“Cepet sembuh gih, gak pantes lu kek gitu,” goda Harshad. Anya menoleh tajam, dia belum mau bercanda. Mendengar tawa ringan Harshad mengundang senyum tipis Anya.
“Sini gue kasih tahu.” Harshad kembali mendekati bangsal Anya.
“Lu baik-baik aja kan, Shad?” tanya Anya masih dalam pandangan sendu. Dia khawatir kalau Arnold sampai melukai Harshad juga. Karena Anya bukanlah satu-satunya orang yang Arnold incar, masih ada Harshad dan Bryan.
“Iya, udah lu tenang aja. Sekarang lu dengerin gue, ya,” ujar Harshad memandang dalam manik mata Anya.
***
“Baik, Tuan.” Danu segera pulang ke penthouse Harshad, tidak jadi berangkat ke rumah sakit.
Seorang penjaga membukakan pintu mobil untuk Danu. Sebelum Danu masuk mobil, dia sempat mengangguk menyapa tuan Cris yang sudah rela mengantarnya ke parkiran rahasia.
Anak buah tuan mudanya pasti sudah membereskan apapun yang membahayakan dirinya. Kar
Hari sudah berganti, semalaman Harshad, Bryan, dan Doni mengerjakan tugas mereka yang menumpuk beberapa hari. Dan sekarang, tiga orang tersebut masih terlelap di tempat mereka semalam. Seorang pelayan yang bertugas membersihkan ruang kerja terhenyak. Hanya Danu yang sudah berdiri sembari berbicara dengan dokter Irene. Bahkan tuan muda masih terbaring dengan manset jaketnya sebagai selimut. “Jangan ganggu mereka!” peringatan Danu. Pelayan dengan sigap menganggukkan kepala lalu pergi begitu saja dari depan ruang kerja. Danu mempersilahkan dokter Irene menjelaskan kondisi Anya. Mungkin nanti siang akan ada pemeriksaan keseluruhan untuk Anya. Dokter Irene khawatir kalau ada sesuatu yang tidak beres, mengingat pesan sedikit mencurigakan dari dokter yang menangani Anya. “Tapi, dok. Seingat saya dokter yang mengoperasi nona Anya tidak sama dengan yang menanganinya di ruang rawat,” jelas Danu. “Tidak masalah, memang sebelum saya menangani pasien, saya
“Please lah,,,,”Cuppp...Anya hendak meneruskan kalimatnya, tetapi sebuah kecupan lembut mendarat di keningnya. Dia hanya terpaku dan diam, menatap Harshad dengan perasaan yang entah dia sendiri tidak tahu.Jantungnya terpompa lebih cepat, kupu-kupu kecil di perutnya juga seolah sangat bahagia berterbangan bebas. Ada yang aneh, pipinya juga menghangat.“Jangan lupa istirahat, gue pergi dulu.” Harshad melambaikan tangannya dan melangkah keluar dengan tenang.“Enggak, gue ga boleh keliatan nikmatin,” hati Anya berbicara.“Awas kalo lupa bonekanya!” teriak Anya yang disambung dengan senyuman mematikan dari Harshad.Laki-laki itu sudah hilang dari pandangan mata Anya. Dia menyentuh dadanya yang bergemuruh panjang. Kebingungan dan banyak lagi yang dia rasakan sekarang. Perlahan Anya menyentuh keningnya, tepat di tempat Harshad mengecupnya tadi.Bibir hangat yang menggoda.
“Saya tahu, anak saya bersama anda, Tuan Muda,” ucap Jane menatap lurus ke mata Harshad. Bryan dan Doni terdiam di tempatnya sambil saling pandang.“Saya juga sudah mengatakan kalau saya hanya menolong anak anda dan tidak membawanya sampai sekarang,” jawab Harshad, berharap laki-laki di depannya ini menghentikan aksinya mencari Anya dari dirinya.Jane terlihat kesal, tangannya terkepal di atas pahanya. Namun wajahnya tetap terlihat tenang. Menoleh ke Bryan dan Doni hanya melihat dua orang itu.“Saya sudah peringatkan anda, Tuan Harshad. Anak saya bukanlah perempuan baik-baik, dan dia membawa kabur harta saya,” ucap Jane mengira Harshad akan memberikan Anya, “Dia sedang dalam pencarian polisi Indonesia, kalau anda membawanya berarti Anda juga termasuk dia,” tambah Jane sembari tersenyum licik.Harshad tak menjawab, dia hanya mengangkat alisnya pertanda setuju. “Pintunya ada di sebelah sana, Tuan.”
Sinar matahari menyapa netra laki-laki yang masih bergelung di bawah selimutnya. Merasa cahaya masuk, dia mengucek mata dan mulai bangun. Merenggangkan otot dan beranjak masuk kamar mandi. Baru saat melewati jam di dinding kamar mandi, dia mengetahui kalau dia sudah bangun terlambat.“Kok tumben, sepi.” Harshad membawa baju handuknya keluar kamar. Dan tak berselang lama, Danu berjalan menaiki tangga, berniat membangunkan Harshad.“Tuan Muda,” panggilnya.“Bryan belum ke sini?” tanya Harshad. Danu mengangguk dan berdiri di samping Harshad.“Sekretaris Bryan ada di kolam renang bawah, Tuan.”“Ngapain?”“Berenang, sembari menunggu anda bangun, Tuan.”"Ckck, pede banget," gumam Harshad.Alis Harshad bertaut. Biarlah, toh itu juga kebiasaan Bryan setiap kali sampai di rumah lama ini.“Mobil yang aku minta sudah kamu siapkan?” tanya Harsh
Harshad membawa sendiri mobil yang kemarin dia pesan pada Danu. Laki-laki yang bertugas menjaga keamanan Harshad itu membawakan mobil dari showroom perusahaan dan baru menyelesaikan urusan izin di kepolisian tadi malam. Harshad menemani Anya berkeliling di sekitar penthouse nya. Tadi pagi, Harshad sudah mendapatkan izin dari dokter Irene untuk mengajak Anya keluar. Anya sudah baik-baik saja, hanya belum terlalu kuat untuk berjalan jauh. Dan dengan tertawa Harshad menawarkan diri untuk menjaga Anya apapun yang terjadi. Itu adalah hal baru bagi dokter Irene. Sampai dokter Irene mengucapkan syukur berkali-kali. Setidaknya Harshad bisa sedikit demi sedikit melepaskan trauma di masa lalunya. Dokter Irene merasa kalau Anya adalah perempuan yang akan menyembuhkan Harshad di masa depan nanti. Harshad melirik Anya yang terus tersenyum semenjak keluar dari rumah. Dia sedikit bingung, tapi memilih diam. “Apa sih, Shad? Liat-liat?” tanya Anya menyadari tatapan Ha
“Iya, kita memang cocok dalam keadaan apapun,” balas Harshad yang sepertinya memahami pikiran otodidak Anya. Mata Anya membulat sempurna, menempelkan tangannya di depan mulut.“Waaahhhh, Jangan-jangan kamu punya indra ke-enam?” tebak Anya.“Ada, ke-tujuh sampe dua puluh juga ada, mau liat?” tawar Harshad. Lalu Anya mencebikkan bibirnya mendengar lelucon garing itu. Dia tahu, sebenarnya Harshad tidak dalam mood baik untuk bercanda.“Udah, sekarang cerita!” Harshad yang tadi masih tersenyum tipis, sekarang senyum itu lenyap sama sekali. Pandangannya lurus dan kosong.“Aku mewujudkan keinginan ayah untuk terakhir kalinya. Aku juga yang memeluknya sampai beliau benar-benar menutup mata untuk selamanya. Dan bahkan tidak ada seorang pun yang menemaniku atau setidaknya menjadi saksi untuk perlakuan kejam para pembunuh bayaran itu.” Harshad menghela nafas panjangnya.“Kejadian yang menjadi a
Mata Anya terbelalak, dia membuang pandangan dari Harshad. Menyentuh tengkuknya yang meremang. Sepandai-pandai tupai melompat pasti pernah jatuh, ternyata ungkapan itu adalah benarnya.Sudah beberapa tahun berlalu dan semua orang yang disuruh ayahnya mengawasi tidak ada yang paham atas perintah ayahnya. Hanya laki-laki konyol di depannya ini yang langsung benar menebak.“Iya, kan, Nya?” tanya Harshad memastikan sesuatu yang selama ini dia dan Bryan simpulkan.“Apaan sih, enggak! Elu tau dari mana juga?” bela Anya.Harshad menggelengkan kepala tak percaya, dia mengelus rambut Anya sembari berkata pelan. “Seenggaknya kalo lu cerita, gue bisa bantu kalo nanti ada apa-apa,” kata Harshad. Dia melihat Anya menyatukan tangan gusar.Cukup lama mereka terdiam, keheningan menyela mereka berdua hingga akhirnya Harshad angkat suara lagi.“Kemarin ayah lu ke perusahaan, dia cari elu. Awalnya gue nggak mau kasih t
“Iya, kakekku masih hidup. Tapi dia bersama ajudannya. Dia tidak mau tinggal bersama ibuku, dan sekarang kakekku dinyatakan meninggal.”“Emang kamu doang yang tahu kalau sebenarnya beliau masih hidup?”“Iya, dan juga cuma aku yang tahu beliau di mana. Tapi sekarang sudah nggak ada yang bisa dihubungi,” jawab Anya melepas pandangan jauh. Ekspresi sedihnya terlihat nyata.“Lalu sebenernya kamu sekolah di sini juga karena permintaan kakekmu?” tanya Harshad. Pikirannya menerawang jauh.Anya menoleh terkejut, alisnya bertaut erat. “Kok kamu tau?”“Bentar, ini cuman dugaan gue ya, Nya.” Harshad berkata, menjelaskan benang rumit yang bersarang di kepalanya. “Rencana awal kakek lu adalah menyelamatkan berkas itu setelah kematian Sekretaris nya. Lalu untuk mengalihkan perhatian Tuan Jane, beliau harus pergi agar seolah-olah menghindari Tuan Jane karena beliau membawa berkas itu?&r
Beberapa mobil berhenti bersamaan di depan rumah almarhum Tuan Enrique. Banyak laki-laki mengenakan pakaian hitam dengan pistol kecil di saku atau di balik baju mereka. Rumah bernuansa bangunan kuno tersebut langsung ramai dan membuat orang-orang yang ada di rumah itu kalang kabut. Mereka juga berteriak dan mengancam. Tiga orang masuk paksa ke rumah itu, walaupun sudah dikunci oleh pemiliknya. Arnold baru saja turun dari mobilnya karena anak buahnya sudah ada yang berhasil masuk ke rumah tersebut. “Bagaimana?” tanya Arnold. Orang kepercayaannya hanya menggeleng. Lalu Arnold berjalan ke beberapa orang yang sudah didudukkan sambil berlutut. “Ke mana Nyonya Pemilik Rumah?”“Tidak tahu, Tuan. Dia tidak memberi tahu kami. Dia hanya pamit mau keluar dan dia juga minta ke kami agar menjaga rumah ini selama dia pergi.” Jawab seorang laki-laki yang terlihat paling tua di antara semuanya. Arnold berusaha berpikir, apakah ada yang salah? Atau memang ini sudah direncanaka
Arose duduk sendiri di ruang meeting, menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya yang ada di ruang meeting. Dia sedang tidak ingin di ruangannya. Ada banyak hal yang bisa membuatnya menyesal di ruang itu, dan juga nanti ada meeting, sekalian dia menyiapkan diri untuk meeting. Sekretaris Frans sedang mengurus berkas di ruangannya, sejatinya, pergi ke perusahaan hanyalah sebuah alasannya agar tidak terlalu memikirkan masalah yang terjadi beberapa hari lalu. “Huftttttt, udah Arose, fokus. Kamu harus fokus, tidak hanya Harshad yang terluka di sini, tapi juga Helen dan Anya,” gumam Arose mengingatkan dirinya sendiri saat mulai merasa down. Karena ketika ingat tiga orang tadi, semangatnya kembali muncul, ide tentang permintaan maaf juga seolah sudah antri di benaknya. “Mom’s,” panggil Harshad yang masih di luar pintu kaca, melihat ibunya menoleh dia langsung masuk ke ruang meeting. “Makan siang yuk, Mom’s,” tambah Harshad. Tidak ada yang bisa dijelaskan dari pe
Air mancur di rumah Arnold terlihat lebih menyenangkan dari pada harus keluar rumah untuk bersenang-senang, itu bagi Arnold sendiri. Dia sedang memberi makan ikan-ikan yang dia pelihara di sana, anjing kecil kesayangan Arnold juga menemani di sekitar kakinya. Tak jauh dari air mancur, terlihat Gala sedang menikmati kopinya dengan camilan yang disediakan pelayan untuknya. Selama beberapa hari ini senyumnya tak hilang dari bibirnya. Arnold menoleh saat menyadari ada anak buahnya datang ke taman itu. Setidaknya ada empat orang yang menghampiri Arnold, dia berdiri setelah meletakkan kotak makanan ikan di pinggiran kolam ikan. Laki-laki yang mengenakan pakaian santai itu memastikan ayahnya tidak bisa mendengar percakapan mereka, tapi akhirnya dia tetap menyingkir dari taman. Dia beranjak pergi bersama dua anak buahnya, mencari tempat yang tidak bisa didengar ayahnya, sedangkan dua yang lain menemani Gala di kursi taman itu. “Ada apa?” tanya Arnold. Satu tangannya
Bryan hanya diam di depan layar laptopnya, masih seperti biasa, dia berusaha menemukan kejanggalan atau petunjuk dari video pendek yang telah Danu kirimkan ke dirinya. Dia tidak keluar dari kamar sejak sarapan tadi, Bryan merasa kalau dia bisa menemukan petunjuk untuk kasus pembunuhan tuan besarnya. Juga hasil yang mungkin bisa membuat Harshad melupakan trauma yang sempat dia alami. Drrrt.. Drrrt.. Ponselnya bergetar dengan nada dering khusus milik Harshad. Ternyata pewaris tunggal itu mengirim pesan sekaligus meminta izinnya. Harshad Gue ke kantor, kalo ada apa-apa kabarin aja. “Serah lu, gue mah mending di rumah, bodo amat sama elu,” jawab Bryan menggunakan voice note, dan pastinya itu dusta. Dia langsung menghubungi Sekretaris Frans, orang yang bisa memantau apa saja yang terjadi di kantor dengan aman. “Iya, Tuan Bryan,” jawab Frans setelah menerima panggilan dari Bryan. “Harshad mau ke kantor, Tuan.” “Iya, Tuan. Saya yang mengatur hal
Anya menyusul Harshad yang sedang bermain dengan alat gym di lantai bawah. Dia melewati beberapa pelayan dan penjaga yang berdiri berjajar di jalanan menuju ke ruang olahraga. Dua orang pelayan sampai mendongak melihat apa yang menggantung di punggung Anya. “Astaga,” bisik pelayan itu pada pelayan lainnya. Melihat baju Anya yang memang ada boneka menggantung di belakangnya. Membuatnya seperti menggendong boneka, padahal boneka tersebut menempel di baju Anya. Mereka terkikik pelan, tapi Anya tidak menyadari sama sekali. Ditambah lagi, warna baju itu seperti pelangi, juga Anya yang mengenakan kaos kaki berwarna senada dan rambut yang dikuncir tinggi. Para pelayan tersenyum gemas, mereka langsung bubar setelah Anya masuk ke ruang gym, Bi Isah yang baru datang melihat ke tempat Anya masuk, lalu mengikuti pelayan untuk menata sarapan. “Harshad,” panggil Anya langsung melingkarkan tangan di pinggang Harshad. Harshad menoleh dan mengamati baju Anya, tersenyum lalu menyent
“Selamat datang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” tanya perempuan itu. “Ahh, iya, Nyonya. Apa Anda adalah Nyonya Mia? Istri dari Tuan Enrique?” tanya Exel ganti.Mata perempuan tua itu terbelalak lebar, dia melambaikan tangannya pada beberapa orang yang ada di sana sebagai tanda mengusir mereka. Baru setelah beberapa orang itu pergi, perempuan yang bernama Mia itu mempersilahkan Exel duduk. “Anda siapa?” tanya Mia. Wajahnya benar-benar menunjukkan raut takut, tangannya juga saling meremas di pangkuannya. “Apa Anda juga salah satu orang yang akan menagih hutang suami saya?”“Hutang?” “Iya, Tuan. Suami saya meninggal dan meninggalkan beberapa hutang yang jumlahnya tidak sedikit. Dan saya harus membayar itu semua,” jawabnya. “Ohh, bukan, Nyonya. Saya hanya ingin tahu, apakah benar mobil itu pernah dinaiki oleh Tuan Enrique dan ditinggal di daerah pertambangan?” tanya Exel to the point. Mia lebih terkejut lagi, dia terdiam dan berusaha mengangguk.
Gelap, dingin dan sunyi. Anya berdiri di antara dua hal itu, dia menyadari kalau di tempat berdirinya sekarang ada banyak bunga yang bermekaran dan indah jika bisa dilihat dengan cahaya yang cukup. Namun sayangnya, di sini tidak ada cahaya sama sekali. “Tempat apa, ini?” tanya Anya pada dirinya sendiri. Kakinya terus melangkah untuk mencari pintu keluar atau apapun yang bisa dia gunakan untuk mencari cahaya. “Oh ya, ponsel. Mana ponsel gue?” masih bergumam untuk dirinya sendiri. Di mana dia? Kenapa dia bisa ada di sana? Apa yang terjadi padanya? Ada banyak pertanyaan berkeliling di kepala Anya, melihat dia yang mengenakan pakaian bermotif bunga-bunga, ia menghentikan langkah. “Gue harus inget, di mana gue sebelum ini?” gumamnya memegang kepala. Terdiam berusaha mengingat, dan sudah berada di tempat lain saat membuka mata. “Ini di mana?” gumam Anya. Dia hendak bangkit dari berbaring, dan dia menyadari ada tangan yang memegangnya. Cklek.
Mobil Alphard putih yang ditumpangi Harshad dan Anya berhenti tepat si depan pintu utama mansion Harshad. Beberapa penjaga langsung menata posisi berdiri di sekitar mobil untuk menyambut Harshad. Bi Isah tergopoh menghampiri Harshad yang keluar dari mobil dengan keadaan basah kuyup. “Den Harshad, apa yang terjadi?” tanya Bi Isah. Laki-laki yang mengenakan pakaian tebal berwarna khaki itu menoleh dan memenangkan Bi Isah. “Tidak apa-apa, Bi. Apa Dokter Arya sudah datang?” tanya Harshad. “Sudah, Den. Dokter Arya ada di kamar, kamu,” jawab Bi Isah. Di pintu lain, seorang penjaga membuka pintu dan berusaha membawa Anya keluar. “Heh, tunggu. Biar aku saja, jangan sentuh Anya,” kata Harshad memperingatkan. Dua orang penjaga tersebut langsung mundur dan meminta maaf pada Harshad. Tak banyak berkata lagi, Harshad menutupkan jaket di tubuh Anya, sehingga menutupi tubuh Anya seluruhnya. Membopongnya ke kamar Harshad, Bi Isah menyarankan agar Anya dirawat di lantai
Hujan deras masih terus mengguyur bumi sejak dia keluar dari rumah utama milik keluarga Harshad. Dia sudah melepaskan heels yang dibelikan oleh Ibu Harshad. Dia tak pernah berpikir akan ada kejadian seperti ini di dunianya. Air mata yang sudah lama tidak keluar kini menunjukkan wujudnya. Dia tidak tahu mengapa dia bisa langsung pergi dari rumah itu tanpa memikirkan ibunya, keselamatannya dan bagaimana nanti jika anak buah ayahnya menemukannya. Anya mendongak, menadahkan tangannya menyentuh air hujan. Apa Harshad tidak mencarinya? Kenapa sampai sekarang belum ada anak buah Harshad? Dia tidak membawa ponselnya, benda canggih itu tertinggal di kamar Harshad. Karena memang dia tidak membawanya saat makan malam. “Hhhhh, Ibu.” Anya terus berpikir tentang ibunya, bagaimana keadaan dan perasaan ibunya sekarang. Lappp.. Anya sedikit terkejut, lampu jalan menyala bersamaan. Menandakan hari sudah semakin malam. Dia meletakkan heels nya yang dari tadi dia pegang.