Saat mereka melangkah masuk, Dira tak bisa menyembunyikan decak kagumnya. Interior Peace Palace sama memukau seperti eksteriornya. Lampu kristal raksasa bergelantungan di langit-langit tinggi, memancarkan cahaya lembut yang menerangi dinding berlapis marmer. Lukisan mural penuh warna menghiasi bagian atas dinding, menggambarkan adegan-adegan damai dari berbagai kebudayaan dunia. Lantai mosaik di bawah kaki mereka berkilauan, seakan menyempurnakan kemewahan tempat itu. “Ini—““Luar biasa. Aku tahu,” potong Ethan lembut sebelum Dira menyelesaikan kata-katanya. Dira menyukai segala hal. Sebenarnya ia belum pernah melihat Dira tidak menyukai sesuatu. Wanita itu selalu memandang setiap hal sebagai objek menarik dan mengagumkan. Itu satu hal yang ia sukai tentang Dira. Dira menyeringai. “Menurutmu aku memalukan?”“Tidak,” jawabnya tegas.Sebelum memasuki aula utama, Ethan dan Dira diarahkan ke area khusus di mana para tamu istimewa diminta berpose untuk majalah. Sebuah backdrop berwarna k
Untungnya Marie mengatakan kalimat itu dalam bahasa Yunani, jadi baik Dira maupun Andrew sama sekali tidak memahami ucapan itu. Ethan melemparkan tatapan penuh peringatan sebelum duduk di kursinya, tepat di sebelah Dira. Dentingan gelas champagne dan suara obrolan penuh tawa memenuhi aula utama. Setiap orang terlihat sibuk dengan urusan masing-masing, beberapa terlihat nyaman sementara yang lainnya berpura-pura senang. Biasanya, Ethan selalu menghindari acara seperti ini. Ia selalu mengirim perwakilan untuk menggantikan dirinya kecuali jika situasinya tidak memungkinkan seperti sekarang. “Aku bisa melihat kalau kau tidak menyukai acara ini, tapi Ethan, ini untuk amal.” Ethan tersenyum tipis kemudian memiringkan badannya ke arah Dira. “Ini pertunjukkan kekayaan, kalau saja…” “Jadi Ethan, aku mendengar desas-desus yang menarik tentang perusahaanmu.” Ethan menarik dirinya, menoleh pada Andrew. “Ada banyak desas-desus tentangku, aku tidak tahu yang mana yang kau maksud.” Andrew meme
“Gunakan ini, kecuali kau mau merusak gaunmu.” Dira menatap sapu tangan yang disodorkan padanya selama beberapa detik. “Terima kasih,” ucapnya sungkan saat menerima kain persegi tersebut. Pria asing itu tidak membalas. Karena sekarang pandangannya tertuju pada lukisan yang sebelumnya dipandangi Dira dan pemahaman pun menghiasi wajahnya. “Tragis, bukan?” Seolah tidak membutuhkan jawaban pria itu pun melanjutkan ucapannya, “Lukisan ini… selalu berhasil membuat orang berhenti dan terpaku. Ini karya seniman lokal yang terinpirasi dari kisah nyata.” Dira kembali memandang lukisan itu dan denyut menyakitkan di dadanya kembali terjadi. Seolah lukisan itu memiliki kemampuan untuk melukainya. Dira berpaling secepatnya. “Aku sudah banyak melihat reaksi orang-orang saat mereka memandangi lukisan itu, tapi aku belum pernah mendapati reaksi seekstrim yang kau tunjukkan. Apa lukisan itu sangat menyedihkan? Atau mengganggumu?” Dira merasakan tenggorokannya tercekat. “Lukisan itu memang meny
“Ada banyak hal yang terjadi lima tahun terakhir, Dira, tapi apa pun itu, aku tidak pernah mengkhianatimu. Dia mungkin datang, tapi aku tidak pernah membiarkannya masuk.” Kata-kata itu terus bergema di benaknya sementara mendengarkan MC berbicara di atas podium. Ia tidak meragukan Ethan sama sekali, tapi ada yang mengusiknya. Lima tahun terakhir ada banyak hal yang terjadi. Apa persisnya yang dimaksud Ethan? “Malam ini, seluruh hasil dari gala amal akan disumbangkan kepada Yayasan Anak Dunia, sebuah organisasi yang bekerja untuk menyediakan akses pendidikan dan kebutuhan dasar bagi anak-anak di zona konflik.” Suara MC yang nyaring dan keras menarik Dira kembali ke realita. Ia mengerjap, berusaha memusatkan perhatian pada acara. “Dan untuk membuat malam ini lebih istimewa,” lanjut sang MC, “kami telah menyusun daftar lelang ekslusif, di mana para tamu dapat berkontribusi sambil mendapatkan pengalaman dan properti unik. Daftar ini akan segera diberikan kepada Anda semua. Jangan rag
Suasana sepanjang perjalanan pulang terasa membekukan. Ethan sama sekali tidak mau bicara padanya dan ia tahu sebabnya. Ia menghabiskan uang pria itu. Amat sangat banyak dan meski punya alasan sendiri, tetap saja tindakan itu tidak dapat dibenarkan. Dira mengigit bibir bawahnya sementara tangannya yang terkepal erat mulai berkeringat dingin. Ia melirik suaminya lewat ekor matanya saat mereka berjalan masuk ke dalam apartemen. Ia ingin mengatakan sesuatu, apa saja untuk menghapus kemarahan Ethan, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Saat mereka akhirnya berada di dalam apartemen, Dira yang sudah tidak tahan akhirnya meluapkan kata-kata yang sejak tadi bersarang di kepalanya. “Maafkan aku,” bisiknya, nyaris tidak terdengar. Jika saja ketegangan ini bisa membakar ia pasti sudah terbakar saat ini. Ethan membelakanginya, tapi bahkan orang buta sekalipun bisa merasakan kemarahan yang memancar dari tubuhnya. “Aku minta maaf Ethan, aku tahu aku sudah menghabiskan uangmu pada
“Apa?” Ethan memindahkan ponselnya ke telinga kiri, sedikit takut kalau pendengarannya bermasalah. Dira yang sedang menyiapkan sarapan mereka menatapnya dengan wajah penuh tanya, kedua alisnya terangkat, tapi Ethan hanya menggeleng, ia fokus mendengarkan ucapan dari ujung telepon. “Jadi semua sudah selesai? Begitu saja?” tanyanya tidak percaya. Bukannya senang Ethan justru merasa terganggu. “Apa Benjamin sudah memastikannya? Aku tidak ingin ada celah untuk kesalahan. Ini proyek penting!” Ethan berhenti berjalan, berusaha mendengarkan dengan intens penjelasan Marcus dari ujung telepon. Semakin ia mendengarkan semakin Ethan merasa semuanya terdengar tidak masuk akal. Dalam semalam semuanya mendadak berubah? Ia sudah berkecimpung dalam dunia bisnis ini nyaris separuh hidupnya dan ia belum pernah menemukan seseorang membuat keputusan penting dalam semalam. Setelah berbicara cukup lama akhirnya sambungan dimatikan. “Ethan, ada apa? Kenapa wajahmu aneh seperti itu?” Dira mendekat, m
Hadiah untuk pengamatan yang berharga. Dira menggerakkan kepalanya ke samping. Hanya satu orang yang berpikiran kalau itu pengamatan yang berharga. Dira membaca pesannya sampai habis. Ethan berdiri di samping Dira dan ikut membaca kertasnya. “Pierre?” tanyanya heran. Dira mengangguk. “Dia mengundang kita makan malam,” tutur Dira, mengangkat undangan yang ia terima di depan wajah Ethan. Ethan memandang Dira, lukisan yang baru saja mereka terima, dan juga kertas yang dipegang Dira secara bergantian. Dalam sekejap potongan puzzle itu membentuk sebuah pemahaman di benaknya. “Kurasa kita baru saja menemukan alasan kenapa arbitrase dibatalkan. Kita akan datang,” putusnya tanpa keraguan sedikitpun. Ruang makan di kediaman resmi Pierre Van Der Meer adalah perpaduan antara kemegahan Eropa klasik dan kehangatan modern. Lampu ganung kristal menjuntai di atas meja panjang dengan taplak putih bersih, dihiasi bunga mawar merah dan lilin-lilin kecil yang memancarkan sinar lembut. Aroma
Dira nyaris membanting pintu hotel mereka jika saja kewarasannya tidak mengambil alih di saat terakhir. Alih-alih membanting pintu tepat di depan wajah Ethan, Dira memilih mengabaikannya. Ia mengambil langkah lebar-lebar, tidak peduli jika sikapnya terlihat kekanakan. Saat ini ia benar-benar marah. “Dira…” Dira mengabaikannya. Ia berjalan ke kamar, melempar tas kecilnya ke atas ranjang. Ia bisa mendengar Ethan berjalan ke arahnya, dan ia melotot. “Aku sedang marah padamu, jadi sebaiknya kau hati-hati.” Ethan mengangkat kedua tangannya ke udara dengan sikap menyerah. “Aku perlu clue, kenapa kau marah?” Wah! Dira berjalan mondar-mandir, memandang Ethan seolah dia manusia paling bodoh di dunia. “Kau masih bertanya kenapa aku marah?” “Dira, kau bersikap berlebihan, jika ini karena ucapanku di rumah Pierre…” “Tentu saja aku marah karena ucapanmu itu!” pekik Dira melengking. Ia berderap ke arah Ethan. “Pertama, kau menyeretku seperti anak kecil, itu bukan tindakan yang bisa ditoler
“Dahulu kala ada seorang pangeran yang tinggal di sebuah kastil mewah.” “Apa dia tampan Daddy?” Ethan menahan senyumnya. “Ya, dia tampan. Sangat tampan. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan istana yang sangat membosankan. Dia kesepian, tapi tidak seorang pun yang tahu perasaannya.” Leandra mengerjap-ngerjap dengan penuh rasa ingin tahu. “Lalu, apa yang terjadi, Daddy?” “Pria itu memutuskan untuk berpetualang. Dia pergi tanpa memberitahu siapapun. Melakukan perjalanan panjang melewati samudera, menikmati setiap detiknya, tapi pangeran itu tetap saja kesepian.” “Apa dia pulang?” Ethan menggeleng. Ia memperbaiki selimut putrinya. “Tidak, dia tidak pulang, glyko mou. Dia meneruskan perjalanan, tapi pangeran itu memutuskan untuk berhenti. Dia butuh istirahat.” Theo yang sejak tadi hanya menjadi pendengar akhirnya bersuara. “Lagi, Daddy.” Ethan mengelus rambut halus putri kecilnya. “Keajaiban terjadi saat pangeran itu melakukan kesembronoan. Dia membuang sampah sembarangan. Saat it
Lima tahun kemudian, Dira menatap putri kecil mereka Leandra sedang bermain pasir bersama ayahnya. Di samping keduanya, seorang bocah kecil berusia 4 tahun tampak diam mengamati. Mata cokelatnya yang tajam dan awas seperti sedang menilai setiap gerakan yang dilakukan oleh Kakak dan Ayahnya. Dira yang melihatnya merasakan dadanya membengkak oleh perasaan bahagia yang tak terungkapkan. Kebahagiannya, kini berada tepat di hadapannya, seperti sebuah potret abadi yang tak ternilai. Dira melilitkan pareo di sekitar pinggangnya sebelum akhirnya menghampiri keluarganya. Ketiganya begitu larut menikmati aktivitas membuat istana pasir hingga keberadaannya sama sekali tidak disadari. Dira ikut berjongkok, mencium puncak kepala Leandra dan Theo bergantian. Leandra yang memiliki warna mata persis seperti yang dimiliki oleh Ethan menatapnya berbinar. “Mommy! Lihat, kami berhasil membuat istana pasir.” “Oh iya! Siapa yang paling banyak berkontribusi?” Leandra menepuk dadanya dengan bangga. The
Ethan tertawa sebelum akhirnya menyuapkan saus itu ke mulutnya. Dira mencecap rasa creamy alpukat yang lembut, berpadu sempurna dengan sedikit perasan lemon. “Bagaimana?” tanya Ethan. “Kalau kau membutuhkan pekerjaan katakan saja. Toko rotiku pasti akan menemukan tempat untukmu.” Ethan menyeringai. “Mungkin aku akan mempertimbangkannya.” Lima belas menit kemudian pasta buatan Ethan sudah siap disantap. Dira dengan penuh semangat mulai melahap makanannya. Dira baru saja menyuap satu sendok ketika gelombang rasa panas menyambar tubuhnya. Bukan panas biasa, tetapi sensasi teramat kuat yang membuat sendok di tangannya terjatuh dengan bunyi cling yang nyaring. Gelombang nyeri menjalar dari punggung bawahnya, menusuk hingga ke perut. Ia meringis, tangannya mencengkeram tepi meja. “Ethan…” suaranya mulai goyah. Ethan langsung menghampirinya dengan wajah tegang. “Kenapa? Apa yang sakit, Angel?” Dira mencoba menarik napas dalam. “Mungkin cuma kontraksi palsu…” Namun, belum sempat ia me
Dira memejamkan mata, menikmati sapuan angin yang membelai kulit wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya selama beberapa kali dan dalam proses itu senyum sama sekali tidak pernah meninggalkan wajahnya. Ketenangan dengan cepat merasuk dalam dirinya. Sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang, membelai perutnya yang sudah membesar. Dira memiringkan kepalanya sedikit, memberi akses lebih mudah saat Ethan mendaratkan kepala di bahunya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Ethan lembut di telinganya. “Menikmati pemandangan. Kita jarang ke tempat ini padahal laut ini tepat di depan rumah,” desahnya lambat. Dira menundukkan pandangan, menatap tangan Ethan yang sekarang sedang mengelus-ngelus perutnya dari balik gaun tipisnya. “Aku tidak sabar menunggu kedatangan Dut-dut.” “Aku juga,” balas Dira, menyandarkan tubuhnya pada Ethan. Memasuki usia kehamilan 36 minggu, dokter mengatakan dalam beberapa minggu ia akan melahirkan. Sejak saat itu
Ethan berdiri terpaku di depan toko peralatan bayi seperti orang tersesat, matanya menyapu setiap sudut etalase yang dipenuhi berbagai barang berwarna-warni untuk kebutuhan bayi. Meski sudah membaca buku tentang kebutuhan bayi dan mencaritahu segalanya, ada perasaan aneh yang merayap dalam dirinya. Perasaan yang sulit ia definisikan—campuran antara keterkejutan, antusiasme, dan sedikit kegugupan, merasa seolah memasuki dunia yang benar-benar asing. Sekilas, ia melihat anak kecil yang sedang merengek dan meraung pada orang tuanya sambil menunjuk-nunjuk barang yang ada di etalase. Dulu pemandangan itu pasti membuatnya bergidik dan menjauh. Sekarang… ia tidak sabar untuk menghadapi situasi yang sama. Tanpa sadar sudut mulutnya terangkat. “Ethan?” Suara Dira menyadarkannya. Istrinya menatapnya dengan alis bertaut, mungkin heran melihatnya hanya berdiri di sana tanpa bergerak. Ethan mengangkat bahu, lalu meraih keranjang belanja. “Ayo masuk dan membeli semua yang dibutuhkan Dut-d
“Aku mencintaimu.” Kedua kelopak matanya terangkat, sebentuk senyum tipis terukir di wajahnya yang cantik. Ia mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan sepasang mata sebiru kristal yang paling ia sukai di dunia ini. “Kau bilang apa?” tanyanya serak, khas orang baru bangun tidur. Dira mengangkat sedikit kepalanya, menggunakan lengan Ethan sebagai bantal saat menunggu pria itu bersuara. Tentu saja ia mendengar apa yang dikatakan Ethan, ia hanya suka mendengar kata-kata itu keluar dari bibir suaminya. Ethan mendekat, menempelkan hidung mereka. “Aku mencintaimu, agape mou.” “Sekarang lebih mudah bagimu mengatakannya, ya ‘kan?” Ethan tertawa rendah. Memang, rasanya jauh lebih mudah mengatakannya sekarang. Setelah apa yang mereka lalui, rasanya penting mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Ketakutan itu masih ada, jauh bersembunyi dalam dirinya, tapi sekarang jauh lebih mudah menghadapinya setelah semua yang terjadi. Setelah menyadari bahwa cinta sungguh bisa memberikan kekuatan ya
Dira menyeringai, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada foto yang ada di dekat komputer suaminya. Foto pernikahan mereka—atau lebih tepat disebut pembaruan janji pernikahan. Mereka melakukannya di sebuah pulau kecil. Ia mengenakan gaun koktail sederhana sementara Ethan mengenakan celana selutut dan kemeja yang lengannya digulung sampai di atas siku. Benar-benar sederhana, tapi hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. “Aku suka foto itu,” komentarnya. Ethan mengikuti arah pandang istrinya. “Aku juga, terutama karena setelah itu aku membuatmu tidak mengenakan apa pun selama berhari-hari,” balasnya bangga, menunjukkan seringai nakalnya. Dira tertawa. “Kau membuat bikiniku rusak, sekalian saja tidak usah memakainya.” Ethan menarik lembut lengan istrinya dan membawanya duduk di atas pangkuannya. “Ethan! Menurutku kau tidak bisa melakukannya. Aku pasti sangat berat sekarang.” Ethan mengabaikannya. “Menurutmu, berapa peluang yang kudapatkan untuk membuatm
Dira berdiri di tengah ruang utama Flour & Figs sambil tersenyum tipis, matanya mengamati setiap sudut toko dengan seksama. Aroma kayu yang masih baru bercampur dengan wangi lembut vanilla dari lilin aroma terapi yang sengaja dinyalakan untuk memberikan kesan hangat. Dinding kaca besar di sisi kanan toko memberikan pemandangan langsung ke arah laut yang membentang luas, dengan ombak tenang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Rak-rak kayu yang dipasang di sepanjang dinding telah tertata rapi dengan toples berisi aneka kue kering dan roti. Meja-meja bundar kecil dan kursi anyaman ditempatkan di dekat jendela, menawarkan tempat duduk yang sempurna bagi pelanggan yang ingin menikmati kue dan minuman sambil menatap hamparan laut. Beberapa tanaman hijau dalam pot keramik tersebar di beberapa sudut, menambah nuansa alami dan menenangkan—konsep yang sejak dulu ia inginkan. Dira berjalan perlahan ke arah dapur, tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Kehamilann
Dira berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumah mereka sambil mengigit jarinya. Sudah dua jam berlalu, tapi sampai sekarang Ethan belum juga menghubunginya. Kenapa Ethan belum menghubunginya? Ia sudah mencoba menghubungi suaminya, tapi hasilnya nihil.Mungkin Ethan terlalu sibuk sampai tidak lupa waktu? Atau mungkin saja sinyal membuat sambungannya tidak terhubung.“Ma’am.”Sapaan itu hampir membuatnya melompat. Ia menghela napas, menatap pengurus rumahnya. “Ada apa, Marta?”“Ma’am ada Riko di depan pintu, katanya ingin menemui Anda. Ini mendesak.”Untuk apa sekretaris Ethan ingin menemuinya? Mengabaikan gemuruh yang berdentam dalam dadanya, Dira bergerak cepat untuk menemui pria itu. Riko berdiri di ujung pintu, tampak seperti orang tersesat. Wajahnya pucat dengan kedua tangan yang terlipat seperti orang yang sedang berdoa.Dira menarik kepalanya, berusaha melihat ke belakang pria itu, dan ia tidak melihat keberadaan Ethan.“Riko.”Pria itu membelalak, terkejut karena kehadirannya ya