Bu Sri melihat warungnya yang sedang ramai kemudian berlari masuk ke dalam. Beliau mengucapkan terima kasih padaku karena telah mengingatkan kalau dia punya warung. Aku berjalan ke warung bu Sri, entah apa yang akan aku beli yang penting menuju warung dulu agar tidak terlalu mencolok mencampuri urusan orang tua itu.
"Waduh maaf-maaf ya ibu-ibu gara-gara kesal hutang belum dibayar jadi meninggalkan warung. ayo-ayo siapa lagi yang mau belanja sayuran?" tanya bu Sri yang sudah siap melayani pelanggannya.
"Orang modelan begitu emang sekali-kali disemprot. Kirain saya sudah tobat nggak punya hutang lagi, soalnya kalau ada bank plecit yang ngumpul pagi-pagi untuk nagih hutang suka ngomongin bu," ucap salah satu warga yang membeli sayuran.
Aku penasaran ngomongin apasih bu Lastri kalau ada bank plecit yang suka datang ke desa ini. Kalau pagi biasanya suka kumpul di warung kopi. Lalu menyambangi rumah warga yang pada ambil dana.
"Ngomong bagaimana bu?" tanya bu S
Aku lihat raut wajah bu Lastri jadi pucat mungkin karena malu. Sedang berdebat tidak mempunyai hutang dengan bu Endang. Beliau masih saja menghina warga sini yang mengambil bank plecit sungguh manusia yang tidak punya etika. Seketika wajahnya tampak malu aku juga melihatnya ia sesekali mencuri pandang ke bu Endang."Nanti siang saja balik lagi, belum dikasih uang belanja sama bapaknya," ucap bu Lastri."Beneran ya bayar, jangan libur melulu, nanti bunganya tambah besar," balas petugas bank plecit itu.Petugas bank plecit itu sudah pergi menagih nasabah yang lain. Tentu saja bu Endang sudah siap untuk memberikan suara vokal terindahnya kepada bu Lastri. Seorang yang mempunyai hutang sendiri tapi suka mengomentari orang lain yang berhutang."Walah katanya tidak punya hutang, tapi ditagih sama bank kamisan. Haduh kalau itu aku mah malu sekali," ucap bu Endang."Hutang saya 'kan saya sendiri yang bayar kenapa bu Endang ikut campur masalah saya?" tanya
Segerombolan anak muda yang nongkrong di gang dekat rumahku itu sengaja membuatku naik darah.Mereka mengatakan yang tidak-tidak tentangku."Eh Dara sombong amat mentang-mentang anak kuliahan. Paling juga nyambi jadi ayam kampus!" seru salah seorang pemuda."Yoi mamen, sombong banget jadi orang nggak mau kenal sama tetangga sendiri. Ya iyalah udah kena sama burungnya om-om secara gitu jadi ayam.kampus." celetuk seorang pemuda lagi sambil menyalakan rokoknya.Aku seorang wanita sendirian tak bisa melawan mereka. Lebih baik segera pergi dari tempat menjengkelkan ini. Siapa sih yang jadi ayam kampus. Mereka pemuda pengangguran yang tak tahu perjuanganku ini seperti apa. Seenak jidatnya mengatakan hal yang membuatku sakit hati."Kenapa kamu ngos-ngosan seperti itu Dara. Apa kamu dikejar anjing?" tanya ibuku ketika aku sampai rumah."Minum dulu bu. Ada segerombolan pemuda yang mengatakan aku seorang ayam kampus kalau pulang malam-malam bu!"
"Kamu nggak apa-apa 'kan Dara?" tanya bu Endang yang membantuku bangun dari jatuhku. Aku menggelengkan kepala mengatakan tidak dan menjelaskan apa yang menjadi masalah hidupku saat ini. Aku harus meminta bapak pulang saja. Akan sama gilanya jika meladeni bu Mutia dan putranya yang tidak punya malu itu. Aku bersama bu Endang menghampiri orang tuaku. Untuk mengajak mereka pulang agar tidak jadi bahan gibah tetangga. Walau sudah terlanjur setidaknya harus berhasil membawa orang tuaku masuk rumah dulu. "Pak, bu ayo pulang malu di lihat tetangga!" ajakku tegas. "Halah darimana saja kamu dari munjul. Apa takut terbongkar kedokmu sebagai ayam kampus beneran!" seru bu Mutia. "Heh bu Mutia sadar diri dong. Ngatain anak orang sembarangan. Suruh anakmu kerja jangan jadi pemuda pengangguran kalau naksir anak perempuan yang cantik dan pekerja keras kaya Dara. Cinta ditolak kok menebar fitnah," balas bu Endang tegas dan langsung ngena di hati bu Mutia.
Mendengar percakapan ibu-ibu di warung sayur bu Sri. Bu Mutia kembali meradang ia tidak rela kalau anak kesayangannya dikatakan pengangguran juga hanya bisa numpang makan sama perempuan."Anakku belum beruntung saja dapat pekerjaan. Kalian yang anaknya beruntung bisa cepet dapat kerja jangan pada belagu!" seru bu Mutia."Belum peruntung apanya sih. Memangnya kita semua di sini nggak tahu bagaimana anak bu Mutia," balas bu Endang.Perselisihan berlangsung sengit karena menurut orang yang melihat, putra kesayangan bu Mutia itu sudah banyak yang mengajak kerja tapi setiap diajak kerja baru sehari masuk sudah mogok kerja alasannya adalah capek."Emang dasar anaknya manja saja sudah bagus ada yang bawa kerja pakai keluar alasannya capek. Dimana-mana kerja nggak ada yang enak," jelas bu Sri."Iya bikin malu yang bawa kerjanya. Kalau sekali dua kali mah nggak apa-apa ini tiga kali di bawa orang begitu mulu. Bikin malu yang masukin kerja saja!" seru bu End
Bu Mutia semakin marah dengan apa yang diucapkan ibuku. Beliau semakin tidak terima anaknya dikatakan pengangguran. Memang anaknya pengangguran tapi dia adalah salah satu pemuda tampan yang ada di desa sukma jaya. Pemuda perkasa paling digandrungi wanita-wanita sekitaran desa. "Walau anak saya pengangguran tapi aset berharga berwujud wajah tampan itu sudah dirusak oleh suami ibu. Kalau begitu ibu Siti harus menikahkan anak ibu dengan anak saya jika wajahnya tidak bisa disembuhkan," ucap ibu Mutia. "Kamu itu loh dapat pemikiran darimana. Saya tanya sekali lagi apa yang menjual dari anakmu selain wajahnya yang tampan. Kenyang apa anak orang di suruh nyemilin kegantengan semata?" tanya ibuku sedikit nada tinggi. Bu Mutia masih tak bergeming. Aku sendiri tidak tahu harus berkata apa lagi karena bu Mutia tetap kekeh kalau anaknya itu berwajah tampan dan banyak yang menaksir. Walau tidak bekerja banyak perempuan yang antre untuk menjadi istrinya. "Bu Siti j
Putra bu Mutia meradang dengan sahutan bu Endang yang tiba-tiba muncul dihadapan mereka. Ini bukan urusannya kenapa selalu ikut campur gertaknya dengan kasar. Aku terkekeh geli sendiri mendengar ucapan dari bu Endang yang begitu menohok. Benar juga keuntungannya apa kalau emnikah dengan pria yang mengandalkan ketampanan belaka. TIdak mau bekerja untuk menafkahi. "Keuntungan yang didapatkan tentu saja tidak malu saat diajak kondangan. Hal lainnya tentu saja aku akan memuaskan mereka diatas ranjang. Aku ini pria yang perkasa!" seru anaknya bu Mutia. "Haha ... Terus kamu apa nggak mikir bisa makan bayar anak sekolah, bayar listrik juga beli beras? Mengandalkan keperkasaan doang emang bisa membaut perut kenyang apa?" tanya bu Endang. Aku rasa pria di depanku ini adalah pria sinting yang tidak tahu malu. Bagimana dia bisa dikatakan sebagai seorang pria sejati jika pemikirannya begitu dangkal dan tidak berguna seperti itu. Mana ada anak pejabat dan pengusaha kaya y
Aku memutuskan hal yang sangat kejam mungkin. Ini untuk membuatku waras karena sudah tidak tahan dengan hinaan yang aku terima dari beberapa warga desa sukma jaya ini. Terutama dari bu Mutia dan anaknya."Saya bersedia jadi saksi lagian anak bu Mutia ini kalau ada kegiatan apapun tidak pernah menampakkan diri malah sibuk mencela," balas bu Sri."Terima kasih ibu Sri. Hari ini akan saya buatkan laporannya!" seruku seraya meninggalkan warung.Aku memberikan apa yang diperlukan ibu dari warung bu Sri. Aki segera mandi ke kantor tanpa sarapan dan pamit pada ibu karena buru-buru. Aku menghubungi tim pengacara di perusahaan untuk berdiskusi dengan mereka bagaimana baiknya.Hari ini aku datang ke rumah sakit untuk cek kegadisan harga tidak murah sih tapi tidak apa-apa yang penting sekarang jelas aku tidak seperti yang mereka tuduhkan selama ini.Surat laporan serta bukti sudah aku buat. Sekarang juga sudah dikirim ke rumah bu Mutia. Seketika mendadak hebo
Kami semua tertawa mendengar kata santet di era modern ini. Pasalnya siapa yang percaya santet di jaman serba canggih ini. "Bu Mutia mau cari santet dimana? mau semedi dimana? Atau jangan-jangan bu Mutia ini sudah mempraktekkan ilmu hitam ya?" ledek bu Endang. "Kalau iya kenapa bu. Kalau bu Endang tidak percaya nanti aku kirimkan santet ke rumah bu Endang!" gertak bu Mutia. Kami jadi saling pandang karena merasa tidak percaya dengan adanya santet. Kami hidup berdampingan di sini sudah lama tidak pernah mendengar hal berbau mistis. "Sudah bu Endang tidak usah di ladeni lagi orang gila seperti bu Mutia ini. Orang sudah salah tidak mau kalah ngotot lagi," ucap bu Arum. "Iya bu Endang ayo kita istirahat pulang. Saya tetap mendukung Dara tidak mencabut tuntutannya. Sekarang ada hal baru lagi katanya mau di santet berati 'kan bisa kena pasal pengancaman ya bu?" tanya bu Sri. Aku membenarkan apa kata bu Sri. Serta mengatakan pada bu Mut
Para ibu-ibu masih saja sibuk menggosipkan bu Endang yang pergi begitu saja karena kesal. Lucu sekali dia itu. Kenapa bisa mau menggosipkan orang. Tapi tak mau di gosipkan."Sudahlah biarkan saja dia mau bicara apa bu. Itu hukuman buat ibu yang selalu menggosipkan orang!" seru pak Nurdin."Bapak kok membela tetangga daripada ibu sih?" bentak bu Endang.Pak Nurdin tak menyahut lalu pergi begitu saja karena mungkin sudah malas dengan istrinya itu. Bu Endang sudah terlalu banyak ikut campur urusan orang makanya mungkin si suami juga sudah lelah mengurus istrinya."Pak, kok malah pergi ibu ajak bicara! Benar-benar deh bapak ini," ucap bu Endang."Bapak mau istirahat bapak pusing," balas pak Nurdin.Sedang asyik membaca chating dari bu Sri yang memberitahu aku kejadian di kampung. Tiba-tiba perutku mual lalu semakin mual dan badanku lemas dan setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi lagi. Saat sudah sadar aku berada di ranjang dan ada Nungki yang menemaniku."Syukurlah kamu sudah sadar Dara
Bu Sri menertawakan pertanyaan yang dilontarakan oleh bu Endang. Yang menanyakan memangkan ibuku itu kaya atau tidak. Yah aku sih cukup menyadari kalau keluarga kami memang susah sejak dulu. Berjualan juga untuk kebutuhan sehari-hari dan anak sekolah. Tapi apakah kita akan bertahan dengan nasib ini dan tidak akan berusaha mengubah nasib. Bu Endang salah ke dua orang tuaku begitu gigih mencari uang untuk kami anak-anaknya di beri ilmu dan diberikan pendidikan untuk maju. Tidak pernah neko-neko lalu menabung untuk mengembangkan usaha. "Loh katanya tadi orang miskin tadi bu. Berhutang memangnya nggak pakai jaminan. Berhutang di bank juga pakai jaminan kaya bu Endang gitu gadein sertifikat pak nurdin untuk biaya nikahan Ratna," ucap bu Mutia. "Kalian itu memang bisa banget menjatuhkan aku. Memangnya kenapa kalau aku berhutang untuk nikahan anakku. Toh yang membayar aku juga bukan kalian," balas bu Endang. "Makanya toh bu Endang kalau tidak mau dijatuhkan sama tetangga ya jangan menja
"Ya jelas lah kamu iri sama bu Siti. Soalnya bu Siti sekarang usahanya sukses. Diem-diem beli mobil. Diem-diem beli tanah. Nggak banyak omong kaya bu Endang. Prestasi Ratna mulu di banggain ternyata tagihan kartu kreditnya banyak!" seru bu Sri."Kalau aku jadi bu Endang mah malu. Sesumbar mulu Prestasi sama pekerjaan yang mentereng. Tenda aja belum dibayar. Tamunya juga nggak kelihatan ada pas hajatan," ucap bu Arum.Para tetangga di kampung sukma jaya memprotes tindakan bu Endang yang gemar bergosip itu. Mereka tidak takut lagi akan berantem dengan bu Endang. Karena sudah biasa dan juga bu Endang semakin keterlaluan dalam bertindak. Andai saja bu endang tak pernah usil pada keluargaku. Andai saja bu Endang tak pernah menyakiti tetangga yang ada di kampung sukma jaya ini. Pasti tidak akan terjadi hal seperti ini 'kan."Itu karena kalian tidak tahu dalamnya keluarga bu Siti. Kalau seandainya kalian tahu kalau hutangnya banyak juga nggak akan menghinaku seperti ini," balas bu endang."
Bu Endang mengatakan. Akhir-akhir ini memang para warga desa sukma jaya selalu membicarakan sosok bu Siti dan keluargaku yang lainnya. Padahal yang mereka bicarakan mungkin bukan perbuatan ayah atau ibuku saat ini.Singkat cerita ayahku memang sering bergaul dengan warga yang lainnya. Saat kami masih susah dulu. Bapakku sering menolong siapapun yang membutuhkan."Ya karena kalian semua selalu membanggakan bu Siti yang gemar nraktir. Halah orang kayak kalian ini nanti saat bu Siti dan keluarganya jatuh pasti akan meninggalkannya. Dasar manusia berwajah ular," ucap bu Endang."Jadi bu Endang ini panas ya. Karena para warga selalu membicarakan keluarga bu Siti tentang kebaikannya. Sedangkan membicarakan bu Endang tentang keburukan saja. Sudah deh ngaku saja," ledek bu Arum.Bu Endang menegaskan tidak ada yang dia iri dengan bu Siti maupun keluargaku yang lainnya. Dia sudah mapan. Suami pns, anak kerja di rumah sakit lulusan fisika terbaik di unoversitas terkemuka. Mantu perawat pns. "D
Bu Endang tak terima keluarganya dijadikan bahan gosip oleh ibu-ibu di tukang sayur. Biasanya dia yang bergosip. Sekarang dijadikan baham gosip tidak terima."Memangnya kenapa kalau kami menggosipkan bu endang? Nggak terima? Ya posisi bu Endang saat ini seperti yang kami rasakan kalau bu Endang menggosipkan kita!" seru bu Arum."Kalian jangan seenaknya ya mentang-mentang aku menggelar acara tidak semewah bu Siti. Lalu kalian seperti punya hak untuk menyakiti hatiku," ucap bu Endang.keributan terjadi di tempat sayur antara bu Endang dan ibu-ibu yang lain. Dia sangat tidak suka di jadikan bahan gosip. Ramai sekali sampai menimbulkan kebisingan."Bu Endang udah deh nggak usah drama. Kita semua tahu kalau bu Endang itu sudah banyak menyakiti hati orang. Makanya jangan kebanyakan membuat ulah. Biar hati juga adem. Dan tidak banyak musuh," ucap bu Lastri."Bilang saja kalian pro sama bu Siti yang lagi kondisi keuangannya naik. Sedangkan aku terlihat hina dimata kalian. Nanti kalau aku seda
Ibu-ibu sudah pulang ke rumah puas setelah mengomentari acara hajatan di rumah bu Endang. Tentu saja bu Endang menyimpan dendam untuk tetangganya."Awas saja akan aku balas mereka semua," gumam bu Endang."Sudah to bu. Mungkin ini karma karena ibu juga suka mengomentati semua tetangga yang ada di kampung ini," ucap pak Nurdin.Ternyata sakit hati juga di omongin langsung di depan mata seperti ini. Bu Endang sakit hati pada mereka semua. Ini berita yang aku dengar tentang keluhan bu Endang pada suaminya yang tersebar di kampung.Beberapa hari setelah selesai hajatan. Tampak seorang pemilik tenda datang mencari rumah bu Endang."Mencari siapa dek?" tanya bu Sri."Rumah bu Endang bu. Sebelah mana ya," jawab seorang pemuda."Sebelah sana tuh pager biru, ada apa emangnya?" tanya bu sri.Pemuda itu mengatakan kalau bu Endang belum membayar tenda sebesar tiga juga rupiah. Sudah seminggu berlalu makanya pihak penyewa tenda akan menagihnya. Kenapa ada peristiwa seperti ini juga ya."Ohh itu di
Bu Endang kesal karena banyak ibu-ibu tetangganya yang mengomentari hajatan yang ia gelar. Dari segala sisi banyak banget mendapatkan komentar. Tidak ada yang sempurnya semuanya diomongin sana-sini sampai membuatnya gerah sendiri."Eh bu Mutia asal kamu tahu saja. Jaman serba canggih banyak banget yang amplopnya di transferin. Emang pada lihat hah. Ih ndeso kalian semua," balas bu Endang."Paling juga satu dua orang itu juga cuma gocap. Gitu aja dibanggain dih najis," balas bu Mutia.Mnedengar berita seperti ini membuatku geli. Ada-ada saja tingkah para ibu-ibu di desaku yang gemar bergosip itu. Perkara hajatan saja sampai bertengkar sama tetangga apa nggak malu sama tamu yang hadir."Sudah jangan ribut lagi bu. Kita ini kan lagi hajatan malu sama tamu. Ayo kita sapa para tamu," ajak pak Nurdin."Mereka membuat ibu kesal pak," balas bu Endang.Pak Nurdin menarin tangan bu Endang dan menasehatinya agar tidak banyak omong lagi. Ada beberapa tamu yang harus mereka sapa. Tidak baik membua
Ibu-ibu itu dengan semangat mengatakan sudah siap untuk bergosip. Mereka sudah rapi dan berkumpul di rumah bu Arum. Mendengar kabar seperti ini membuatku ingin tertawa dengan kelucuan mereka ada tetangga yang menggelar hajatan tapi mereka yang sibuk berkomentar."Aku sih sudah siap bu," ucap bu Sri."Sama dong aku sudah siap sedari tadi. Mengomentari hajatan bu Endang yang suka julit pada warga yang menggelar hajatan. Sekaranf gantian dong," balas bu Arum."Ho'oh bu. Kalau ada yang hajatan tidak luput dari komentarnya. Sekarang giliran kita memberikan komentar pada bu Endang," balas bu Mutia.Masih terngiang di ingatan bu Mutia saat bu Endang mengomentari anaknya yang mau nikahan. Sudah punya anak dua dari pria yang berbeda dapat bujangan yang belum punya anak. Lalu mereka menggelar pesta sederhana di rumah mulut bu Endang sangat pedas dan menyakiti hatinya."Alah bu Mutia. Emangnya bu mutia saja. Waktu saya nikahin dara mulutnya bu Endang juga begitu kok. Lebih ganas," ucap ibuku."I
Bu Lastri menunjuk siapa yang datang. beberapa orang ada yang masih pakai baju dinas. Ada juga yang sudah memakai baju biasa.."Kirain banyak yang dateng. Para perawat dan petugas medis lainnya," balas bu Arum.Iya kok cuman dikit. Apa nitip kali ya," balas bu Sri.Bisik-bisik tetangga saling terdengar di acara pernikahan itu. Sungguh memalukan sekali sudah mengumbar omong besar tapi yang datang hanya segelintir saja. "Tendanya sangat besar sih sama sperti yang dikatakan. Tapi tamunya dikit doang," balas bu Mutia. "Habis magrib kali bu tamunya pada dateng," ucap bu lastri.Mereka masih menunggu habis magrib. Baru asar tamu mereka sepi sekali kayak kuburan.Ibu-ibu banyak bergunjing lagi. Soal tamu saja jadi omongan apalagi yang lain-lain. duh dasar mulut tetangga."Sudah magrib nih ayo kita magriban dulu. Habis ini kita kumpul lagi. Kita lihat tamu yang di undang seribu itu wujudnya seperti apa," ucap bu Mutia."Oke ayo kita magriban dulu. Nanti kumpul lagi di tempat ini saja.," bal