"Ada apa Dek?" Santoso tiba-tiba menegur keberadaan Fatma yang berdiri di depan ponsel miliknya. Wajah pria itu menegang, ia berjalan mendekati Fatma seraya berkalung handuk dan bertelanjang dada. "Kamu buka-buka ponsel milik Mas?"
"Oh, enggak kok Mas. Tadi bunyi sih tapi belum sempat aku liat dari siapa?!" Fatma pura-pura tidak tahu, ia menoleh ke arah suaminya lalu tersenyum. "Ini mau aku buka.""Ah, nggak usah Dek. Palingan cuma spam dari tukang kredit ponsel yang suka nawarin kredit ponsel." Santoso datang, ia dengan buru-buru mengambil ponselnya lalu membawanya masuk ke dalam kamar. "Dek, kamu udah siapin kemeja buatku belum?""Belum Mas, aku siapin dulu ya?!" Fatma lalu berjalan menyusul suaminya ke dalam kamar. Wanita itu melirik sejenak ke arah suaminya yang nampak sibuk dan fokus pada pesan W******p yang baru saja dikirim kepadanya.Wajah Fatma nampak kecewa, pikirannya terus saja berputar saat membaca pesan singkat yang katanya dari Pak Bambang tersebut. Saking tidak fokusnya, ia bahkan salah mengeluarkan baju, yang harusnya ia mengeluarkan kemeja putih jadi mengeluarkan kemeja kotak-kotak."Dek, kamu suruh aku pakai kemeja kotak-kotak ya?! Oh ya mana kaos dalamku? Celana dalam?" Santoso terheran-heran karena tidak dijumpainya dua benda penting tersebut diantara lipatan baju kemeja.Fatma menggigit bibir, ia yang baru saja menata kembali isi lemari merasa dirinya ceroboh. "Apa belum ada Mas? Maaf Mas, aku kurang teliti."Wanita itu lantas mengambilkan pesanan suaminya, kaos dalam dan juga celana dalam. Setelah mempersiapkan semuanya, Fatma hanya bisa berdiri di pojokan sambil menatap suaminya yang tengah berganti pakaian.Tubuh suaminya sangat bagus, meski tidak ikut Gym, otot pria itu terbentuk dengan sempurna. Kulit Mas Santoso juga berwarna putih bersih dan juga sehat, wanita mana pun yang melihat tubuh kekar itu sudah pasti akan tergoda dengan pesonanya.Melihat Fatma terus memandanginya seperti itu, Santoso terheran-heran. "Kenapa Dek? Kok lihat Mas kayak gitu sih?!"Fatma menghela napas, ia menarik senyum tipis. "Tubuh Mas bagus."Santoso yang mendapat pujian itu balik tersenyum lalu mendekat ke arah Fatma. Seolah tidak terjadi apa-apa, ia lalu menoleh pipi istrinya dengan gemas. "Kalo bagus kenapa memang? Mas ini kan milikmu. Jangan bilang kamu pengen minta jatah hari ini?!"Wajah Fatma memerah, ia lalu menunduk dengan wajah malu. Rasa sakit yang ia rasakan sejenak lenyap dari permukaan. "Mas kok bilang gitu sih?!""Kamu kan kalo pengen jatah suka puji-puji Mas, hayo ngaku saja kamu." Santoso berkata pelan, ia lalu memeluk Fatma dengan erat.Aroma sabun mandi itu tercium di Indra penciuman Fatma, sesak rasanya ketika ingat kembali jika pria itu akan pergi menemui seorang perempuan yang bernama Pak Bambang di ponselnya."Mas, gak usah pergi ya. Kamu di rumah saja temani aku," rengek Fatma di pelukan Santoso. Pria itu mengerutkan kening, ia melepas pelukannya pada sang istri."Kenapa Dek? Kamu pengen sekarang?"Fatma menggeleng cepat, ia menunduk. "Aku pengen Mas temani aja. Malam ini nggak usah pergi ya?!"Santoso menarik napas, ia tersenyum tipis lalu mengangkat dagu istrinya. "Nggak bisa Sayang, rapat ini penting sekali. Kalo bisnisnya gagal, nanti yang rugi siapa?! Mas juga udah janji kan mau beliin cincin buat Adek pas gajian nanti?!""Tapi Mas—""Ih, Dek Fatma rewel banget sih?! Kayaknya memang perlu dikasih jatah lebih awal nih." Santoso menyeletuk, tanpa pikir panjang ia lantas mengendong Fatma dengan tiba-tiba hingga wanita itu nyaris berteriak.Sore menjelang malam itu, pergulatan keduanya akhirnya terjadi. Santoso menghibur Fatma yang kesepian dengan segenap keperkasaan yang ia punya. Memberikan jatah batin yang harusnya ia berikan nanti malam. Ya, Santoso tahu bahwa Fatma tidak akan mungkin menolak keinginannya untuk memanjakannya bukan?!Sebelum bertemu dengan wanita lain, mungkin akan lebih baik memuaskan Fatma hingga wanita itu tidak lagi berkutik dan tidak merengek lagi. Bukan begitu?!**"Mas, kenapa telat?" Wanita itu merengut ketika melihat Santoso tengah berlari ke arahnya. Ia melipat tangan di dada, sedikit bete karena pria yang ia tunggu telat tiga puluh menit dari yang sudah direncanakan.Santoso menata napas, ia duduk di hadapan wanita itu lalu menyodorkan bunga mawar ke arahnya. "Nih buat wanita tersayang Mas Santoso. Jangan ngambek lagi ya?!"Wati masih merengut namun ia tidak menolak ketika bunga itu disodorkan kepadanya. "Istrimu ribet ya?!""Iya, nurutin Fatma minta jatah duluan. Ya udah deh aku mandi lagi tadi, maaf ya Sayang telat dikit nggak papa kan?!" Santoso tersenyum manis, gigi gingsulnya yang menggoda terlihat makin manis."Ih, kamu jahat Mas?! Giliran sama Fatma aja kamu nggak bisa nolak. Lalu sama aku kapan Mas? Pokoknya malam ini kamu temenin aku hingga puas, aku nggak mau kalah sama Si Fatma." Wati mendengkus kesal, ia merengek dengan manja seraya memegangi lengan Santoso."Iya sayang ,iya. Malam ini Mas akan puasin kamu sampai klepek-klepek ya."Wati tersenyum semringah, ia menganggukkan kepala dengan bayangan indah yang menyelimuti otaknya.Setelah adegan ngambek itu, Wati lantas memesan menu hidangan untuk makan malam berdua. Cukup mewah dan nikmat, tidak seperti yang sering dihidangkan oleh Fatma di rumah."Mas, kapan kamu mau nikahin aku?! Tinggalkan saja si Fatma itu, kalau kamu nikah sama aku, aku jamin Mas hidup kamu bakal bahagia tujuh turunan." Wati memulai percakapan lagi setelah berhasil memesan menu bebek panggang, steak daging sapi, dan menu mewah lainnya.Santoso tersenyum, ia lalu menyentuh tangan Wati dengan lembut. "Kita nggak boleh gegabah Sayang. Menceraikan Fatma itu tidak mudah, ada beberapa harta warisan dari pihak dia yang aku gunakan untuk modal bekerja. Jika aku langsung menceraikannya, aku takut pihak keluarganya tidak terima.""Kenapa harus takut Mas, ceraikan saja. Kamu lupa ya kamu tuh mau nikah sama siapa sekarang?! Aku bisa kok kembalikan harta dia utuh asal kamu mau jadi suami aku." Wati menatap Santoso tajam, ia terus mendesak pria itu agar mau menikahinya."Kamu yang sabar ya Sayang, kita harus menjalaninya dengan perlahan. Semua ini nggak bisa langsung begitu aja," hibur Santoso dengan manis, ia menyentuh pipi Wati dengan belaian lembut."Nggak ah, pokoknya aku mau kamu jadi milikku seutuhnya Mas. Aku nggak mau berbagi burung perkutut sama Fatma," jawab Wati dengan kesal, ia memalingkan muka dengan manja.Santoso terkekeh, ia mengusap tengkuknya dengan wajah salah tingkah. Melihat hal itu, Wati meliriknya sekejap dengan kesal. "Kok malah ketawa sih?! Kamu waras kan Mas?!""Kamu sih aneh?! Kenapa harus nyangkut-nyangkut ke burung perkutut segala?!" Santoso tak mampu menahan wajah lucu sekaligus bangga. Ya, semenjak kejadian kecil di toilet perempuan kala itu bersama Wati, wanita yang duduk di hadapannya ini ketagihan dengan keperkasaan yang ia punya. Tak jarang Wati sering membawanya keluar, mampir ke hotel, dan menikmati burung kebanggaannya tersebut."Ya iya lah Mas, aku udah cinta mati sama burung perkututmu itu. Aku nggak mau bagi-bagi lagi sama Fatma, apa kamu nggak suka sama punyaku Mas? Apa punyaku kurang enak hingga kamu nggak mau pisah sama dia?""Wati Sayang, kamu kok ngomong gitu sih?!" Santoso kembali membelai wajah Wati dengan lembut. "Tentu dong enakan punya kamu. Kalau nggak enak mana mungkin aku mau servis kamu tak kenal waktu kagak gini.""Alah, kamu memang manis Mas. Kamu cuma mau nenangin aku kan?!" Wati mendengkus, ia memalingkan wajah meskipun senyum-senyum sendiri."Beneran sumpah, aku nggak bohong kok. Apa perlu Mas servis kamu lagi malam ini? Kan tadi siang udahan di mobil kamu." Santoso menggoda, ia mencubit pipi Wati dengan tatapan genit."Ah, Mas... bisa aja sih kamu!" Wati kini gantian menepuk-nepuk pipi Santoso dengan gemas. "Pokoknya malam ini kamu harus bikin aku lemes Mas."Sementara itu di pintu luar hotel seorang wanita memperhatikan dengan hati hancur, tangisnya tertahan. Tangan Fatma menggenggam erat, ia merasa dibohongi oleh Santoso luar maupun dalam.Ingin rasanya ia datang dan melabrak namun apakah itu perlu? Jika perselingkuhan ini terbongkar, Santoso pasti akan melanjutkan aksinya untuk menceraikan dirinya. Sementara ini, Fatma sama sekali tidak ingin diceraikan bahkan kalo bisa ia sendiri yang akan menceraikan Santoso tanpa harus melukai harga dirinya."Mas, ternyata kamu main belakang sama aku. Lihat saja Mas, aku tidak akan membuat hidupmu tenang." Fatma berkata dalam hati.Wanita itu menghapus air mata yang jatuh membasahi pipi, ia merogoh saku rok panjang yang ia pakai. Menekan nomor telepon suaminya, Fatma berencana untuk menggagalkan kencan suaminya."Hallo Fatma, ada apa? Aku tengah meeting, kenapa sih kamu malah—""Mas, aku terpeleset di kamar mandi. Tolong Mas, kamu pulang ya, kakiku—kakiku terkilir. Mas, kamu pulang ya?!"***"Mas, kakiku terkilir, ini sangat sakit. Tolong ya Mas, kamu pulang. Aduh... Aduh..." Layaknya bintang sinetron di FTV Fatma bersandiwara dibalik panggilan teleponnya.Dengan suara menahan sakit sambil sesekali merintih kesakitan, Fatma menirukan adegan orang yang tengah jatuh terpeleset. Tak sia-sia selama ini ia menonton serial FTV dimana ia bisa belajar untuk bersandiwara di depan laki-laki.Mendengar Fatma merintih kesakitan, wajah Santoso memucat. Pria itu memijit pelipisnya dengan gestur tubuh penuh dengan rasa resah. "Baik-baik, aku akan segera pulang. Kamu jangan bergerak ya, aku takut luka di kakimu jadi semakin parah.""I-iya Mas, aduh... Sakit banget Mas. Cepetan pulang Mas, aku nggak tahan ini. Aww...." Fatma pura-pura berteriak, memekik seolah-olah ia benar-benar terkilir malam itu."Iya, ini juga mau pulang. Kamu tutup teleponnya dan tunggu aku ya, oke aku tutup panggilannya sekarang." Santoso lalu mematikan panggilan tersebut, ia menatap ponselnya sejenak lantas mengali
Fatma terus menatap Santoso dengan bola mata menyorot tidak percaya. Pria yang tengah membaluri kakinya yang tidak apa-apa itu dengan balsem terlihat begitu perhatian dan juga lemah lembut. Sungguh tak percaya, dibalik wajahnya yang rupawan dan sikapnya yang polos serta baik hati, Santoso sanggup menghianati pernikahan mereka secara diam-diam.Melihat istrinya terus menatap aneh ke arah Santoso, pria berwajah tirus itu mengerutkan kening. Tangan kanannya berhenti mengoleskan balsem, ia menatap balik ke arah istrinya. "Sayang, ada apa? Kenapa menatap Mas seperti itu?"Fatma tersadar seketika. Wanita berparas biasa itu segera menggeleng dengan cepat dan mengulas senyum. "Tidak Mas. Makasih ya Mas sudah bantuin aku hari ini."Santoso tersenyum, ia kembali melanjutkan aktifitasnya membaluri kaki Fatma dengan balsem. Ia tidak tahu jika kaki yang sedari tadi ia baluri balsem sama sekali tidak sakit dan bisa berjalan dengan sehat."Itu sudah tugas Mas sebagai suami, Sayang." Santoso menjawab
"Sebentar lagi kamu akan tahu siapa saya, Nyonya Fatma." Wanita itu berbisik dengan lembut dan manis. Alih-alih merasa penasaran, Fatma justru merasa ngeri dengan wanita tersebut."Siapa tamunya Sayang?" Santoso akhirnya memutuskan untuk keluar dari ruang makan, ia menyusul Fatma ke pintu utama dimana istrinya tengah berbincang dengan seseorang.Santoso terpaku sejenak saat melihat Wati berada di ambang pintu tengah tersenyum ke arahnya. Fatma bisa melihat senyum berbeda itu dari wajah wanita yang ada hadapannya lalu menoleh ke arah Santoso."Hallo Mas Santoso," sapa wanita itu dengan akrab, ia dengan berani melambaikan tangan ke arah Santoso.Sejenak wajah Santoso nampak gugup, ia terlihat tegang saat datang menghampiri Fatma dan juga Wati. "Ha-hallo Bu Wati, apa kabar?! Oh ya Fatma, perkenalan ini Bu Wati salah satu atasan Mas di kantor."Wati tersenyum sombong ke arah Fatma, ia mengulurkan tangan dengan anggun yang dibuat-buat. Fatma hanya diam, ia enggan untuk menyambutnya namun d
Wati menghentakkan kakinya di tanah, sungguh tak dapat dipercaya bahwa pria yang ia cintai justru lebih memilih bersama istri sahnya. Keadaan yang berbeda jauh dari angan-angan dimana Santoso sendiri sudah pernah berjanji akan selalu bersamanya dalam suka maupun duka.Membayangkan seringaian Fatma, wajah Wati rasanya terbakar. Ia ingin marah dan meluapkan semuanya.Menoleh ke arah rumah Santoso, kemarahan Wati masih berada di ubun-ubun. "Lihat saja Mas, kamu pasti akan menyesal karena sudah mengabaikanku."Wanita berpakaian lumayan seksi itu melangkah masuk ke dalam mobil. Sungguh tak terkira rasa hatinya sekarang, ledakan demi ledakan kini bergemuruh dalam dada.Memasuki ruang menyetir, Wati memakai sabuk pengaman. Bayangan Santoso dipeluk suaminya sendiri seolah terus menari di pelupuk mata. Wati menelan ludah dengan susah payah, rasa haus kini menyerang kerongkongannya."Haishh... " Napas Wati tampak memburu, ia memukul kemudi dengan kencang lalu menyugar rambutnya. "Kurang ajar se
"Telepon dari siapa Mas?" Fatma bertanya pada Santoso. Wanita berkulit bersih itu bisa membaca keresahan yang tergambar di wajah Santoso.Pria itu masih diam, bersungut tidak karuan. Duduk di kursi rias, ia menggaruk kulit kepalanya lalu meletakkan ponsel. "Ada klien yang memaksa untuk bertemu Sayang. Padahal aku sudah bilang kalo hari ini aku sedang cuti."Fatma hanya diam, meski demikian ia terus menelisik wajah itu hingga tanpa celah. Siapa bilang Fatma akan percaya setelah apa yang ia alami tadi malam. Tidak ada yang tahu juga siapa klien yang dimaksud Mas Santoso saat ini."Dia marah-marah katanya kalo nggak sama aku lebih baik kerjasamanya dibatalkan aja," ucap Santoso mengimbuhi. Ia melirik ke arah Fatma sejenak, membaca ekspresi yang terlihat di wajah istrinya."Tapi kamu kan udah bilang cuti Mas, ntar kalo nggak dibayar gimana? Sayang kan tenagamu Mas." Fatma mencoba mengulur waktu, ingin mendengar apa kira-kira alasan yang akan dilontarkan Mas Santoso setelah ini.Pria itu m
Siang ini tiada angin dan tiada hujan, Ratna—adik kandung Mas Santoso datang ke rumah. Fatma menyambutnya dengan begitu bahagia.Kebetulan sekali mereka belum pernah ketemu semenjak ibu meninggal tiga bulan yang lalu.Menuju ke dapur untuk membuatkan teh manis hangat, Fatma tidak lupa untuk menyambar toples Snack yang ia simpan di dalam lemari."Ah, Mbak Fatma nggak usah repot-repot dong. Aku tadi ke kecamatan terus pengen mampir ke sini," ucap Ratna di ruang tamu saat melihat kakak iparnya tengah membawa dua cangkir teh manis hangat dari dapur."Nggak kok, cuma air minum aja." Fatma tersenyum, ia menyajikan teh manis itu lengkap dengan camilan kacang telur buatannya."Wah, ini kacang telor kesukaanku Mbak." Ratna berbinar, ia meraih toples itu lalu membukanya dengan girang."Oh ya? Nanti bungkus bawa pulang ke rumah ya." Fatma tersenyum, ia lalu duduk di dekat Ratna. "Ayo diminum dulu teh manisnya.""Iya Mbak, makan kacang dulu." Ratna tanpa sungkan mengambil kacang telur lalu memaka
"Dek, kamu bicara apa sih Dek?!" Santoso mengatasi rasa gugup yang kini menyerang hatinya. Kedua tangannya mengepal erat, mencoba menetralkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi bilamana Fatma bertanya lebih jauh lagi."Aku tanya Mas, siapa Pak Bambang ini? Kenapa, kenapa aku merasa kalian itu berbeda satu sama lain.""Ah, itu hanya perasaanmu saja Dek." Santoso lalu mengambil ponsel itu dari tangan Fatma. "Kamu tuh bawaannya curigaan melulu sih?! Kan kemarin aku sudah jelasin siapa Pak Bambang ini. Dia itu rekan kerjaku di kantor, apa-apa kerja sama dia. Dia tuh cowok loh Dek, masa iya aku mau jeruk maka jeruk sama dia. Yang bener aja."Fatma terdiam, bola matanya terus saja menghunjam sosok di hadapannya tanpa terlewat sedikit pun. Santoso membaca pesan itu sebentar lalu memasukkannya ke dalam saku celana. "Ayolah Sayang, jangan menatapku seperti itu.""Mas, aku bilang gini tuh karena feeling aku nggak enak. Masa iya kalo cuma rekan kerja aja bahasa buat chat kamu kayak gitu."
"Dek, angin mana lagi yang sudah meniupmu? Kenapa begitu gampang menghasut dirimu?!" Santoso menatap Fatma dengan wajah kecewa. Ia menggelengkan kepala ketika merasakan tabiat istrinya sekarang."Kalo mereka bilang A, apa kamu juga akan menuduhku berbuat A? Jika mereka bilang B, apa kau juga akan menuduhku berbuat B?! Dek, tolong dipikir sekali lagi. Apa kau kira aku tidak terluka dengan segala tuduhanmu itu."Diam sejenak, Fatma menatap Santoso. Rasa sakit di hatinya menjalar dengan cepat, perlahan ia mulai terbiasa dengan pengkhianatan yang dilakukan suaminya sendiri."Mas, jika kamu tidak aneh-aneh maka kamu tidak perlu berkilah seperti ini." Fatma berkata pelan, menatap Santoso yang terus saja menghindari tatapannya. "Apa susahnya kamu bilang jujur sama aku. Jika memang tidak ada yang aneh, kenapa kamu mempersulit keadaan ini Mas?!"Santoso terus saja diam, ia memperhatikan jalanan yang mulai ramai dengan kendaraan. Menghela napas, ia memberanikan diri untuk menatap wajah istriny
Setelah menyusun rencana untuk hari pernikahan selama sebulan lamanya, pernikahan Fatma dengan Arif akhirnya terlaksana juga. Atas keinginan Fatma, wanita itu menginginkan suasana pernikahan yang sederhana dan suci tanpa mengurangi kesakralan.Meskipun Arif mengusulkan acara pernikahan yang mewah, Fatma menolaknya secara halus. Bagi Fatma, ada baiknya jika uang itu ditabung saja untuk membeli beberapa asset ketimbang untuk pesta yang hanya berlangsung sekejap mata.Fatma dan Arif menyebar undangan hanya beberapa ratus lembar. Mereka hanya ingin mengundang sanak saudara, sahabat, dan juga beberapa tetangga dekat. Bagi mereka, kesederhanaan jauh lebih baik daripada kemewahan yang mengundang kebencian tak terlihat dari beberapa orang.Siang itu keluarga Pakdhe Suryo juga tengah bersiap untuk pergi ke acara pernikahan Fatma. Mereka turut diundang dalam acara pernikahan suci lagi sakral tersebut. Keluarga Pakdhe tetap menghargai Fatma meskipun sekarang sud
Fatma mengangguk begitu saja, entah kenapa ia merasa kasihan dengan keadaan Santoso yang saat ini begitu buruk dan memprihatinkan. Menoleh sejenak ke arah toko, Fatma menatap Mbak Lastri yang berdiri di ambang pintu. Dari tatapan itu, Fatma seolah meminta ijin atasannya untuk pergi mengobrol sejenak bersama sang mantan suami."Mas, apakah kamu sudah makan?" Fatma bertanya dengan pelan, ia menatap kasihan ke arah Santoso yang terlihat kosong dan tidak bertenaga.Pria itu menggeleng, hanya mampu menundukkan kepala dengan rasa bersalah yang kian membuncah.Fatma menarik napas, "Ayo pergi ke warung makan Mas, akan kubelikan kamu semangkok bakso panas."Wanita berhijab rapi itu melangkahkan kaki terlebih dahulu menuju ke warung makan yang terdapat di sebelah toko milik Mbak Lastri."Bu, semangkok bakso dan segelas teh manis hangat ya." Fatma memesan bakso pada sang penjual bakso yang sudah lama ia kenal semenjak kerja bersama Mbak Lastri.
"Mas Santoso?" Wati terkejut dengan kehadiran Santoso yang menurutnya begitu tiba-tiba. Wanita itu berniat untuk lari namun apa daya tangan Santoso yang kekar kini telanjur mencekal pergelangan tangannya. "Lepaskan tanganmu, Mas!""Tidak, aku tidak akan melakukannya sebelum kamu jelasin semuanya padaku," kekeh Santoso justru semakin erat dalam dalam mencengkeram."Mas, sakit Mas! Kamu gila apa?!" seru Wati sambil berontak dari tangan Santoso. "Hal apa lagi yang perlu dijelaskan? Semua sudah jelas Mas, kita sudah tidak memiliki hubungan sekarang.""Bukan itu," tandas Santoso dengan sigap. Mata pria itu membara merah seperti apa di pembakaran, dengan jiwa emosi yang ia punya kemarahan Santoso benar-benar meledak sekarang. "Jelaskan padaku, ada apa dengan diriku di kantor? Kamu sengaja kan jatuhkan aku di depan Mister Je supaya aku dipecat?"Wati terdiam beberapa detik, ia lantas terkekeh keras. "Mana aku tahu Mas, kuasa orang atas kamu tahu sen
Fatma terdiam, tatapannya fokus pada Arif yang tengah mengungkapkan perasaan terhadap dirinya. Entah apa yang ia rasakan sekarang, yang jelas ada perasaan haru dan hangat di dalam hatinya."Fat, kamu mengerti kan maksudku?" Arif menyadarkan lamunan Fatma sejenak, tampak wajah Arif sudah memerah menahan malu. Ia langsung menunduk dengan pikiran macam-macam. "Maaf, mungkin caraku melamar kamu terlihat kekanak-kanakan tapi aku sudah berusaha untuk mengatakan yang sebenarnya padamu. Seperti yang kamu tahu, aku terlalu tua untuk main lamar-lamaran menggunakan cara ini."Melihat ketulusan Arif, tanpa sadar bibir Fatma melengkung. Ia merasa lucu sekaligus kagum pada Arif. Sebagai seseorang yang pernah tinggal di sisi pria itu entah sebagai teman atau partner kerja, Fatma tidak menduga jika Arif akan melamarnya."Kenapa kamu tersenyum? Bener kan?! Caraku sepertinya salah dalam melamarmu," gusar Arif sambil menggigit bibir. Ia menunduk untuk menutupi kekesalan
"Santoso... Santoso, Pakdhe nggak habis pikir apa yang merasuki otakmu saat ini," ungkap Pakdhe Suryo sambil menggelengkan kepala. "Setelah kamu tersandung masalah, ujung-ujungnya kamu juga tetep sambat sama si orangtua ini. Mbok kamu sadar, kamu itu sudah diingatkan di lain hari tapi kamu masih saja tetep ngeyel. Sekarang, setelah semuanya telanjur, kamu kan yang jadi pihak sakit hati."Santoso hanya menunduk, penampilannya yang lusuh dan tidak terurus membuat Pakdhe Suryo merasa prihatin. "San, Pakdhe nasehatin kamu sampai ancam-ancam itu bukan karena Pakdhe syirik, Pakdhe benci, itu bukan. Pakdhe cuma pengen kamu tuh nggak salah jalan. Wati itu sedari awal Pakdhe lihat, ia sepertinya memiliki gelagat aneh. Pakdhe nggak suka San, nggak suka.""Sudahlah Pakdhe, jangan diomelin terus Mas Santoso-nya. Setidaknya dengan kejadian ini Mas Santoso sadar dan terbuka mata hatinya soal Wati." Ratna menengahi teguran Pakdhe Suryo.Sebagai adik, Ratna sendiri t
"Aku mohon, kembalilah kepadaku. Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakanmu lagi."Fatma terdiam. Ini bukan kali pertama Santoso memohon dirinya seperti ini. Dulu sewaktu ia kepergok dengan wanita itu, ia juga meminta hal yang sama kepada Fatma.Menarik napas panjang, Fatma melepas tautan tangan Santoso secara perlahan. "Tidak semudah itu Mas. Lukaku yang lama saja belum sembuh dan apa ini? Kau ingin kembali karena kau merasa tersakiti?!"Fatma menggeleng lalu menunduk, "Aku pernah tersakiti Mas tapi aku tidak pernah memintamu untuk kembali padaku."Santoso terbungkam, ia menunduk dengan wajah pasrah. Penampilannya yang buruk memang tidak pantas untuk diperhitungkan."Jika Wati menyakitimu, itu adalah resiko yang harus kamu tanggung karena kamu sudah memilih dia sebagai pasanganmu Mas. Peduliku apa? Tidak. Aku sama sekali tidak simpati dengan apa yang terjadi pada dirimu." Fatma menarik napas, ia menatap Santoso. "Hadapi semuanya Mas,
Wati diam cukup lama, jujur ia merasa syok dengan kehadiran Santoso yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya."Katakan padaku Wati, kenapa diam?!" Suara Santoso yang menggelegar menyadarkan lamunan Wati kala itu. Terhuyung mundur, Wati mencoba untuk menguasai dirinya yang sekarang sudah telanjur basah."Kalo iya memang kenapa?" Wati mendongakkan kepala, matanya menyorot tajam ke arah Santoso. "Apa yang kamu dengar itu adalah benar.""Kamu!" Santoso mengangkat tangan, siap menggampar wajah Wati namun urung sejenak saat sadar bahwa ia tetap tidak boleh memukul wanita dalam keadaan apa pun. "Kenapa kamu tega kepadaku?"Wati mengulas senyum tipis, ia lalu bersedekap. Seolah mendapatkan titik lemah Santoso, Wati mulai bersikap sok kuasa sekarang. "Kamu kira anak yang kukandung ini anakmu hah?! Jangan mimpi kamu Mas. Tunggu, kamu harus lihat hasil lab ini!"Wati lantas meraih tas tangan yang tergeletak di tengah ranjang. Membukanya
"Mbak Lastri jangan aneh-aneh ah," ujar Fatma terkekeh. Jujur saja, Fatma justru takut dengan perasaannya sendiri. "Mas Arif itu orang baik, jodohnya pasti orang baik juga. Saya nggak mau berharap banyak Mbak, cuma Allah yang tahu. Saya mah cuma orang yang banyak kekurangan."Mbak Lastri manggut-manggut, ia diam sejenak dan tampak berpikir. "Oh ya, gimana nasib mantan suamimu sekarang? Terakhir dapet kabar, katanya dia sudah resmi nikah ya?!"Fatma mengangguk, ia masih mencoba untuk makan sisa bakso yang ada di dalam mangkuknya. "Iya Mbak, udah nikah di gedung ternama. Sebuah kebahagiaan yang tentunya tidak pernah saya rasakan selama hidup dengan dia.""Yang sabar ya, orang kayak gitu mah nggak bakal awet bahagianya." Mbak Lastri mengusap lengan Fatma dengan penuh rasa peduli."Iya Mbak, terakhir aku malah mergoki si istri Mas Santoso tengah berselingkuh.""Hah? Kamu yakin?" Mata Mbak Lastri melebar, rasa antusiasnya tiba-tiba timbul
Seperti perintah Pakdhe Suryo, Ratna bergegas membuka tas selempang yang pakai dan mencari ponsel di dalamnya. Keadaan saat itu memang lagi genting, emosi Pakdhe yang meluap ditambah dengan keadaan rumah yang tidak sesuai, Ratna hanya berpikir semoga sama kakak laki-lakinya itu selamat dari amukan sang Pakdhe."Assalamualaikum, Mas Santoso." Ratna menyapa saudara laki-lakinya sambil sesekali melirik ke arah Pakdhe Suryo yang terus mengawasi. "Mas, kerja ya? Pakdhe mau ngobrol sebentar."Ratna dengan cepat memberikan ponselnya pada Pakdhe, ia menelan ludah. Dari wajah Pakdhe sendiri, sudah terlihat bagaimana kesalnya sang pakdhe akan kelakuan keponakannya."Assalamualaikum San, kamu dimana?" Suara Pakdhe langsung naik, ia berkacak pinggang dengan suara bernada marah. Tak peduli dengan beberapa orang yang lewat jalanan sambil menatap ke arah mereka dengan curiga."Wa'alaikum salam Pakdhe, saya masih kerja di pabrik. Ada apa?" Santoso yang sama