sudah update juga MALAM MEMBARA BERSAMA PAMANMU ☺️✨ terima kasih sudah membaca ya....
Dengan mata kepalanya sendiri Niel menyaksikan semua itu. Bahwa seorang Giffran Alfond benar bisa bersikap lebih buruk ketimbang tempramen William yang didengarnya selama ini. Hidup di samping William membuatnya sedikit banyak mengadaptasi bagaimana tuannya itu bersikap. ‘Iblis’ itu pun juga hinggap di tubuhnya, membuatnya mengatasi seorang pria berbadan besar, menumbangkannya dan mengintimidasinya secara sempurna. “Pergi!” kata Giff, sepasang matanya yang berangsur memerah mengarah lurus pada pria bertato naga di lehernya itu. “Katakan itu pada Madam Savannah!” Setelah Giff menegakkan tubuhnya, pria itu beringsut bangun, setengah berlari memasuki ruangan, melangkahi temannya yang tadi ditumbangkan oleh Niel begitu saja untuk melakukan apa yang dimita Giff agar ia memberi tahu Madam Savannah ada yang ingin bertemu dengannya. Niel memalingkan wajahnya dari Giff, ia mendekat pada pria lain yang tergeletak di dekat pintu masuk dan membawanya menyingkir agar tak menghalangi orang yang
‘Brengsek!’ umpat Giff dalam hati. Ia dan Niel menegang di tempat mereka berdiri mendengar penuturan pria tua itu. Hela napas mereka penuh dengan penyesalan mengapa mereka tak bergegas ke sini jika Arya rupanya datang ke rumah lamanya—tepat seperti yang diduga oleh Niel. Meleset! Padahal rentang waktunya sangat tipis. Tapi ... setengah jam juga waktu yang cukup panjang bagi seseorang untuk pergi, bukan? Tak mungkin pria itu masih berkeliaran di sekitar sini. Dilihat dari betapa cerdiknya dia membaca situasi, Arya bukan pria bodoh yang akan terus menetap di satu tempat. Ia akan terus berpindah, menjauh dari pengejaran, agar keberadaan pastinya tidak dapat ditemukan. Jika dibandingkan dengan ayah biologisnya Gretha—Ganata—sepertinya mereka berdua sebelas dua belas. “Apa dia sering datang ke sini, Pak?” tanya Niel setelah keheningan membelenggu mereka. “Tidak bisa dibilang sering juga,” jawab beliau. “Biasanya tiga hari sekali, atau dua hari sekali. Lagi pula dia juga tidak bisa
“Terima kasih, Pak,” ucap pria bermasker dari luar mobil yang dikendarai oleh Ron. Kelegaan menghampiri Lilia kala ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa pria tersebut bukanlah Arya seperti yang ia duga. Ia hanya seorang pria paruh baya dengan kerutan di wajah dan kedua sudut bibirnya saat tersenyum, sewaktu Ron memberikan uang sebelum lampu hijau kembali menyala. Detakan di dada Lilia yang semula kencang berangsur membaik. Ia menghela dalam napasnya dan menelan ludahnya. Tangannya yang tengah menggenggam ponsel dan memang hendak membalas pesan dari William terasa kebas. Ketegangan baru saja mengiris ulu hatinya hingga nyeri. “Nona?” panggil Agni dari kursi di samping kemudi. Barangkali wajahnya yang penuh dengan ketegangan ini dilihat oleh Agni sehingga wanita paruh baya itu memanggilnya. “Iya, Bu Agni?” “Nona baik-baik saja?” Lilia mengangguk, “Iya,” jawabnya kemudian memandang Ron yang membelokkan mobilnya di tikungan. “Pak Ron—“ Lilia menghela napasnya terlebih da
Rencananya ... pesta yang digagas oleh Lilia itu akan diadakan di rumah mereka. Mengadaptasi seperti yang dilakukan oleh Tuan Alaric di mana pesta itu dilakukan di taman, maka Lilia pun memutuskan hal yang sama. Kemarin, ia bersama dengan William dan Keano pergi ke rumah sakit utuk melakukan USG. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, pada pemeriksaan kali ini jenis kelamin si kembar sudah diketahui. Mereka meminta dokter Sarah yang saat itu memeriksa Lilia untuk tidak mengatakan apakah itu laki-laki ataukah perempuan sehingga beliau mencatatnya di sebuah kertas yang kemudian dimasukkan kedalam amplop. Saat berkendara pulang, Keano seperti diburu rasa penasaran dengan berulang kali bertanya, ‘Mama ... apakah tidak bisa sekarang saja dibukanya? Keano sangat penasaran.’ ‘Besok saja, Sayang .... hanya tinggal beberapa jam kita akan tahu loh ... sabar dulu ya?’ Dan itu belum membuat Keano lega sebab anak lelakinya itu masih melobi Lilia untuk membocorkannya. ‘Keano janji tidak aka
Di dalam baby shop, William berjalan menuju ke meja pembayaran setelah Keano memilihkan hadiah untuk Lilia dan calon adik kembar mereka. “Sudah, Sayang?” tanya William saat menerima dua buah kotak berukuran besar yang berisikan set pakaian lengkap dengan topi, kaos kaki dan juga sepatu bayi. “Sudah, Papa,” jawab Keano. Ia juga menyerahkan sebuah kotak lain yang berukuran lebih kecil, yang membuat William terangkat salah satu alisnya begitu mengetahui pilihannya. “Ini untuk Mama?” tanya William memperjelas pada anak lelakinya yang mengangguk sebagai sebuah pembenaran. “Iya, Papa. Pakaian tidur yang nyaman untuk Mama. Bukan hanya adik-adik Keano saja yang mendapatkan hadiah, tapi Mama juga harus mendapatkannya, ‘kan?” celotehnya. “Papa bilang Mama harus bahagia agar adik-adiknya Keano bahagia. Jadi Keano juga memberikan hadiah utuk Mama.” “Hm ... memang cerdas dan pintar,” puji William seraya menepuk puncak kepala anak lelakinya. Saat William membiarkan kasir memindai barcode untuk
⚠️⚠️TRIGGER WARNING ⚠️⚠️ Bab memuat konten yang mengandung kekerasan dan dapat memicu rasa tidak nyaman. Harap bijak dalam membaca! ———— Mendapat ancaman dari Arya, Lilia memilih untuk mencari cara yang aman. Ia tidak mungkin membahayakan dirinya sendiri, apalagi membiarkan pria jahat itu menyakiti bayi dalam kandungannya. Ia membungkam mulutnya saat menyembunyikan ponselnya, berharap seandainya William mencarinya, prianya itu bisa menemukannya di manapun ia berada—meski Lilia tahu mungkin di mobil William ini ada pelacaknya juga. "Diam dan ikut denganku, Lilia Zamora!" desis Arya saat ia masuk ke dalam mobil, mengemudikannya menjauh dari baby shop, melaju menembus keramaian dan entah ke mana Arya akan membawanya pergi. "Urungkan apapun yang kamu ingin lakukan!" ucap Lilia memberi peringatan. "Kamu tahu yang kamu hadapi itu bukan pria sembarangan yang—" "Ingin pamer kalau kamu sudah diperistri oleh William Quist?" potong Arya sebelum Lilia sempat bicara lebih banyak. "William
⚠ ⚠ TRIGGER WARNING ⚠ ⚠ Bab memuat konten yang mengandung kekerasan dan dapat memicu rasa tidak nyaman. Harap bijak dalam membaca! ———— “LEPAS!” Lilia semakin kuat memberontak, berusaha menguraikan tangan keji mantan ayah angkatnya yang masih ada di rambutnya, menyeretnya melewati lantai kasar yang ada di luar ruangan hingga tempat yang lebih lembab yang penuh dengan lumut, yang bisa ia pastikan membuat pakaiannya menjadi kotor dan lusuh. “ARYA!” Seruan Lilia seperti tak diindahkan. Arya tak mendengar permintaannya agar ia dibebaskan, pria itu justru semakin buruk memperlakukannya. Air matanya seperti akan mengering, ketakutan melandanya hingga membuat Lilia seakan memilih untuk menyerah. Di dalam sebuah bangunan yang telah lama tak digunakan itu, akhirnya Arya melepasnya. Pria dengan kaos berkerah hitam itu menatapnya cukup lama, tawa lirihnya yang memuakkan mencemari indera pendengar Lilia sesaat sebelum ia menunduk dan mengulas seberkas senyum di hadapan Lilia
⚠️⚠️TRIGGER WARNING ⚠️ ⚠️ Bab memuat konten yang mengandung kekerasan dan dapat memicu rasa tidak nyaman. Harap bijak dalam membaca! ———— “Tidak akan!” Lilia kembali menepis tangan Arya, sebisa mungkin ia menutupi bagian depan tubuhya yang telah terekspos. Ia menatap pria di hadapannya itu dengan penuh kebencian, semakin dipandang rasanya ia tak lagi layak disebut manusia. Bukan juga iblis, sebab iblis pun sepertinya tidak ingin dibandingkan dengan betapa kejinya mantan ayah angkatnya itu. Lilia tak ingin berakhir di tangan pria itu meski tubuhnya terasa remuk. Yang paling menyakiti hatinya adalah, bagaimana jika nanti sesuatu yang buruk terjadi pada bayinya yang ada di dalam kandungan? Bagaimana jika Lilia tak bisa menjaganya? Air matanya kembali luruh, berkabut membingkai kedua netranya kala Arya meraih bahunya, berusaha menyingkirkan tangan Lilia yang menyilang di depan dada. Saat pria itu kembali menjamahnya, Lilia dengan segera menunduk, untuk menggigit tangan A
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar.Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi.Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam.Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok.Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata.Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?"Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya.""Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?""Hanya itu saja yang aku pikirkan dari tad
Lilia dan William masih bersembunyi hingga Nicholas dan Selina pergi dari sana.Lilia turut senang karena saat semua luka dan kesalahpahaman perlahan teruraikan, satu demi satu dari mereka mendapatkan kebahagiaan."Apakah pernikahan akan dilakukan dalam waktu dekat kalau begini caranya?" tanya Lilia setelah dua orang yang mereka awasi tadi benar-benar telah pergi dari sana."Kalau memang niat, tidak perlu mengulurnya, 'kan?" balas William sembari mengusap puncak kepala Lilia."Tapi aku penasaran bagaimana cara Kak Nicholas bertemu dengan Selina sebenarnya? Dari tidak sengaja menjadi takdir?"Belum sempat William menjawab, mereka dikejutkan oleh suara yang datang dari sebelah kanan Lilia.Jovan, entah sejak kapan tangan kanan Nicholas itu ada di sini, tapi kehadirannya membuat mereka berdua terkejut."Itu dimulai dari Tuan Nicholas yang datang ke rumah sakit untuk periksa mata dan tidak sengaja terlihat sebuah peristiwa dengan Dokter Selina, Nona Lilia," katanya."Peristiwa apa?" tanya
Karena tak ingin keberadaan Lilia dan William terlihat, maka mereka berdua menyisih, menyembunyikan diri di belakang pohon besar yang ada di tengah taman rumah sakit."Apa itu yang kapan hari dibilang oleh Pak Jovan sebagai dokter anak yang dekat dengan Kak Nicholas?" tanya Lilia lirih, menoleh pada William yang berdiri di belakangnya, turut menyembunyikan diri meski Lilia tak yakin mereka tak akan ketahuan."Kenapa dengan wajahmu?" tanya Lilia sekali lagi, jari telunjuknya bergerak di depan wajah William dan ditanggapi bingung oleh si pemilik wajah."Apanya, Sayang?" tanya William balik."Kamu terlihat keberatan. Kamu tidak suka aku memintamu bersembunyi di sini?"Mata William mengerjap lebih dari satu kali, "Keberatan bagaimana?""Wajahmu terlihat kesal, kamu kesal padaku karena aku memintamu untuk bersembunyi? Aku memintamu melakukan hal yang sulit memangnya? Atau kamu menganggap aku kekanakan?"Cecaran pertanyaan dari Lilia membuat sepasang mata William terpejam pasrah."Lihat itu
“Aku tidak bisa melakukan itu begitu saja,” jawan William dengan cepat, seolah memang ia telah siap dengan jawaban tersebut. “Butuh waktu bertahun-tahun sejak kematian Madeline sampai Mama dan Papa mengatakan bahwa kalian bersalah karena telah menyia-nyiakannya. Aku bahkan harus menyalah pahami Nicholas melakukan sesuatu yang buruk padahal Madeline lah yang lelah dengan semua ketidak adilan yang terjadi untuknya.” Lilia meredakan detak jantungnya bertubi-tubi lebih cepat. Matanya perih memandang William dan netra kelamnya yang tampak menanggung kesakitan. Suara gemetarnya mengatakan segalanya, tentang kekecewaan, dan juga keretakan yang bertahun-tahun ada di bahunya. “Aku mungkin memaafkan kalian, tapi nanti ....” imbuh William setelah hening merengkuh mereka lebih dari enam puluh detik lamanya. “Biar aku lihat seperti apa kesungguhan Mama dan Papa dalam mencintai keluargaku, istriku, anak-anakku. Terhadap Nicholas pun juga begitu. Bukan hanya Madeline yang kalian buat menderita, t
Lilia tak begitu saja menjawabnya. Ia memandang Nyonya Donna yang menunduk dengan meremas jari-jarinya yang ada di atas paha, begitu juga dengan Tuan Adam yang menghela dalam napasnya. Terlihat sangat jelas sesal yang terukir dari caranya mengatakan, ‘Maafkan kami, Lilia ....’ Tuan Adam tak seperti sang istri yang lebih emosional dengan menunjukkan gestur akan sebuah sesal. Beliau tersenyum, maniknya menerpa Lilia degan bibirnya yang tersenyum. Tapi meski tak mengatakan apapun, Lilia tahu Tuan Adam sama menyesalnya. Sejak dulu Lilia tahu bahwa Tuan Adam memang cenderung pendiam dan lebih sering mengalah. Hingga hari ini pun ... sikap itu masih melekat di sana. Sebuah dinamika keluarga yang sering dijumpai oleh Lilia. “Kami tahu kamu tidak akan begtu saja mau memaafkan kami,” ucap kembali Nyonya Donna. “Kami juga memaklumi akan hal itu, Lilia. Tapi mungkin ... kamu bisa memberi sedikit harapan bahwa rasa bersalah kami ini akan bisa mendapat pemutihan nanti, meski membutuhkan waktu l
Agni benar saat mengatakan bahwa itu akan menjadi obat pelipur lara bagi Lilia, William dan juga Keano. Mereka berbahagia, melewati masa pemulihan Lilia dengan berharap bahwa bayi kembar dalam kandungannya itu tumbuh dengan baik, menjadi anak yang juga baik dan lembut hatinya—setidaknya begitu yang dikatakan oleh Keano berulang kali. Bocah kecil itu teramat senang saat tahu ia akan memiliki adik kembar laki-laki dan perempuan, senang tak kepalang. 'Mama, Keano sudah mengatakan pada Jayce dan Jasenna kalau Keano akan punya adik kembar laki-laki dan perempuan, mereka bilang nanti kalau adik lahir akan datang, apakah boleh, Mama?' Celotehannya menghidupkan satu hari Lilia yang terasa membosankan di rumah sakit. Dan jika Lilia tak kunjung menjawab dengan mengatakan, 'Boleh, Sayangku ....' maka Keano masih akan antusias menunggunya, menatapnya dengan mata berbinar. Kabar dirinya yang hamil kembar sepasang itu telah sampai pada Tuan Alaric yang datang memberinya selamat. Pada ibunya y
"Sudah, semuanya sudah berakhir, tidak ada lagi yang akan menyakiti kamu, menyakiti anak-anak kita, maaf untuk semua kelalaiannya ...." William menunjukkan senyumnya, merekah tapi di mata Lilia penuh rasa kecewa. Mungkin prianya itu merasa bersalah karena telah membiarkan Lilia diculik dan berakhir seperti ini. "Kamu juga tidak bersalah," balas Lilia sembari mengusap dagu William, pada sudut bibirnya, pada tegasnya rahang pria miliknya ini. "Kamu sudah menjagaku sebaik mungkin, tapi si jahat itu memang sedang memiliki kesempatan dan membuat semuanya jadi seperti ini." "Terima kasih untuk pengertianmu, Lilia." William menggapai bibir Lilia dengan lembut, tak ingin memberikan pagutan, sebatas kecupan beberapa detik seolah sedang meyakinkannya bahwa semuanya telah baik-baik saja. Saat William menarik wajahnya, ia menghela dalam napasnya sebelum berujar, "Aku harap setelah peristiwa ini kamu tidak semakin terpuruk dalam trauma itu," resahnya sendu. "Aku pikir tidak, William,"
Setelah merasa terombang-ambing di tengah laut yang sunyi dan tanpa tepian serta dirundung kesendirian dalam waktu yang ia kira berlalu lebih dari satu dasawarsa, Lilia akhirnya bisa melihat dunia yang sebenarnya. Langit-langit kamar asing yang lalu disadarinya sebagai langit-langit ruang rawat tempat ia berbaring, aroma obat-obatan yang menyentuh indera pembaunya, serta hangatnya tangan seorang pria yang ia rindukan, William. Mengerjapkan matanya dengan pelan, Lilia ingat apa yang telah membuatnya berbaring di sini dengan selang infus yang tergantung di lengan kirinya. Tak lain karena ia nyaris saja mati di tangan mantan ayah angkatnya yang kejam. Rasa sesak saat jemari tangan pria itu mencekik lehernya dan membuat napasnya terputus seperti masih tersisa di sana, memberinya sensasi aneh yang membuat Lilia ketakutan bahwa peristiwa itu akan berulang. Ah ... begitukah rasanya ada di ambang batas hidup dan mati? Gelap dingin dan menakutkan? Seperti itu jugakah alam bawah sadar yang
Pemantik yang dibawa oleh Niel itu mengeluarkan api, menyala di hadapan Arya yang wajahnya pias. Saat pria itu berpikir bahwa Niel benar akan membakarnya, dugaannya salah. Pemuda itu justru menariknya kembali. Ia memang membakar sesuatu, tapi bukan dirinya. Melainkan rokok yang terselip di antara jari tengah dan jari telunjuknya, lalu menyesapnya. Aksi itu membuat tawa Zain terdengar, begitu juga dengan Alaric yang lebih patut disebut sebagai 'mencemoohnya'. "Lihat, bukankah dia sangat bodoh?" tanya Niel, asap mengepul keluar dari bibirnya saat ia menunjuk pada Arya. "Dia benar-benar berpikir kalau yang aku tuangkan ke tubuhnya itu adalah bahan bakar." Dagunya mengedik pada Arya yang berekspresi penuh kebingungan. Pria itu mengendus tubuhnya sendiri, bahu kanan dan kirinya, pada tangan dan juga sekitarnya yang tak mengeluarkan aroma apapun selayaknya aroma bahan bakar. Yang disiramkan oleh Niel itu bukanlah bensin atau sesuatu sejenisnya, tapi air minum. Di saat seperti ini, si