besok adalah bab yang bisa membuat kita melihat seberapa mengena dan mengoyak hati saat seorang Lilia Zamora berbicara. see yaaaa 🤗😍
Nada bicara Lilia tidak meninggi atau berubah. Tapi sepertinya itu cukup untuk membuat Gretha terguncang gugup. Ia yang duduk di atas ranjang memandang Lilia dengan matanya yang berair. Manik mereka bertemu pandang di udara, menjadi pelengkap keheningan setelah tanya dari Lilia usai. Lebih dari enam puluh detik berlalu hingga kebekuan yang membelenggu mereka itu sirna. "Lilia," sebut Gretha akhirnya. "Kamu tega mengatakan hal seperti itu pada aku yang jelas-jelas sedang menderita begini?" Lilia memperdengarkan tawa lirihnya, ia selangkah maju mensejajari William. Sedang Giff lewat isyarat tangannya seolah mengatakan agar Lilia cukup sampai di sana saja. "Aku sudah menahan diri selama ini, Gretha," balas Lilia dengan suara yang serak. Ia memejamkan matanya sejenak sebelum kembali menerpa wanita itu. "Aku mengatakan hal itu karena sepertinya kamu tidak mau menyadari kesalahanmu. Aku datang ke sini karena berpikir kamu berubah dan menyesali semua yang kamu lakukan tapi ternyata tid
Dari tempat ia duduk, Gretha menyaksikan kepergian Lilia yang diikuti oleh William serta Giff. Berapa kali pun panggilannya menyerukan nama Lilia, gadis itu tidak mau berhenti atau sekadar menoleh. Lilia berlalu setelah mengutarakan isi hatinya yang barangkali selama ini hanya ia simpan tanpa ia ceritakan pada orang lain agar dapat menjual kesedihan untuk meminta simpati dari mereka. Lilia selalu menjadi Lilia yang tangguh. Sejak dulu, dengan mata kepalanya sendiri Gretha menyaksikan gadis itu kuat. Seberapa banyak hinaan yang ia terima, Lilia seakan tak tergoyahkan. Setelah semua waktu yang panjang dan penderitaan yang tak ada habisnya itu ... Lilia Zamora telah menemukan siapa dirinya, haknya, keberanian yang selama ini tertutup kabut tebal dan melawan hingga suaranya yang manis itu mengguncang hati Gretha. ‘Dia sangat cantik,’ gumamnya dalam hati. Ia hendak menepisnya. Tetapi bagaimana bisa hal itu ia lakukan ketika semua kenyataan terpampang di hadapan matanya? Lilia memang
“Tidurlah di kamar Lilia nanti malam, biar bagaimanapun dia adalah istrimu juga. Sama sepertiku, dia juga berhak mendapatkan nafkah batin darimu, William.” Suara manis yang terdengar menembus pintu kamar membuat Lilia menghentikan langkahnya. Ia berdiri di luar dengan kedua tangan yang mencengkeram erat keranjang berisi pakaian yang harusnya ia bawa masuk, sebelum ia menyadari bahwa tuan dan nonanya tengah berada di dalam sana. “Tidak mau, Sayang,” jawab suara bariton seorang pria menyambut permintaan itu. “Aku tidak bisa melakukan itu dengan wanita lain selain kamu.” “Kamu tidak boleh begitu, William. Karena nanti setelah aku mati, kamu akan hidup dengan Lilia.” “Tapi kamu tidak akan meninggalkan aku secepat itu, Ivana.” Lilia termangu dengan tubuh yang terasa kebas. Tuan dan nonanya itu sedang membicarakan dirinya, babysitter anak mereka, yang sekaligus telah menjadi istri kedua William. Hal itu mereka lakukan untuk memenuhi permintaan Ivana yang kondisinya memburuk akibat le
Lilia melihat pria itu sedikit berbalik untuk menutup pintu sehingga ruangan ini seolah menjebak mereka hanya berdua saja.Ia merasa tubuhnya nyeri mendengar yang baru saja dikatakan oleh William. ‘Yang dilakukan oleh dua orang yang sudah menikah’ itu, Lilia tahu betul apa artinya.Hubungan suami istri, seperti yang tadi diminta oleh Ivana, bukan?Lilia ketakutan, pandangan William tajam mengintimidasinya. Sesuatu yang gelap tersembunyi di balik iris dan wajahnya yang rupawan.Dadanya bertalu ribut sehingga Lilia membawa langkahnya mundur untuk menghindarinya. Membawa dirinya sejauh mungkin dari William jika perlu.“Apa sekarang kamu sedang menolakku?” tanya pria itu. Tak mendapati jawaban, William menekan saat mengucap, “Jangan salah, aku datang ke sini karena istriku yang meminta,” katanya. “Bukan karena keinginanku sendiri. Jadi lakukan ini sebagai cara kita memenuhi apa yang diinginkan oleh Ivana.”Kalimatnya telah menegaskan dengan kuat bahwa tak ada wanita lain yang dicintai ole
Lilia tertegun cukup lama mendengar William.‘Nona Ivana ... meninggal?’ batinnya, merasakan sensasi perih yang tiba-tiba menusuk ulu hatinya. Ia bangun dan mengangkat Keano ke gendongannya untuk mendekat ke arah kamar.Saat hampir melewati William yang baru saja mengakhiri panggilannya—entah dengan siapa itu—Lilia terkejut karena pria itu justru membentaknya.“Apa kamu bodoh?!” hardiknya. “Kenapa kamu malah membawa Keano untuk masuk?”“S-saya—” Lilia mendekap Keano semakin erat saat anak itu sepertinya lebih terkejut mendengar suara ayahnya yang meninggi. “Saya hanya ingin Keano melihat saat-saat terakhir Nona Ivana, Tuan,” jawab Lilia akhirnya.Tapi William tak menerima alasan itu. Ia meraih lengan Lilia dan menariknya pergi menjauh dari pintu.“Jangan sampai Keano melihat ini!” peringatnya sungguh-sungguh. “Bawa dia pergi sampai aku memintamu membawanya pulang!”“Kenapa Papa berteriak?!” tanya Keano—yang barangkali menganggap seruan William ditujukan untuknya.Ia nyaris jatuh dari
Tudingannya menggebu-gebu.Lilia menatap ibu Ivana dengan mata yang basah, bibirnya berusaha mengeluarkan kata untuk menepis tuduhan itu, tapi suara lain lebih dulu menyahut, “Apa yang terjadi?”Wanita lain yang datang itu merupakan ibunya William, bimbang memandang Lilia dan besannya itu bergantian.“Perempuan ini yang baru saja membawa Keano, ‘kan?” tanggapnya. “Aku baru saja melihat Keano di kamar dan dia mengatakan dia baru saja pergi dengan ‘Mama Lilia.’”“Apa?!” Ibunya William terkejut, sepasang bola matanya melebar mendengar hal itu. “B-bagaimana bisa seorang babysitter dipanggil ‘Mama’ oleh cucuku?!”Ia beralih pandang dari sang besan pada Lilia yang juga sama terkejutnya.Kalimat-kalimat pembelaan diri yang sempat tersusun di bibirnya seolah tertelan kembali ke tenggorokan.“Apa itu benar, Lilia?” tanya beliau. “Apa kamu meminta Keano untuk memanggilmu ‘Mama’ setelah kamu menyingkirkan Ivana?”“Itu tidak benar, Nyonya!” tepis Lilia dengan suara yang gemetar. “Saya tidak membu
“T-terima kasih,” ucap Lilia sungkan. Ia menunduk menghindari tatapan itu, berpikir bahwa barangkali Nicholas tak nyaman melihatnya memiliki luka yang mencolok seperti ini.Pria itu mengangguk tak keberatan sebelum kembali memacu mobilnya menuju rumah sakit. Hampir tak ada percakapan yang terjadi.Lilia juga tak berani membuka suara mengingat dirinya yang memang tak setara dengan pria di balik kemudi itu.Status sosial mereka berbeda. Hanya kebetulan yang membuat mereka bertemu dan pria itu tak keberatan mengantarnya.Tak berapa lama kemudian mereka tiba di rumah sakit, meninggalkan mobil di parkiran, langkah mereka berhenti di depan ruang ICU.Jendela besar itu menunjukkan keberadaan ibunya yang belum bangun pasca operasi.“Apa yang terjadi, Lilia?” tanya Nicholas yang berdiri di samping kanannya.“Ibu saya jatuh di kamar mandi, Tuan,” jawabnya. “Ada pendarahan di kepalanya. Setelah operasi itu berhasil, ternyata dokter menemukan sakit lain di tubuh Ibu yang membuat beliau masih belu
Lilia tahu William sedikit mabuk. Ia bisa menghidu bau alkohol yang menguar dari bibirnya saat mereka berdiri dalam jarak sedekat ini.Pria itu menunduk mensejajari pandangannya saat tawa lirihnya baru saja terdengar.“Kamu tidak memiliki hak untuk memutuskan apakah kamu bisa pergi dari rumah ini atau bertahan, Lilia Zamora,” ucapnya tegas.Lilia tak sempat menjawab apa yang dikatakan oleh pria itu sebab William lebih dulu menariknya dan membuatnya terhempas di atas ranjang.“Apa kamu mau pergi dari sini karena ingin hidup dengan Nicholas?” tanyanya. “Apa yang kamu lakukan dengannya tadi? Kalian bersenang-senang di luar saat aku tidak di rumah?”Pertanyaan datang bertubi-tubi seiring William yang naik ke atas tempat tidur. Pria itu menunduk di atas Lilia yang wajahnya seketika pias. Ia mencoba melepaskan diri, tetapi itu sia-sia sebab William telah membuatnya terkunci tak bisa bergerak.“T-tidak,” jawab Lilia dalam ketidakberdayaan. “Saya benar-benar hanya pergi ke rumah sakit untuk m
Dari tempat ia duduk, Gretha menyaksikan kepergian Lilia yang diikuti oleh William serta Giff. Berapa kali pun panggilannya menyerukan nama Lilia, gadis itu tidak mau berhenti atau sekadar menoleh. Lilia berlalu setelah mengutarakan isi hatinya yang barangkali selama ini hanya ia simpan tanpa ia ceritakan pada orang lain agar dapat menjual kesedihan untuk meminta simpati dari mereka. Lilia selalu menjadi Lilia yang tangguh. Sejak dulu, dengan mata kepalanya sendiri Gretha menyaksikan gadis itu kuat. Seberapa banyak hinaan yang ia terima, Lilia seakan tak tergoyahkan. Setelah semua waktu yang panjang dan penderitaan yang tak ada habisnya itu ... Lilia Zamora telah menemukan siapa dirinya, haknya, keberanian yang selama ini tertutup kabut tebal dan melawan hingga suaranya yang manis itu mengguncang hati Gretha. ‘Dia sangat cantik,’ gumamnya dalam hati. Ia hendak menepisnya. Tetapi bagaimana bisa hal itu ia lakukan ketika semua kenyataan terpampang di hadapan matanya? Lilia memang
Nada bicara Lilia tidak meninggi atau berubah. Tapi sepertinya itu cukup untuk membuat Gretha terguncang gugup. Ia yang duduk di atas ranjang memandang Lilia dengan matanya yang berair. Manik mereka bertemu pandang di udara, menjadi pelengkap keheningan setelah tanya dari Lilia usai. Lebih dari enam puluh detik berlalu hingga kebekuan yang membelenggu mereka itu sirna. "Lilia," sebut Gretha akhirnya. "Kamu tega mengatakan hal seperti itu pada aku yang jelas-jelas sedang menderita begini?" Lilia memperdengarkan tawa lirihnya, ia selangkah maju mensejajari William. Sedang Giff lewat isyarat tangannya seolah mengatakan agar Lilia cukup sampai di sana saja. "Aku sudah menahan diri selama ini, Gretha," balas Lilia dengan suara yang serak. Ia memejamkan matanya sejenak sebelum kembali menerpa wanita itu. "Aku mengatakan hal itu karena sepertinya kamu tidak mau menyadari kesalahanmu. Aku datang ke sini karena berpikir kamu berubah dan menyesali semua yang kamu lakukan tapi ternyata tid
Dengan segera Gretha dibawa meninggalkan sel-nya. Ia dilarikan ke klinik tetapi mereka mengatakan sesuatu yang membuat Gretha merasa dunianya berakhir saat itu juga. “Detak jantung bayinya terdengar sangat lemah, dia tidak bisa ditangani di sini. Tolong segera dibawa ke rumah sakit.” Dengan air mata yang berlinangan dan menahan kesakitan yang mencengkeram perut bagian bawahnya dengan erat, Gretha dirujuk ke rumah sakit. Napasnya berulang kali tersengal setibanya ia di sana. Ia dibawa masuk ke dalam ruang penanganan oleh beberapa perawat dan dokter yang memeriksa kondisinya. “Berapa lama bayinya tidak merasakan pergerakan, Bu?” tanya seorang dokter spesialis kandungan yang meletakkan transducer di perutnya dalam proses USG. “Sejak ... kemarin, Dokter,” jawabnya dengan gugup. “Saya mendengar keterangan dari petugas yang mengantar Anda ke sini tadi kalau detak jantung bayinya sangat lemah saat melakukan pemeriksaan di klinik. Dan sekarang jantung bayi Anda sudah tidak lagi ter
Menit demi menit berlalu hingga hasrat yang membakar mereka itu tuntas. Tidak ada yang bicara setelah pergumulan yang panjang itu usai, Lilia meringkuk di dada William, mendengar detak-detak di dada prianya itu yang belum sepenuhnya kembali pada rima. Belaian di kepalanya membuat Lilia merasa nyaman. Kehangatannya bertambah setelah William menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka setelah peluh itu mereda. "Kamu mau tidur sekarang?" tanya William setelah memberi kecupan di keningnya. "Nanti dulu," jawabnya. "Kamu tidurlah kalau mengantuk." "Nanti dulu juga. Aku bawakan roti bakar pesanan Keano tadi, tapi dia sudah tidur." "Besok akan aku masukkan ke microwave sebentar sebelum dia makan," tanggap Lilia tak keberatan. Mereka kembali terdiam, ia merapatkan kedua tangan kecilnya pada William yang masih memeluknya tanpa bergerak. Saat-saat seperti inilah yang disukai oleh Lilia. Saat mereka sadar memiliki satu sama lain dan merasa damai hanya dengan saling memeluk dan di
Lilia yang berada dalam lelapnya merasakan seseorang menyentuh tangannya, tubuhnya pun tertarik ke depan. Saat ia membuka matanya dan perlahan mendapatkan kembali kesadarannya, ia menjumpai senyum manis William yang menyeruak di hadapannya. “Kamu sudah pulang?” tanyanya dengan suara yang sedikit serak, namun sangat seksi di telinga William. “Iya, baru saja,” jawab prianya itu. “Kamu marah padaku, hm?” “Tidak. Kenapa aku harus marah padamu?” tanyanya balik. “Karena aku pulang sedikit terlambat. Maaf ya?” Lilia menggeleng, “Aku tidak marah. Sepertinya karena terlalu senang menonton drama jadi aku mengantuk dan tertidur. Maaf tidak menunggumu pulang dan malah tidur duluan.” Lilia menyentuh garis dagu William yang masih menyunggingkan senyumnya. Sebuah hal yang membuat Lilia diliputi oleh tanya. “Kenapa kamu tersenyum seperti itu, Tuan William?” “Aku hanya berpikir sepertinya yang kita lakukan itu sangat manis,” jawabnya. “Kamu merasa bersalah karena tidak menungguku pula
Petugas polisi yang datang mengepung tempat itu membuat Alaric mundur semakin jauh, menarik lengan William yang memang berdiri di sampingnya. Mengantisipasi agar Ganata yang sedang ada di posisi tersudut ini tidak melakukan sesuatu yang buruk semisal menyerang mereka berdua. Maka mereka segera melangkah untuk mundur. Giff, Jovan dan Niel—yang sudah keluar dari truk—berdiri seraya mengangkat tangan mereka. Begitu juga Zain yang berdiri di samping Nicholas. Saat Alaric mendorong napasnya penuh kebencian, William adalah orang yang tidak peduli dengan peringatan itu. Ia tak mengangkat tangannya. Matanya yang kelam menerpa Ganata, dagunya terangkat menantang. Seandainya sekarang tidak ada polisi, pasti ia pasti akan menendang pria itu sekali lagi. “Jangan bergerak!” peringat petugas polisi yang mendekat pada Ganata yang tengah berlutut dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Tangan itu lalu diraih. Ia ditempatkan membelakangi petugas dan kedua tangannya diborgol. Ia diseret p
Ganata tertatih bangkit, tapi sebelum ia sempat benar-benar menegakkan tubuhnya, ia kembali terpelanting sebab William telah lebih dulu menggunakan kakinya untuk membuat pria itu sekali lagi merasakan kesakitan di perutnya. "AAKKH!" Ia merintih seraya menekuk tubuhnya, memegangi perutnya dan meringis menahan sakit. "Bicara lagi!" tantang William masih belum puas. "Coba bicara kalau kamu menyesal hari itu tidak sekalian membunuh Leonora! Akan aku buat mulutmu itu tidak bisa bicara lagi, Ganata!" BUGH! Kepalan tangan William menghantam rahang sebelah kanannya dengan ringan, tapi bagi pria itu sangat mematikan. Seolah lidahnya hampir bergeser kala rahang dan giginya bertabrakan sehingga darah tersembur saat ia jatuh ke jalan. "Yang kamu lakukan pada Nyonya Agatha hari itu telah membuat keluarga Roseanne memelihara pengkhianat lebih dari dua puluh empat tahun," ucap William seraya melangkah pada Ganata yang ada di jalan dan menyeret tubuhnya ke belakang. "Dengan apa yang telah dijan
Ganata ketakutan, ia mencoba membuka pintu berulang kali tetapi hasilnya tetap sama. Ia tak bisa ke mana-mana. Bagaimanapun ia berusaha, hasilnya ia hanya tetap terjebak di dalam mobil tersebut. Situasi genting ini memerangkapnya. Bagaimana bisa ia melarikan diri sebab truk besar yang berhadapan dengannya itu melaju ke arahnya. BRAKK! Bagian samping mobilnya diterjang hingga berbalik arah. Entah ini memang meleset atau si pengemudinya memang sengaja membuat dirinya ketakutan. Jika memang demikian, maka itu berhasil! Ganata melihat beberapa orang yang berada di tepi jalan sunyi itu sedang berdiri dan salah satunya tertawa penuh kepuasan. 'Itu William,' batin Ganata. 'Dia yang pasti sudah merencanakan semua ini.' Tapi ia tak sempat memperpanjang pikiran soal William, atau pria lain yang ia ketahui sebagai kakak lelakinya itu. Sebab saat ia menoleh ke belakang, truk yang tadi menerjang sisi samping mobilnya kembali. Kali ini dengan kencang melaju ke arahnya dan menerjang bagian
*** Beberapa saat sebelum Ganata datang ke rumah terbengkalai malam itu. *** William telah merencanakannya bersama dengan Nicholas. Mereka akan mencari Ganata, di mana pria itu bersembunyi dan apa yang sekiranya bisa mereka lakukan untuk membuat pria itu terjebak. Akal William dan Nicholas bermain dengan sangat baik. Pertama-tama setelah ajakan Nicholas di dalam ruang CEO hari itu, William menanyakan pada Zain di mana si Ganata itu tinggal. Zain yang memang sudah mengetahui di mana rumah pria itu pun memberikan alamatnya. Nantinya ... William tidak meminta Giff untuk turun ke lapangan. Ia sendirilah yang pergi bersama dengan Nicholas. “Dia tidak mungkin kembali ke rumah setelah Gretha dan Bertha tertangkap, Willie,” ucap Nicholas saat mereka telah mendapatkan alamat dari Zain. “Benar.” William pun menyetujuinya. “Dia pasti sudah mengungsi ke suatu tempat. Karena dia itu residivis, dia pasti sudah hafal cara mainnya. Pergi ke tempat lain dan mengasingkan diri agar tidak seorang pu