selamat hari raya idul Fitri mohon maaf lahir dan batin, đđťâ¨â¨ akak semua jangan lupa mampir ke MALAM MEMBARA BERSAMA PAMANMU âşď¸â¨â¨
Lilia tidak pingsan, tapi sebagian besar kesadarannya menghilang sehingga kegelapan hampir merenggut semua daya tahannya. William dengan gegas mengangkat Lilia, kedua lengan kekarnya membawa gadisnya itu untuk masuk ke dalam kamar. Melihat wajah Lilia yang memucat membuatnya menyerukan nama Giff. "GIFF!" Panggilannya dapat didengar oleh Giff yang memang berdiri tak jauh dari tangga sehingga pemuda itu berlari mendekat, menyusul William yang berjalan menaiki anak tangga dengan cepat. "Iya, TuanâNona Lilia kenapa?" "Tolong hubungi dokter Sarah, bilang padanya untuk memeriksa Lilia sekarang." "Baik." William membaringkan Lilia di atas ranjang milik mereka setibanya di sana. Ia menyentuh kening Lilia yang terasa dingin, menunduk dan memastikan istrinya itu masih terjaga. "Sayang, kamu baik-baik saja?" Lilia hanya memberikan anggukan samarnya. Ia meremas tangan pria itu, seolah mengisyaratkan agar William tidak pergi. "Jangan takut ... aku di sini," bisiknya. "Aku memanggil dok
Sebagaimana yang diminta oleh William, Giff pergi untuk mencari Arya. Di persimpangan yang disebutkan bahwa pria itu ada di sana sebelumnya, Giff mencari tahu tentang keberadaannya. Tapi, Arya tak terlihat saat Giff melakukan penelusuran lebih dari tiga hari lamanya. Pria itu tak terlihat meloper koran seperti sebelumnya, atau mungkin duduk dan mencari kesempatan untuk mendekati mobil-mobil yang berhenti di kala lampu merah. Tak ada sama sekali sosoknya. Seakan memang pertemuan mereka hari itu seperti kebetulan paling tak menyenangkan yang disengaja semesta. Giff tak menyerah. Karena tak bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri, ia mencari tahu dengan cara yang lain. Pada toko yang berjajar di sepanjang jalan tersebut, Giff mendatangi salah satu dari mereka dan menunjukkan foto Arya. Memastikan ia mengenali pria itu. "Dia sepertinya yang menjual koran di lampu merah ini," ucap seorang wanita yang memiliki toko pakaian di sana. "Apakah Ibu juga melihatnya beberapa hari terakh
Lalu pada hari yang mereka bicarakan itu tiba. Di dalam kamarnya, Lilia memandangi beberapa gaun yang dibawa masuk oleh Agni. Dari yang modelnya rumit hingga yang lebih sederhana yang Agni tahu bahwa gaun-gaun seperti itulah yang lebih disukai Lilia. Lilia baru saja menyelesaikan make up-nya, ia memasang anting di sebelah telinga kanannya lalu memutuskan untuk memilih gaun yang berwarna biruâice blue lebih tepatnya. "Yang ini saja, Bu Agni," katanya. "Baik, Nona." Dengan bantuan Agni, Lilia berganti pakaian. Gaun dengan potongan yang lebih lebar pada bagian perutnyaâkarena memang gaun ibu hamilâitu mendapat pujian dari Agni seraya wanita paruh baya itu merapikan lengan Lilia. "Cantik sekali, Nona ...." "Terima kasih, Bu Agni," tanggapnya. "Aku berusaha agar tidak mencolok karena ini adalah harinya Pak Giff dan Viola." "Seperti biasa, Nona Lilia selalu bersikap rendah hati." Mereka menoleh ke arah pintu yang terbuka dan muncullah Keano yang kedua bola matanya melebar. Kaki keci
Meski di kafe tadi William kembali dengan senyum yang merekah di kedua sudut bibirnya, tapi Lilia tahu bahwa ada yang disembunyikan oleh prianya itu. Sehingga saat mereka telah tiba di rumah dan Lilia duduk di atas ranjang setelah mengantar Keano terlelap di dalam kamarnya, ia memanggil namanya dengan hati-hati. "William ...." Si pemilik nama yang tadinya hendak menuju ke dalam ruang ganti lalu urung melangkah lebih jauh. Ia menoleh dan mendekat pada Lilia. Memutuskan untuk naik ke atas ranjang. "Iya, Sayang?" "Hm ...." Lilia tampak ragu apakah harus menanyakan apa yang dibicarakannya di telepon tadi ataukah tidak. Ia sebenarnya ingin tahu, tapi mempertimbangkan bahwa urusan William bukan hanya soal dirinya saja melainkan juga memikul tanggung jawab atas banyak orang, Lilia pikir ia bisa saja memberi beban tambahan pada prianya itu. "Tidak," ucap Lilia akhirnya. "Hanya ... ingin memberi tahu kamu saja kalau twins baru memberi gerakan halus di dalam sini." Ia berkilah. "Benarka
Dengan tangannya, William mengusap lembut pipi kemerahan Lilia yang tengah meringkuk di dada bidangnya. Mereka menghabiskan waktu yang mendebarkan untuk menuntaskan hasrat yang sejak beberapa malam tak tersalurkan. Ia menarik selimut lebih tinggi untuk menutup punggung Lilia yang terbuka, tak ingin gadisnya itu kedinginan karena tak ada sehelai benang yang melindunginya sekarang ini. William menghela dalam napasnya, membiarkan Lilia terlelap sementara sejenak kemudian ia menggapai ponsel yang ada di atas meja dan membaca pesan dari Giff yang mengatakan, [Akan saya cek ke tempat Madam Savannah setelah ini, Tuan William.] [Temukan dengan benar!] Sepasang mata William terpejam dengan tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. Ia tidak tahu apa sebenarnya yang dilakukan oleh pria itu. Apa tujuannya terus berpindah seolah ia tahu dirinya tengah diawasi dari dekat? Arya, Arya Halim. 'Sial ....' Pria yang sedang digumamkan oleh William itu adalah mantan ayah angkatnya Lilia. Yang dibica
Dengan gegas Niel mencari tahu di mana keberadaan Alya. Tak mungkin ibunya Lilia itu ada di rumah karena tak sembarang orang diperbolehkan masuk ke dalam kawasan perumahan tersebut. Beliau pasti ada di tempat lain dan bertemu dengan Arya. Tepat seperti yang ia duga. Alya ada di sebuah supermarket. Di lihat dari titiknya, Niel pikir Alya pasti telah digiring keluar dari tempat tersebut. Alya mendapatkan kesempatan untuk menghubungi dirinya dan begitulah panggilan mereka tersambung. Laju mobilnya semakin cepat, Niel mengejar waktu sebelum titik di ponselnya menghilang, dan kemungkinan buruknya bukan hanya titik itu yang menghilang, tetapi juga Alya. Membutuhkan beberapa menit bagi Niel untuk tiba di tempat tersebut. Ia bergegas keluar dan menuju ke kerumunan orang yang ada di teras sebelah barat supermarket. Mereka mengerumuni seorang wanita. Jantung Niel seakan berhenti berdetak dengan dilanda ketakutan membayangkan apa yang dilihatnya di balik kerumunan itu adalah Alya yang tela
Di ruang makan rumah William, Lilia mendekat ke arah meja dan meletakkan sepiring pastel tutup yang wanginya memenuhi tempat itu. Makan malam mereka kali ini terasa lebih istimewa meski dengan tambahan makanan sederhana itu. "Wah ... warna atasnya sangat cantik Mama," puji Keano saat Lilia mengambil duduk di sampingnya, dibantu William dengan hati-hati saat pria itu menarik kursi agar Lilia bisa duduk dengan nyaman di sana. "Itu makanan kesukaannya Keano, 'kan?" balas Lilia. "Iya. Keano bisa makan ini sepanjang hari asalkan Mama yang membuatkan." Lilia mengangguk, mengusap puncak kepala anak lelakinya itu lalu meletakkan satu cup kecil pastel tutupnya di piring milik Keano. "Jangan terlalu lelah," peringat William dari seberang meja, ikut duduk dan melihat Lilia memberinya satu cup juga. "Tidak, William ... aku juga dibantu oleh Bu Agni dan yang lainnya." "Bagus, karena kamu harus banyak istirahat dulu sementara ini, seperti yang dikatakan oleh dokter Sarah." "Iya aku tahu. Ak
Dengan mata kepalanya sendiri Niel menyaksikan semua itu. Bahwa seorang Giffran Alfond benar bisa bersikap lebih buruk ketimbang tempramen William yang didengarnya selama ini. Hidup di samping William membuatnya sedikit banyak mengadaptasi bagaimana tuannya itu bersikap. âIblisâ itu pun juga hinggap di tubuhnya, membuatnya mengatasi seorang pria berbadan besar, menumbangkannya dan mengintimidasinya secara sempurna. âPergi!â kata Giff, sepasang matanya yang berangsur memerah mengarah lurus pada pria bertato naga di lehernya itu. âKatakan itu pada Madam Savannah!â Setelah Giff menegakkan tubuhnya, pria itu beringsut bangun, setengah berlari memasuki ruangan, melangkahi temannya yang tadi ditumbangkan oleh Niel begitu saja untuk melakukan apa yang dimita Giff agar ia memberi tahu Madam Savannah ada yang ingin bertemu dengannya. Niel memalingkan wajahnya dari Giff, ia mendekat pada pria lain yang tergeletak di dekat pintu masuk dan membawanya menyingkir agar tak menghalangi orang yang
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar.Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi.Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam.Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok.Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata.Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?"Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya.""Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?""Hanya itu saja yang aku pikirkan dari tad
Lilia dan William masih bersembunyi hingga Nicholas dan Selina pergi dari sana.Lilia turut senang karena saat semua luka dan kesalahpahaman perlahan teruraikan, satu demi satu dari mereka mendapatkan kebahagiaan."Apakah pernikahan akan dilakukan dalam waktu dekat kalau begini caranya?" tanya Lilia setelah dua orang yang mereka awasi tadi benar-benar telah pergi dari sana."Kalau memang niat, tidak perlu mengulurnya, 'kan?" balas William sembari mengusap puncak kepala Lilia."Tapi aku penasaran bagaimana cara Kak Nicholas bertemu dengan Selina sebenarnya? Dari tidak sengaja menjadi takdir?"Belum sempat William menjawab, mereka dikejutkan oleh suara yang datang dari sebelah kanan Lilia.Jovan, entah sejak kapan tangan kanan Nicholas itu ada di sini, tapi kehadirannya membuat mereka berdua terkejut."Itu dimulai dari Tuan Nicholas yang datang ke rumah sakit untuk periksa mata dan tidak sengaja terlihat sebuah peristiwa dengan Dokter Selina, Nona Lilia," katanya."Peristiwa apa?" tanya
Karena tak ingin keberadaan Lilia dan William terlihat, maka mereka berdua menyisih, menyembunyikan diri di belakang pohon besar yang ada di tengah taman rumah sakit."Apa itu yang kapan hari dibilang oleh Pak Jovan sebagai dokter anak yang dekat dengan Kak Nicholas?" tanya Lilia lirih, menoleh pada William yang berdiri di belakangnya, turut menyembunyikan diri meski Lilia tak yakin mereka tak akan ketahuan."Kenapa dengan wajahmu?" tanya Lilia sekali lagi, jari telunjuknya bergerak di depan wajah William dan ditanggapi bingung oleh si pemilik wajah."Apanya, Sayang?" tanya William balik."Kamu terlihat keberatan. Kamu tidak suka aku memintamu bersembunyi di sini?"Mata William mengerjap lebih dari satu kali, "Keberatan bagaimana?""Wajahmu terlihat kesal, kamu kesal padaku karena aku memintamu untuk bersembunyi? Aku memintamu melakukan hal yang sulit memangnya? Atau kamu menganggap aku kekanakan?"Cecaran pertanyaan dari Lilia membuat sepasang mata William terpejam pasrah."Lihat itu
âAku tidak bisa melakukan itu begitu saja,â jawan William dengan cepat, seolah memang ia telah siap dengan jawaban tersebut. âButuh waktu bertahun-tahun sejak kematian Madeline sampai Mama dan Papa mengatakan bahwa kalian bersalah karena telah menyia-nyiakannya. Aku bahkan harus menyalah pahami Nicholas melakukan sesuatu yang buruk padahal Madeline lah yang lelah dengan semua ketidak adilan yang terjadi untuknya.â Lilia meredakan detak jantungnya bertubi-tubi lebih cepat. Matanya perih memandang William dan netra kelamnya yang tampak menanggung kesakitan. Suara gemetarnya mengatakan segalanya, tentang kekecewaan, dan juga keretakan yang bertahun-tahun ada di bahunya. âAku mungkin memaafkan kalian, tapi nanti ....â imbuh William setelah hening merengkuh mereka lebih dari enam puluh detik lamanya. âBiar aku lihat seperti apa kesungguhan Mama dan Papa dalam mencintai keluargaku, istriku, anak-anakku. Terhadap Nicholas pun juga begitu. Bukan hanya Madeline yang kalian buat menderita, t
Lilia tak begitu saja menjawabnya. Ia memandang Nyonya Donna yang menunduk dengan meremas jari-jarinya yang ada di atas paha, begitu juga dengan Tuan Adam yang menghela dalam napasnya. Terlihat sangat jelas sesal yang terukir dari caranya mengatakan, âMaafkan kami, Lilia ....â Tuan Adam tak seperti sang istri yang lebih emosional dengan menunjukkan gestur akan sebuah sesal. Beliau tersenyum, maniknya menerpa Lilia degan bibirnya yang tersenyum. Tapi meski tak mengatakan apapun, Lilia tahu Tuan Adam sama menyesalnya. Sejak dulu Lilia tahu bahwa Tuan Adam memang cenderung pendiam dan lebih sering mengalah. Hingga hari ini pun ... sikap itu masih melekat di sana. Sebuah dinamika keluarga yang sering dijumpai oleh Lilia. âKami tahu kamu tidak akan begtu saja mau memaafkan kami,â ucap kembali Nyonya Donna. âKami juga memaklumi akan hal itu, Lilia. Tapi mungkin ... kamu bisa memberi sedikit harapan bahwa rasa bersalah kami ini akan bisa mendapat pemutihan nanti, meski membutuhkan waktu l
Agni benar saat mengatakan bahwa itu akan menjadi obat pelipur lara bagi Lilia, William dan juga Keano. Mereka berbahagia, melewati masa pemulihan Lilia dengan berharap bahwa bayi kembar dalam kandungannya itu tumbuh dengan baik, menjadi anak yang juga baik dan lembut hatinyaâsetidaknya begitu yang dikatakan oleh Keano berulang kali. Bocah kecil itu teramat senang saat tahu ia akan memiliki adik kembar laki-laki dan perempuan, senang tak kepalang. 'Mama, Keano sudah mengatakan pada Jayce dan Jasenna kalau Keano akan punya adik kembar laki-laki dan perempuan, mereka bilang nanti kalau adik lahir akan datang, apakah boleh, Mama?' Celotehannya menghidupkan satu hari Lilia yang terasa membosankan di rumah sakit. Dan jika Lilia tak kunjung menjawab dengan mengatakan, 'Boleh, Sayangku ....' maka Keano masih akan antusias menunggunya, menatapnya dengan mata berbinar. Kabar dirinya yang hamil kembar sepasang itu telah sampai pada Tuan Alaric yang datang memberinya selamat. Pada ibunya y
"Sudah, semuanya sudah berakhir, tidak ada lagi yang akan menyakiti kamu, menyakiti anak-anak kita, maaf untuk semua kelalaiannya ...." William menunjukkan senyumnya, merekah tapi di mata Lilia penuh rasa kecewa. Mungkin prianya itu merasa bersalah karena telah membiarkan Lilia diculik dan berakhir seperti ini. "Kamu juga tidak bersalah," balas Lilia sembari mengusap dagu William, pada sudut bibirnya, pada tegasnya rahang pria miliknya ini. "Kamu sudah menjagaku sebaik mungkin, tapi si jahat itu memang sedang memiliki kesempatan dan membuat semuanya jadi seperti ini." "Terima kasih untuk pengertianmu, Lilia." William menggapai bibir Lilia dengan lembut, tak ingin memberikan pagutan, sebatas kecupan beberapa detik seolah sedang meyakinkannya bahwa semuanya telah baik-baik saja. Saat William menarik wajahnya, ia menghela dalam napasnya sebelum berujar, "Aku harap setelah peristiwa ini kamu tidak semakin terpuruk dalam trauma itu," resahnya sendu. "Aku pikir tidak, William,"
Setelah merasa terombang-ambing di tengah laut yang sunyi dan tanpa tepian serta dirundung kesendirian dalam waktu yang ia kira berlalu lebih dari satu dasawarsa, Lilia akhirnya bisa melihat dunia yang sebenarnya. Langit-langit kamar asing yang lalu disadarinya sebagai langit-langit ruang rawat tempat ia berbaring, aroma obat-obatan yang menyentuh indera pembaunya, serta hangatnya tangan seorang pria yang ia rindukan, William. Mengerjapkan matanya dengan pelan, Lilia ingat apa yang telah membuatnya berbaring di sini dengan selang infus yang tergantung di lengan kirinya. Tak lain karena ia nyaris saja mati di tangan mantan ayah angkatnya yang kejam. Rasa sesak saat jemari tangan pria itu mencekik lehernya dan membuat napasnya terputus seperti masih tersisa di sana, memberinya sensasi aneh yang membuat Lilia ketakutan bahwa peristiwa itu akan berulang. Ah ... begitukah rasanya ada di ambang batas hidup dan mati? Gelap dingin dan menakutkan? Seperti itu jugakah alam bawah sadar yang
Pemantik yang dibawa oleh Niel itu mengeluarkan api, menyala di hadapan Arya yang wajahnya pias. Saat pria itu berpikir bahwa Niel benar akan membakarnya, dugaannya salah. Pemuda itu justru menariknya kembali. Ia memang membakar sesuatu, tapi bukan dirinya. Melainkan rokok yang terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya, lalu menyesapnya. Aksi itu membuat tawa Zain terdengar, begitu juga dengan Alaric yang lebih patut disebut sebagai 'mencemoohnya'. "Lihat, bukankah dia sangat bodoh?" tanya Niel, asap mengepul keluar dari bibirnya saat ia menunjuk pada Arya. "Dia benar-benar berpikir kalau yang aku tuangkan ke tubuhnya itu adalah bahan bakar." Dagunya mengedik pada Arya yang berekspresi penuh kebingungan. Pria itu mengendus tubuhnya sendiri, bahu kanan dan kirinya, pada tangan dan juga sekitarnya yang tak mengeluarkan aroma apapun selayaknya aroma bahan bakar. Yang disiramkan oleh Niel itu bukanlah bensin atau sesuatu sejenisnya, tapi air minum. Di saat seperti ini, si