Karena roti buatan Yuto menggunakan bahan berkualitas premium dan didukung teknik pembuatan adonan serta pemanggangan kelas internasional, dagangan mereka habis terjual dalam waktu singkat.Aroma mentega dan adonan segar yang terpanggang sempurna ternyata cukup untuk memikat pembeli di sekitar kawasan itu.Di ruang tamu sederhana panti asuhan yang dihiasi furnitur lama namun terawat, Xander duduk sambil membaca laporan singkat.Pandangannya terangkat ketika melihat Yuto dan Hannah muncul sambil tertawa-tawa, membawa energi ceria ke dalam ruangan yang sebelumnya sunyi."Apa yang kalian tertawakan? Semua dagangan hari ini habis?" tanya Xander, sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Nadanya terdengar tenang, namun matanya memancarkan rasa ingin tahu.Uji coba ini penting untuk mengukur apakah usaha mereka memiliki masa depan."Tentu saja habis!" jawab Hannah ceria. "Semua pembeli memuji roti buatan Yuto. Katanya, rasanya sekelas dengan roti mahal di mal!""Kami bahkan mendapat perminta
Toko roti “Abner Bakery” berdiri dengan aura lusuh di pinggir jalan, mencerminkan kebangkrutan yang diam-diam merayap.Bangunannya tidak bisa dibilang megah, tapi juga tidak sepenuhnya buruk—hanya seperti rumah tua yang terlalu lelah untuk bertahan di tengah gemerlap toko-toko modern.Cat dindingnya mengelupas seperti kulit pohon tua, kusennya kusam, dan dekorasi murahan yang pudar menambah kesan suram yang sulit diabaikan.Kue dan roti di etalase kaca terlihat jauh dari kata segar. Permukaannya kering, retak, dan warnanya memudar seperti kehilangan semangat hidup. Beberapa bahkan tampak seperti penghuni museum sejarah kuliner, bukan barang yang siap dimakan.Di depan toko, ada setumpuk roti yang diletakkan sembarangan, plastik pembungkusnya buram, dengan jamur yang mulai samar terlihat. Jika ada yang masih membelinya, itu mungkin bukan karena kualitas, tapi karena tidak punya pilihan lain.Yuto berdiri seluruh anak panah di depan toko itu. Ia memegang tongkat kayu dengan santai, tapi
BRAK!“Istriku, kenapa kamu…” Plastik yang berisi beberapa kopi gula aren terjatuh dari tangannya.Sebagai seorang barista yang diminta menjadi petugas delivery, pesanan itu harusnya ia antarkan untuk seorang pelanggan bernama Kevin Ng. Namun, alamat pengiriman mengarahkannya pada rumah tempat ia menemukan fakta yang membuat tubuhnya lemas seketika.Di hadapannya, Lucy Setiawan, istri yang ia kira tengah menunggunya di rumah dengan setia, kini tengah bersama seorang pria tanpa busana. Wajah Xander memucat.Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya gemetar. Kakinya tak sanggup menopang tubuhnya ketika ia melihat istrinya dipeluk pria yang ia yakini adalah sosok bernama Kevin itu. Xander bahkan sudah tak mampu berkata-kata.Namun, sosok Kevin Ng itu bukannya terkejut atau merasa malu, justru berbicara santai.“Wah, wah, Lucy. Sepertinya suamimu memergoki kita!” ucap pria bertubuh tinggi besar itu sambil melepas pelukannya dari tubuh Lucy, wajahnya menyungging senyum menggoda yang membuat Xan
Meskipun pagi itu udara mulai panas karena matahari yang bersinar cerah, sosok Xander terdiam. Ia tak bisa mempercayai angka yang tertera di layar ponselnya yang sudah usang."Angka yang sangat besar. Ada lima belas nol di sana!" batin Xander. Ia berulang kali memastikan bahwa matanya tidak salah membaca angka yang tertera di layar ponselnya. "Aku harus segera pergi ke Bank Central Halilintar sekarang juga, untuk memastikan kebenaran informasi saldo ini!"Dengan detak jantung yang berdegup kencang, masih tak percaya dengan pesan singkat itu, ekspresi kebimbangan terlukis di wajah Xander. "Bisa saja ini hanya spam atau scam, bukan?" batinnya, mencoba untuk tidak merasa gembira berlebihan.Dengan tangan gemetar, Xander segera membuka aplikasi dan memesan kendaraan online melalui ponselnya.Bank Central Halilintar adalah salah satu bank papan atas di negeri ini, berada di peringkat lima besar di antara bank-bank lainnya. Mengapa Xander memilih untuk menabung di sana? Jawabannya sederhana
Ketika gadis customer service itu menerima Kartu Tabungan Ekonomi dari tangan Xander, ia memegangnya dengan telunjuk dan jempol, seolah-olah sedang menjinjing sampah yang menjijikkan.Bahkan, jika Lidia, sang customer service, tidak terikat oleh SOP – Standar Operasional Prosedur Bank Central Halilintar, ia mungkin sudah membuang Kartu Tabungan Ekonomi Xander yang tampak lusuh dan terlipat-lipat itu."Sepertinya pemuda miskin ini selalu mengantongi buku tabungan ini ke mana pun ia pergi. Ia menganggap ini adalah harta karun yang tak boleh ditinggalkan. Aku jadi penasaran, seberapa banyak saldo di rekening ini, sampai-sampai ia membawanya ke mana-mana dan terlihat lusuh!" Lidia berpikir dengan jijik melihat buku yang acak-acakan itu.Namun, mau tidak mau Lidia harus melakukan tugasnya, mencetak saldo di buku tabungan itu.Ketika Lidia membuka lembar kedua, sekilas ia melirik dengan rasa ingin tahu yang mendalam pada isi rekening Xander. Namun, ia hampir pingsan, tak tega melihat bahwa
Berada di dalam ruang nyaman berpenyejuk udara, ditambah aroma lavender dari aromaterapi, Xander berdiri agak canggung di depan pintu kantor. Sebuah lukisan ikan berenang menjadi latar belakang kursi tempat duduk dan meja besar dari jati, dengan dua kursi di depannya.Dalam hati, Xander bertanya-tanya, “Siapa sosok perempuan berwibawa ini?”Belum juga ia selesai memindai seisi ruangan yang terlihat luks itu, suara perempuan itu terdengar lagi. “Tuan Xander Sanjaya? Silakan duduk,” kata perempuan berkacamata itu terdengar ramah.Perempuan itu menunjuk sofa dengan telapak tangan tanda sopan santun, meminta Xander duduk di sofa tebal dan empuk, sementara dia sendiri akan memilih duduk di kursi sofa lain, di seberang. Dia menunggu sampai Xander duduk di sofa empuk tersebut, barulah duduk dengan hat-hati, tiap gerak-geriknya terlihat elegan.“Perkenalkan. Namaku Grace Song. Aku Branch Manager Bank Central Halilintar.”“Maafkan aku, Ibu Grace... Sebenarnya aku bertanya-tanya. Ada masalah ap
Suara langkah sepatu terdengar menggema di area banking hall lantai dua.Seorang gadis tampak berjalan tergesa-gesa. Sesekali ia berhenti, membuka cermin kecil, dan memeriksa penampilannya.Lidia, sang customer service, tersenyum lebar saat melihat riasan tebal yang masih menempel sempurna di wajahnya.“Kosmetika produk Korea-Jepang ini sangat bagus. Menempel dan membuat kulitku seakan-akan kulit bayi tanpa bekas luka atau jerawat sedikit pun. Aku siap mendengar berita bahagia dari Ibu Grace Song,” gumam Lidia. Ia menutup cermin bundar kecil itu lalu menyembunyikannya di sakunya.“Perfect!”Baru-baru ini, seorang supervisor di Front Office yang membawahi customer service mengajukan permohonan pengunduran diri. Sudah dua minggu posisi itu kosong. Dengar-dengar, Lidia adalah kandidat yang paling diunggulkan, mengingat ia telah bekerja sebagai customer service di kantor cabang Bank Central Halilintar itu selama lebih dari dua tahun.Dan dari semua kandidat yang diunggulkan, hanya Lidia y
Duduk di dalam mobil BMW Seri 5 yang masih berbau baru, Xander meresapi aroma jok kulit yang berpadu sempurna dengan dinginnya hembusan udara dari pendingin.Selama hampir satu jam perjalanan menuju Gorilla’s Kafe, tempat dia bekerja, dia tetap diam, membisu. Xander duduk kaku, seolah-olah setiap gerakannya bisa mencemari kemewahan jok mobil yang mengkilap ini.Di sebelahnya, Grace Song juga tak bersuara.Bukannya tak ingin menyapa, tapi Grace yakin diamnya Xander karena masih merasa marah akibat perbuatan tercela Lidia, yang merendahkan dirinya dengan menyebutnya hanya seorang penjudi online rendahan.Keheningan itu akhirnya pecah ketika mobil BMW Seri 5 yang dikendarai sopir pribadi Grace berhenti dengan halus.Xander menghela napas lega, bergegas berkata, “Ibu Grace, terima kasih atas kebaikan Anda, mengantarkan saya ke Gorilla’s Kafe.”Xander menunduk hormat, kemudian berjalan cepat menuju tempat kerjanya yang terlihat cukup ramai dari luar. Dia berusaha menyelinap, menyembunyikan
Toko roti “Abner Bakery” berdiri dengan aura lusuh di pinggir jalan, mencerminkan kebangkrutan yang diam-diam merayap.Bangunannya tidak bisa dibilang megah, tapi juga tidak sepenuhnya buruk—hanya seperti rumah tua yang terlalu lelah untuk bertahan di tengah gemerlap toko-toko modern.Cat dindingnya mengelupas seperti kulit pohon tua, kusennya kusam, dan dekorasi murahan yang pudar menambah kesan suram yang sulit diabaikan.Kue dan roti di etalase kaca terlihat jauh dari kata segar. Permukaannya kering, retak, dan warnanya memudar seperti kehilangan semangat hidup. Beberapa bahkan tampak seperti penghuni museum sejarah kuliner, bukan barang yang siap dimakan.Di depan toko, ada setumpuk roti yang diletakkan sembarangan, plastik pembungkusnya buram, dengan jamur yang mulai samar terlihat. Jika ada yang masih membelinya, itu mungkin bukan karena kualitas, tapi karena tidak punya pilihan lain.Yuto berdiri seluruh anak panah di depan toko itu. Ia memegang tongkat kayu dengan santai, tapi
Karena roti buatan Yuto menggunakan bahan berkualitas premium dan didukung teknik pembuatan adonan serta pemanggangan kelas internasional, dagangan mereka habis terjual dalam waktu singkat.Aroma mentega dan adonan segar yang terpanggang sempurna ternyata cukup untuk memikat pembeli di sekitar kawasan itu.Di ruang tamu sederhana panti asuhan yang dihiasi furnitur lama namun terawat, Xander duduk sambil membaca laporan singkat.Pandangannya terangkat ketika melihat Yuto dan Hannah muncul sambil tertawa-tawa, membawa energi ceria ke dalam ruangan yang sebelumnya sunyi."Apa yang kalian tertawakan? Semua dagangan hari ini habis?" tanya Xander, sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Nadanya terdengar tenang, namun matanya memancarkan rasa ingin tahu.Uji coba ini penting untuk mengukur apakah usaha mereka memiliki masa depan."Tentu saja habis!" jawab Hannah ceria. "Semua pembeli memuji roti buatan Yuto. Katanya, rasanya sekelas dengan roti mahal di mal!""Kami bahkan mendapat perminta
“Bagaimana kalau kita mempacking roti ini dengan pembungkus plastik yang cantik dan mulai menjajakannya?” tanya Yuto percaya diri.“Itu ide bagus,” jawab Hannah, matanya bersinar. “Aku masih punya sedikit waktu sebelum ke kafe. Aku akan manfaatkan untuk membantu penjualan roti!”Yuto dan Hannah sepakat dan segera bergerak. Ibu Mary mengamati mereka dari meja.“Ayo pergi! Ini waktu yang tepat untuk menjajakan roti,” kata Hannah.Mereka melangkah keluar dari dapur, membawa keranjang penuh roti berbagai topping—sekitar lima puluh potong. Wajah mereka mencerminkan optimisme, meski tantangan menanti.Seiring mereka pergi, meja makan yang kosong meninggalkan lima puluh potong roti lainnya.Beberapa anak panti asuhan, mungkin belum siap bergegas ke sekolah, mulai mendekat dengan mata berbinar penuh rencana.“Apa kamu yakin? Apakah kamu sudah bisa menghitung?” tanya Ibu Mary, nada khawatir namun masih penuh kepercayaan.“Tentu saja, Ibu Mary! Aku sudah kelas lima, dan pandai matematika!” jawa
Di dalam ruang dapur yang terang benderang, Yuto menunjukkan keahlian profesionalnya dalam pembuatan roti. Dengan gerakan penuh kepercayaan dan keterampilan, ia memimpin proses pembuatan roti yang rumit.Anita Damanik, yang sejak pertama kali melihat Yuto bekerja, tidak bisa menyembunyikan kekagumannya.Matanya terus mengikuti gerak-geriknya, hampir seperti seorang murid yang tak sabar menyerap ilmu dari gurunya.“Adonan roti ini harus diistirahatkan kira-kira setengah jam sebelum siap dipanggang. Aku serahkan pekerjaan memanggang pada Anita yang bersedia melakukannya,” seru Yuto dengan suara lembut namun tegas, memecah kesunyian dapur yang sibuk.Waktu menunjukkan pukul sembilan malam ketika oven dibuka. Seketika, udara dapur dipenuhi aroma harum roti panggang yang menyebar hingga ke ruang depan.Baunya yang menggoda, berbaur dengan kehangatan yang menghibur setelah seharian bekerja keras. Anak-anak yang sedang bermain di ruang tamu menoleh, seakan merasakan kenikmatan yang ada.Namu
Ketika Nate melihat ekspresi Direktur Hui yang masih diliputi ketidakpuasan, wajahnya menegang. Dalam upaya memperbaiki situasi, ia semakin dramatis menghajar istrinya.Suara tamparan keras bergema di sekitar mereka, membuat suasana di Kyoto Mart yang biasanya elegan menjadi tegang.Pipi Miranda merah menyala akibat tamparan itu. Tubuhnya sedikit terhuyung, tetapi kemudian ia langsung merosot ke lantai.Dengan suara yang bergetar antara ketakutan dan rasa malu, ia memohon-mohon.“Ampun, suamiku. Ampun... Aku sungguh tidak tahu kalau gadis miskin itu—eh, Nona itu adalah orang penting bagi Boss Hui. Jika aku tahu sejak awal, aku tak akan mungkin bertindak sembrono seperti ini...”Miranda kini merayap dengan gemetar menuju kaki Hannah. Pandangannya penuh rasa putus asa, berbeda jauh dari sikap angkuhnya sebelumnya.Wajahnya memelas, mencoba menarik simpati dari Hannah agar menghentikan tamparan suaminya.“Aku – aku....” kata Hannah, tetapi suaranya terdengar ragu.Dia merasa bingung. Men
“Katakan siapa yang mengambil mesin yang diinginkan isteriku?” Suara Nate menggema di udara, keras dan menggelegar, menarik perhatian beberapa pengunjung mall yang baru saja melenggang.Kepalanya berputar mencari sasaran, matanya seperti api yang melotot. Wajahnya yang kurus semakin terlihat menyeringai, menambah kesan penuh kebencian.Sementara itu, di samping Nate, Miranda berdiri dengan wajah yang penuh amarah, meskipun terlihat sedikit lebih terkendali.Ekspresinya yang galak karena mendapat angin, aksinya penuh kepercayaan diri yang sombong.“Itu dia! Gadis berbaju lusuh dan miskin itu!” Miranda menunjuk dengan semangat yang menyala.“Dia penyebab aku dipermalukan di pos satpam!” Ekspresinya berubah dari kesal menjadi kegirangan, matanya berbinar melihat sosok Hannah yang tampak takut, berusaha menyembunyikan wajahnya di balik tubuh tinggi Yuto, seperti seekor anak kucing yang mencari perlindungan.Miranda semakin gembira.“Rasakan kamu! Suamiku Nate adalah pemilik beberapa perus
Tak lama kemudian, lolongan Miranda, pengusaha kue aestetik yang selalu berlagak sombong, perlahan menghilang saat ia digiring ke kantor petugas keamanan untuk meredakan amarahnya.Sejenak, mall kembali sepi, terutama di bagian peralatan rumah tangga dan mesin pembuat kue. Musik lembut yang mengalun di speaker mengisi udara, menenangkan suasana yang sempat terganggu.“Ayo, kita ke kasir dan daftar barang-barang belanjaan,” kata Yuto, sudah tenang kembali.Namun, berbeda dengannya, Hannah Laksa masih gemetar, langkahnya pelan penuh keraguan. Ia tampak rapuh, seperti gadis kecil yang tersesat di dunia yang lebih besar.“Apakah kita tidak akan dipermalukan nanti di meja kasir? Belanjaan kita begitu banyak. Aku takut Ibu Grace Song tidak setuju memberi pinjaman untuk barang-barang ini.” Matanya berkilat karena kecemasan.Yuto menoleh dengan tatapan datar, tersenyum tipis. “Bukankah ada Tuan Xander yang jadi jaminannya? Kenapa takut?”Mereka semakin dekat dengan kasir, namun ketenangan itu
“Lepaskan kataku. Aku tak sudi berbagi udara dengan gadis miskin seperti kamu!” suara perempuan itu terdengar tegas, mengandung ejekan dan hinaan.“Kamu tidak akan punya uang membeli produk semahal mesin Hobart seharga ratusan juta rupiah ini!” Si nyonya gemuk dengan gelang bergemerincing itu menatap penuh ejekan, ia memindai dari rambut hingga kekaki Hannah, membuat gadis itu seketika hilang percaya diri.Perempuan gemuk itu bernama Miranda. Dia dan suaminya Nate adalah pengusaha yang cukup kaya, masuk dalam jajaran orang kaya level tiga. Namun tetap saja kaya.Usaha mereka bernama Miranda Aestetik Cake, yang menjual kue berkelas.Kembali suasan tegang didalam mall...“Kamu mungkin salah masuk kesini. Seharusnya kamu berbelanja di pasar tradisonal, yang menjual barang-barang kelas dua! Bukan disini!”Mendengar itu Hannah seketika hampir menangis.Sepanjang hidup, dia memang selalu direndahkan, karena anak yatim piatu. Namun baru sekali ini ia dihina dengan tatapan judes, dan kata-ka
Di dalam Kyoto Mart, udara dari mesin pendingin menyelimuti ruang dengan kesejukan yang kontras dengan hiruk-pikuk di luar.Lampu-lampu kristal bergelantungan di langit-langit tinggi, memancarkan kilau seperti berlian. Namun, kesejukan ini tidak membuat perasaan Hannah Laksa lebih nyaman.Sebaliknya, ia merasa gugup dan berkeringat dingin saat melangkah melewati lorong butik-butik mewah yang berjajar di kanan dan kiri. Setiap langkahnya terasa berat, seakan-akan tegel marmer yang mengilap menahan kakinya dengan beban tak kasatmata.“Xander, please. Aku tak punya uang banyak. Bahkan membeli mesin mixer saja mungkin aku tak sanggup,” ucapnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam deru obrolan pengunjung yang berlalu lalang.Xander berhenti melangkah dan menatap Hannah dengan senyuman kecil di wajahnya, tetapi matanya memancarkan keyakinan yang tidak bisa dibantah.“Untuk apa kamu takut? Aku sudah mendapat persetujuan dari Ibu Grace Song. Kami bisa berbelanja di department store khusus p