Ethan mendongak, menatap Dira bingung. “Menolak? Apa maksudmu?” Dira berderap masuk, tampak marah dan juga kesal. “Kau tahu benar apa maksudku, Ethan, yang menjadi pertanyaannya adalah apa kau cukup berani untuk mengatakan yang sebenarnya.” “Dira…” “Kali ini aku tidak akan mundur. Katakan, kenapa kau menghindar. Apa karena aku sangat jelek? Aku sangat membosankan? Atau karena aku…” “Hentikan!” Dira berjengit saat Ethan membanting pena yang sedang dia pegang. Ketika tatapan mereka bertemu, ia melihat kemarahan di mata sebiru laut itu. dira membalas tatapannya. Dua orang bisa bermain dan ia tidak akan mundur sebelum mendapatkan jawabannya. Ethan akhirnya mendesah kalah. “Aku tidak akan menyentuhmu selama ingatanmu belum kembali.” Apa? Dira mengerjap beberapa kali, menatap Ethan seolah di kepalanya tumbuh tanduk. Ethan tidak akan menyentuhnya sampai ingatannya kembali? Dira berjalan mendekat dan melihat tatapan penuh peringatan pria itu, tapi Dira mengabaikannya. Ia mengi
Dira berdeham. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Aku belum pernah ke sini. Kau keberatan?” Alexa mengangguk kaku. “Ma’am, tugas saya menjaga Anda. Apa pun yang Anda lakukan tugas saya memastikan Anda aman.” Memangnya apa yang bahaya dari jalan-jalan? Tapi mendebatnya mungkin bukan tindakan yang bagus. Dewi batinnya dengan tegas menyetujui pemikirannya. “Aku perlu mengambil tasku. Setelah itu kita pergi.” Alexa mengangguk kaku. Kenapa wanita itu kaku sekali? Ia seperti bicara dengan robot. Mungkin ia harus membicarakan hal itu dengan Ethan? Dira mengintip lewat celah pintu kamarnya, menatap sikap sempurna dan kaku Alexa dengan gelengan kepala. Dan ia belum pernah melihat wanita itu tersenyum. Mungkin SOP melarang mereka tersenyum juga, pikirnya geli. *** Ruang rapat di lantai 32 gedung megah di Park Avenue terlihat sibuk dan tegang. Layar besar di ujung ruangan, grafik fluktuasi permintaan barang dan jasa dari eberbagai kawasan dunia terpampang jelas, berisi data tentang
“Bahkan mayatnya tidak akan kuizinkan mendekati Dira dari radius 100 kilo meter,” sahut Ethan dingin. “Jangan mencoba peruntunganmu Leo. Satu-satunya alasan kenapa aku tidak membunuhnya adalah karena kau menjamin dia tidak akan lepas dari pengawasanmu. Saat hal itu terjadi jangan salahkan aku jika aku melakukan apa yang selama ini sangat ingin kulakukan.” “Kau tahu dia sakit. Dia hanya—“ Ethan mengangkat satu tangannya dengan marah. Tatapan matanya berkilat-kilat. “Kalau kedatanganmu hanya untuk itu, sebaiknya kau pergi sekarang. Aku masih punya banyak pekerjaan.” Leo mendesah pasrah. Terlihat pergulatan di matanya, tapi Ethan tidak mempedulikannya. “Untuk seterusnya kuharap kita tidak akan pernah bertemu lagi. Sejujurnya, aku tidak mengharapkan pertemuan seperti ini di masa depan,” lanjut Ethan saat Leo tidak kunjung beranjak meninggalkan ruangannya. “Apa menurutmu ini tidak sulit untukku? Bisa kau bayangkan seperti apa rasanya saat menyadari istri yang selama ini kau cintai t
Dira terdiam sejenak, lalu menoleh dengan cepat. Di sana, tidak jauh dari tempatnya, berdiri Ethan, mengenakan mantel wol hitam yang membingkai tubuh tegapnya dengan sempurna. Ethan terlihat luar biasa tampan seperti biasanya. Mata biru itu sedang menatapnya dengan penuh kelembutan dengan senyum menghiasi bibirnya yang penuh. “Ethan!” seru Dira dengan suara melengking kegirangan. Ia langsung berlari untuk menghampirinya. Salju di bawah kakinya sedikit menyulitkan, tapi itu tidak menghentikan langkah riangnya. Tanpa berpikir dua kali, ia melompat ke arahnya, melingkarkan tangan di leher Ethan dan memeluknya erat. Ethan sedikit terhuyung, tapi ia berhasil menguasai diri dengan cepat. Ia membalas pelukan itu, menyelipkan senyum kecil di wajahnya. Dira membuat jarak agar bisa menatap Ethan tanpa melepaskan pelukannya. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Tentu saja menonton istriku membuat mahakaryanya,” balasnya geli. Dira tersipu malu. Ia melepaskan pelukannya. “Ini kali pertamaku memb
“Aku mendengar teriakan Ethan, dan aku juga melihat seseorang menyeringai. Ap-apa yang kulihat itu? Apa itu nyata?” tubuh Dira gemetar hebar usai ia menceritakan apa yang ia alami. Kebahagiaan yang beberapa saat lalu melingkupi mereka menguap dalam sekejap. Ethan yang melihatnya terdorong untuk memeluk istrinya, ingin memberikan rasa aman dan kata-kata menenangkan, tapi sekuat tenaga ia mencoba menahan diri. Sebagai gantinya, ia memasukkan tangannya yang terkepal ke dalam saku mantelnya. Mereka sudah berada di apartemen, tapi Ethan sungguh berharap mereka tidak ada di sini. Rasanya momen saat Dita tertawa lepas dengan penuh bahagia kini tertinggal jauh di belakang, seolah hal itu tidak pernah terjadi. “Kau mau tahu yang sebenarnya?” tanyanya pelan, menatap langsung mata Dira yang mengerjap ketakutan. Dira tidak menjawab, tapi Ethan tetap melanjutkan. “Kalau kau mau tahu yang sebenarnya,berhenti bersembunyi Dira. Hadapi ketakutanmu.” Dira mengerjap, menatap Ethan bingung. “Ap-apa m
Ethan duduk di ruang konsultasi dengan tangan terlipat di atas meja matanya yang tajam menatap wanita berjas putih di depannya. Ekspresi wajahnya mencerminkan kekhawatiran yang bercampur frustrasi. Ia baru saja menceritakan apa yang terjadi, tentang ingatan samar yang muncul, isak tangis Dira yang berakhir dengan pagi hari yang ceria seolah tidak terjadi apa-apa. Dokter Elizabeth, psikiater berpengalaman dengan wajah menenangkan menghela napas panjang sebelum bicara dengan suara tenang namun serius. “Apa yang dialami istri Anda adalah bagian dari respon alami otak terhadap trauma. Secara medis kami menyebutnya sebagai dissociative amnesia—otak memblokir atau menekan ingatan traumatis yang terlalu sulit untuk dihadapi. Dalam kasus Dira, memori samar dan kilasan yang muncul adalah fragmen dari pengalaman masa lalunya.” Ethan mengernyit. “Lalu kenapa dia melupakan kejadian semalam? Dia menangis histeris dan pagi ini dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.” Dokter Elizabeth mengan
“Apa itu?”Ethan yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya terkejut mendapati Dira yang ‘terlihat sibuk’ dan larut dalam dunianya sendiri. Biasanya Dira suka memasak dan menyetel musik sebagai bentuk kesenangan pribadi. Keheningan yang melingkupi apartemen mereka terasa aneh hingga Ethan mendapati istrinya tengah sibuk dengan sesuatu yang menjawab rasa penasarannya kenapa apartemen mereka tiba-tiba ‘diam’.Dira berbalik, dengan semangat menunjukkan tablet miliknya.“Aku membuat blog. Bagaimana menurutmu?”Ethan menatap blog yang baru dibuat istrinya. Ia mengernyit. “Kau membuat blog tentang “Talk To Me?” apa maksudnya ini?”Dengan lembut Dira mendorong Ethan untuk duduk di sofa, berhadapan dengannya.“Talk To Me adalah blog di mana orang-orang bisa menceritakan apa saja yang tidak bisa mereka ceritakan pada orang lain. Apa pun. Jika mereka menginginkan saran aku akan memberikannya—tentu saja pendapatku bukan secara profesional, jika mereka hanya membutuhkan pendengar yang baik dalam h
Saat Ethan membuka mata, cahaya pagi yang lembut masuk melalui tirai tipis di jendela kamar mereka, menciptakan semburat keemasan di setiap sudut ruangan. Ethan terbangun dengan perlahan, matanya yang masih setengah terpejam menyapu ruang kamar yang sunyi. Ethan menoleh ke samping, menatap wajah istrinya yang cantik terlelap di bantal. Ia tersenyum lembut, dengan hati-hati Ethan berbalik dan menyandarkan kepala pada tangan yang bertumpu di bantal, menatap Dira yang terlelap dalam tidur yang tenang. Bibirnya yang merah sewarna kelopak mawar sedikit terbuka, menggodanya hingga pada batas yang membuatnya nyeri. Ethan masih berbaring sambil menatap istrinya saat ponselnya bergetar. Dengan enggan Ethan meraih ponselnya. “Ethan di sini,” ucapnya, berusaha menahan kejengkelan. Suara COO, Marcus terdengar di ujung telepon. “Ethan, kita punya masalah besar. Kita kehilangan proyek SouthBay ke kompetitor. Tim legal dan aku sedang menginvestigasi, tapi menurutku ini lebih dari sekadar kesala
“Dahulu kala ada seorang pangeran yang tinggal di sebuah kastil mewah.” “Apa dia tampan Daddy?” Ethan menahan senyumnya. “Ya, dia tampan. Sangat tampan. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan istana yang sangat membosankan. Dia kesepian, tapi tidak seorang pun yang tahu perasaannya.” Leandra mengerjap-ngerjap dengan penuh rasa ingin tahu. “Lalu, apa yang terjadi, Daddy?” “Pria itu memutuskan untuk berpetualang. Dia pergi tanpa memberitahu siapapun. Melakukan perjalanan panjang melewati samudera, menikmati setiap detiknya, tapi pangeran itu tetap saja kesepian.” “Apa dia pulang?” Ethan menggeleng. Ia memperbaiki selimut putrinya. “Tidak, dia tidak pulang, glyko mou. Dia meneruskan perjalanan, tapi pangeran itu memutuskan untuk berhenti. Dia butuh istirahat.” Theo yang sejak tadi hanya menjadi pendengar akhirnya bersuara. “Lagi, Daddy.” Ethan mengelus rambut halus putri kecilnya. “Keajaiban terjadi saat pangeran itu melakukan kesembronoan. Dia membuang sampah sembarangan. Saat it
Lima tahun kemudian, Dira menatap putri kecil mereka Leandra sedang bermain pasir bersama ayahnya. Di samping keduanya, seorang bocah kecil berusia 4 tahun tampak diam mengamati. Mata cokelatnya yang tajam dan awas seperti sedang menilai setiap gerakan yang dilakukan oleh Kakak dan Ayahnya. Dira yang melihatnya merasakan dadanya membengkak oleh perasaan bahagia yang tak terungkapkan. Kebahagiannya, kini berada tepat di hadapannya, seperti sebuah potret abadi yang tak ternilai. Dira melilitkan pareo di sekitar pinggangnya sebelum akhirnya menghampiri keluarganya. Ketiganya begitu larut menikmati aktivitas membuat istana pasir hingga keberadaannya sama sekali tidak disadari. Dira ikut berjongkok, mencium puncak kepala Leandra dan Theo bergantian. Leandra yang memiliki warna mata persis seperti yang dimiliki oleh Ethan menatapnya berbinar. “Mommy! Lihat, kami berhasil membuat istana pasir.” “Oh iya! Siapa yang paling banyak berkontribusi?” Leandra menepuk dadanya dengan bangga. The
Ethan tertawa sebelum akhirnya menyuapkan saus itu ke mulutnya. Dira mencecap rasa creamy alpukat yang lembut, berpadu sempurna dengan sedikit perasan lemon. “Bagaimana?” tanya Ethan. “Kalau kau membutuhkan pekerjaan katakan saja. Toko rotiku pasti akan menemukan tempat untukmu.” Ethan menyeringai. “Mungkin aku akan mempertimbangkannya.” Lima belas menit kemudian pasta buatan Ethan sudah siap disantap. Dira dengan penuh semangat mulai melahap makanannya. Dira baru saja menyuap satu sendok ketika gelombang rasa panas menyambar tubuhnya. Bukan panas biasa, tetapi sensasi teramat kuat yang membuat sendok di tangannya terjatuh dengan bunyi cling yang nyaring. Gelombang nyeri menjalar dari punggung bawahnya, menusuk hingga ke perut. Ia meringis, tangannya mencengkeram tepi meja. “Ethan…” suaranya mulai goyah. Ethan langsung menghampirinya dengan wajah tegang. “Kenapa? Apa yang sakit, Angel?” Dira mencoba menarik napas dalam. “Mungkin cuma kontraksi palsu…” Namun, belum sempat ia me
Dira memejamkan mata, menikmati sapuan angin yang membelai kulit wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya selama beberapa kali dan dalam proses itu senyum sama sekali tidak pernah meninggalkan wajahnya. Ketenangan dengan cepat merasuk dalam dirinya. Sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang, membelai perutnya yang sudah membesar. Dira memiringkan kepalanya sedikit, memberi akses lebih mudah saat Ethan mendaratkan kepala di bahunya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Ethan lembut di telinganya. “Menikmati pemandangan. Kita jarang ke tempat ini padahal laut ini tepat di depan rumah,” desahnya lambat. Dira menundukkan pandangan, menatap tangan Ethan yang sekarang sedang mengelus-ngelus perutnya dari balik gaun tipisnya. “Aku tidak sabar menunggu kedatangan Dut-dut.” “Aku juga,” balas Dira, menyandarkan tubuhnya pada Ethan. Memasuki usia kehamilan 36 minggu, dokter mengatakan dalam beberapa minggu ia akan melahirkan. Sejak saat itu
Ethan berdiri terpaku di depan toko peralatan bayi seperti orang tersesat, matanya menyapu setiap sudut etalase yang dipenuhi berbagai barang berwarna-warni untuk kebutuhan bayi. Meski sudah membaca buku tentang kebutuhan bayi dan mencaritahu segalanya, ada perasaan aneh yang merayap dalam dirinya. Perasaan yang sulit ia definisikan—campuran antara keterkejutan, antusiasme, dan sedikit kegugupan, merasa seolah memasuki dunia yang benar-benar asing. Sekilas, ia melihat anak kecil yang sedang merengek dan meraung pada orang tuanya sambil menunjuk-nunjuk barang yang ada di etalase. Dulu pemandangan itu pasti membuatnya bergidik dan menjauh. Sekarang… ia tidak sabar untuk menghadapi situasi yang sama. Tanpa sadar sudut mulutnya terangkat. “Ethan?” Suara Dira menyadarkannya. Istrinya menatapnya dengan alis bertaut, mungkin heran melihatnya hanya berdiri di sana tanpa bergerak. Ethan mengangkat bahu, lalu meraih keranjang belanja. “Ayo masuk dan membeli semua yang dibutuhkan Dut-d
“Aku mencintaimu.” Kedua kelopak matanya terangkat, sebentuk senyum tipis terukir di wajahnya yang cantik. Ia mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan sepasang mata sebiru kristal yang paling ia sukai di dunia ini. “Kau bilang apa?” tanyanya serak, khas orang baru bangun tidur. Dira mengangkat sedikit kepalanya, menggunakan lengan Ethan sebagai bantal saat menunggu pria itu bersuara. Tentu saja ia mendengar apa yang dikatakan Ethan, ia hanya suka mendengar kata-kata itu keluar dari bibir suaminya. Ethan mendekat, menempelkan hidung mereka. “Aku mencintaimu, agape mou.” “Sekarang lebih mudah bagimu mengatakannya, ya ‘kan?” Ethan tertawa rendah. Memang, rasanya jauh lebih mudah mengatakannya sekarang. Setelah apa yang mereka lalui, rasanya penting mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Ketakutan itu masih ada, jauh bersembunyi dalam dirinya, tapi sekarang jauh lebih mudah menghadapinya setelah semua yang terjadi. Setelah menyadari bahwa cinta sungguh bisa memberikan kekuatan ya
Dira menyeringai, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada foto yang ada di dekat komputer suaminya. Foto pernikahan mereka—atau lebih tepat disebut pembaruan janji pernikahan. Mereka melakukannya di sebuah pulau kecil. Ia mengenakan gaun koktail sederhana sementara Ethan mengenakan celana selutut dan kemeja yang lengannya digulung sampai di atas siku. Benar-benar sederhana, tapi hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. “Aku suka foto itu,” komentarnya. Ethan mengikuti arah pandang istrinya. “Aku juga, terutama karena setelah itu aku membuatmu tidak mengenakan apa pun selama berhari-hari,” balasnya bangga, menunjukkan seringai nakalnya. Dira tertawa. “Kau membuat bikiniku rusak, sekalian saja tidak usah memakainya.” Ethan menarik lembut lengan istrinya dan membawanya duduk di atas pangkuannya. “Ethan! Menurutku kau tidak bisa melakukannya. Aku pasti sangat berat sekarang.” Ethan mengabaikannya. “Menurutmu, berapa peluang yang kudapatkan untuk membuatm
Dira berdiri di tengah ruang utama Flour & Figs sambil tersenyum tipis, matanya mengamati setiap sudut toko dengan seksama. Aroma kayu yang masih baru bercampur dengan wangi lembut vanilla dari lilin aroma terapi yang sengaja dinyalakan untuk memberikan kesan hangat. Dinding kaca besar di sisi kanan toko memberikan pemandangan langsung ke arah laut yang membentang luas, dengan ombak tenang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Rak-rak kayu yang dipasang di sepanjang dinding telah tertata rapi dengan toples berisi aneka kue kering dan roti. Meja-meja bundar kecil dan kursi anyaman ditempatkan di dekat jendela, menawarkan tempat duduk yang sempurna bagi pelanggan yang ingin menikmati kue dan minuman sambil menatap hamparan laut. Beberapa tanaman hijau dalam pot keramik tersebar di beberapa sudut, menambah nuansa alami dan menenangkan—konsep yang sejak dulu ia inginkan. Dira berjalan perlahan ke arah dapur, tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Kehamilann
Dira berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumah mereka sambil mengigit jarinya. Sudah dua jam berlalu, tapi sampai sekarang Ethan belum juga menghubunginya. Kenapa Ethan belum menghubunginya? Ia sudah mencoba menghubungi suaminya, tapi hasilnya nihil.Mungkin Ethan terlalu sibuk sampai tidak lupa waktu? Atau mungkin saja sinyal membuat sambungannya tidak terhubung.“Ma’am.”Sapaan itu hampir membuatnya melompat. Ia menghela napas, menatap pengurus rumahnya. “Ada apa, Marta?”“Ma’am ada Riko di depan pintu, katanya ingin menemui Anda. Ini mendesak.”Untuk apa sekretaris Ethan ingin menemuinya? Mengabaikan gemuruh yang berdentam dalam dadanya, Dira bergerak cepat untuk menemui pria itu. Riko berdiri di ujung pintu, tampak seperti orang tersesat. Wajahnya pucat dengan kedua tangan yang terlipat seperti orang yang sedang berdoa.Dira menarik kepalanya, berusaha melihat ke belakang pria itu, dan ia tidak melihat keberadaan Ethan.“Riko.”Pria itu membelalak, terkejut karena kehadirannya ya