Halo, Thor lagi sakit, jadi belum bisa update banyak.. maaf yaaaa
Kebekuan sesaat terjadi, enam puluh detik berlalu tanpa kata hingga Lilia berdiri dan menundukkan kepalanya. "Selamat malam, Kak Nicholas," sapanya. "Selamat malam, Lilia," balas Nicholas, urung untuk mendekat ke arah mereka berada. William masih terdiam, tapi dari sudut mata Lilia, ia melihat pria itu menatap pada kakak lelakinya. "K-kalian bicaralah," ucap Lilia, menoleh pada William dan Nicholas bergantian. Ia tersenyum pada William yang mengedipkan matanya dengan pelan, sebagai sebuah bentuk persetujuan. Lilia membalasnya dengan senyum penuh terima kasih karena William mau membuka hatinya. Lilia berpamitan pergi dari sana, sehingga ruangan itu hanya berisikan William dan Nicholas. Pintu tertutup dari luar, mengiringi langkah Nicholas yang mendekat pada William. "Apa kabar, William?" tanyanya sembari duduk di kursi yang ada di samping ranjang. "Baik, sudah jauh lebih baik," jawabnya. "Terima kasih karena kamu masih hidup. Karena jika tidak ... aku benar-benar akan kehilan
"Kamu tidak perlu berterima kasih, William," ucap Nicholas akhirnya. "Aku sangat terpukul juga dan merasa bersalah saat itu. Apa yang kamu lakukan pada Madeline, caramu menjaganya saat orang tua kita hanya memandangnya sebelah mata dan menganggapnya sebagai kegagalan, semua ketulusan yang kamu berikan aku hancurkan dalam sesaat. Dan menyebabkan adik kita yang malang itu lepas dari genggaman tanganmu." "Aku tahu maksudmu dengan memalsukan kematian Madeline," jawab William. "Kak Nic hanya tidak ingin aku membenci Madeline yang bunuh diri sehingga kamu memalsukan kematiannya dan menimpakan kesalahan itu pada dirimu sendiri." Nicholas tersenyum saat William menghela dalam napasnya. Wajahnya menunjukkan sebuah kelegaan yang besar, seolah ia menunggu akan datangnya hari ini agar kesalahpahaman antara mereka usai. "Aku khawatir saat tidak melihatmu di Velox kapan hari," ucap Nicholas setelah ia menggosok matanya sekali lagi. "Saat aku tanyakan pada Giff, awalnya dia menolak memberi tahu, t
"M-mau," jawab Lilia dengan gugup. Perawat pria yang berdiri di dekat William mendekat padanya dan menyerahkan pakaian pasien untuknya. "Terima kasih bantuannya, Nona," ucapnya kemudian menundukkan kepala begitu juga dengan Lilia dan menutup pintu dari luar. Lilia membawa atasan pasien yang ada di tangannya itu mendekat pada William yang duduk di tepi ranjang rawatnya dan menyambutnya dengan mata yang berbinar. "Katakan saja kalau ada yang sakit," kata Lilia saat ia sudah berdiri di hadapan William. "Jadi aku bisa lebih berhati-hati." "Tidak ada yang sakit selama kamu yang menyentuhku, Lilia." Kedua bahu Lilia jatuh mendengar jawaban itu. Ia perlahan membuka kancing baju pasien yang dikenakan oleh William dari bagian yang paling atas. Satu demi satu turun ke bawah sehingga dadanya yang bidang dan perban di bagian perutnya yang tadi dikatakan oleh perawat pria itu terlihat. Lilia dengan hati-hati melepas atasan miliknya karena tangan kiri William masih bertautan dengan selang in
Matanya masih terbuka saat Lilia menciumnya. Lebih dari sepuluh detik sebelum William akhirnya turut memejamkan matanya dan membalas ciuman yang sangat manis ini. Bibir mereka saling memagut, Lilia melingkarkan kedua tangannya ke belakang leher William saat ia memeluk Lilia dan tak membiarkan gadisnya ini mengakhirinya begitu saja. Debar-debar kasmaran yang pernah dirasakan oleh William itu kembali lagi. Lilia membangkitkan gairah akan hidupnya menjadi membara. Sebuah hal yang mendorongnya untuk bisa sembuh lebih cepat, agar tak ada penundaan lagi pada pernikahan mereka. Lilia menarik wajahnya dari William, menegakkan kembali tubuhnya mengingat ia berdiri di hadapan William sehingga posisinya sedikit lebih tinggi dari pria itu. Sedang William menatapnya dengan tidak rela. Iris gelapnya bertanya lebih banyak, 'Kenapa cepat-cepat selesai?' "Apakah itu belum cukup?" tanya Lilia padanya. "Kamu akan meragukan apakah aku mencintaimu atau tidak?" "Kalau aku menjawab dengan 'belum cukup
Pagi ini, Gretha sedang berada di ruang makan. Duduk berhadapan dengan Tuan Alaric yang menyuap makanannya dengan ekspresi wajah yang tampak enggan. "Papa tidak pergi ke luar negeri lagi?" tanya Gretha di antara keheningan yang awalnya tumbuh di sekitar mereka. "Pergi nanti, tapi masih belum tahu kapan pastinya karena Zain belum memberi jadwal untuk Papa," jawab Tuan Alaric setelah meneguk minuman dari dalam gelas. "Papamu sibuk dengan kegiatannya di luar negeri tapi tidak pernah mengajak Mama, Gretha," sela Nyonya Bertha. "Kamu mau ikut?" Tuan Alaric meletakkan sendok makan yang tadi digenggamnya kemudian memandang pada sang istri. "Tapi sebagian besar kunjunganku ke luar negeri dan kalau kamu ikut bersamaku itu pasti ujungnya kamu banyak mengeluh, Bertha. Tidak bisa bahasa A, tidak cocok dengan makanannya, tidak ini tidak itu, dengan aku yang sibuk kerja dan tidak untuk main-main, apa kamu pikir aku punya waktu untuk mengurus hal-hal sepele yang kamu keluhkan itu?" Nyonya Bert
"A-apa?" tanya Gretha seraya bangun dari duduknya dan hendak menuju pada Tuan Alaric. Tapi sebelum hal itu ia lakukan, Tuan Alaric lebih dulu melempar foto-foto itu ke hadapannya. Sebagian mendarat di atas meja, sebagiannya jatuh berserakan di lantai. Gretha menggigit bibirnya hingga terasa perih saat ia mengambil salah satu foto tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Tuan Alaric, foto itu benar menunjukkan dirinya yang berdiri di dekat mobilnya, berhadapan dengan seorang pria yang menunduk dan mencium perutnya. Tentu itu adalah dirinya, dan pria yang menunduk itu adalah Henry! Itu adalah pertemuan mereka di mana hari itu Henry sangat ingin merasakan gerakan bayi mereka dan sialnya ... ada yang melihat dan mengambil foto mereka berdua. 'Siapa?' batin Gretha dengan tangan yang gemetar. Ia mengangkat wajahnya untuk menatap sang ayah yang sepasang matanya nyalang dan memerah. Ekspresi yang paling buruk yang pernah dilihatnya selama ini. Gretha tak pernah melihat beliau marah sepe
Lampunya sudah dimatikan, hanya tersisa lampu tidur keemasan yang redup yang nyaman di mata. Bayangan dua orang yang saling memagut tanpa henti terpantul di dinding ruang rawat presidential suite milik William. Lilia yang duduk di pangkuannya setelah William merengkuh pinggangnya dan dengan tidak sabar menjatuhkan bibirnya di bibir Lilia. Sebisa mungkin William tak merengkuh Lilia terlalu kuat atau tangannya bisa meremukkan pinggang kecil gadisnya ini. Saat menit berlalu, William menarik wajahnya, menyempatkan diri untuk menatap wajah Lilia yang matanya masih terpejam. Pipinya tampak begitu merah di bawah temaramnya cahaya lampu tidur yang menerangi ruangan tempat mereka berada. "Kenapa kamu tidak membuka mata?" tanya William seraya menyentuh dagu kecil Lilia kemudian barulah gadisnya itu membuka mata. "Kamu mengejutkanku," jawab Lilia akhirnya. Kedua tangannya yang ada di belakang leher William berpindah ke depan, menyentuh kerah baju pasien berwarna biru yang ia kenakan. "Me
"A-apa yang mau kamu lakukan?" tanya Lilia seraya menahan dada bidang William dengan menggunakan kedua tangan kecilnya. "'K-kenapa kamu tiba-tiba pindah ke atasku dan mencium leherku seperti itu?" "Rasanya tidak bisa mengendalikan diri karena kamu sangat cantik, Lilia," jawab William kemudian memindahkan posisinya seperti sedia kala. Berbaring di samping Lilia dan menggenggam tangannya. Tatapannya mengatakan kejujuran saat mengatakan 'Tidak bisa menahan diri' karena sepasang matanya terlihat gelisah. Lilia menyentuh dagu William kemudian menjawab, "Aku tidak akan pergi ke mana-mana," ujarnya. "Sabar dulu ...." "Aku juga tidak sabar kapan Papa Alaric akan datang ke sini jadi aku bisa mengatakan pada beliau aku ingin segera menikah denganmu." "Mungkin akhir pekan nanti Papa akan datang," balas Lilia dengan seulas senyum manisnya yang membuat William menelan ludah dengan sedikit kasar. "Apa Papa bilang begitu?" "Tidak juga, tapi mungkin akhir pekan karena Papa seringnya begitu," ja
"Karena aku pikir kamu melakukan sesuatu dengan Nicholas saat kamu pergi dengannya waktu itu," aku William, apa yang ia katakan sekarang sama dengan kebingungan yang tadi dilihat oleh Lilia sebelumnya saat pria itu menanyakan apakah ia masih perawan.Lilia tersenyum mendengar pengakuan itu, "Makanya saat itu kamu sangat marah padaku?" tanyanya. "Karena kamu berpikir aku dan Nicholas melakukan sesuatu di belakangmu padahal saat itu masih dalam suasana berduka?"William mengangguk sebagai jawaban, "Iya. Ternyata aku benar-benar terlalu jauh menuduhmu.""Apakah setelah ini kamu masih akan mengatakan bahwa aku dan Nich—""Tidak, Lilia ...."William menyentuh rahang kecilnya, menunduk membuat mereka menjadi lebih dekat dan mendaratkan sebuah kecupan di sana."Apa rencanamu setelah ini, William?" tanya Lilia pada William yang mendekapnya dan membuat Lilia meringkuk di dada bidangnya."Melanjutkan laporan soal Gretha yang sudah membakar vila, dan membuktikan bahwa bukan aku yang sudah membua
Api yang membakar mereka telah padam ....Lilia masih terdiam, merasakan bunga yang tumbuh di sela-sela retakannya yang kini hampir tak lagi dijumpai sakitnya.Ia melihat William menarik dirinya, pria itu beranjak turun dari tempat tidur setelah membelai lembut rambut Lilia dan membisikkan ia akan kembali sebentar lagi.Lilia bisa melihat siluet tubuhnya yang sempurna, yang menghilang selama beberapa detik dari pandangannya sebelum ia kembali dalam balutan sleep wear berwarna gelap yang telah menutup tubuhnya."Kamu bisa bangun?" tanyanya pada Lilia yang masih terbaring tak berdaya dan belum lama menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.Ia mengangguk dan menerima tangan William saat pria itu membantunya bangun."Kamu mau pakai gaun tidurmu yang tadi atau piyama yang aku ambilkan?" tawar William seraya menunjukkan pakaian tidur yang berwarna seperti miliknya, dan pada gaun tidur yang sebelumnya telah ia tanggalkan dan ia jatuhkan ke lantai."Yang manapun boleh," jawab Lilia lirih.Ia m
"Ke ... napa kamu tanya seperti itu?" tanya Lilia dengan sekilas menyentuh pipinya, saat William berhenti bergerak dan urung melanjutkan yang ia lakukan."Aku pikir ini bukan yang pertama kali untukmu, Lilia.""Bagaimana bisa bukan yang pertama kali? Kamu yang pertama.""Sebentar—" Pria itu seperti baru menyadari sesuatu. "Lalu saat kamu pergi dengan Nicholas waktu itu, kamu tidak melakukan apapun dengannya?"Lilia menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku tidak pernah melakukan apapun dengannya."Lilia bisa melihat William menelan pahit tuduhan itu sebelum matanya terpejam penuh sesal."Maaf ... aku terlalu jauh menuduhmu," katanya. "Aku pastikan kamu menikmati malam ini, Lilia ...."Lilia menutup matanya saat William menciumnya, ia memindahkan tangannya dari bahu William, melingkarkan di lehernya saat pria itu memenuhi dirinya."Ahh ..." Air matanya lolos, bibir manis William mencoba mengalihkan perhatian dengan mengecup leher dan bahunya."Ergh ...." Tidak, ini masih belum berakhir, be
Ciumannya rasanya sangat manis, lebih manis dari ciuman-ciuman yang pernah mereka lakukan sebelumnya.Mungkin karena mereka telah saling memiliki, tanpa takut akan adanya sebuah perpisahan esok hari.Dari menit pertama sejak William mengangkatnya berpindah dari sofa, menuju ke menit-menit berikutnya sebelum akhirnya Lilia merasakan pria itu menarik diri darinya.Bibirnya terasa bengkak, tapi William masih belum usai sebab ia kembali mendaratkan satu kecupan lain untuknya."Aku matikan dulu lampunya," bisiknya pada Lilia yang akhirnya menguraikan kedua tangan kecilnya dari leher William teriring sebuah anggukan.William tersenyum saat ia beranjak turun dari ranjang, meninggalkan sejenak Lilia kemudian ruangan di dalam sana berganti menjadi hanya diterangi oleh lampu tidur saja.Pria itu kembali dan menunduk di atas Lilia.Suara baritonnya yang hangat menyinggahi indera pendengarnya saat bertanya, "Kamu sungguh baik-baik saja?"Maniknya yang gelap menerpa Lilia yang sekali lagi mengangg
Malam harinya, 'setelah dipaksa' mendengar suara para sekretaris yang tak seburuk yang William tuduhkan, Lilia berjalan masuk ke dalam kamar di mana Keano beristirahat di sana. Bocah kecil itu terlelap dalam satu tempat yang sama dengan Alya yang menyambut kedatangan Lilia dengan senyumnya. Selagi di dalam ruangan tempat di mana para pemuda masih bersuka cita dan menghibur William, Tuan Alaric serta Nicholas, keheningan terjadi di dalam sini. "Ibu belum tidur?" tanyanya saat mendekat pada sang Ibu yang terlihat melepas kacamata yang dikenakannya. "Ibu dibelikan kacamata baru oleh Papamu, jadi Ibu gunakan untuk membaca, sudah lama ibu tidak membaca," jawabnya. "Kamu mau melihat Keano?" "Dia sudah tidur?" Alya sekali lagi mengangguk, "Sudah, Nak. Pasti kelelahan setelah bermain bersama paman-pamannya tadi." "Kalau begitu Ibu istirahat juga, kita bertemu lagi besok pagi." Alya sekilas menunduk dan tersenyum, "Kenapa buru-buru? Ibu bisa mengurus Keano, kamu pergilah ke kamarmu!"
William tak menjawab, ia hanya meraih tangan Lilia yang ada di pipinya dan memberinya remasan lembut, seolah itu adalah 'Iya' yang tak terlahirkan dalam lisan. Mereka saling pandang untuk beberapa lama hingga suara Jovan—sekretarisnya Nicholas—yang hari ini mereka jadikan sebagai pembawa acara dadakan meminta mereka agar duduk berhadapan dengan pemuka agama yang pagi hari ini akan menikahkan mereka. Dalam keheningan pagi dan khusyuk doa yang mereka lantunkan tanpa henti, akhirnya semuanya menjadi sempurna. "....dengan mas kawin uang senilai dua puluh satu ribu dolar Amerika dibayar tunai." "Bagaimana, Saksi?" "Sah." Delapan puluh hari dalam kekosongan Lilia, tentang ia yang tak mengenali orang lain selain dirinya dan ingatannya yang berhenti pada lima tahun lalu, ia telah memiliki hidupnya yang baru sekarang. Dalam penantian William yang penuh dengan luka dan kehilangan yang membelenggunya, dalam setiap angka di kalender yang ia lingkari hingga bulan demi bulan berlalu, ia telah
Waktu pernikahannya akan diberlangsungkan pada pagi hari, sekitar pukul delapan. Tadi pagi-pagi sekali—sekitar pukul tiga dini hari—Lilia, Keano dan Alya dijemput oleh Giff dan Zain untuk menuju ke hotel. Lilia dibawa masuk ke sebuah kamar hotel tersendiri oleh staf yang telah menunggunya di sana. Keano yang masih mengantuk digendong Giff masuk ke dalam kamar William. Lilia sudah melihat gaunnya sebelumnya, benar seperti tak ada bedanya dengan gaunnya yang hari itu ia lihat dilahap bara api. Gaun itu akhirnya ia kenakan setelah make up yang cantik dibubuhkan di wajahnya oleh seorang teman William yang secara khusus dimintanya ke sini. "Gaunnya pas dengan bentuk tubuhmu, Lilia," ucap wanita bernama Sherly itu. "Terima kasih." "Kamu juga memilih crown yang cocok untuk gaunnya." Lilia mengangguk dan tak bisa menahan senyumnya, atau sebenarnya ia sedang berusaha menyembunyikan rasa harunya yang sangat besar ini? Satu demi satu prosesnya terlewati, dari make up hingga gaun yang te
Setelah mengantar Keano dan Alya pulang ke rumah yang mereka tinggali, Alaric menuju ke hotel tempat ia beristirahat. Ia melepas coat yang ia kenakan saat berjalan memasuki lift bersama dengan Zain yang berjalan mengekor di belakangnya. "Kamu sudah memberikan bukti-bukti yang kita bicarakan kemarin pada William, Zain?" tanyanya setelah lift naik meninggalkan lobi. "Sudah, Tuan Alaric," jawab pemuda itu. "Saya sudah memberikannya tadi setelah hampir mengganggu Tuan William dan Nona Lilia di dalam." Alaric tersenyum mendengarnya sebelum ia menghela napas dengan lega. "Setidaknya sekarang kita bisa melihat mereka bahagia, dan mendampingi mereka sampai nanti pada hari pernikahan, dan selama-lamanya." "Benar." "Soal rumah baru dan rumah lama? Sudah kamu selesaikan juga?" imbuhnya. "Sudah, rumah barunya sesuai dengan permintaan Anda, dan rumah lamanya sudah terjual," jawab Zain. "Saya meminta pemilik barunya untuk menempatinya bulan depan. Seperti yang Anda katakan, kita masih harus
William memandang Tuan Alaric cukup lama dengan keadaan bibir terbungkam. Dan itu membuat beliau berdeham seraya bertanya, "Kenapa, Nak?" William menghela dalam napasnya kemudian menggeleng, "Tidak, Pa," jawabnya. "Aku hanya ... senang karena mendapat sosok seorang Papa dari Alaric Roseanne dan bukan dari Adam Quist. Sejak menikah dengan Ivana, aku bisa melihat cinta tulus seorang ayah justru dari ayah mertuaku, dan Papa masih akan terus menjadi ayah mertuaku, selamanya." "Papa sudah pernah bilang, 'kan?" tanggap beliau. "Papa juga sedang melakukan penebusan kesalahan atas apa yang pernah Papa lakukan di masa lalu, kegagalan Papa melindungi Ivana dan ibunya jadi Papa melakukan apapun untuk bisa membuat Leonora bahagia. Dan karena dia adalah istrimu, jadi Papa juga akan melindungi kamu dan Keano." William mengangguk dengan penuh terima kasih, "Terima kasih, Pa," ucapnya. "Seperti yang Papa katakan, aku akan menyelesaikan apa yang sudah Papa mulai. Terima kasih sudah menjaga Lilia dan