wkwkkw, 🤣🤣 Gretha belom tau ajee kalau Lilia itu sultan 🤣
Gretha menggelengkan kepalanya, ia tak ingin memikirkannya lebih jauh dan beranjak pergi meninggalkan ruang makan. Meski kepalanya memintanya agar berhenti mengingat tentang pria bertato di lehernya itu, tetapi hatinya tidak bisa! Mana mungkin ia tak memikirkannya karena apa yang tadi dilihatnya itu adalah sesuatu yang sangat ingin diketahuinya? Selama ini ia ingin tahu seperti apa wujud ayahnya, lalu hari ini pria itu menampakkan batang hidung. Gretha mengembuskan napasnya saat melempar tas yang ia bawa ke atas ranjang dan duduk saat matanya terasa panas. “Aku pikir aku adalah anak seorang pria terhormat juga,” gumamnya seorang diri. “Aku pikir Mama bercerai dari Papa lalu menikah dengan Papa Alaric. Tapi sepertinya itu salah ….” Jika ia ingat-ingat dengan baik, Tuan Alaric pernah mengatakan sesuatu seperti … pernikahan yang dilakukan oleh ibunya dan beliau itu tidak berlandaskan cinta. ‘Apa yang Mama lakukan pada Papa Alaric sampai akhirnya pernikahan itu terjadi?’ batinnya me
Dadanya berdebar mendapatkan ajakan itu tetapi ia dengan cepat sadar. Ganata menarik tangan Bertha yang sesaat termangu. Tapi ia dengan cepat menepisnya, “Jangan kurang ajar!” peringat Bertha tak main-main. “Katakan saja apa maumu dan biarkan aku pergi dari sini!” “Kamu yakin?” tanya Ganata. “Kamu yakin tidak ingin melakukannya denganku? Jika kamu keberatan pergi ke hotel atau di penginapan, kita bisa melakukannya di dalam mobil dan—“ “Bicara yang benar!” potong Bertha dengan geram. Pria itu tertawa lirih memandang wajah Bertha yang memerah sebelum suaranya akhirnya terdengar. “Beri aku satu miliar atau akan aku katakan pada Alaric bahwa kamulah yang menyuruhku membunuh istrinya.” “Satu miliar? Kamu gila?!” Bertha berseru seraya merenggut kerah kemeja pria itu. “Bukankah itu jumlah yang sangat kecil dibandingkan dua puluh empat tahun kamu menikmati hidup menjadi Nyonya keluarga Roseanne?” .... Yang tak mereka—Bertha dan Ganata—ketahui … percakapan mereka itu dapat ditangkap m
“Aah … sepertinya saya tahu kapan waktu yang Anda maksudkan itu,” tanggap Zain dengan bibir yang sama tersenyumnya. Mereka secara bersamaan menoleh pada pintu ruangan yang terbuka dan Lilia muncul dari dalam kamar rawat William. “Selamat pagi,” sapa Zain lebih dulu pada Lilia. “Selamat pagi, Pak Zain,” balasnya lalu pemuda itu beranjak pergi dari hadapannya dan membiarkan tempat itu menyisakan dirinya serta Tuan Alaric saja. “Apa Papa datang terlambat?” tanya Tuan Alaric seraya memandang Lilia yang menggeleng lebih dahulu. “Tidak, Pa. Ini malah masih sangat pagi.” “Sengaja, karena kamu pasti butuh persiapan untuk pergi ke preschool, ‘kan?” Lilia membenarkannya. Ia memang sejak semalam menunggu William di sini dan pagi hari ini ayahnya datang. Ia akan diantar oleh Zain kembali ke rumah untuk persiapan mengajar sebentar lagi. “Kenapa kamu keluar, Leo?” tanya Tuan Alaric. “Melihat Papa dan Pak Zain dari jendela, sepertinya membicarakan sesuatu yang serius jadi aku keluar.” “Han
Lilia benar saat mengatakan bahwa William baru saja menggerakkan jemarinya karena pergerakan itu juga ditangkap mata oleh Tuan Alaric. Mereka untuk sesaat menegang dalam harap-harap cemas dan doa yang dilangitkan agar William benar membuka matanya dan kembali di antara mereka semua. Namun, menunggu beberapa menit … William kembali bergeming. “Ah … belum,” kata Lilia dengan putus asa yang sangat kentara yang tiba di indera pendengar sang Ayah. “Tidak apa-apa, Leo,” tanggap Tuan Alaric mencoba membesarkan hatinya. “Setidaknya dia sudah memberi respon yang bagus dengan menggerakkan jarinya.” “Aku pikir … William juga mendengar apa yang kita bicarakan.” “Ya?” Tuan Alaric mengalihkan pandangannya pada wajah William yang masih pucat pada Lilia yang sepasang alis cantiknya berkerut. “Kamu bilang apa, Leo?” ulang Tuan Alaric, ingin mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh anak gadisnya. “Aku pikir William bisa mendengar apa yang kita bicarakan karena saat aku menangis dan mengataka
“Apa maksudnya itu?” tanya sebuah suara pria yang membuat kedua bahu Bertha menjengit. Ia menoleh dengan cepat ke sebelah kirinya dan menjumpai Alaric yang muncul di sana. Sepasang alis lebat pria itu menatap penuh kebingungan dan curiga pada kaca depan sedan milik Bertha yang bertuliskan ‘PEMBUNUH!’ dengan cat merah. “K-kamu sudah d-datang?” tanya balik Bertha dengan gugup. Belum sempat Bertha melakukan sesuatu untuk menyambut kedatangannya, Alaric telah tiba. Dan buruknya … di situasi yang tidak tepat! “Jawab aku, Bertha!” sentak Alaric karena Bertha malah hanya termangu alih-alih menjawab pertanyaannya. “Kenapa mobilmu ada tulisan seperti itu? Kamu baru menabrak orang?” “Tidak!” jawab Bertha dengan cepat, suaranya meninggi dan terdengar serak. “A-aku tidak tahu, tiba-tiba saja mobilku seperti ini.” Wanita itu kemudian menoleh pada security yang ada di dekat gerbang dan menyerukan tanya, “Siapa yang melakukan ini? Kamu membiarkan orang asing bebas keluar masuk?!” hardiknya.
Sudah sejak semalam rasanya Bertha tak bisa tidur. Setelah ia bertengkar dengan Alaric dan anak perempuannya soal mengapa sampai ada tulisan ‘PEMBUNUH!’ di mobilnya, ia masuk ke dalam kamar dan berusaha memejamkan matanya tetapi tidak bisa. Alhasil, pagi ini kepalanya terasa sangat pening. Langit-langit kamar seolah berputar, lantai-lantai marmer yang ia pijaki itu berubah memiliki turunan dan tanjakan yang membuatnya harus ekstra berhati-hati kala melangkah. Ia berjalan keluar dari kamar dengan menenteng tas mahalnya untuk pergi ke suatu tempat. Memilih menghindari tatapan mata dengan Alaric yang barangkali sedang berada di ruang makan. Bertha akan menuju ke suatu tempat—rumah sakit. Rumah sakit di mana dulu pelayan rendahan bernama Alya Azam dirawat. Bertha mengingat wanita itu bukan tanpa alasan. Itu karena ia sudah lama tak mengetahui kabarnya sejak ia mendorongnya jatuh dari lantai dua dan koma sejak saat itu. Tentu … kejahatan yang ia lakukan itu tersamarkan dari mata
*** Satu Minggu yang lalu. *** Di halaman kafe yang dinaungi oleh mending kelam pagi hari itu, William dengan berat hati mengatakan, "Sampai jumpa, Lilia," dengan senyum yang terasa sangat pahit. "Jika kamu berubah pikiran dan ingin bertemu denganku, kamu bisa menghubungiku." Ia dengan gegas masuk ke dalam mobilnya dan mengendarainya pergi dari sana. Hatinya terlalu sesak, jelaga tumbuh di dalam sana secara masif setiap kali ia membaca nama kafe yang didatanginya itu adalah nama yang sama yang ia berikan pada Lilia di kontak yang disimpannya hingga hari ini. Yang pintasannya ia letakkan di layar paling depan dan pesan dari Lilia berulang kali ia baca meski gadis itu telah memiliki nomor barunya. L'amour de ma vie—yang berarti Cinta Dalam Hidupku. William memberinya nama seperti itu sejak malam di mana puluhan—atau bahkan ratusan—hari yang lalu ia menyerahkan ponsel pada Lilia sebelum akhirnya ponsel itu ikut terbakar dan lebur dalam panasnya bara api. Pertemuannya dengan Lilia p
William katakan itu dalam hatinya sebab rasanya ia tak sanggup lagi untuk terus membuka mata. Ia katakan pada dirinya sendiri, 'Tetap bertahan ... tetaplah hidup ....' tetapi sepertinya takdir berkuasa lebih hebat. Matanya tertutup. Satu hal yang tak pernah William sesali hari itu, ia telah membuktikan pada Lilia bahwa ia tak akan pernah berhenti mencintainya, dan jika ia berhenti maka yang menghentikannya adalah kematian. 'Mungkin di kehidupan selanjutnya, kita akan bertemu lagi.' Ia sudah berpasrah kala itu. 'Nanti di kehidupan yang lain, aku akan mencari dan menemukanmu lebih awal. Sehingga jika akhirnya kita berpisah dengan cara yang paling tragis, aku sempat merasakan bahagia bahwa kita pernah saling memiliki sebelum semuanya benar-benar sirna.' Baginya waktu berhenti dan William pikir ia akan mati. Tapi satu hal yang nanti akan ia lakukan saat dirinya masih diberi kesempatan untuk bangun. Menanyakan pada Lilia, masihkah berlaku gadisnya itu bersedia untuk menikah dengann
Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan