Lama-lama aku jadi terbiasa dengan gosip dan kadang suka penasaran tentang gosip yang baru muncul di desaku. Bu Endang mengingatkanku dengan seorang warga yang terlihat lewat saat kami mengobrol malam tadi.
“Kamu ingat nggak orang yang semalam lewat saat kita mengobrol. Itu orang belagu banget sombong sekali, dia pikir dia orang paling kaya apa ya,” jawab bu Endang sedikit sewot.
“Oh yang semalam, emang kenapa sih bu. Apa dia itu pelakor yang tinggal di desa kita?” tanyaku penasaran.
Bu Endang terlihat sewot saat aku tanya apakah dia pelakor atau tidak. Hanya saja dari raut wajahnya sudah memperlihatkan kalau tidak menyukai warga baru di desa kami.
“Dia itu bukan pelakor Dara, tapi orang sok kaya di desa kita ini. lihat saja gayanya sok banget!” seru bu Endang.
“Sok bagaimana sih bu. Aku melihatnya biasa saja,” ucapku masih belum paham apa yang dimaksud oleh bu Endang ini.
Bu Endang menegaskan
Aku mencari sumber suara yang gaduh tersebut. ketika keluar kamar ternyata suara bapak yang membanting panci juga beberapa perabot yang dipukuli di depan rumah. "Bapak kenapa bu?""Nggak tahu Dar. Kenapa bisa sampai emosi seperti itu ya. Atau jangan-jangan bapakmu kesurupan Dar!" seru ibuku.Bapak membuka pagar lalu berteriak ke arah bale-bale yang tadi dipakai geng ibu-ibbu bergosip. Beliau kesal karena para ibu itu menyombongkan banda yang dimiliki."Pulang sana habis magrib bukannya diam di rumah suami pada pulang kerja capek. Ini malah ngerumpi mulu. Udah pada tua bukan bocah lagi main panas-panasan saja. Kalau orang kaya tuh nggak koar-koar dirinya kaya orang sudah pada tahu," teriak bapakku."Pak Harun ini kenapa ya. Orang kita ngobrol sendiri kenapa dia yang kepanasan sama seperti bu Endang," keluh bu Lastri.Ketiga ibu itu menertawakan bapakku. Entah apa yang ada dipikiran mereka ini. obrolan mereka sungguh tidak patut dicontoh selalu memba
“Eh Bu Lastri sudah seperti apa saja. Heboh sendiri pagi-pagi nganter sayur ke gengnya. Perkara makan sayur asem saja hebohnya minta ampun,” ucap bu Endang kesal melihat ada geng diantara warga desa Sukma Jaya.Bu Lastri memilih pergi meninggalkan bu Endang yang sudah sewot melihatnya. Pasti bakal ada gosip baru di desa ini. Sudahlah aku mau berangkat kerja dulu nanti sore juga mendengar gosip lagi yang lebih panas dari pagi ini.“Sudah bu Endang nggak usah peduliin bu Lastri. Sedang diatas angin dia sekarang lupa daratan. Nggak ingat dulu waktu susah sama kita. Orang kalau hidupnya sedang enak ya lupa sama teman yang dulu pernah menolong seperti kita ini,” ucap bu Sri.“Empet saya lihat kelakuan mereka yang tidak bermoral itu. Asal saya lewat ngomong mau makan ini makan anu. Memangnya saya minta makan sama mereka apa. Bikin sewot saja!” seru bu Endang.Masih kudengar gerutuan bu Endang di warung sayur. Mungkin akan sam
"Aku kok jadi merinding dan jantungku berdebar kencang banget!" seruku saat melihat detik-detik pak Maulana melangkahkan kakinya lebih dekat ke pintu gudang.Metta memintaku untuk diam dan memperhatikan saja apa yang akan terjadi."Astaga, apa yang kalian lakukan?!" bentak pak Maulana keras sekali sampai menganggetkan kami.Sesaat kemudian beberapa orang yang mendengar teriakan pak Maulana berhamburan datang mendekat."Ada apa pak Maulana?" tanya bu Lisa."Lisa suruh orang berhamburan ke sini untuk kembali bekerja!" seru pak Maulana.Bu Lisa meminta kami semua untuk kembali ke tempat kerja masing-masing sedangkan beliau membereskan masalah yang ada di depan mata.Plak!"Dasar sampah kamu Roni. Sudah punya istri masih saja main serong dengan seorang gadis!" gertak pak Maulana kasar sambil menampar pipi adiknya."Kak dengarkan aku dulu. Istriku jarang di rumah, kami jarang bersentuhan apa salah aku mencari kehangatan
Doni hanya berkata lihat saja nanti kalau sudah sampai lokasi akan tahu perkaranya apa. Setiap hari ribut sama tetangga apa nggak capek ya bu Endang itu. Aku teringat masalah tadi pagi soal bu Lastri yang mengantar sayur asem ke dua teman gengnya.“Sudah nanti juga tahu. Yuk segera saja ke lokasi,” jawab Doni.“Bikin aku penasaran saja dengan apa yang terjadi,” imbuhku yang semakin penasaran.Kami sudah sampai bale-bale ternyata benar Bu Endang sedang menyemprot bu Lastri dan gengnya. Sepertinya masalah makan-makan yang belum kunjung kelar. Atau yang masalah sindir-sindiran yang dilakukan oleh bu Farah sehingga memicu konflik yang ada.“Kalian itu jangan kekanak-kanakan. Nggak sopan sama yang lebih tua. Ini bukan masalah senioritas masalah sopan santun. Setiap mau makan-makan atau mau lewat sengaja kalian bicara lantang seolah menyindir saya. Siapa yang tidak berasa setiap saya lewat kalian sengaja ngomong yang menjurus ke sa
Bu Sri mendekat ke arah bu Endang terlihat mereka bisik-bisik entah apa yang dibicarakan. Aku tak bisa kepo karena banyak orang. Nanti dikira pengen tahu saja urusan orang."Bu Endang ini gimana sih. Mana ada budget saya beli kompor sampai jutaan di rumah saja kompor seharga tiga ratus ribuan awet banget saya pakai bertahun-tahun," jawab bu Sri."Iya sama perkara kompor saja sampai jutaan, bikin pusing saja kebanyakan utang!" seru bu Endang.Bu Endang dan bu Sri tidak mengambil kompor dan panci seharga fantastis itu. Mereka lebih memilih harga chas ketimbang kredit kompor sampai jutaan."Siapa tadi yang ambil kompor sama panci bu?" tanya bu Arum."Nggak tahu saya nggak sampai selesai bu, malas banget sama orang sok kaya," ucap bu Sri.Keesokan harinya seperti biasa ibu-ibu belanja di warung bu Sri. Dunia pergosipan tentu saja tetap berlanjut. Kebetulan aku di suruh ibu membeli bawang merah juga garam jadi sedikit mendengar gosip ibu-ibu.
Bu Endang memang selalu blak-blakan. Bukan bermaksud syirik dengan apa yang dimiliki oleh bu Lastri tapi cara berbicaranya yang kerap sekali mengundang kekesalan orang lain. Kalaupun kaya ya sudah tidak perlu koar-koar kalau dirinya kaya dan memiliki apa yang tidak memiliki orang lain.Takutnya ada yang tidak suka lalu berbuat kejahatan dengan orang yang asal bicara tersebut. Aku yang berada ditengah-tengah mereka ikut kesal dengan perilaku tetanggaku ini.“Bu Endang ini kenapa sih. Urusin saja urusan ibu sendiri, nggak usah urusin hidup kita, iya nggak jeng Farah!” seru bu Lastri.“He’em syirik saja, memang kita kaya kok. Buktinya mampu makan enak setiap hari. Emas punya, ini yang kita pakai itu asli, emangnya salah kita bilang orang kaya?” tanya bu Farah.Bu Sri yang dari tadi diam ikut menasehati bu Farah dan bu Lastri yang sudah mulai keterlaluan. Jangankan ibu-ibu aku yang anak kecil saja ikut jengkel melihat perilakunya
Irma mengambil dokumen yang ada ditanganku secara dan merobeknya dengan sengaja di depanku."Ups, aku tak sengaja Dara, jadi mau tak mau kamu harus mengulang mengerjakan dokumen yang diminta bu Sari," ucap Irma sambil melempar kertas-kertas itu ke wajahku."Dasar iblis kamu Irma. Kenapa kamu begitu jahat dan selalu menganggapku sebagai musuh. Ini dokumen penting, kalau aku kena marah bagaimana?!" ucapku sangat keras sebagai kode meminta bantuan."Itu salahmu sendiri karena tidak menjaga dokumen penting perusahaan!" seru Irma.Orang dari ruang meeting berhamburan keluar melihat pertikaian kami. Pak Maulana dan bu Sari mendekat ke arah kami. Melihat dokumen yang penting tadi berhamburan ke lantai dan tubuhku genetaran bu Sari merangkulku dan mencoba menerka apa yang terjadi."Dara lalai menjaga dokumen penting perusahaan. Aku ingin lihat hukuman apa yang kalian berikan padanya. Jangan hanya aku saja yang terus disudutkan!" seru Irma.Plak! tam
Bu Lisa meminta satpam untuk memanggil ambulan. Sedangkan aku dan bu Sari membantu Irma untuk berjalan ke depan agar lebih mudah diangkut ambulan saat mobil ambulan datang."Cepat pak angkut dia. Yang lain hubungi keluarganya," pinta bu Lisa."Bu yang menemani ke rumah sakit siapa?" tanyaku yang ikut kepusingan.Bu Lisa yang menemani Irama ke rumah sakit. Sebagai wujud pertanggung jawaban atas kejadian yang dialami Irma. Perusahaan juga bertanggung jawab untuk membiayai berobatnya Irma."Bias aaya saja. Tadi aku mendorongnya sangat kuat," balas bu Lisa."Lisa bawalah kartu ini untuk biaya berobat Irma. Bagaimanapun ini terjadi di dalam perusahaan," ucap pak Maulana."Baik pak, tolong hubungi keluarga Irma ya pak," pinta bu Lisa.Bu Lisa sudah masuk ke ambulan menemani Irma. Pak Maulana meminta dua bodyguar untuk menemaninya takutnya keluarga Irma tidak terima dengan apa yang terjadi. Kami semua tahu lidah Irma pandai bersilat jadi unt
Para ibu-ibu masih saja sibuk menggosipkan bu Endang yang pergi begitu saja karena kesal. Lucu sekali dia itu. Kenapa bisa mau menggosipkan orang. Tapi tak mau di gosipkan."Sudahlah biarkan saja dia mau bicara apa bu. Itu hukuman buat ibu yang selalu menggosipkan orang!" seru pak Nurdin."Bapak kok membela tetangga daripada ibu sih?" bentak bu Endang.Pak Nurdin tak menyahut lalu pergi begitu saja karena mungkin sudah malas dengan istrinya itu. Bu Endang sudah terlalu banyak ikut campur urusan orang makanya mungkin si suami juga sudah lelah mengurus istrinya."Pak, kok malah pergi ibu ajak bicara! Benar-benar deh bapak ini," ucap bu Endang."Bapak mau istirahat bapak pusing," balas pak Nurdin.Sedang asyik membaca chating dari bu Sri yang memberitahu aku kejadian di kampung. Tiba-tiba perutku mual lalu semakin mual dan badanku lemas dan setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi lagi. Saat sudah sadar aku berada di ranjang dan ada Nungki yang menemaniku."Syukurlah kamu sudah sadar Dara
Bu Sri menertawakan pertanyaan yang dilontarakan oleh bu Endang. Yang menanyakan memangkan ibuku itu kaya atau tidak. Yah aku sih cukup menyadari kalau keluarga kami memang susah sejak dulu. Berjualan juga untuk kebutuhan sehari-hari dan anak sekolah. Tapi apakah kita akan bertahan dengan nasib ini dan tidak akan berusaha mengubah nasib. Bu Endang salah ke dua orang tuaku begitu gigih mencari uang untuk kami anak-anaknya di beri ilmu dan diberikan pendidikan untuk maju. Tidak pernah neko-neko lalu menabung untuk mengembangkan usaha. "Loh katanya tadi orang miskin tadi bu. Berhutang memangnya nggak pakai jaminan. Berhutang di bank juga pakai jaminan kaya bu Endang gitu gadein sertifikat pak nurdin untuk biaya nikahan Ratna," ucap bu Mutia. "Kalian itu memang bisa banget menjatuhkan aku. Memangnya kenapa kalau aku berhutang untuk nikahan anakku. Toh yang membayar aku juga bukan kalian," balas bu Endang. "Makanya toh bu Endang kalau tidak mau dijatuhkan sama tetangga ya jangan menja
"Ya jelas lah kamu iri sama bu Siti. Soalnya bu Siti sekarang usahanya sukses. Diem-diem beli mobil. Diem-diem beli tanah. Nggak banyak omong kaya bu Endang. Prestasi Ratna mulu di banggain ternyata tagihan kartu kreditnya banyak!" seru bu Sri."Kalau aku jadi bu Endang mah malu. Sesumbar mulu Prestasi sama pekerjaan yang mentereng. Tenda aja belum dibayar. Tamunya juga nggak kelihatan ada pas hajatan," ucap bu Arum.Para tetangga di kampung sukma jaya memprotes tindakan bu Endang yang gemar bergosip itu. Mereka tidak takut lagi akan berantem dengan bu Endang. Karena sudah biasa dan juga bu Endang semakin keterlaluan dalam bertindak. Andai saja bu endang tak pernah usil pada keluargaku. Andai saja bu Endang tak pernah menyakiti tetangga yang ada di kampung sukma jaya ini. Pasti tidak akan terjadi hal seperti ini 'kan."Itu karena kalian tidak tahu dalamnya keluarga bu Siti. Kalau seandainya kalian tahu kalau hutangnya banyak juga nggak akan menghinaku seperti ini," balas bu endang."
Bu Endang mengatakan. Akhir-akhir ini memang para warga desa sukma jaya selalu membicarakan sosok bu Siti dan keluargaku yang lainnya. Padahal yang mereka bicarakan mungkin bukan perbuatan ayah atau ibuku saat ini.Singkat cerita ayahku memang sering bergaul dengan warga yang lainnya. Saat kami masih susah dulu. Bapakku sering menolong siapapun yang membutuhkan."Ya karena kalian semua selalu membanggakan bu Siti yang gemar nraktir. Halah orang kayak kalian ini nanti saat bu Siti dan keluarganya jatuh pasti akan meninggalkannya. Dasar manusia berwajah ular," ucap bu Endang."Jadi bu Endang ini panas ya. Karena para warga selalu membicarakan keluarga bu Siti tentang kebaikannya. Sedangkan membicarakan bu Endang tentang keburukan saja. Sudah deh ngaku saja," ledek bu Arum.Bu Endang menegaskan tidak ada yang dia iri dengan bu Siti maupun keluargaku yang lainnya. Dia sudah mapan. Suami pns, anak kerja di rumah sakit lulusan fisika terbaik di unoversitas terkemuka. Mantu perawat pns. "D
Bu Endang tak terima keluarganya dijadikan bahan gosip oleh ibu-ibu di tukang sayur. Biasanya dia yang bergosip. Sekarang dijadikan baham gosip tidak terima."Memangnya kenapa kalau kami menggosipkan bu endang? Nggak terima? Ya posisi bu Endang saat ini seperti yang kami rasakan kalau bu Endang menggosipkan kita!" seru bu Arum."Kalian jangan seenaknya ya mentang-mentang aku menggelar acara tidak semewah bu Siti. Lalu kalian seperti punya hak untuk menyakiti hatiku," ucap bu Endang.keributan terjadi di tempat sayur antara bu Endang dan ibu-ibu yang lain. Dia sangat tidak suka di jadikan bahan gosip. Ramai sekali sampai menimbulkan kebisingan."Bu Endang udah deh nggak usah drama. Kita semua tahu kalau bu Endang itu sudah banyak menyakiti hati orang. Makanya jangan kebanyakan membuat ulah. Biar hati juga adem. Dan tidak banyak musuh," ucap bu Lastri."Bilang saja kalian pro sama bu Siti yang lagi kondisi keuangannya naik. Sedangkan aku terlihat hina dimata kalian. Nanti kalau aku seda
Ibu-ibu sudah pulang ke rumah puas setelah mengomentari acara hajatan di rumah bu Endang. Tentu saja bu Endang menyimpan dendam untuk tetangganya."Awas saja akan aku balas mereka semua," gumam bu Endang."Sudah to bu. Mungkin ini karma karena ibu juga suka mengomentati semua tetangga yang ada di kampung ini," ucap pak Nurdin.Ternyata sakit hati juga di omongin langsung di depan mata seperti ini. Bu Endang sakit hati pada mereka semua. Ini berita yang aku dengar tentang keluhan bu Endang pada suaminya yang tersebar di kampung.Beberapa hari setelah selesai hajatan. Tampak seorang pemilik tenda datang mencari rumah bu Endang."Mencari siapa dek?" tanya bu Sri."Rumah bu Endang bu. Sebelah mana ya," jawab seorang pemuda."Sebelah sana tuh pager biru, ada apa emangnya?" tanya bu sri.Pemuda itu mengatakan kalau bu Endang belum membayar tenda sebesar tiga juga rupiah. Sudah seminggu berlalu makanya pihak penyewa tenda akan menagihnya. Kenapa ada peristiwa seperti ini juga ya."Ohh itu di
Bu Endang kesal karena banyak ibu-ibu tetangganya yang mengomentari hajatan yang ia gelar. Dari segala sisi banyak banget mendapatkan komentar. Tidak ada yang sempurnya semuanya diomongin sana-sini sampai membuatnya gerah sendiri."Eh bu Mutia asal kamu tahu saja. Jaman serba canggih banyak banget yang amplopnya di transferin. Emang pada lihat hah. Ih ndeso kalian semua," balas bu Endang."Paling juga satu dua orang itu juga cuma gocap. Gitu aja dibanggain dih najis," balas bu Mutia.Mnedengar berita seperti ini membuatku geli. Ada-ada saja tingkah para ibu-ibu di desaku yang gemar bergosip itu. Perkara hajatan saja sampai bertengkar sama tetangga apa nggak malu sama tamu yang hadir."Sudah jangan ribut lagi bu. Kita ini kan lagi hajatan malu sama tamu. Ayo kita sapa para tamu," ajak pak Nurdin."Mereka membuat ibu kesal pak," balas bu Endang.Pak Nurdin menarin tangan bu Endang dan menasehatinya agar tidak banyak omong lagi. Ada beberapa tamu yang harus mereka sapa. Tidak baik membua
Ibu-ibu itu dengan semangat mengatakan sudah siap untuk bergosip. Mereka sudah rapi dan berkumpul di rumah bu Arum. Mendengar kabar seperti ini membuatku ingin tertawa dengan kelucuan mereka ada tetangga yang menggelar hajatan tapi mereka yang sibuk berkomentar."Aku sih sudah siap bu," ucap bu Sri."Sama dong aku sudah siap sedari tadi. Mengomentari hajatan bu Endang yang suka julit pada warga yang menggelar hajatan. Sekaranf gantian dong," balas bu Arum."Ho'oh bu. Kalau ada yang hajatan tidak luput dari komentarnya. Sekarang giliran kita memberikan komentar pada bu Endang," balas bu Mutia.Masih terngiang di ingatan bu Mutia saat bu Endang mengomentari anaknya yang mau nikahan. Sudah punya anak dua dari pria yang berbeda dapat bujangan yang belum punya anak. Lalu mereka menggelar pesta sederhana di rumah mulut bu Endang sangat pedas dan menyakiti hatinya."Alah bu Mutia. Emangnya bu mutia saja. Waktu saya nikahin dara mulutnya bu Endang juga begitu kok. Lebih ganas," ucap ibuku."I
Bu Lastri menunjuk siapa yang datang. beberapa orang ada yang masih pakai baju dinas. Ada juga yang sudah memakai baju biasa.."Kirain banyak yang dateng. Para perawat dan petugas medis lainnya," balas bu Arum.Iya kok cuman dikit. Apa nitip kali ya," balas bu Sri.Bisik-bisik tetangga saling terdengar di acara pernikahan itu. Sungguh memalukan sekali sudah mengumbar omong besar tapi yang datang hanya segelintir saja. "Tendanya sangat besar sih sama sperti yang dikatakan. Tapi tamunya dikit doang," balas bu Mutia. "Habis magrib kali bu tamunya pada dateng," ucap bu lastri.Mereka masih menunggu habis magrib. Baru asar tamu mereka sepi sekali kayak kuburan.Ibu-ibu banyak bergunjing lagi. Soal tamu saja jadi omongan apalagi yang lain-lain. duh dasar mulut tetangga."Sudah magrib nih ayo kita magriban dulu. Habis ini kita kumpul lagi. Kita lihat tamu yang di undang seribu itu wujudnya seperti apa," ucap bu Mutia."Oke ayo kita magriban dulu. Nanti kumpul lagi di tempat ini saja.," bal