Ngelmu iku kalakone kanthi laku.
Lekase lawan kas, tegese kas nyantosani.Setya budya pangekese dur angkara.Alina menembangkan "tembang pocung".Alina sangat menyukai tembang itu ketika Bu Tiwel mendendangkan itu setiap Alina akan tidur.Alina sangat menyukai tembang jawa.Baginya, tembang jawa menyimpan filosofi yang sangat menarik menurutnya."Hei, anak aneh!" teriak Yudi.Alina menghentikan mendendangkan tembangnya dan menoleh ke arah Yudi dan kawan-kawannya.Yudi menamai diri mereka dengan sebutan "ksatria pemberani".Entah ksatria pemberani dari mananya, sedangkan Yudi dan kawan-kawan merupakan anak penakut.mereka hanya berani menindas orang lemah. Salah satunya adalah, Alina.Mereka seringkali membully dan menindas Alina karena mereka menganggap Alina adalah gadis aneh.Alina sering kali berbicara seorang diri.Alina bahkan sering mengamuk dan kerasukan.Hal itu lah yang membuat Alina dijauhi oleh teman-temannya dan mendapat bully di sekolahnya.Saat usia tujuh tahun, Bu Tiwel sudah membawa Alina ke orang pintar, bahkan ke ustad terkenal untuk menyembuhkan putrinya itu.Namun tak kunjung membaik.Alina adalah salah satu anak dengan kemampuan "spesial" yang menurut orang awam hal itu merupakan sebuah kutukan.Alina dapat berinteraksi dengan mereka yang "tak terlihat".Puncaknya adalah hari itu, hari dimana sebuah tragedi menimpa Desa Rejoseno.Alina terlihat gelisah malam itu, bunyi suara binatang malam pun mengusik malam Alina."Minggir! Pergi, kamu!" teriaknya.Bu Tiwel yang mendengar jeritan Sang Anak pun menghampirinya."Nduk, bangun!" Bu Tiwel menepuk lembut pipi Alina.Namun nihil, tak ada pergerakan bahwa Alina akan terbangun.Alina terus menjerit dan mengucapkan kalimat larangan.Bu Tiwel yang khawatir pun berlari ke rumah Ustad Ahmad."Assalamu'alaikum, Pak! Saya butuh bantuan, Pak!"Lama mengetuk, akhirnya pintu pun terbuka. Seorang pria berusia tiga puluh tahun dengan jambang dan kumis tipis berwajah teduh itu pun berdiri di ambang pintu."Waalaikumsallam, ada apa, Bu Tiwel?" tanya Ustad Ahmad."Tolong Lina, Ustad!"Tanpa banyak bertanya, ustad Ahmad yang faham kondisi Alina pun segera mengikuti Bu Tiwel."Hi-hi-hi, ada orang sok suci datang."Suara Alina berubah menjadi suara nenek-nenek. Entah siapa yang sedang mendiami raga Alina."Astaghfirullah," ucap ustad Ahmad mengelus dadanya."Alina kenapa, ustad? Kenapa dia seperti ini?" tanya Bu Tiwel khawatir."Tenang, Bu. Dia bukan Alina, dia adalah jin yang mendiami raga anak Ibu, Alina." jelas ustad Ahmad.Ustad Ahmad mengambil posisi duduk bersila dan mulai memutar tasbihnya.Ayat suci al-qur'an di bacanya dengan fasih."Argh, panas! Hentikan, dasar manusia bodoh! Kamu mau buat aku mati, hah!" pekik makhluk yang mendiami raga Alina itu.Pekikan dan jeritan terdengar nyaring memenuhi seisi rumah.Sumpah serapah bahkan di lontarkan makhluk itu untuk ustad Ahmad.Namun ustad Ahmad tak gentar. Baginya, kedudukan manusia lebih tinggi daripada jin sepertinya itu."Awas kamu, tunggu pembalasanku! Akan aku buat anak turunmu menderita! Camkan itu, hi-hi-hi."Alina tiba-tiba ambruk tak sadarkan diri.Ustad Ahmad mengucap kalimat hamdalah untuk mengakhiri do'anya tadi.Tak lupa, ustad Ahmad berusaha memberi perlindungan berupa pagar diri pada Alina."Bu, saya sudah memberi pagar gaib untuk melindungi anak sampean(kamu), tapi pagar gaib ini akan hilang seiring pertumbuhan Alina. Kalau bisa diimbangi dengan Sholat dan berdo'a memohon perlindungan kepada Allah ya, Bu." papar ustad Ahmad.Bu Tiwel terlihat gelisah. Ustad Ahmad yang faham akan kondisi warga desa pun tersenyum."Saya akan mengajarkan Ibu dan Alina caranya sholat dan berdo'a kepada Allah, Bu."Bu Tiwel menghela nafas lega."Saya pernah di ajari sholat sama suami saya dulu, namun saat suami saya telah tiada, saya melalaikan sholat berpuluh tahun lamanya hingga saya lupa bagaimana caranya menyembah Allah." jelas Bu Tiwel."Saya akan ajarkan perlahan-lahan. Sekarang biarkan Alina tidur dahulu, saya pamit pulang ya, Bu. Permisi."Keesoka. harinya, Alina terbangun dengan tubuh yang terasa sangat sakit."Aduh!" rintih Alina memegang kepalanya yang masih terasa berdenyut."Nduk, kamu sudah bangun? Gimana, apa ada yang masih sakit?" tanya Bu Tiwel."Kepala Lina sakit, Bu. Badan Lina juga kaya habis di pukulin." keluh Alina."Sudah nanti Ibu pijatkan, sekarang makan dulu biar ada tenaganya."Alina pun menuruti perintah Ibunya itu.******Bu Tiwel adalah seorang janda dan tidak memiliki anak.Saat sedang mencuci pakaian di pinggir sungai, seorang perempuan tak dikenal berjalan dengan tertatih sambil menggendong bayi mungil."Bu, tolong saya." ucapnya terbata."Ya Allah, kenapa, Nduk? Sini duduk, istirahat dulu."Wanita itu duduk di samping Bu Tiwel.Wajahnya sudah sangat kuyu dan terlihat pucat."Bu, tolongin saya. Selamatkan bayi saya, mereka akan mengejar bayi ini. Sembunyikan, Alina." ucap wanita itu tersendat."Nduk, siapa yang mencelakakan bayi kamu? Ikut saya ke rumah saya saja, yuk. Kamu butuh perawatan.""Jangan! Jangan pedulikan saya, saya mohon rawat dan bawa bayi saya." pintanya memohon.Dengan gemetar Bu Tiwel menggendong bayi perempuan yang sangat cantik itu.Wanita itu tersenyum, tak lama kemudian nafasnya terasa tersendat.Wanita tak di kenal itu pun menemui ajalnya.Bu Tiwel yang khawatir pun, memanggil warga sekitar untuk mengurus jasad wanita malang itu.Semenjak saat itu lah Bu Tiwel merawat Alina dengan penuh kasih sayang, layaknya putri sendiri.Namun yang selalu membuat Bu Tiwel risau adalah, kemampuan "spesial" yang di kecam di desa itu.Ya, desa Rejoseno menganggap bahwa orang yang memiliki kemampuan khusus adalah orang yang membawa kesialan.Warga desa Rejoseno sempat mengusir Bu Tiwel dan anaknya.Namun tetua desa tersebut berhasil mencegah warga.******Alina pun selesai makan, lalu membersihkan dirinya yang terasa sangat lengket."Bu, Alina kok semalem seperti melihat wanita di rumah ini, ya?" tanyanya."Wanita siapa? Cuma ada kira berdua di rumah, Nduk." jelas Bu Tiwel."Ada, Bu. Wanita cantik, tapi lama-lama wajahnya terlihat menyeramkan, Bu. Baunya busuk juga."Bu Tiwel pun mengernyitkan dahi bingung.Padahal tak ada siapa pun orang lain selain dirinya dan Alina di sini."Ah, kamu cuma mimpi kali, Nduk. Semalem Ibu lihat kamu tidur pulas, kok. Udah jangan di fikirkan, mungkin kamu juga kecapekan. Bantu Ibu aja, yuk." ucap Bu Tiwel tak ingin membuat Sang Anak terus mengingat kejadian semalam.Alina mengangguk dan mengekor di belakang Bu Tiwel.Alina membantu membersihkan rumput liar di kebun yang cukup luas milik mereka yang terletak di belakang rumah.Alina juga memetik beberapa sayur mayur untuk diolah menjadi makanan, juga memetik tomat dan cabai untuk di masak.Selain sayur, Bu Tiwel pun menanam singkong dan ubi.Pohon pisang yang tumbuh dengan liar pun dimanfaatkan Bu Tiwel untuk di jual bersama dengan sayur mayurnya. Barulah sisanya mereka buat makan sehari-hari.Alina tengah bermain di kebun penuh rumpun bambu dekat dengan kebun miliknya."Nduk, wis surup(sudah senja), ayo masuk.""Nggih(iya), Bu."Alina bangkit dari duduknya, menepuk pelan baju belakangnya menyingkirkan debu yang menempel.Srek ... Srek ... Srek ...Alina pun menghentikan aktifitasnya dan menoleh mencari sumber suara.Dilihatnya seorang gadis seusia dengannya tengah mengintip dibalik rimbunnya pohon bambu.Alina pun menghampiri gadis itu dan menyapanya."Hai, kamu kenapa mengintip? Apa kamu mau main sama aku?" tanya Alina, gadis itu pun mengangguk."Tapi maaf, aku hari ini harus pulang. Bagaimana kalau besok kita main bersama? Oh ya, nama aku Alina." Alina menyodorkan tangannya.Gadis itu pun menyambut uluran tangan Alina. Rasa dingin terasa saat Alina menjabat tangan gadis itu."Rose," jawabnya singkat."Nduk, ayo pulang!" teriakan Bu Tiwel menyadarkan Alina."Rose, aku pulang dulu ya, Ibu sudah nyariin."Tanpa mendengar jawaban dari Rose, Alina berlari menuju rumahnya."Ka
Pagi itu, salah seorang tetangga meminta izin untuk menimba air di sumur milik Bu Tiwel.Jaman itu, tak banyak warga yang mempunyai kamar mandi di dalam rumah, atau yang memiliki sumur.Hanya orang dengan harta berkecukupan, atau saudagar kaya yang mempunyai kamar mandi di dalam.Sedangkan kebanyakan warga yang memiliki kekurangan ekonomi, masih melakukan aktifitas mandi, mencuci bahkan mengambil air di sungai yang jarak tempuhnya cukup jauh dari desa.Sedangkan untuk masyarakat dengan strata sosial menengah seperti Bu Tiwel biasanya memiliki kamar mandi yang terletak di belakang rumah.Meksi terpisah, Bu Tiwel merasa bersyukur karena dirinya tak perlu jauh-jauh untuk melakukan aktifitas hariannya.Bahkan tak jarang, Bu Tiwel memperbolehkan warga yang berusia sepuh atau sakit dan memiliki banyak anak untuk menggunakan kamar mandinya.Bahkan Bu Tiwel tak memungut biaya sepeser pun untuk fasilitas yang dia berikan pada orang yang membutuhkan.Hal itu pula yang memantik kemarahan para s
Yuni pingsan setelah mengatakan hal itu kepada Ki Reksa-suaminya.Ki Reksa panik bukan kepalang, dengan sigap Ki Reksa mengangkat tubuh Yuni dan membaringkannga ke atas ranjang."Kamu ini kenapa bisa sampai seperti ini, Yun? Bikin aku khawatir aja!" Ki Reksa menggerutu sambil sesekali memberi aroma teraphi ke hidung Yuni.Perlahan mata Yuni bergerak, Yuni pun perlahan membuka matanya."Aduh!" ucapnya sambil memegang kepalanya."Kangmas? Saya kenapa?" tanya Yuni."Kamu pingsan, kecapekan kamu itu. Sudah, ayo kita makan bersama, saya lapar! Habis itu kita tidur."Yuni pun berusaha untuk bangkit lalu berjalan mengikuti Ki Reksa untuk makan bersama.Yuni mengambil nasi dan lauk pauknya lalu menyodorkannya kepada Ki Reksa.Seusai makan, Yuni membersihkan sisa makanan lalu menyusul suaminya ke dalam kamar."Kangmas kemana saja, toh? Belakangan ini sering sekali pergi saat malam hari?" ucap Yuni mencurigai suaminya."Pergi kemana? Ngaco saja kamu kalau bicara." kilah Ki Reksa."Saya gak ngac
Kriet ... Kriet ... Kriet ...Senandung tembang jawa terdengar lirih menggema di dalam kamar.Alina duduk menatap cermin di depannya sambil sesekali menyisir rambut panjangnya."Rose, aku penasaran sama kamu. Kamu kok masih di sini terus, aku takut orang tua kamu khawatir," ucap Alina masih dengan menyisir rambutnya."Belum saatnya kamu tahu, Alina." jawab Rose."Lalu, kapan?" tanya Alina.Rose hanya tersenyum sambil memainkan kakinya di atas ranjang Alina.Tok ... Tok ... Tok ..."Nduk, kamu belum tidur?" teriak Bu Tiwel dari depan kamar Alina."Iya, Bu. Ini Lina akan tidur sekarang." jawabnya.Alina menghentikan aktifitasnya menyisir dan berjalan mendekati tempat tidurnya."Aku tidur dulu, Rose. Kamu bisa tidur di sebelah aku." Rose pun hanya mengangguk menanggapi ucapan Alina.Alina memejamkan matanya, tak butuh waktu lama bagi Alina untuk tertidur.Setelah Alina tertidur, Rose bangun dan menjauh dari tempat Alina tertidur."Akan ada saatnya untukmu membantuku, Alina. Kamu anak yan
Kinanthi panglipur wuyungRerenggane prawan sunthiDurung pasah doyan nginangTapih pinjung tur mantesiMendah gene yen diwasaBumi langit gonjang ganjingBi Tiwel mendendangkan tembang kinanthi sebagai lagu penghantar tidur untuk Sang Puteri, sambil mengelus puncak kepala Sang Anak sehingga Alina terbuai dalam mimpi indahnya.Lagu yang berisi kasih sayang dan nasehat itu selalu beliau dendangkan untuk Alina."Tidur lah, Cah Ayu. Hidupmu akan diuji dengan banyak cobaan. Ibu harap kamu akan kuat menghadapi garis takdir yang Gusti takdirkan untukmu. Maaf bila Ibu tak bisa banysk membantu kamu, hanya do'a yang bisa Ibu beri untuk kamu," ucapnya lirih.Setelah dipastikan Sang Anak terlelap, Bu Tiwel pun turun dari ranjang dan keluar kamar Alina.Rosaline yang sedari tadi memperhatikan Bu Tiwel pun akhirnya turun dan duduk tepat di sebelah Alina."Begitu beruntung dirimu, Nduk. Beliau bukan Ibu kandungmu, namun beliau memperlakukan kamu selaiknya anak sendiri. Kasih sayang yang diberi Ibum
Alina memikirkan betul permintaan ustad Ahmad untuk membawa dirinya pergi belajar di tempat yang amat jauh.Alina hanya memikirkan bagaimana nasib Sang Ibu yang akan dia tinggal nantinya.Pasalnya, Alina bukan hanya satu dua hari saja belajar bersama ustad Ahmad."Aku harus bagaimana?" gumamnya sambil menatap lurus ke luar jendela.Srek ... Srek ... Srek ...Alina terkejut ketika mendengar suara daun bergesekan.Dengan tajam, Alina memandang hamparan tanah luas di hadapannya tersebut."Gak ada siapa-siapa, kok. Tapi kenapa aku mendengar suara seperti daun terinjak?" ucapnya memindai sekitarnya.Pasalnya, hari sudah malam. Sangat jarang untuk warga Rejoseno beraktifitas pada malam hari.Apalagi melewati kebun bambu dekat rumah Alina itu.Alina berusaha untuk mengabaikannya. Namun, semakin dia abai, semakin gencar pula suara tersebut mendekat ke arahnya.Srek ... Srek ... Srek ...Alina berusaha memindai sekali lagi untuk memastikan siapa yang berusaha mengusiknya."Siapa disana?" ucap
Pagi itu, Bu Tiwel mempersiapkan segala keperluan dan bekal yang akan Alina bawa selama di perjalanan nanti.Tak lupa Bu Tiwel juga mempersiapkan bekal juga untuk ustad Ahmad."Nduk! Nduk!" panggil Bu Tiwel.Dengan segera Alina berlari kecil menghampiri Bu Tiwel."Ada apa, Bu?" tanya Alina."Ini sudah Ibu siapkan bekal untuk di perjalanan nanti, jangan lupa di masukkan ke dalam tas, Nduk. Ibu lebihkan juga supaya kamu bisa berbagi dengan ustad Ahmad," ucap Bu Tiwel."Iya, Bu. Terimakasih Ibu sudah repot mempersiapkan ini semua, Alina kan bisa sendiri," jawabnya memeluk Sang Ibu."Ngerepotin apa si, Nduk. Kamu anak Ibu, masa iya ngerepotin. Sudah, masukkan dalam tas, takut tertinggal!"Alina pun bangkit dan berjalan menuju kamar untuk meletakkan bekalnya ke dalam tas.Harum mawar menguar menusuk indera penciumannya."Rose, aku tahu itu kamu." ucap Alina tanpa memperhatikan sekelilingnya.Alina sangat faham harum yang selama ini berada di sekitarnya.Rose, bagi Alina memiliki harum yang
Ustad Ahmad, Alina dan Sang Kusir memilih bermalam di sebuah rumah tua yang terletak di pinggir hutan.Sang Kusir awalnya menolak untuk bermalam di rumah tua tak berpenghuni tersebut, namun dia terpaksa karena memang tidak ada lagi tempat untuknya beristirahat.Kriet ...Suara derit pintu tua begitu menganggu pendengaran.Suasana di rumah itu sangat rapi, bahkan lantai dan dindingnya tidak berdebu atau pun bersarang laba-laba.Meja, kursi dan yang lainnya pun bahkan tampak terawat. Hanya tercium bau khas kayu saja, karena memang rumah tua itu terbuat dari kayu.Ustad Ahmad dan Alina sempat curiga, bagaimana bisa bangunan tua yang tampak reot bahkan dipenuhi sulur merambat pada bagian depan rumah itu, ternyata sangat terawat di bagian dalamnya.Ustad Ahmad dan Alina pun menepis fikiran buruk yang bertandang ke fikiran mereka.Berbeda dengan mereka berdua, Sang Kusir langsung berlari masuk ke dalam rumah dan membuka satu persatu pintu dan memilih kamar mana yang mau dia tempati.Rumah t
Bu Tiwel yang sedang menyapu halaman belakang rumahnya, dikejutkan oleh suara ketukan di pintu rumahnya. Tok ... Tok ... Tok ..."Ya, sebentar!" sahutnya dari dalam rumah.Tak mau menunggu Sang Tamu, Bu Tiwel berlari dari arah belakang menuju depan dan membukakan pintunya.Tampak seorang wanita paruh baya dengan kebaya berwarna putih dengan corak bunga mawar di setiap sudut bawah, bersanggul model ukel konde bak bangsawan keraton, membuat Bu Tiwel merasa heran. "Permisi, apa benar ini rumah Ibu Tiwel?" tanya wanita itu. "Ya, benar. Sampean(kamu) ini siapa?" tanya Bu Tiwel. "Perkenalkan, saya Maryati, panggil saja Mbok Mar. Kedatangan saya ke sini untuk menemani Ibu selama Nduk Alina pergi," jelas Mbok Mar."Mari masuk dahulu, Mbok."Mbok Mar mengikuti langkah kaki Ibu Tiwel.Ibu Tiwel pergi ke dapur untuk mengambil minuman dan beberapa cemilan untuk disuguhkan kepada Mbok Mar."Silahkan Mbok, seadanya saja tapi Mbok," ucap Bu Tiwel."Terimakasih banyak," jawab Mbok Mar.Bu Tiwel
Fajar perlahan bergerak naik, menandakan bahwa hari sudah pagi.Alina yang tidak bisa tidur setelah melihat bagaimana kejamnya seorang Bapak dan Ibu menumbalkan putri mereka hanya demi kekayaan dan kedigdayaan semata, membuat Alina terus merasa iba.Terlebih lagi, gadis kecil itu adalah Rose.Alina pun membulatkan tekadnya untuk menumpas habis pesugihan yang masih terjadi saat ini.Alina tidak ingin jika korban gadis-gadis remaja akan terus berjatuhan hanya karena duniawi dan keegoisan semata.Hanya karena menginginkan harta secara instan, mereka rela mengorbankan orang lain, bahkan anak sendiri.Sekali pun pelaku pesugihan itu telah tiada, namun biasanya ritual akan terus dilakukan hingga keturunan yang telah mereka sepakati bersama dengan junjungan mereka.Tok ... Tok ... Tok ..."Nduk, kamu sudah bangun?" ketuk ustad Ahmad mencoba membangunkan Alina.Ceklek."Sudah ustad, saya sudah bangun dari tadi. Bahkan saya belum tidur lagi," jelas Alina."Ya sudah, nanti kita lanjutkan lagi n
Ustad Ahmad, Alina dan Sang Kusir memilih bermalam di sebuah rumah tua yang terletak di pinggir hutan.Sang Kusir awalnya menolak untuk bermalam di rumah tua tak berpenghuni tersebut, namun dia terpaksa karena memang tidak ada lagi tempat untuknya beristirahat.Kriet ...Suara derit pintu tua begitu menganggu pendengaran.Suasana di rumah itu sangat rapi, bahkan lantai dan dindingnya tidak berdebu atau pun bersarang laba-laba.Meja, kursi dan yang lainnya pun bahkan tampak terawat. Hanya tercium bau khas kayu saja, karena memang rumah tua itu terbuat dari kayu.Ustad Ahmad dan Alina sempat curiga, bagaimana bisa bangunan tua yang tampak reot bahkan dipenuhi sulur merambat pada bagian depan rumah itu, ternyata sangat terawat di bagian dalamnya.Ustad Ahmad dan Alina pun menepis fikiran buruk yang bertandang ke fikiran mereka.Berbeda dengan mereka berdua, Sang Kusir langsung berlari masuk ke dalam rumah dan membuka satu persatu pintu dan memilih kamar mana yang mau dia tempati.Rumah t
Pagi itu, Bu Tiwel mempersiapkan segala keperluan dan bekal yang akan Alina bawa selama di perjalanan nanti.Tak lupa Bu Tiwel juga mempersiapkan bekal juga untuk ustad Ahmad."Nduk! Nduk!" panggil Bu Tiwel.Dengan segera Alina berlari kecil menghampiri Bu Tiwel."Ada apa, Bu?" tanya Alina."Ini sudah Ibu siapkan bekal untuk di perjalanan nanti, jangan lupa di masukkan ke dalam tas, Nduk. Ibu lebihkan juga supaya kamu bisa berbagi dengan ustad Ahmad," ucap Bu Tiwel."Iya, Bu. Terimakasih Ibu sudah repot mempersiapkan ini semua, Alina kan bisa sendiri," jawabnya memeluk Sang Ibu."Ngerepotin apa si, Nduk. Kamu anak Ibu, masa iya ngerepotin. Sudah, masukkan dalam tas, takut tertinggal!"Alina pun bangkit dan berjalan menuju kamar untuk meletakkan bekalnya ke dalam tas.Harum mawar menguar menusuk indera penciumannya."Rose, aku tahu itu kamu." ucap Alina tanpa memperhatikan sekelilingnya.Alina sangat faham harum yang selama ini berada di sekitarnya.Rose, bagi Alina memiliki harum yang
Alina memikirkan betul permintaan ustad Ahmad untuk membawa dirinya pergi belajar di tempat yang amat jauh.Alina hanya memikirkan bagaimana nasib Sang Ibu yang akan dia tinggal nantinya.Pasalnya, Alina bukan hanya satu dua hari saja belajar bersama ustad Ahmad."Aku harus bagaimana?" gumamnya sambil menatap lurus ke luar jendela.Srek ... Srek ... Srek ...Alina terkejut ketika mendengar suara daun bergesekan.Dengan tajam, Alina memandang hamparan tanah luas di hadapannya tersebut."Gak ada siapa-siapa, kok. Tapi kenapa aku mendengar suara seperti daun terinjak?" ucapnya memindai sekitarnya.Pasalnya, hari sudah malam. Sangat jarang untuk warga Rejoseno beraktifitas pada malam hari.Apalagi melewati kebun bambu dekat rumah Alina itu.Alina berusaha untuk mengabaikannya. Namun, semakin dia abai, semakin gencar pula suara tersebut mendekat ke arahnya.Srek ... Srek ... Srek ...Alina berusaha memindai sekali lagi untuk memastikan siapa yang berusaha mengusiknya."Siapa disana?" ucap
Kinanthi panglipur wuyungRerenggane prawan sunthiDurung pasah doyan nginangTapih pinjung tur mantesiMendah gene yen diwasaBumi langit gonjang ganjingBi Tiwel mendendangkan tembang kinanthi sebagai lagu penghantar tidur untuk Sang Puteri, sambil mengelus puncak kepala Sang Anak sehingga Alina terbuai dalam mimpi indahnya.Lagu yang berisi kasih sayang dan nasehat itu selalu beliau dendangkan untuk Alina."Tidur lah, Cah Ayu. Hidupmu akan diuji dengan banyak cobaan. Ibu harap kamu akan kuat menghadapi garis takdir yang Gusti takdirkan untukmu. Maaf bila Ibu tak bisa banysk membantu kamu, hanya do'a yang bisa Ibu beri untuk kamu," ucapnya lirih.Setelah dipastikan Sang Anak terlelap, Bu Tiwel pun turun dari ranjang dan keluar kamar Alina.Rosaline yang sedari tadi memperhatikan Bu Tiwel pun akhirnya turun dan duduk tepat di sebelah Alina."Begitu beruntung dirimu, Nduk. Beliau bukan Ibu kandungmu, namun beliau memperlakukan kamu selaiknya anak sendiri. Kasih sayang yang diberi Ibum
Kriet ... Kriet ... Kriet ...Senandung tembang jawa terdengar lirih menggema di dalam kamar.Alina duduk menatap cermin di depannya sambil sesekali menyisir rambut panjangnya."Rose, aku penasaran sama kamu. Kamu kok masih di sini terus, aku takut orang tua kamu khawatir," ucap Alina masih dengan menyisir rambutnya."Belum saatnya kamu tahu, Alina." jawab Rose."Lalu, kapan?" tanya Alina.Rose hanya tersenyum sambil memainkan kakinya di atas ranjang Alina.Tok ... Tok ... Tok ..."Nduk, kamu belum tidur?" teriak Bu Tiwel dari depan kamar Alina."Iya, Bu. Ini Lina akan tidur sekarang." jawabnya.Alina menghentikan aktifitasnya menyisir dan berjalan mendekati tempat tidurnya."Aku tidur dulu, Rose. Kamu bisa tidur di sebelah aku." Rose pun hanya mengangguk menanggapi ucapan Alina.Alina memejamkan matanya, tak butuh waktu lama bagi Alina untuk tertidur.Setelah Alina tertidur, Rose bangun dan menjauh dari tempat Alina tertidur."Akan ada saatnya untukmu membantuku, Alina. Kamu anak yan
Yuni pingsan setelah mengatakan hal itu kepada Ki Reksa-suaminya.Ki Reksa panik bukan kepalang, dengan sigap Ki Reksa mengangkat tubuh Yuni dan membaringkannga ke atas ranjang."Kamu ini kenapa bisa sampai seperti ini, Yun? Bikin aku khawatir aja!" Ki Reksa menggerutu sambil sesekali memberi aroma teraphi ke hidung Yuni.Perlahan mata Yuni bergerak, Yuni pun perlahan membuka matanya."Aduh!" ucapnya sambil memegang kepalanya."Kangmas? Saya kenapa?" tanya Yuni."Kamu pingsan, kecapekan kamu itu. Sudah, ayo kita makan bersama, saya lapar! Habis itu kita tidur."Yuni pun berusaha untuk bangkit lalu berjalan mengikuti Ki Reksa untuk makan bersama.Yuni mengambil nasi dan lauk pauknya lalu menyodorkannya kepada Ki Reksa.Seusai makan, Yuni membersihkan sisa makanan lalu menyusul suaminya ke dalam kamar."Kangmas kemana saja, toh? Belakangan ini sering sekali pergi saat malam hari?" ucap Yuni mencurigai suaminya."Pergi kemana? Ngaco saja kamu kalau bicara." kilah Ki Reksa."Saya gak ngac
Pagi itu, salah seorang tetangga meminta izin untuk menimba air di sumur milik Bu Tiwel.Jaman itu, tak banyak warga yang mempunyai kamar mandi di dalam rumah, atau yang memiliki sumur.Hanya orang dengan harta berkecukupan, atau saudagar kaya yang mempunyai kamar mandi di dalam.Sedangkan kebanyakan warga yang memiliki kekurangan ekonomi, masih melakukan aktifitas mandi, mencuci bahkan mengambil air di sungai yang jarak tempuhnya cukup jauh dari desa.Sedangkan untuk masyarakat dengan strata sosial menengah seperti Bu Tiwel biasanya memiliki kamar mandi yang terletak di belakang rumah.Meksi terpisah, Bu Tiwel merasa bersyukur karena dirinya tak perlu jauh-jauh untuk melakukan aktifitas hariannya.Bahkan tak jarang, Bu Tiwel memperbolehkan warga yang berusia sepuh atau sakit dan memiliki banyak anak untuk menggunakan kamar mandinya.Bahkan Bu Tiwel tak memungut biaya sepeser pun untuk fasilitas yang dia berikan pada orang yang membutuhkan.Hal itu pula yang memantik kemarahan para s