercanda. Namun tak lama, tawanya terhenti saat melihatku tak tertawa sama sekali."Kau serius?" tanya perempuan itu lagi. Ia menurunkan anjing yang sedari tadi duduk di pahanya. Anjing itu duduk di lantai seraya menjulurkan lidah. Apa di rumah sakit ini bebas membawa binatang peliharaan?"Aku serius, Nyonya."Wajah perempuan itu berubah sangar. Mata sipitnya ia paksa membelalak ke arahku. Lengan besarnya meraih leherku dan aku pun susah untuk bernapas."Jadi benar yang dikatakan oleh menantuku? Kau telah membunuh putraku yang merupakan majikanmu sendiri? Mengapa? Apa salah putraku?"Anjing yang sedari tadi hanya diam, menjadi gelisah saat melihat Nyonya Margareth mencekik leherku. Andai anjing itu bisa bicara, mungkin ia akan berlari ke luar d
"Apa yang terjadi padaku, Bu? Mengapa kalian sedih sekali?"Ibu menggeleng, tetapi air matanya terus mengalir. Firasatku mulai buruk. Pasti ada sesuatu yang terjadi padaku, tetapi Ibu tak mau mengatakannya."Katakan, Bu."Ibu menarik lengan Ferdy dan Teddy. Ia membawa anak-anak ke luar ruangan. Tak lama, ia kembali seorang diri. Air mata itu masih saja mengalir bagai sungai kecil di pipinya."Nur, aku tak mau kehilanganmu.""Mengapa Ibu bicara seperti itu?""Dokter bilang, kau mengalami gegar otak akibat pukulan keras. Tadi kupikir kau sudah tiada karena koma beberapa jam. Ini keajaiban. Kau benar-benar perempuan yang kuat, Nur."Saat kami mengobrol, beberapa orang petugas kepolisian memasuki ruangan. Salah seorang dari mereka membawa sebuah kayu balok yang dibungkus dengan plastik. Untuk apa balok itu? Di belakang mereka, aku melihat seorang perempuan yang menggendong seekor anjing berbulu tebal. Ibunya Tuan Felix. Untuk
"Tapi mengapa, Tuan? Apa yang dilakukan oleh Baron?""Anda bisa datang langsung ke kantor kami, Nyonya.""Baiklah."Ibu menatap wajahku dengan seksama. Ia mengangkat alis seolah bertanya, apa yang terjadi pada Baron. Tanpa bicara, aku berdiri meninggalkan Ibu di meja makan. Mungkin dengan beribu pertanyaan di benaknya."Nur, kau mau ke mana?" teriak Ibu dari luar saat aku mengganti pakaian di dalam kamar. Tangan ini gemetar tak karuan. Jantung berdebar begitu cepat seolah berpacu dengan detik jam. Gerakan tubuh ini terasa kian melambat saat kurasakan nyeri di lengan sewaktu memasukkan tangan ke dalam lengan baju. Tak sabar ingin cepat-cepat menemui Baron di sana."Argh.""Nur, kau tak apa-apa?""Sama seperti tadi, Bu. Memasukkan tanganku ke dalam lengan baju itu membuat lenganku ngilu.""Biar aku bantu.""Tak usah. Sudah selesai."Saat ke luar kamar, Ibu menghadang jalanku. Sepertinya ia begitu khawati
Tanpa sadar, telapak tanganku mendarat di pipi kanan Harry. Entah apa yang ia lakukan di rumah ini. Tanpa bertanya, ia menuduhku yang tidak-tidak."Jaga mulutmu, Harry!"Baron berdiri mematung menyaksikan adegan yang tak mengenakkan barusan. Aku tahu, ia pasti takkan senang dituduh macam-macam."Bukankah itu sebuah kenyataan? Kau begitu murahan. Berjalan dengan seorang lelaki ....""Sudah, Harry. Jangan bertengkar di depan pintu. Kau dari mana saja, Nur? Bukankah tadi kau bilang pergi ke rumah Nyonya Vivian untuk mengambil sebuah surat?" tanya Ibu memotong pembicaraan Harry. Lelaki itu menghembuskan napas dengan kasar. Matanya liar mengamati Baron dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pasti Harry merasa cemburu."Aku ...."Mulutku tak sanggup lagi melanjutkan. Getaran di bibir ini sangat kuat. Mata ini mulai panas karena genangan cairan bening. Cairan itu memaksa untuk keluar."Kau kenapa?"Semakin ditany
Pengap, napasku terasa sesak. Setiap kali menghirup napas, udara yang kudapatkan hanya sedikit. Rasanya karbondioksida yang kuhembuskan kembali terhirup. Dada ini terasa sempit. Aku di mana? Apa aku sudah mati?Sembari terus berusaha bernapas, aku mencoba berkonsentrasi. Tidak, ini bukan di dalam tanah. Kulitku bisa merasakan semacam serat kain. Ya, tadi aku memasuki garasi, lalu tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam kepala ini. Sakitnya masih terasa hingga kini. Apa kepalaku sengaja dipukul? Pasti ulah Nyonya Vivian.Napasku terengah-engah. Rasanya tubuhku berendam dalam genangan keringat. Panas sekali seperti berada di dalam balutan selimut tebal saat musim kemarau.Ya, aku tahu sekarang. Pasti tubuh ini sedang terkurung dalam beberapa helai selimut. Seperti yang dilakukan Nyonya Vivian pada suaminya waktu itu. Mungkin ia mengira diriku sudah tak bernyawa.Dadaku semakin sesak. Merintih meski percuma. Takkan ada yang mendengarnya
"Jangan serba ingin tahu, Nyonya."Baron terkekeh mendengar jawabanku. Ia menutup mulut agar suara tawanya tak terlalu nyaring. Perempuan itu terdiam dengan wajah memerah bak udang rebus. Ia membuka pintu lemari pendingin dan menyuruhku pergi."Pergilah! Aku muak melihat wajahmu.""Baiklah. Kapan perlu, saya tak kembali lagi ke rumah ini."Perempuan yang mengenakan hotpants itu menoleh. Ia menaruh cemilan yang baru saja ia keluarkan dari lemari pendingin itu di atas meja makan, lalu berjalan ke arahku."Nur, kau tak boleh bicara seperti itu. Aku membutuhkanmu di sini. Hanya kau yang bisa kuandalkan.""Oh, ya?""Iya, Nur. Tetaplah bekerja di sini. Baron kan selalu ada untuk menemanimu bila kau merasa takut sendirian.""Baiklah, saya pulang dulu, Nyonya.""Besok kau kembali, kan, Nur?""Iya, Nyonya."Entah mengapa, aku menjadi sedikit berani dan lancang terhadapnya. Mungkin karena kartu as perempu
"Bruno, kau berulah lagi? Ayo sini sama mami."Baron mendekati perempuan itu. Ia menyerahkan anjing itu ke tangan si nyonya. Anjing itu seolah tak mau digendong. Saat hendak digendong oleh si nyonya, anjing itu melompat dan kembali berlari ke halaman belakang. Kami bertiga hanya melongo.Sepertinya Baron tak akrab dengan perempuan itu. Mungkin ia juga jarang datang ke rumah ini. Baron kembali berlari menuju halaman belakang. Kami berdua pun mengekor di belakangnya. Sejenak kulupakan cucian karena takut kuburan Tuan Felix akan digali oleh anjing ibunya."Bruno, mari kita pulang. Felix tak ada di rumah."Perempuan itu berbicara pada anjingnya. Ia berjalan setengah berlari dan menangkap bruno yang asik menggaruk-garuk tanah di sekitar pot besar bunga adenium."Lihat kakimu, jadi kotor, kan?" Ia berbicara lagi dengan anjingnya seraya menepuk-nepuk kaki si anjing agar tanah yang menempel di kakinya bisa terbuang. Kuku anjing itu memang