Fatma adalah istri yang baik, meskipun hidupnya sederhana ia sama sekali tidak mengeluh. Pernikahannya dengan Santoso sudah berjalan delapan tahun dan sampai sekarang mereka belum dikarunia anak. Kendati begitu, Santoso sama sekali tidak pernah menyudutkannya mengenai hal ini. Hal yang tentu saja sangat disyukuri Fatma karena memiliki suami sebaik dan sepengertian Santoso.
Kehadiran cincin emas itu tentu saja mencubit hati Fatma. Cincin itu bukan cincin kawin melainkan cincin yang baru saja dibeli. Sementara itu Fatma sendiri merasa bahwa Santoso selama ini tak pernah memakai cincin karena tidak suka mengenakannya tapi kenapa pagi ini Santoso berbeda? Apakah mungkin minat seseorang bisa berubah begitu saja?!Setelah menata semua menu makan siang di dalam wadah kesayangan Fatma, wanita berusia dua puluh delapan tahun itu tersenyum lebar. Sebentar lagi ia akan pergi ke pabrik kayu tempat suaminya bekerja dan mengantarkan makan siang. Hal yang tumben sekali dilakukan Fatma hanya demi mengorek aktifitas suaminya di pabrik."Aku akan mengantarkan makanan ini ke pabrik, kira-kira reaksi Mas Santoso seperti apa ya?!" Fatma bergumam lirih seraya menata rantang berisi nasi, lauk telur dadar dan juga sayur nangka muda kesayangan suaminya. "Pasti Mas Santoso terkejut, aku 'kan jarang nganterin makan siang ke pabrik."Fatma menoleh ke arah jam dinding yang tertempel rapi di atas pintu dapur, senyumnya lagi-lagi terkembang. "Sudah jam sebelas, aku harus segera ke pabrik."Wanita itu segera menyahut kerudung warna ungu yang ia sampirkan di kursi ruang makan lalu memakainya. Menenteng rantang berisi menu lengkap, Fatma bersiap untuk mengendarai sepeda onthel-nya menuju ke area pabrik yang jaraknya lumayan jauh.Perjalanan ke pabrik mengendarai onthel itu memakan waktu kurang lebih dua puluh menit. Meski letih, Fatma tidak pernah mengeluh ataupun mengutarakan rasa capeknya pada Santoso. Wanita itu ikhlas, ikhlas berbakti pada pria yang selama ini ia sayangi lahir dan batin.Wajah Fatma terlihat semringah ketika plakat kayu bertuliskan nama pabrik terlihat oleh pandang matanya. Ia mengayuh sepedanya lebih cepat agar segera sampai dan bisa menemui Santoso tepat waktu. Namun apa yang ia lihat benar-benar menggerus hati, Fatma menghentikan kayuhan kakinya dan terpana saat Santoso pergi keluar dari pabrik membonceng seorang wanita seksi yang wajahnya memang sangat-sangatlah cantik."Mas Santoso, siapa wanita itu Mas?!" Fatma bergumam lirih, ia mengusap peluhnya yang bercucuran sambil menatap sepeda motor matic milik suaminya yang berlalu begitu saja.Fatma menata napas, ia mencengkeram stang sepedanya dengan kecang. Hatinya hancur, itu sudah pasti tapi apakah ia akan menyerah begitu saja? Tidakkah ia penasaran dengan sosok wanita yang diboncengnya tersebut?!Wanita berkerudung ungu itu mengalihkan pandangannya ke dalam pabrik. Mungkin ia tidak tahu siapa wanita itu tapi mustahil jika teman-teman Santoso tidak tahu bukan?! Fatma mengangguk mantap, ia berniat untuk masuk dan menanyakannya pada satpam yang berjaga. "Aku harus tetap maju dan menanyakan perihal wanita itu. Mereka pasti tahu siapa wanita cantik itu?!"Dengan segala tekat yang ia punya, Fatma mengayuh sepedanya mendekat area satpam yang berjaga siang itu."Siang Pak Satpam, apa boleh saya bertemu dengan Pak Santoso?" Fatma berbasa-basi pada satpam yang berjaga di post tersebut setelah ia berhasil mendekat ke area pabrik.Satpam muda berwajah manis itu mendekati Fatma, ia pasti tidak tahu jika Fatma ini adalah istri Santoso. "Pak Santoso yang manager baru itu ya?!"Fatma hanya mengangguk, melukis senyum di wajahnya dengan penuh keterpaksaan."Pak Santoso baru saja keluar bersama Bu Wati, Bu. Ibu ini siapanya ya? Mungkin ada pesan yang bisa saya sampaikan kalau beliau kembali?""Ah, tidak usah Pak. Saya ini-saya ini...." Fatma tertatih, bingung harus menjawab apa hingga akhirnya ia mendapat ide. "Saya ini adiknya, kebetulan tadi cuma lewat saja dan ingin bertemu dengan beliau.""Oh begitu ya?! Beliau lagi keluar Bu.""Ya udah Pak, gak papa. Tapi Pak, boleh saya tahu siapa Bu Wati itu?" Fatma menyipitkan mata, mencoba mengorek siapa Wati sebenarnya. Telanjur basah ya sudah mandi sekali, bukankah begitu?!"Bu Wati itu atasan Pak Santoso Bu, tangan kanan pemilik pabrik kayu ini. Sebagai adik, masa Pak Santoso nggak cerita apapun sih sama ibu?!" Pak Satpam tersenyum kecut, merasa curiga karena wanita di depannya ini terlihat begitu polos dan tak tahu apa-apa. Si satpam mendekatkan wajah sambil sesekali celingukan. "Ssst... Saya dengar mereka akan menikah loh Bu, apa iya kabar sebesar ini sebagai keluarga ibu juga tidak tahu?"Wajah Fatma langsung memerah, matanya terbelalak tak percaya. Mas Santoso, ternyata kamu—"Bu, kok diam sih?! Bu....""I-iya Pak, maaf. Tentu saja Mas Santoso belum cerita, saya kaget dengernya." Fatma segera menguasai keadaan. Ia menggigit bibir dengan wajah ingin menangis, sejenak ia menatap pak satpam dengan wajah memohon. "Pak, jangan bilang saya ke sini ya?! Jujur, Pak Santoso itu tidak suka jika ada anggota keluarganya yang datang ke pabrik jadi... Tolong bantu saya ya?! Saya tidak ingin dimarahi kakak saya."Pak satpam menatap Fatma dengan curiga namun melihat lawan jenisnya hendak menangis, Pak Satpam berwajah manis dan masih muda itu merasa kasihan. "Iya Bu, saya tidak akan bicara tapi Ibu jangan menangis ya. Saya tahu ibu pasti terharu punya kakak kandung yang begitu hebat, udah jadi manajer eh sekarang malah mau nikah sama orang kaya tujuh turunan lagi. Bener-bener hebat Pak Santoso itu.""Kalo begitu saya balik dulu ya Pak. Terima kasih untuk infonya," ucap Fatma lalu berpamitan.Wanita itu menahan tangis, ia menghampiri sepeda onthel yang ia parkir sedikit jauh dari pos satpam lalu mengendarainya pergi.Tak terasa air mata Fatma menitik, ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Kini ia tahu jika cincin itu mungkin adalah cincin pemberian Wati untuk suaminya.Tak sanggup mengayuh sepeda lebih jauh lagi, Fatma menghentikan sepedanya di pinggir jembatan. Turun dari sepeda, ia memandang aliran sungai yang mengalir dengan tenang.Menghapus air mata yang membasahi pipi mulusnya, Fatma mulai menyadari sesuatu."Ternyata kesetiaanku selama ini hanya dibalas seperti ini olehmu Mas, aku tak percaya tapi ini adalah fakta. Mas, kamu tega!" Fatma bergumam lirih, ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Cukup! Cukup aku menangisimu hari ini Mas, cukup. Akan kubuktikan padamu Mas, bahwa aku layak jadi istri terbaik dan terpilih. Kamu akan menyesal Mas, menyesal karena sudah menelantarkanku. Kamu akan menyesal, Mas. Menyesal!"*****Sore itu Mas Santoso pulang tepat waktu seperti biasa. Tidak ada hal mencurigakan yang terlihat di wajah pria berusia tiga puluh lima tahunan itu. Melihat Fatma yang tengah menyirami bunga mawar di pot-pot koleksinya, Mas Santoso yang baru saja turun dari motor maticnya datang menghampiri dan mengecup kening istrinya."Sore Sayang, masak apa nih?! Mas udah lapar," ucap Mas Santoso dengan wajah berbinar seusai mengecup kening Fatma.Wanita itu masih diam, tubuhnya terlalu kaku untuk membalas tatapan suaminya tersebut. Dulu, sebelum ia melihat kejadian itu tepatnya tadi siang, ia selalu berbunga-bunga ketika melihat motor matic suaminya datang. Fatma juga akan menyambutnya dengan riang, meletakkan selang air dan memeluk suaminya dengan manja.Tapi kini—bahkan aroma minyak wangi Mas Santoso pun sudah bercampur dengan aroma minyak wangi lain yang Fatma yakini mungkin itu minyak wangi milik sang wanita simpanan."Kok diam sih?! Ada apa? Mas tanya loh," ucap Mas Santoso sambil menepuk pipi
"Ada apa Dek?" Santoso tiba-tiba menegur keberadaan Fatma yang berdiri di depan ponsel miliknya. Wajah pria itu menegang, ia berjalan mendekati Fatma seraya berkalung handuk dan bertelanjang dada. "Kamu buka-buka ponsel milik Mas?""Oh, enggak kok Mas. Tadi bunyi sih tapi belum sempat aku liat dari siapa?!" Fatma pura-pura tidak tahu, ia menoleh ke arah suaminya lalu tersenyum. "Ini mau aku buka.""Ah, nggak usah Dek. Palingan cuma spam dari tukang kredit ponsel yang suka nawarin kredit ponsel." Santoso datang, ia dengan buru-buru mengambil ponselnya lalu membawanya masuk ke dalam kamar. "Dek, kamu udah siapin kemeja buatku belum?""Belum Mas, aku siapin dulu ya?!" Fatma lalu berjalan menyusul suaminya ke dalam kamar. Wanita itu melirik sejenak ke arah suaminya yang nampak sibuk dan fokus pada pesan WhatsApp yang baru saja dikirim kepadanya.Wajah Fatma nampak kecewa, pikirannya terus saja berputar saat membaca pesan singkat yang katanya dari Pak Bambang tersebut. Saking tidak fokusny
"Mas, kakiku terkilir, ini sangat sakit. Tolong ya Mas, kamu pulang. Aduh... Aduh..." Layaknya bintang sinetron di FTV Fatma bersandiwara dibalik panggilan teleponnya.Dengan suara menahan sakit sambil sesekali merintih kesakitan, Fatma menirukan adegan orang yang tengah jatuh terpeleset. Tak sia-sia selama ini ia menonton serial FTV dimana ia bisa belajar untuk bersandiwara di depan laki-laki.Mendengar Fatma merintih kesakitan, wajah Santoso memucat. Pria itu memijit pelipisnya dengan gestur tubuh penuh dengan rasa resah. "Baik-baik, aku akan segera pulang. Kamu jangan bergerak ya, aku takut luka di kakimu jadi semakin parah.""I-iya Mas, aduh... Sakit banget Mas. Cepetan pulang Mas, aku nggak tahan ini. Aww...." Fatma pura-pura berteriak, memekik seolah-olah ia benar-benar terkilir malam itu."Iya, ini juga mau pulang. Kamu tutup teleponnya dan tunggu aku ya, oke aku tutup panggilannya sekarang." Santoso lalu mematikan panggilan tersebut, ia menatap ponselnya sejenak lantas mengali
Fatma terus menatap Santoso dengan bola mata menyorot tidak percaya. Pria yang tengah membaluri kakinya yang tidak apa-apa itu dengan balsem terlihat begitu perhatian dan juga lemah lembut. Sungguh tak percaya, dibalik wajahnya yang rupawan dan sikapnya yang polos serta baik hati, Santoso sanggup menghianati pernikahan mereka secara diam-diam.Melihat istrinya terus menatap aneh ke arah Santoso, pria berwajah tirus itu mengerutkan kening. Tangan kanannya berhenti mengoleskan balsem, ia menatap balik ke arah istrinya. "Sayang, ada apa? Kenapa menatap Mas seperti itu?"Fatma tersadar seketika. Wanita berparas biasa itu segera menggeleng dengan cepat dan mengulas senyum. "Tidak Mas. Makasih ya Mas sudah bantuin aku hari ini."Santoso tersenyum, ia kembali melanjutkan aktifitasnya membaluri kaki Fatma dengan balsem. Ia tidak tahu jika kaki yang sedari tadi ia baluri balsem sama sekali tidak sakit dan bisa berjalan dengan sehat."Itu sudah tugas Mas sebagai suami, Sayang." Santoso menjawab
"Sebentar lagi kamu akan tahu siapa saya, Nyonya Fatma." Wanita itu berbisik dengan lembut dan manis. Alih-alih merasa penasaran, Fatma justru merasa ngeri dengan wanita tersebut."Siapa tamunya Sayang?" Santoso akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruang makan, ia menyusul Fatma ke pintu utama dimana istrinya tengah berbincang dengan seseorang.Santoso terpaku sejenak saat melihat Wati berada di ambang pintu tengah tersenyum ke arahnya. Fatma bisa melihat senyum berbeda itu dari wajah wanita yang ada hadapannya lalu menoleh ke arah Santoso."Hallo Mas Santoso," sapa wanita itu dengan akrab, ia dengan berani melambaikan tangan ke arah Santoso.Sejenak wajah Santoso nampak gugup, ia terlihat tegang saat datang menghampiri Fatma dan juga Wati. "Ha-hallo Bu Wati, apa kabar?! Oh ya Fatma, perkenalan ini Bu Wati salah satu atasan Mas di kantor."Wati tersenyum sombong ke arah Fatma, ia mengulurkan tangan dengan anggun yang dibuat-buat. Fatma hanya diam, ia enggan untuk menyambutnya namun d
Wati menghentakkan kakinya di tanah, sungguh tak dapat dipercaya bahwa pria yang ia cintai justru lebih memilih bersama istri sahnya. Keadaan yang berbeda jauh dari angan-angan dimana Santoso sendiri sudah pernah berjanji akan selalu bersamanya dalam suka maupun duka.Membayangkan seringaian Fatma, wajah Wati rasanya terbakar. Ia ingin marah dan meluapkan semuanya.Menoleh ke arah rumah Santoso, kemarahan Wati masih berada di ubun-ubun. "Lihat saja Mas, kamu pasti akan menyesal karena sudah mengabaikanku."Wanita berpakaian lumayan seksi itu melangkah masuk ke dalam mobil. Sungguh tak terkira rasa hatinya sekarang, ledakan demi ledakan kini bergemuruh dalam dada.Memasuki ruang menyetir, Wati memakai sabuk pengaman. Bayangan Santoso dipeluk suaminya sendiri seolah terus menari di pelupuk mata. Wati menelan ludah dengan susah payah, rasa haus kini menyerang kerongkongannya."Haishh... " Napas Wati tampak memburu, ia memukul kemudi dengan kencang lalu menyugar rambutnya. "Kurang ajar se
"Telepon dari siapa Mas?" Fatma bertanya pada Santoso. Wanita berkulit bersih itu bisa membaca keresahan yang tergambar di wajah Santoso.Pria itu masih diam, bersungut tidak karuan. Duduk di kursi rias, ia menggaruk kulit kepalanya lalu meletakkan ponsel. "Ada klien yang memaksa untuk bertemu Sayang. Padahal aku sudah bilang kalo hari ini aku sedang cuti."Fatma hanya diam, meski demikian ia terus menelisik wajah itu hingga tanpa celah. Siapa bilang Fatma akan percaya setelah apa yang ia alami tadi malam. Tidak ada yang tahu juga siapa klien yang dimaksud Mas Santoso saat ini."Dia marah-marah katanya kalo nggak sama aku lebih baik kerjasamanya dibatalkan aja," ucap Santoso mengimbuhi. Ia melirik ke arah Fatma sejenak, membaca ekspresi yang terlihat di wajah istrinya."Tapi kamu kan udah bilang cuti Mas, ntar kalo nggak dibayar gimana? Sayang kan tenagamu Mas." Fatma mencoba mengulur waktu, ingin mendengar apa kira-kira alasan yang akan dilontarkan Mas Santoso setelah ini.Pria itu m
Siang ini tiada angin dan tiada hujan, Ratna—adik kandung Mas Santoso datang ke rumah. Fatma menyambutnya dengan begitu bahagia.Kebetulan sekali mereka belum pernah ketemu semenjak ibu meninggal tiga bulan yang lalu.Menuju ke dapur untuk membuatkan teh manis hangat, Fatma tidak lupa untuk menyambar toples Snack yang ia simpan di dalam lemari."Ah, Mbak Fatma nggak usah repot-repot dong. Aku tadi ke kecamatan terus pengen mampir ke sini," ucap Ratna di ruang tamu saat melihat kakak iparnya tengah membawa dua cangkir teh manis hangat dari dapur."Nggak kok, cuma air minum aja." Fatma tersenyum, ia menyajikan teh manis itu lengkap dengan camilan kacang telur buatannya."Wah, ini kacang telor kesukaanku Mbak." Ratna berbinar, ia meraih toples itu lalu membukanya dengan girang."Oh ya? Nanti bungkus bawa pulang ke rumah ya." Fatma tersenyum, ia lalu duduk di dekat Ratna. "Ayo diminum dulu teh manisnya.""Iya Mbak, makan kacang dulu." Ratna tanpa sungkan mengambil kacang telur lalu memaka
Setelah menyusun rencana untuk hari pernikahan selama sebulan lamanya, pernikahan Fatma dengan Arif akhirnya terlaksana juga. Atas keinginan Fatma, wanita itu menginginkan suasana pernikahan yang sederhana dan suci tanpa mengurangi kesakralan.Meskipun Arif mengusulkan acara pernikahan yang mewah, Fatma menolaknya secara halus. Bagi Fatma, ada baiknya jika uang itu ditabung saja untuk membeli beberapa asset ketimbang untuk pesta yang hanya berlangsung sekejap mata.Fatma dan Arif menyebar undangan hanya beberapa ratus lembar. Mereka hanya ingin mengundang sanak saudara, sahabat, dan juga beberapa tetangga dekat. Bagi mereka, kesederhanaan jauh lebih baik daripada kemewahan yang mengundang kebencian tak terlihat dari beberapa orang.Siang itu keluarga Pakdhe Suryo juga tengah bersiap untuk pergi ke acara pernikahan Fatma. Mereka turut diundang dalam acara pernikahan suci lagi sakral tersebut. Keluarga Pakdhe tetap menghargai Fatma meskipun sekarang sud
Fatma mengangguk begitu saja, entah kenapa ia merasa kasihan dengan keadaan Santoso yang saat ini begitu buruk dan memprihatinkan. Menoleh sejenak ke arah toko, Fatma menatap Mbak Lastri yang berdiri di ambang pintu. Dari tatapan itu, Fatma seolah meminta ijin atasannya untuk pergi mengobrol sejenak bersama sang mantan suami."Mas, apakah kamu sudah makan?" Fatma bertanya dengan pelan, ia menatap kasihan ke arah Santoso yang terlihat kosong dan tidak bertenaga.Pria itu menggeleng, hanya mampu menundukkan kepala dengan rasa bersalah yang kian membuncah.Fatma menarik napas, "Ayo pergi ke warung makan Mas, akan kubelikan kamu semangkok bakso panas."Wanita berhijab rapi itu melangkahkan kaki terlebih dahulu menuju ke warung makan yang terdapat di sebelah toko milik Mbak Lastri."Bu, semangkok bakso dan segelas teh manis hangat ya." Fatma memesan bakso pada sang penjual bakso yang sudah lama ia kenal semenjak kerja bersama Mbak Lastri.
"Mas Santoso?" Wati terkejut dengan kehadiran Santoso yang menurutnya begitu tiba-tiba. Wanita itu berniat untuk lari namun apa daya tangan Santoso yang kekar kini telanjur mencekal pergelangan tangannya. "Lepaskan tanganmu, Mas!""Tidak, aku tidak akan melakukannya sebelum kamu jelasin semuanya padaku," kekeh Santoso justru semakin erat dalam dalam mencengkeram."Mas, sakit Mas! Kamu gila apa?!" seru Wati sambil berontak dari tangan Santoso. "Hal apa lagi yang perlu dijelaskan? Semua sudah jelas Mas, kita sudah tidak memiliki hubungan sekarang.""Bukan itu," tandas Santoso dengan sigap. Mata pria itu membara merah seperti apa di pembakaran, dengan jiwa emosi yang ia punya kemarahan Santoso benar-benar meledak sekarang. "Jelaskan padaku, ada apa dengan diriku di kantor? Kamu sengaja kan jatuhkan aku di depan Mister Je supaya aku dipecat?"Wati terdiam beberapa detik, ia lantas terkekeh keras. "Mana aku tahu Mas, kuasa orang atas kamu tahu sen
Fatma terdiam, tatapannya fokus pada Arif yang tengah mengungkapkan perasaan terhadap dirinya. Entah apa yang ia rasakan sekarang, yang jelas ada perasaan haru dan hangat di dalam hatinya."Fat, kamu mengerti kan maksudku?" Arif menyadarkan lamunan Fatma sejenak, tampak wajah Arif sudah memerah menahan malu. Ia langsung menunduk dengan pikiran macam-macam. "Maaf, mungkin caraku melamar kamu terlihat kekanak-kanakan tapi aku sudah berusaha untuk mengatakan yang sebenarnya padamu. Seperti yang kamu tahu, aku terlalu tua untuk main lamar-lamaran menggunakan cara ini."Melihat ketulusan Arif, tanpa sadar bibir Fatma melengkung. Ia merasa lucu sekaligus kagum pada Arif. Sebagai seseorang yang pernah tinggal di sisi pria itu entah sebagai teman atau partner kerja, Fatma tidak menduga jika Arif akan melamarnya."Kenapa kamu tersenyum? Bener kan?! Caraku sepertinya salah dalam melamarmu," gusar Arif sambil menggigit bibir. Ia menunduk untuk menutupi kekesalan
"Santoso... Santoso, Pakdhe nggak habis pikir apa yang merasuki otakmu saat ini," ungkap Pakdhe Suryo sambil menggelengkan kepala. "Setelah kamu tersandung masalah, ujung-ujungnya kamu juga tetep sambat sama si orangtua ini. Mbok kamu sadar, kamu itu sudah diingatkan di lain hari tapi kamu masih saja tetep ngeyel. Sekarang, setelah semuanya telanjur, kamu kan yang jadi pihak sakit hati."Santoso hanya menunduk, penampilannya yang lusuh dan tidak terurus membuat Pakdhe Suryo merasa prihatin. "San, Pakdhe nasehatin kamu sampai ancam-ancam itu bukan karena Pakdhe syirik, Pakdhe benci, itu bukan. Pakdhe cuma pengen kamu tuh nggak salah jalan. Wati itu sedari awal Pakdhe lihat, ia sepertinya memiliki gelagat aneh. Pakdhe nggak suka San, nggak suka.""Sudahlah Pakdhe, jangan diomelin terus Mas Santoso-nya. Setidaknya dengan kejadian ini Mas Santoso sadar dan terbuka mata hatinya soal Wati." Ratna menengahi teguran Pakdhe Suryo.Sebagai adik, Ratna sendiri t
"Aku mohon, kembalilah kepadaku. Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakanmu lagi."Fatma terdiam. Ini bukan kali pertama Santoso memohon dirinya seperti ini. Dulu sewaktu ia kepergok dengan wanita itu, ia juga meminta hal yang sama kepada Fatma.Menarik napas panjang, Fatma melepas tautan tangan Santoso secara perlahan. "Tidak semudah itu Mas. Lukaku yang lama saja belum sembuh dan apa ini? Kau ingin kembali karena kau merasa tersakiti?!"Fatma menggeleng lalu menunduk, "Aku pernah tersakiti Mas tapi aku tidak pernah memintamu untuk kembali padaku."Santoso terbungkam, ia menunduk dengan wajah pasrah. Penampilannya yang buruk memang tidak pantas untuk diperhitungkan."Jika Wati menyakitimu, itu adalah resiko yang harus kamu tanggung karena kamu sudah memilih dia sebagai pasanganmu Mas. Peduliku apa? Tidak. Aku sama sekali tidak simpati dengan apa yang terjadi pada dirimu." Fatma menarik napas, ia menatap Santoso. "Hadapi semuanya Mas,
Wati diam cukup lama, jujur ia merasa syok dengan kehadiran Santoso yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya."Katakan padaku Wati, kenapa diam?!" Suara Santoso yang menggelegar menyadarkan lamunan Wati kala itu. Terhuyung mundur, Wati mencoba untuk menguasai dirinya yang sekarang sudah telanjur basah."Kalo iya memang kenapa?" Wati mendongakkan kepala, matanya menyorot tajam ke arah Santoso. "Apa yang kamu dengar itu adalah benar.""Kamu!" Santoso mengangkat tangan, siap menggampar wajah Wati namun urung sejenak saat sadar bahwa ia tetap tidak boleh memukul wanita dalam keadaan apa pun. "Kenapa kamu tega kepadaku?"Wati mengulas senyum tipis, ia lalu bersedekap. Seolah mendapatkan titik lemah Santoso, Wati mulai bersikap sok kuasa sekarang. "Kamu kira anak yang kukandung ini anakmu hah?! Jangan mimpi kamu Mas. Tunggu, kamu harus lihat hasil lab ini!"Wati lantas meraih tas tangan yang tergeletak di tengah ranjang. Membukanya
"Mbak Lastri jangan aneh-aneh ah," ujar Fatma terkekeh. Jujur saja, Fatma justru takut dengan perasaannya sendiri. "Mas Arif itu orang baik, jodohnya pasti orang baik juga. Saya nggak mau berharap banyak Mbak, cuma Allah yang tahu. Saya mah cuma orang yang banyak kekurangan."Mbak Lastri manggut-manggut, ia diam sejenak dan tampak berpikir. "Oh ya, gimana nasib mantan suamimu sekarang? Terakhir dapet kabar, katanya dia sudah resmi nikah ya?!"Fatma mengangguk, ia masih mencoba untuk makan sisa bakso yang ada di dalam mangkuknya. "Iya Mbak, udah nikah di gedung ternama. Sebuah kebahagiaan yang tentunya tidak pernah saya rasakan selama hidup dengan dia.""Yang sabar ya, orang kayak gitu mah nggak bakal awet bahagianya." Mbak Lastri mengusap lengan Fatma dengan penuh rasa peduli."Iya Mbak, terakhir aku malah mergoki si istri Mas Santoso tengah berselingkuh.""Hah? Kamu yakin?" Mata Mbak Lastri melebar, rasa antusiasnya tiba-tiba timbul
Seperti perintah Pakdhe Suryo, Ratna bergegas membuka tas selempang yang pakai dan mencari ponsel di dalamnya. Keadaan saat itu memang lagi genting, emosi Pakdhe yang meluap ditambah dengan keadaan rumah yang tidak sesuai, Ratna hanya berpikir semoga sama kakak laki-lakinya itu selamat dari amukan sang Pakdhe."Assalamualaikum, Mas Santoso." Ratna menyapa saudara laki-lakinya sambil sesekali melirik ke arah Pakdhe Suryo yang terus mengawasi. "Mas, kerja ya? Pakdhe mau ngobrol sebentar."Ratna dengan cepat memberikan ponselnya pada Pakdhe, ia menelan ludah. Dari wajah Pakdhe sendiri, sudah terlihat bagaimana kesalnya sang pakdhe akan kelakuan keponakannya."Assalamualaikum San, kamu dimana?" Suara Pakdhe langsung naik, ia berkacak pinggang dengan suara bernada marah. Tak peduli dengan beberapa orang yang lewat jalanan sambil menatap ke arah mereka dengan curiga."Wa'alaikum salam Pakdhe, saya masih kerja di pabrik. Ada apa?" Santoso yang sama