Cahaya matahari pagi menyelinap masuk melalui celah tirai, membelai wajah Dira yang masih berselimut kehangatan. Ia mengedipkan mata, perlahan tersadar dari tidurnya, dan detik berikutnya, pandangannya jatuh pada sosok Ethan yang terlelap di sampingnya. Wajah pria itu tampak begitu damai—sesuatu yang jarang Dira lihat sebelumnya. Garis-garis tegas di wajahnya melunak, napasnya teratur, dan seakan-akan untuk pertama kalinya, Ethan benar-benar membiarkan dirinya beristirahat. Senyum kecil tersungging di bibir Dira. Ia menggeser tubuhnya perlahan, jari-jarinya tanpa sadar ingin menyusuri garis rahang Ethan, tapi tepat saat itu, suara getaran ponsel memecah keheningan. Dira melirik ke meja samping tempat tidur. Nama “Marcus” terpampang di layar. COO perusahaan Ethan. Dira melirik Ethan yang masih tertidur nyenyak, lalu setelah mempertimbangkannya selama beberapa detik, memutuskan untuk mengambil alih situasi. Ia meraih benda pipih itu dan menjawab panggilan. “Halo?” Ada jeda di ujung
“Ethan!”Ethan yang sibuk dengan pekerjaannya mendongak begitu mendengar suara istrinya. Kepala Dira muncul dari balik pintu, menatapnya dengan senyum yang menghangatkan.Ethan menatapnya dari balik kacamatanya. “Ada apa?”“Aku mau pergi.”Ethan tidak langsung menjawab. Nada yang digunakan Dira menggelitik rasa penasarannya. “Sendiri?”“Ya.” Tapi Dira tidak memandangnya saat menjawab pertanyaannya.“Kemarilah,” undangnya lembut.Dira menyipitkan mata, menatapnya penuh curiga. “Apa? apa kau akan membujukku untuk tetap tinggal? Aku tidak akan lama, Ethan, hanya sebentar.” Dira berjalan masuk, mengitari meja dan berdiri di hadapan Ethan.“Kenapa kau terlihat gugup? Apa kau menyembunyikan sesuatu?”“Kau, apa kau bisa membaca pikiranku atau apa?” tanyanya terkejut. “Kau ini menakutkan sekali.”Ethan menahan senyumnya. Itu kata-kata yang dulu selalu diucapkan Dira setiap kali ia mengatakan sesuatu yang mengejutkan wanita itu. Apa Dira benar-benar tidak sadar kalau wajahnya ekspresif? atau m
Kenapa Dira tidak mengangkat teleponnya? Ethan mulai merasakan kecemasan menyusup dalam dadanya. Ini tidak biasa. Dira selalu mengangkat teleponnya, kecuali terjadi sesuatu pada istrinya. Sekali lagi, ia berusaha menghubungi Dira, tapi hasilnya tetap nihil. Apa mungkin Dira masih bersama Marie?Ethan kembali menyentuh layar ponselnya, kali ini bukan untuk menghubungi Dira melainkan Marie. Sebelum ia sempat melakukannya terdengar suara pintu yang dibuka, membuat Ethan tertegun. Perlahan, sudut mulutnya terangkat ke atas. Ethan melempar ponselnya begitu saja dan bergegas keluar untuk melihat. Hanya satu orang yang bisa masuk ke kamar ini.“Dira,” serunya.Dira yang sedang melepas sepatunya mengangkat kepalanya untuk menatap Ethan. “Apa kau sudah makan?” tanyanya lembut. “Maaf, aku pasti pergi terlalu lama. Aku akan melihat—“Ethan menarik Dira ke pelukannya, mengejutkan wanita itu.“Ethan, apa yang terjadi?” Dira berusaha menarik diri, tapi pelukan Ethan semakin erat, menahan Dira teta
Saat roda pesawat menyentuh landasan di Corfu, Dira tidak bisa menahan senyum yang mengembang di wajahnya. Begitu ia melangkah keluar dari bandara bersama Ethan, aroma laut langsung menyergap hidungnya, membuat hatinya terasa ringan. Angin membawa serta wangi garam dan aroma khas pinus yang tumbuh di sepanjang pesisir, mengingatkannya pada rumah—tempat di mana hatinya merasa damai. Ethan menggenggam tangannya erat, mengajaknya berjalan menuju mobil yang sudah menunggu. Saat mereka melaju melewati jalanan berbatu khas pulau itu, Dira memejamkan mata sejenak, membiarkan angin lembut menerpa wajahnya. Ethan yang melihat bagaimana Dira begitu menikmati kepulangan mereka tidak bisa menyembunyikan senyum yang muncul di wajahnya. Ia mengamati wajah istrinya lekat, menatap setiap jengkal wajahnya seolah itu hal terakhir yang ingin ia lakukan. “Senang karena kita pulang?” komentarnya ringan. Dira membuka mata dan menoleh. Matanya berbinar seperti anak kecil. “Tentu. Tempat ini selalu menja
“Penampilanmu sudah rapi.” Dira menggerutu pelan. “Kau dan sekspertaismu perlu pengendalian yang kuat, Mister.” Ethan tertawa. “Dan kau mengeluhkan hal itu, Nyonya,” godanya. Dira melotot. “Kancing lagi dan jangan coba-coba untuk membuat pekerjaan itu semakin rumit,” ancamnya saat membelakangi Ethan, menunggu pria itu merapikan gaunnya. “Aku tidak percaya kita benar-benar melakukannya,” lanjutnya. Ethan terbahak. “Aku juga tidak. Aku belum pernah melakukannya sebelumnya.” “Aku justru khawatir kalau kau pernah melakukannya.” Dira mengedarkan pandangan, seketika menyadari jalanan yang mereka lewati bukan jalan yang biasanya mereka lalui saat pulang. Alih-alih menuju rumah mereka seperti biasanya, mobil yang mereka tumpangi justru berbelok ke jalanan pasir yang belum pernah mereka lalui. Dira mengernyit, melirik Ethan dengan raut penasaran. “Kita tidak pulang?” Ethan tersenyum misterius. “Bersabarlah, Angel.” Ucapan itu justru membuat kesabarannya menipis, tapi Dira berusaha me
Dira duduk di sofa empuk dengan tangan terkepal di pangkuan sementara sepasang visual tajamnya menatap lurus ke arah wanita yang duduk di hadapannya. Dr. Helena, terapisnya, tersenyum lembut padanya, berusaha menenangkannya sebelum mereka memulai sesi terapi pertamanya. “EMDR, atau Eye Movement Desensitization and Reprocessing, adalah metode yang digunakan untuk membantu otak memproses kembali ingatan yang mungkin tersimpan dalam bentuk yang tidak tuntas,” jelas Dr. Helena dengan suaranya yang tenang dan menenangkan. “Tujuan kita di sini bukan hanya untuk mengembalikan ingatanmu, tetapi juga memastikan bahwa ingatan itu tidak lagi membawa beban emosional yang menyakitkan.” Dira menarik napas dalam, mencoba memahami kata-kata itu. “Jadi… apa itu berarti aku akan mengingat semuanya?” Kepalan di tangannya semakin kuat. Ia harus mengingatnya. Bukan hanya untuk menyatukan kepingan dirinya yang tidak utuh, tapi untuk dirinya dan Ethan. Kalimat terakhir yang dikatakan suaminya membuatnya
“Dira,” suara Dr. Helena terdengar, tapi terasa jauh. “Kau bisa berhenti kapan saja jika ini terlalu berat.” Dira membuka mulutnya, ingin bicara, tapi yang keluar hanyalah gumaman samar. “Ada seseorang….” Matanya berkabut. Rasa takut menyelimuti sekujur tubuhnya. Dan sebelum ia menggali lebih dalam, gelombang kecemasan itu menjadi terlalu kuat. Seperti kaca yang pecah, ingatannya buyar. Dira menjerit tertahan dan merosot di kursinya, napasnya memburu. Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Dr. Helena segera mengulurkan tangan, suaranya tetap lembut, tenang. “Kita cukupkan untuk hari ini, Dira. Kau sudah melakukan yang terbaik.” Tapi Dira tidak merasa seperti itu. Karena kini ada kekosongan besar yang menganga dalam dirinya, dan sesuatu memberitahunya bahwa ingatan yang tersembunyi itu lebih menakutkan dari yang pernah ia bayangkan. Dira masih duduk di kursinya dengan tubuhnya yang gemetar. Tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, berusaha menenangkan diri dari badai emosional ya
“Sesi kita hari ini akan lebih dalam. Aku ingin kau tetap fokus pada apa pun yang muncul di benakmu. Biarkan perasaan itu datang, jangan ditolak, dan katakan padaku apa yang kau lihat dan rasakan.”Dira mengangguk. Ia sudah tahu prosesnya, tapi entah kenapa, perasaan gelisah itu tetap ada. Saat terapisnya mulai menggerakkan jarinya maju-mundur di depan wajahnya, Dira mengikutinya dengan tatapan, membiarkan pikirannya terbuka.Awalnya hanya kegelapan. Lalu samar-samar ia melihat pantai. Lalu, debur ombak, dan suara tawa. Ada seorang anak kecil, tapi wajahnya kabur. Anak itu berlari ke arahnya, melompat dengan gembira ke dalam pelukannya. Sangat bahagia. Sudut mulutnya terangkat ke atas.“Seorang anak…” suaranya nyaris tak terdengar. “Aku… melihat seorang anak.”Dr. Helena tetap tenang. “Ceritakan padaku, Dira.”“Aku tidak tahu… dia ada di sana, tapi aku tidak melihat wajahnya.”Dira meremas tangan di pangkuannya. Hatinya bergetar, ada sesuatu di benaknya yang berusaha menembus permukaa
“Dahulu kala ada seorang pangeran yang tinggal di sebuah kastil mewah.” “Apa dia tampan Daddy?” Ethan menahan senyumnya. “Ya, dia tampan. Sangat tampan. Hari-harinya dipenuhi dengan kegiatan istana yang sangat membosankan. Dia kesepian, tapi tidak seorang pun yang tahu perasaannya.” Leandra mengerjap-ngerjap dengan penuh rasa ingin tahu. “Lalu, apa yang terjadi, Daddy?” “Pria itu memutuskan untuk berpetualang. Dia pergi tanpa memberitahu siapapun. Melakukan perjalanan panjang melewati samudera, menikmati setiap detiknya, tapi pangeran itu tetap saja kesepian.” “Apa dia pulang?” Ethan menggeleng. Ia memperbaiki selimut putrinya. “Tidak, dia tidak pulang, glyko mou. Dia meneruskan perjalanan, tapi pangeran itu memutuskan untuk berhenti. Dia butuh istirahat.” Theo yang sejak tadi hanya menjadi pendengar akhirnya bersuara. “Lagi, Daddy.” Ethan mengelus rambut halus putri kecilnya. “Keajaiban terjadi saat pangeran itu melakukan kesembronoan. Dia membuang sampah sembarangan. Saat it
Lima tahun kemudian, Dira menatap putri kecil mereka Leandra sedang bermain pasir bersama ayahnya. Di samping keduanya, seorang bocah kecil berusia 4 tahun tampak diam mengamati. Mata cokelatnya yang tajam dan awas seperti sedang menilai setiap gerakan yang dilakukan oleh Kakak dan Ayahnya. Dira yang melihatnya merasakan dadanya membengkak oleh perasaan bahagia yang tak terungkapkan. Kebahagiannya, kini berada tepat di hadapannya, seperti sebuah potret abadi yang tak ternilai. Dira melilitkan pareo di sekitar pinggangnya sebelum akhirnya menghampiri keluarganya. Ketiganya begitu larut menikmati aktivitas membuat istana pasir hingga keberadaannya sama sekali tidak disadari. Dira ikut berjongkok, mencium puncak kepala Leandra dan Theo bergantian. Leandra yang memiliki warna mata persis seperti yang dimiliki oleh Ethan menatapnya berbinar. “Mommy! Lihat, kami berhasil membuat istana pasir.” “Oh iya! Siapa yang paling banyak berkontribusi?” Leandra menepuk dadanya dengan bangga. The
Ethan tertawa sebelum akhirnya menyuapkan saus itu ke mulutnya. Dira mencecap rasa creamy alpukat yang lembut, berpadu sempurna dengan sedikit perasan lemon. “Bagaimana?” tanya Ethan. “Kalau kau membutuhkan pekerjaan katakan saja. Toko rotiku pasti akan menemukan tempat untukmu.” Ethan menyeringai. “Mungkin aku akan mempertimbangkannya.” Lima belas menit kemudian pasta buatan Ethan sudah siap disantap. Dira dengan penuh semangat mulai melahap makanannya. Dira baru saja menyuap satu sendok ketika gelombang rasa panas menyambar tubuhnya. Bukan panas biasa, tetapi sensasi teramat kuat yang membuat sendok di tangannya terjatuh dengan bunyi cling yang nyaring. Gelombang nyeri menjalar dari punggung bawahnya, menusuk hingga ke perut. Ia meringis, tangannya mencengkeram tepi meja. “Ethan…” suaranya mulai goyah. Ethan langsung menghampirinya dengan wajah tegang. “Kenapa? Apa yang sakit, Angel?” Dira mencoba menarik napas dalam. “Mungkin cuma kontraksi palsu…” Namun, belum sempat ia me
Dira memejamkan mata, menikmati sapuan angin yang membelai kulit wajahnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Ia melakukannya selama beberapa kali dan dalam proses itu senyum sama sekali tidak pernah meninggalkan wajahnya. Ketenangan dengan cepat merasuk dalam dirinya. Sepasang lengan kokoh memeluknya dari belakang, membelai perutnya yang sudah membesar. Dira memiringkan kepalanya sedikit, memberi akses lebih mudah saat Ethan mendaratkan kepala di bahunya. “Apa yang kau lakukan?” tanya Ethan lembut di telinganya. “Menikmati pemandangan. Kita jarang ke tempat ini padahal laut ini tepat di depan rumah,” desahnya lambat. Dira menundukkan pandangan, menatap tangan Ethan yang sekarang sedang mengelus-ngelus perutnya dari balik gaun tipisnya. “Aku tidak sabar menunggu kedatangan Dut-dut.” “Aku juga,” balas Dira, menyandarkan tubuhnya pada Ethan. Memasuki usia kehamilan 36 minggu, dokter mengatakan dalam beberapa minggu ia akan melahirkan. Sejak saat itu
Ethan berdiri terpaku di depan toko peralatan bayi seperti orang tersesat, matanya menyapu setiap sudut etalase yang dipenuhi berbagai barang berwarna-warni untuk kebutuhan bayi. Meski sudah membaca buku tentang kebutuhan bayi dan mencaritahu segalanya, ada perasaan aneh yang merayap dalam dirinya. Perasaan yang sulit ia definisikan—campuran antara keterkejutan, antusiasme, dan sedikit kegugupan, merasa seolah memasuki dunia yang benar-benar asing. Sekilas, ia melihat anak kecil yang sedang merengek dan meraung pada orang tuanya sambil menunjuk-nunjuk barang yang ada di etalase. Dulu pemandangan itu pasti membuatnya bergidik dan menjauh. Sekarang… ia tidak sabar untuk menghadapi situasi yang sama. Tanpa sadar sudut mulutnya terangkat. “Ethan?” Suara Dira menyadarkannya. Istrinya menatapnya dengan alis bertaut, mungkin heran melihatnya hanya berdiri di sana tanpa bergerak. Ethan mengangkat bahu, lalu meraih keranjang belanja. “Ayo masuk dan membeli semua yang dibutuhkan Dut-d
“Aku mencintaimu.” Kedua kelopak matanya terangkat, sebentuk senyum tipis terukir di wajahnya yang cantik. Ia mengangkat kepala dan bertemu pandang dengan sepasang mata sebiru kristal yang paling ia sukai di dunia ini. “Kau bilang apa?” tanyanya serak, khas orang baru bangun tidur. Dira mengangkat sedikit kepalanya, menggunakan lengan Ethan sebagai bantal saat menunggu pria itu bersuara. Tentu saja ia mendengar apa yang dikatakan Ethan, ia hanya suka mendengar kata-kata itu keluar dari bibir suaminya. Ethan mendekat, menempelkan hidung mereka. “Aku mencintaimu, agape mou.” “Sekarang lebih mudah bagimu mengatakannya, ya ‘kan?” Ethan tertawa rendah. Memang, rasanya jauh lebih mudah mengatakannya sekarang. Setelah apa yang mereka lalui, rasanya penting mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Ketakutan itu masih ada, jauh bersembunyi dalam dirinya, tapi sekarang jauh lebih mudah menghadapinya setelah semua yang terjadi. Setelah menyadari bahwa cinta sungguh bisa memberikan kekuatan ya
Dira menyeringai, tanpa sengaja pandangannya tertuju pada foto yang ada di dekat komputer suaminya. Foto pernikahan mereka—atau lebih tepat disebut pembaruan janji pernikahan. Mereka melakukannya di sebuah pulau kecil. Ia mengenakan gaun koktail sederhana sementara Ethan mengenakan celana selutut dan kemeja yang lengannya digulung sampai di atas siku. Benar-benar sederhana, tapi hari itu menjadi salah satu hari paling membahagiakan dalam hidupnya. “Aku suka foto itu,” komentarnya. Ethan mengikuti arah pandang istrinya. “Aku juga, terutama karena setelah itu aku membuatmu tidak mengenakan apa pun selama berhari-hari,” balasnya bangga, menunjukkan seringai nakalnya. Dira tertawa. “Kau membuat bikiniku rusak, sekalian saja tidak usah memakainya.” Ethan menarik lembut lengan istrinya dan membawanya duduk di atas pangkuannya. “Ethan! Menurutku kau tidak bisa melakukannya. Aku pasti sangat berat sekarang.” Ethan mengabaikannya. “Menurutmu, berapa peluang yang kudapatkan untuk membuatm
Dira berdiri di tengah ruang utama Flour & Figs sambil tersenyum tipis, matanya mengamati setiap sudut toko dengan seksama. Aroma kayu yang masih baru bercampur dengan wangi lembut vanilla dari lilin aroma terapi yang sengaja dinyalakan untuk memberikan kesan hangat. Dinding kaca besar di sisi kanan toko memberikan pemandangan langsung ke arah laut yang membentang luas, dengan ombak tenang berkilauan di bawah sinar matahari sore. Rak-rak kayu yang dipasang di sepanjang dinding telah tertata rapi dengan toples berisi aneka kue kering dan roti. Meja-meja bundar kecil dan kursi anyaman ditempatkan di dekat jendela, menawarkan tempat duduk yang sempurna bagi pelanggan yang ingin menikmati kue dan minuman sambil menatap hamparan laut. Beberapa tanaman hijau dalam pot keramik tersebar di beberapa sudut, menambah nuansa alami dan menenangkan—konsep yang sejak dulu ia inginkan. Dira berjalan perlahan ke arah dapur, tangannya secara refleks menyentuh perutnya yang mulai membuncit. Kehamilann
Dira berjalan mondar-mandir di ruang tamu rumah mereka sambil mengigit jarinya. Sudah dua jam berlalu, tapi sampai sekarang Ethan belum juga menghubunginya. Kenapa Ethan belum menghubunginya? Ia sudah mencoba menghubungi suaminya, tapi hasilnya nihil.Mungkin Ethan terlalu sibuk sampai tidak lupa waktu? Atau mungkin saja sinyal membuat sambungannya tidak terhubung.“Ma’am.”Sapaan itu hampir membuatnya melompat. Ia menghela napas, menatap pengurus rumahnya. “Ada apa, Marta?”“Ma’am ada Riko di depan pintu, katanya ingin menemui Anda. Ini mendesak.”Untuk apa sekretaris Ethan ingin menemuinya? Mengabaikan gemuruh yang berdentam dalam dadanya, Dira bergerak cepat untuk menemui pria itu. Riko berdiri di ujung pintu, tampak seperti orang tersesat. Wajahnya pucat dengan kedua tangan yang terlipat seperti orang yang sedang berdoa.Dira menarik kepalanya, berusaha melihat ke belakang pria itu, dan ia tidak melihat keberadaan Ethan.“Riko.”Pria itu membelalak, terkejut karena kehadirannya ya