Dira melangkah keluar dari jet pribadi dengan mantel musim dingin yang membalut tubuhnya, melindunginya dari angin dingin yang menyapa begitu mereka tiba di Bandara Amsterdam Lelystad. Hembusan angin sejuk membawa aroma salju yang segar, membuat pipinya sedikit memerah. Ia menarik erat mantel musim dinginnya, sementara Ethan berjalan di sisinya, tampak serius seperti biasa. Sebuah Mercedes-Ben S Class hitam mengkilap sudah menunggu di ujung landasan, dengan seorang sopir dan seorang pria bersetelan rapi.Si pria bersetelan mendekat sambil menjabat tangan Ethan. “Welkom, mijinheer.” Selamat datang, Tuan.Ethan membalas sapaannya. “Dank u, Adam.”Adam mengangguk formal. “Saya sudah menyiapkan semua laporan yang Anda butuhkan. Semuanya ada di sini, Sir.”Ethan menerimanya sementara mereka berjalan ke mobil yang sudah menunggu. “Apa semuanya sudah siap?”“Sudah, Sir, kapan pun Anda siap saya akan datang. Katakan saja.”Ethan mengangguk. "Aku akan memberimu kabar secepatnya."Dira pikir A
Setelah perjalanan kurang dari lima belas menit menggunakan transportasi umum, Dira akhirnya menginjakan kaki di museum Mauritshuis yang terletak di jantung kota Den Haag. Dira melangkah masuk ke museum dengan anggun, mantel tebalnya sudah dilepas dan dititipkan di tempat penyimpanan. Suasana museum terasa tenang, hanya terdengar langkah kaki yang teredam dan bisikan-bisikan halus para pengunjung. Dira menarik napas dalam, mengagumi mahakarya seni dari abad ke-17 yang menghiasi dinding museum. Pilar-pilar dorik yang menjulang rapi di sepanjang gerbang utama menambah kesan monumental pada bangunan ini, seolah siap menyambut siapa saja yang ingin memasuki dunia seni penuh pesona. Dira menyentuh dinding halus dekat pintu masuk, merasakan dingin menyentuh telapak tangannya yang telanjang. Dira mulai menyapu pandangan, mulai menyapu setiap wajah, mencari ‘target’ yang menjadi alasannya menginjakkan kaki di tempat ini. Dira menatap jam tangannya. Ia sudah memastikan kalau Ethan tidak ak
Dira tertegun. Ia mengedip beberapa kali. Wanita ini istri diplomat? Bagaimana mungkin ia tidak menyadarinya padahal ia sudah mengumpulkan banyak informasi tentang itu? Menyadari Dira terkejut wanita itu buru-buru menambahkan. “Bukan istri diplomat Belanda tentu saja, tapi Luxembourg.” Negara terkecil di dunia, tapi menduduki peringkat sebagai negara terkaya di dunia. Dira menelan ludah, bukan targetnya. Ia membidik istri diplomat Belanda. Tapi bukan berarti ia tidak bisa bersikap sopan. “Dira,” ujarnya sopan, mengulurkan tangan untuk mengenalkan diri. “Marie Gabrielle,” ucap wanita itu saat membalas jabat tangannya. Anehnya, jabat tangannya kuat dan tegas, berbanding terbalik dengan wajahnya yang lembut. “Apa kedatanganmu karena ingin bertemu dengan istri diplomat atau…” “Oh bukan, aku datang karena ingin melihat-lihat tentu saja. Saya tinggal di Hilton The Hague. Sayang sekali jika tidak ke tempat menakjubkan ini padahal jaraknya begitu dekat,” terangnya panjang lebar. Marie
Ethan duduk di meja dekat jendela, mengenakan mantel hitam panjang dengan syal longgar warna senada di lehernya. Di dekatnya, secangkir kopi hampir dingin dibiarkan tanpa disentuh. Tatapannya yang tajam tertuju pada pintu kafe, sembari sesekali menatap jam tangannya. Di luar, langit musim dingin berwarna abu-abu, dengan salju turun perlahan menutupi jalan berbatu. Ethan mulai bergerak gelisah di kursinya. Orang yang tidak bisa menghargai waktu adalah orang yang tidak bisa dipercaya. Ethan kembali menatap jam tangannya. Tersisa lima menit sebelum waktu yang mereka sepakati. Jika dalam waktu itu dia tidak muncul… Tepat saat itu, Ethan mendengar suara pintu yang dibuka dan saat ia mendongak, seorang pria berusia pertengahan tiga puluhan dengan kacamata dan mantel tebal memasuki kafe. Dia tampak gugup, melirik kanan-kiri seolah ingin memastikan tidak ada yang mengikutinya, saat pandangannya tertumbuk pada Ethan, ekspresi wajahnya berubah. Ethan berdiri, memberi isyarat agar pria itu dud
Di dalam ruang kerja suite mereka yang luas, Ethan duduk di depan laptopnya yang menyala. Atmosfer di dalam ruangan terasa panas, berbanding terbalik dengan udara dingin yang ada di luar. Layar laptopnya menampilkan wajah-wajah serius dari timnya di kantor pusat Manhattan. “Baik,” Ethan memulai, memandang layar dengan tatapan tajam. “Kita sudah memiliki bukti kuat tentang kecurangan yang terjadi. Pertanyaannya sekarang adalah langkah apa yang akan memberi kita hasil terbaik dengan risiko minimal.” Di sudut layar, Rachel, kepala departemen hukum perusahaan, mengetuk-ngetuk jarinya ke meja. “Kita punya tiga pilihan utama. Pertama, jalur hukum. Kita ajukan gugatan langsung ke pengadilan internasional. Tapi proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun, dan selama itu proyek akan tetap berada di tangan pihak lawan.” “Jadi, itu bukan opsi terbaik,” sela Ethan. “Kita tidak punya waktu sebanyak itu.” “Pilihan kedua,” lanjut Rachel, “arbitrase. Proses ini lebih cepat, dan jika kita bisa me
Ethan menatap jam tangannya dan meringis. Sudah waktunya. Apa mungkin Dira sudah bersiap-siap? Ethan menggerakkan kepalanya ke kanan-kiri untuk meregangkan otot lehernya yang kaku setelah bekerja selama 2 jam penuh di ruang kerjanya. Untungnya meeting kali ini berjalan lancar. Jika malam ini ia bisa meyakinkan para diplomat itu, semua akan berjalan seperti yang mereka rencanakan. Ethan baru saja menarik kenop pintu—dan langsung membeku saat melihat penampilan Dira yang luar biasa. Ia berkedip berkali-kali, menatap Dira yang sedang mematut diri di depan cermin besar. “Oh kau datang! Bagaimana? Menurutmu gaun ini baik?” tanya Dira begitu menyadari kehadiran Ethan. Baik? Bukan itu kata yang akan ia ucapkan untuk menggambarkan penampilan Dira yang sekarang. Ethan berjalan mendekat dan seiring jarak yang semakin menipis ia menyadari darahnya berdesir. Sudah lama sekali… dan sekarang tubuhnya berdenyut oleh kebutuhan. Sial! Ini bukan hal bagus. Mungkin mengajak Dira ke pesta itu b
Saat mereka melangkah masuk, Dira tak bisa menyembunyikan decak kagumnya. Interior Peace Palace sama memukau seperti eksteriornya. Lampu kristal raksasa bergelantungan di langit-langit tinggi, memancarkan cahaya lembut yang menerangi dinding berlapis marmer. Lukisan mural penuh warna menghiasi bagian atas dinding, menggambarkan adegan-adegan damai dari berbagai kebudayaan dunia. Lantai mosaik di bawah kaki mereka berkilauan, seakan menyempurnakan kemewahan tempat itu. “Ini—““Luar biasa. Aku tahu,” potong Ethan lembut sebelum Dira menyelesaikan kata-katanya. Dira menyukai segala hal. Sebenarnya ia belum pernah melihat Dira tidak menyukai sesuatu. Wanita itu selalu memandang setiap hal sebagai objek menarik dan mengagumkan. Itu satu hal yang ia sukai tentang Dira. Dira menyeringai. “Menurutmu aku memalukan?”“Tidak,” jawabnya tegas.Sebelum memasuki aula utama, Ethan dan Dira diarahkan ke area khusus di mana para tamu istimewa diminta berpose untuk majalah. Sebuah backdrop berwarna k
Untungnya Marie mengatakan kalimat itu dalam bahasa Yunani, jadi baik Dira maupun Andrew sama sekali tidak memahami ucapan itu. Ethan melemparkan tatapan penuh peringatan sebelum duduk di kursinya, tepat di sebelah Dira. Dentingan gelas champagne dan suara obrolan penuh tawa memenuhi aula utama. Setiap orang terlihat sibuk dengan urusan masing-masing, beberapa terlihat nyaman sementara yang lainnya berpura-pura senang. Biasanya, Ethan selalu menghindari acara seperti ini. Ia selalu mengirim perwakilan untuk menggantikan dirinya kecuali jika situasinya tidak memungkinkan seperti sekarang. “Aku bisa melihat kalau kau tidak menyukai acara ini, tapi Ethan, ini untuk amal.” Ethan tersenyum tipis kemudian memiringkan badannya ke arah Dira. “Ini pertunjukkan kekayaan, kalau saja…” “Jadi Ethan, aku mendengar desas-desus yang menarik tentang perusahaanmu.” Ethan menarik dirinya, menoleh pada Andrew. “Ada banyak desas-desus tentangku, aku tidak tahu yang mana yang kau maksud.” Andrew meme
“Dahulu kala ada seorang pangeran yang tinggal di sebuah kastil mewah.” “Apa dia tampan Daddy?” Ethan menahan senyumnya. “Ya, dia tampan. Sangat tampan. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan istana yang sangat membosankan. Dia kesepian, tapi tidak seorang pun yang tahu perasaannya.” Leandra mengerjap-ngerjap dengan penuh rasa ingin tahu. “Lalu, apa yang terjadi, Daddy?” “Pria itu memutuskan untuk berpetualang. Dia pergi tanpa memberitahu siapapun. Melakukan perjalanan panjang melewati samudera, menikmati setiap detiknya, tapi pangeran itu tetap saja kesepian.” “Apa dia pulang?” Ethan menggeleng. Ia memperbaiki selimut putrinya. “Tidak, dia tidak pulang, glyko mou. Dia meneruskan perjalanan, tapi pangeran itu memutuskan untuk berhenti. Dia butuh istirahat.” Theo yang sejak tadi hanya menjadi pendengar akhirnya bersuara. “Lagi, Daddy.” Ethan mengelus rambut halus putri kecilnya. “Keajaiban terjadi saat pangeran itu melakukan kesembronoan. Dia membuang sampah sembarangan. Saat it
Lima tahun kemudian, Dira menatap putri kecil mereka Leandra sedang bermain pasir bersama ayahnya. Di samping keduanya, seorang bocah kecil berusia 4 tahun tampak diam mengamati. Mata cokelatnya yang tajam dan awas seperti sedang menilai setiap gerakan yang dilakukan oleh Kakak dan Ayahnya. Dira yang melihatnya merasakan dadanya membengkak oleh perasaan bahagia yang tak terungkapkan. Kebahagiannya, kini berada tepat di hadapannya, seperti sebuah potret abadi yang tak ternilai. Dira melilitkan pareo di sekitar pinggangnya sebelum akhirnya menghampiri keluarganya. Ketiganya begitu larut menikmati aktivitas membuat istana pasir hingga keberadaannya sama sekali tidak disadari. Dira ikut berjongkok, mencium puncak kepala Leandra dan Theo bergantian. Leandra yang memiliki warna mata persis seperti yang dimiliki oleh Ethan menatapnya berbinar. “Mommy! Lihat, kami berhasil membuat istana pasir.” “Oh iya! Siapa yang paling banyak berkontribusi?” Leandra menepuk dadanya dengan bangga. The
Ethan tertawa sebelum akhirnya menyuapkan saus itu ke mulutnya. Dira mencecap rasa creamy alpukat yang lembut, berpadu sempurna dengan sedikit perasan lemon. “Bagaimana?” tanya Ethan. “Kalau kau membutuhkan pekerjaan katakan saja. Toko rotiku pasti akan menemukan tempat untukmu.” Ethan menyeringai. “Mungkin aku akan mempertimbangkannya.” Lima belas menit kemudian pasta buatan Ethan sudah siap disantap. Dira dengan penuh semangat mulai melahap makanannya. Dira baru saja menyuap satu sendok ketika gelombang rasa panas menyambar tubuhnya. Bukan panas biasa, tetapi sensasi teramat kuat yang membuat sendok di tangannya terjatuh dengan bunyi cling yang nyaring. Gelombang nyeri menjalar dari punggung bawahnya, menusuk hingga ke perut. Ia meringis, tangannya mencengkeram tepi meja. “Ethan…” suaranya mulai goyah. Ethan langsung menghampirinya dengan wajah tegang. “Kenapa? Apa yang sakit, Angel?” Dira mencoba menarik napas dalam. “Mungkin cuma kontraksi palsu…” Namun, belum sempat ia me
Dira memejamkan mata, menikmati sapuan angin yang membelai kulit wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya selama beberapa kali dan dalam proses itu senyum sama sekali tidak pernah meninggalkan wajahnya. Ketenangan dengan cepat merasuk dalam dirinya. Sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang, membelai perutnya yang sudah membesar. Dira memiringkan kepalanya sedikit, memberi akses lebih mudah saat Ethan mendaratkan kepala di bahunya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Ethan lembut di telinganya. “Menikmati pemandangan. Kita jarang ke tempat ini padahal laut ini tepat di depan rumah,” desahnya lambat. Dira menundukkan pandangan, menatap tangan Ethan yang sekarang sedang mengelus-ngelus perutnya dari balik gaun tipisnya. “Aku tidak sabar menunggu kedatangan Dut-dut.” “Aku juga,” balas Dira, menyandarkan tubuhnya pada Ethan. Memasuki usia kehamilan 36 minggu, dokter mengatakan dalam beberapa minggu ia akan melahirkan. Sejak saat itu
Ethan berdiri terpaku di depan toko peralatan bayi seperti orang tersesat, matanya menyapu setiap sudut etalase yang dipenuhi berbagai barang berwarna-warni untuk kebutuhan bayi. Meski sudah membaca buku tentang kebutuhan bayi dan mencaritahu segalanya, ada perasaan aneh yang merayap dalam dirinya. Perasaan yang sulit ia definisikan—campuran antara keterkejutan, antusiasme, dan sedikit kegugupan, merasa seolah memasuki dunia yang benar-benar asing. Sekilas, ia melihat anak kecil yang sedang merengek dan meraung pada orang tuanya sambil menunjuk-nunjuk barang yang ada di etalase. Dulu pemandangan itu pasti membuatnya bergidik dan menjauh. Sekarang… ia tidak sabar untuk menghadapi situasi yang sama. Tanpa sadar sudut mulutnya terangkat. “Ethan?” Suara Dira menyadarkannya. Istrinya menatapnya dengan alis bertaut, mungkin heran melihatnya hanya berdiri di sana tanpa bergerak. Ethan mengangkat bahu, lalu meraih keranjang belanja. “Ayo masuk dan membeli semua yang dibutuhkan Dut-d
“Aku mencintaimu.” Kedua kelopak matanya terangkat, sebentuk senyum tipis terukir di wajahnya yang cantik. Ia mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan sepasang mata sebiru kristal yang paling ia sukai di dunia ini. “Kau bilang apa?” tanyanya serak, khas orang baru bangun tidur. Dira mengangkat sedikit kepalanya, menggunakan lengan Ethan sebagai bantal saat menunggu pria itu bersuara. Tentu saja ia mendengar apa yang dikatakan Ethan, ia hanya suka mendengar kata-kata itu keluar dari bibir suaminya. Ethan mendekat, menempelkan hidung mereka. “Aku mencintaimu, agape mou.” “Sekarang lebih mudah bagimu mengatakannya, ya ‘kan?” Ethan tertawa rendah. Memang, rasanya jauh lebih mudah mengatakannya sekarang. Setelah apa yang mereka lalui, rasanya penting mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Ketakutan itu masih ada, jauh bersembunyi dalam dirinya, tapi sekarang jauh lebih mudah menghadapinya setelah semua yang terjadi. Setelah menyadari bahwa cinta sungguh bisa memberikan kekuatan ya
Dira menyeringai, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada foto yang ada di dekat komputer suaminya. Foto pernikahan mereka—atau lebih tepat disebut pembaruan janji pernikahan. Mereka melakukannya di sebuah pulau kecil. Ia mengenakan gaun koktail sederhana sementara Ethan mengenakan celana selutut dan kemeja yang lengannya digulung sampai di atas siku. Benar-benar sederhana, tapi hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. “Aku suka foto itu,” komentarnya. Ethan mengikuti arah pandang istrinya. “Aku juga, terutama karena setelah itu aku membuatmu tidak mengenakan apa pun selama berhari-hari,” balasnya bangga, menunjukkan seringai nakalnya. Dira tertawa. “Kau membuat bikiniku rusak, sekalian saja tidak usah memakainya.” Ethan menarik lembut lengan istrinya dan membawanya duduk di atas pangkuannya. “Ethan! Menurutku kau tidak bisa melakukannya. Aku pasti sangat berat sekarang.” Ethan mengabaikannya. “Menurutmu, berapa peluang yang kudapatkan untuk membuatm
Dira berdiri di tengah ruang utama Flour & Figs sambil tersenyum tipis, matanya mengamati setiap sudut toko dengan seksama. Aroma kayu yang masih baru bercampur dengan wangi lembut vanilla dari lilin aroma terapi yang sengaja dinyalakan untuk memberikan kesan hangat. Dinding kaca besar di sisi kanan toko memberikan pemandangan langsung ke arah laut yang membentang luas, dengan ombak tenang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Rak-rak kayu yang dipasang di sepanjang dinding telah tertata rapi dengan toples berisi aneka kue kering dan roti. Meja-meja bundar kecil dan kursi anyaman ditempatkan di dekat jendela, menawarkan tempat duduk yang sempurna bagi pelanggan yang ingin menikmati kue dan minuman sambil menatap hamparan laut. Beberapa tanaman hijau dalam pot keramik tersebar di beberapa sudut, menambah nuansa alami dan menenangkan—konsep yang sejak dulu ia inginkan. Dira berjalan perlahan ke arah dapur, tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Kehamilann
Dira berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumah mereka sambil mengigit jarinya. Sudah dua jam berlalu, tapi sampai sekarang Ethan belum juga menghubunginya. Kenapa Ethan belum menghubunginya? Ia sudah mencoba menghubungi suaminya, tapi hasilnya nihil.Mungkin Ethan terlalu sibuk sampai tidak lupa waktu? Atau mungkin saja sinyal membuat sambungannya tidak terhubung.“Ma’am.”Sapaan itu hampir membuatnya melompat. Ia menghela napas, menatap pengurus rumahnya. “Ada apa, Marta?”“Ma’am ada Riko di depan pintu, katanya ingin menemui Anda. Ini mendesak.”Untuk apa sekretaris Ethan ingin menemuinya? Mengabaikan gemuruh yang berdentam dalam dadanya, Dira bergerak cepat untuk menemui pria itu. Riko berdiri di ujung pintu, tampak seperti orang tersesat. Wajahnya pucat dengan kedua tangan yang terlipat seperti orang yang sedang berdoa.Dira menarik kepalanya, berusaha melihat ke belakang pria itu, dan ia tidak melihat keberadaan Ethan.“Riko.”Pria itu membelalak, terkejut karena kehadirannya ya