Part 27Diah berangkat sekolah seperti biasa. Setelah mengungkapkan kekesalan dengan marah-marah pada Sela, kini perasaannya sudah lega. Tidak peduli lagi dengan gaji yang belum diberikan.“Kok bawa alpukat?” tanya Asih pada Diah.“Iya. Mau diantar buat Pak Pengawas,” jawab Diah enteng.“Kok tahu kalau kamu punya alpukat?”“Orang penting terkenal dengan pangkat dan jabatannya. Orang cantik terkenal dengan kecantikannya. Petani terkenal dengan hasil panennya. Tukang selingkuh, pasti terkenal dengan perilakunya itu. Padahal aku tidak memberitahu Pak Pengawas kalau aku punya alpukat, ‘kan? Tapi beliau tahu. Itu karena apa? Berita dari mulut ke mulut. Makanya kalau ada yang tahu tentang kita, tidak boleh menuduh sembarang orang. Bisa-bisa dia akan memberitahu segalanya daripada difitnah.” Diah sengaja menyindir Sela.Sela sebenarnya sudah tidak punya muka di hadapan Diah, tetapi ia tidak punya uang untuk memberikan gaji guru honor itu.mendengar Diah akan bertemu dengan pengawas, hatinya p
Part 28“Lhoh kok saya, Pak?” protes Ambar lantang.“Saya sedang mencontohkan. Semoga bukan Bu Ambar begitu ya? Semoga bukan Bu Ambar yang melakukan perundungan di kelas. Semoga itu orang lain,” kata Roni. “Semoga juga bukan Pak Sela yang selalu menghabiskan waktu di sekolah dengan teman perempuan ya? Semoga juga bukan Pak sela yang menahan gaji guru wiyata bakti. Kasihan, mereka ini tulus mengajar dan membantu kita di sekolah. Jangan dizalimi. Allah itu akan mendengar doa-doa orang yang terzalimi lho.”Jika minuman yang di hadapan Sela bisa menghilangkannya seketika, ia pasti akan memilih pindah sementara waktu ke alam jin. Apa yang diucapkan Roni bukan sebuah sindiran lagi. Itu benar-benar peringatan yang diucapkan di hadapan orang banyak. Peserta KKG tentu saja akhirnya paham, siapakah sosok yang sedang diperbincangkan. Namun, timbul pertanyaan siapakah sosok yang anaknya disiksa?Beberapa saat kemudian, mereka tahu dari saling bisik.Ambar bersikap cuek dengan apa yang didengarnya
Part 29“Pantaskah seorang guru berperilaku seperti ini, Ambar?” tanya Catur dengan suara bergetar. “Aku mengizinkanmu, menemani kamu hingga di titik ini,bahkan berkorban banyak uang untuk kepindahan kamu kemari. Juga kehilangan lahan pekerjaanku di pasar, tapi kamu sekarang merendahkanku, Ambar. Kamu telah menginjak-injak harga diriku dengn seenaknya tidur dengan lelaki lain.” Mata Catur merah karena amarah yang dipendam sekian lama.“Kembalikan handuknya!” teriak Ambar yang terpojok duduk di samping kasur busa tanpa sehelai benangpun.“Kenapa minta dikembalikan? Aku suami kamu. Apa kamu malu di hadapanku seperti ini? Dimana urat malumu saat tidur bersama laki-laki yang bukan suami kamu?” bentak Catur.Ambar bak disiram air comberan. Meski yang ada di hadapannya adalah Catur, sang suami. Akan tetapi, dengan bekas merah di beberapa tubuhnya, ia masih memiliki malu.“Dimana kamu melakukannya? Dimana?” bentak Catur sambil menjambak rambut Ambar.“Kamu sudah melakukan kekerasan sama aku,
Part 30Diah merasa bingung dengan foto-foto yang baru saja diterimanya. Muncul pesan lagi yang dikirim oleh nomor Ambar.Ambar: Maaf, Mbak, saya lancang. Saya suami Ambar. Hp nya sudah ada sama saya. Saya melihat semua percakapan yang ada di ponselnya akhirnya saya tahu masalah dia dengan Mbak Diah apa. Saya cuma mau memberi support saja sama Mbak Diah sebagai manta rivalnya bahwa orang yang sudah menghina Mbak Diah selama ini bukanlah orang yang baik.Diah mematikan layar ponsel. Apapun yang menimpa Ambar di belakang sana bukanlah urusannya. Tanpa diberikan foto-foto itu, ia sudah tahu apa yang terjadi. Ia menghapus foto yang tidak layak dilihat anak-anaknya. Namun, tidak dengan pesan yang Catur kirim.Malam itu, dengan tertatih, Ambar membersihkan kamarnya yang berantakan. Sementara kamar lain telah ditempati Catur dan tertutup rapat. Pikirannya kacau. Tuntutan Catur tentang uang yang sudah digunakan, foto yang ia rasa sudah tidak aman, juga luka yang dirasakan akibat penganiayaan
Sepeninggal Rozai, Rizal menggelar sajadah di mushola kecil dalam rumah. Ia berdzikir sambil terus memohon agar tidak terjadi pertikaian besar.Rozai yang ke rumah Sari bertemu dengan Joko untuk mencari tahu dimana rumah kontrakan Ambar.“Aku sudah menasehati dia. Tapi dia itu susah dinasehati,” kata Joko sambil berlari kecil mengikuti langkah Rozai yang sangat cepat.Brak!Pintu yang ditutup terbuka.Diah menganga melihat ayahnya datang. Ia sudah yakin akan terjadi pertengkaran besar jika Rozai sampai turun tangan.“Mana yang namanya Ambar?” hardik Rozai. Tentu saja ia langsung bisa mengenali sosok yang dicari, karena disana hanya ada tiga wanita yang dua diantaranya sudah dikenal. “Oh, jadi kamu, perantauan yang sok cari masalah disini?” bentaknya.“Sabar, Sabar, Kang, mari kita selesaikan dengan cara kekeluargaan. Tidak enak sudah malam nanti didengar orang,” kata Joko mencoba mengajak Rozai duduk.Dengan sekali gerakan, tubuh Joko yang mencoba menghalangi didorong oleh Rozai hingg
Part 32“Kamu tidak apa-apa ‘kan di sana?” tanya Rizal yang masih memakai sarung dan peci.Diah melirik sekilas saja lalu masuk ke kamarnya.“Aku sudah berdoa tadi saat kamu berangkat ke rumah kontrakan Bu Ambar,” kata Rizal yang mengikuti Diah di belakangnya. “Syukurlah kamu tidak kenapa-napa.”“Yang kenapa-kenapa ya bukan aku lah, Mas. Karena posisinya aku yang dizalimi. Aku yang dijahati. Bukan sebaliknya,” jawab diah sewot.“Besok aku akan menemui Bu Ambar.”“Kenapa besok? Kenapa gak tadi ikut kesana buat memberi pelajaran sama dia?”“Diah, tidak semua orang memiliki mental berani seperti kamu dan Pak Rozai. Aku memang tidak berani menghadapi masalah-masalah yang berpotensi menimbulkan adu mulut.”“Lalu, besok kamu mau menemui Ambar mau apa? Semua sudah selesai. Kenapa baru sekarang menemui Ambar? Kenapa tidak waktu membantu Meida menyapu? Kamu jatuh cinta sama dia?”“Jangan menuduh!”“Tidak usah menemui Ambar. Palingan kamu akan luluh dengan sikapnya yang bermuka dua.”Diah memba
Part 33“Tidak. Karena Bunda sakit. Ayo, Ndis mandi,” ajak Catur.“Jangan bawa Gendis pergi!” Ambar membuka selimut yang menutup wajah. Matanya sembab dan basah.“Istirahatlah! Kamu akan melewati banyak hal. Biarkan Gendis aman dan nyaman bersamaku. Aku tidak mau dia melihat peristiwa seperti semalam lagi,” kata Catur pelan.Catur seorang lelaki yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Ia melakukan kekerasan pada Ambar karena hatinya sudah merasa sakit.“Ayo, Ndis, kita mandi.”“Aku gak mau pulang kalau gak sama Bunda.”“Kita akan bersama di sini. Biarkan Ayah pulang,” sahut Ambar.“Bunda, aku tidak mau ditinggal Ayah. Aku ingin kita bersama-sama.”“Ayah sudah mau meninggalkan kita.”“Baik kalau kamu belum mau melepaskan Gendis pulang, aku tak memaksa. Karena dia sudah cukup tertekan dengan apa yang terjadi. Aku hanya berpesan, jangan lagi ada permasalahan seperti semalam. Jaga perilaku!” Catur memeluk Gendis erat sekali. “Ayah pulang. Nanti Ndis Ayah jemput ya? Nunggu Ayah punya uan
Catur mengusap air mata yang terus mengalir dengan satu tangannya. Ia sangat mencintai Ambar, tetapi sadar jika telah dicampakkan.“Ayah … jangan pergi!” Masih terdengar teriakan Gendis saat ia mulai menghidupkan mesin kendaraan.‘Aku tidak akan menoleh. Maafkan Ayah, Gendis.’ Catur menarik tuas gas pelan.Gendis menangis sesenggukan sambil duduk memeluk lututnya.“Nanti kita beli es krim ya?” tanya Ambar.Gendis menggeleng.“Mau beli apa? Beli ayam bakar?”Gendis menggeleng lagi.“Ndis mau beli apa?”Gendis menatap ibunya lekat. “Ndis mau Ayah di sini sama kita. Ndis takut sendirian.”“Besok Ndis ikut Bunda ke sekolah, ya?”“Bunda kenapa Ayah pergi? Bunda kenapa tidak menahan Ayah?”Gendis terus menangis. Ambar jadi pusing dibuatnya. Badannya tidak enak sekali, harus menghadapi tangisan Gendis. Biasanya ia tidak perlu repot karena Catur lah yang mengurus Gendis.Ia membiarkan anaknya menangis di depan televisi seorang diri. Ambar yang kesal hanya membiarkan anaknya tanpa menghibur. I
EKSTRA PARTPuntung rokok berserakan. Aroma kamar tentu saja tidak sedap. Ditambah lagi beberapa botol minuman yang masih ada isinya dan berhari-hari tidak dibuang.Micella menyesap rokok dalam keadaan terbatuk-batuk. Semenjak Sekar menjauh dari hidupnya hingga akhirnya menikah dengan Catur, hidupnya sudah tidak terarah lagi. Ia keluar dari kampus, kembali ke kotanya dan setiap hari hanya mabuk-mabukan saja.Orang tua Micella sudah kehabisan akal untuk bisa menyembuhkan putri kesayangan dari perbuatan menyimpang. Mereka hanya bisa pasrah dan merawat Micella dengan sebaik-baiknya.Suatu pagi, Micella yang merasa suntuk jalan-jalan keliling komplek. Duduk sendiri di sebuah kursi panjang di trotoar membuat ingatannya berlari pada masa dimana ia dan Andrew masih sekolah. Dengan tatapan kosong memandang rumah yang ada di depan sana. Tempat tinggal sang mantan kekasih, sosok yang sudah tidak akan pernah ia miliki.“Kamu sedang melihat apa di sana, Micel?” Sebuah suara membuat Micella kaget
Part 94 “Maaf, Bu, saya tidak tahu apa-apa. Saya seorang muslim dan saya tidak akan berpindah agama. Cella, kamu keterlaluan melakukan ini semua. Aku tidak suka dengan cara kamu ini,” ucap Sekar marah. “Cella, memilih sebuah agama atau berpindah keyakinan, itu adalah keinginan dari setiap orang. Kamu memaksa orang seperti ini? Maaf, Cella, kami tidak akan pernah menerima siapapun. kamu sudah sangat salah melakukan ini,” kata suster kecewa. Sekar menangis sejadi-jadinya. “Bu, tolong pesankan saya taksi untuk pulang. Saya takut dengan dia, Bu, dia sudah membawa saya ke rumah yang di sana ada pesta s e x sesama jenis. Saya sangat takut dan saya ingin pulang,” kata Sekar yang tiba-tiba memiliki keberanian untuk mengadu. Suster yang sudah berusia di atas lima puluh tahun itu menatap marah pada Boy. “Benar kamu melakukan ini?” “Saya pamit pulang. Saya akan mengantar dia,” kata Cella menarik lengan Sekar secara paksa. “Tidak! Aku akan pulang sendiri,” kata Sekar sambil mengusap air mata
Part 93Sekar ketakutan setengah mati. Terlebih saat merasakan pintu seperti ada yang menggedor. Ia menangis sejadi-jadinya.“Bapak, Ibu, maafkan aku ...,” lirihnya sambil berurai air mata.“Sekar, buka pintunya! Sekar, ini aku, Boy. Buka pintunya!” teriak seseorang dari luar.Antara takut dan ingin mendapat pertolongan, Sekar ragu untuk membuka. Sempat terlintas keinginan untuk kabur, tetapi jendela rupanya memiliki teralis besi yang sangat kuat.“Sekar, buka pintunya!” teriak Sekar dari luar.Sekar bangkit perlahan dan mulai memutar kunci. Membuka sedikit dan berjaga-jaga. Rupanya di luar sudah sepi dan lampu sudah menyala terang, tidak seperti tadi yang menggunakan lampu remang-remang.“Boy, kamu dari mana?” pekik Sekar bernapas lega.“Maaf, aku tadi lama ya keluarnya? Kamu menangis? Buka yang lebar pintunya,” kata Cella yang memahami jika Sekar ketakutan.“Siapa mereka, Boy? Siapa mereka?” tanya Sekar.“Siapa? Tidak ada siapa-siapa,” jawab Cella.“Tidak, Boy, aku tadi melihat bebe
Selama beberapa hari di rumah, Sekar sama sekali tidak berani bermain media sosial. Ia takut berhubungan dengan Boy meskipun rindu dalam hatinya sudah menggunung.Hardi sering menasehati Sri untuk tidak terlalu keras. “Anak kita sedang butuh pertolongan, beri kasih sayang pada dia agar tidak merasa butuh kasih sayang dari orang lain.” Begitulah kalimat yang selalu diucapkan pada sang istri.Perlahan hati Sri mulai melunak. Pagi hari ia akan membangunkan Sekar untuk sholat Subuh, lalu mengajak Sekar berbelanja dan memasak. Wanita itu berusaha mendekatkan diri dengan putrinya.Sekar mulai mau beribadah lima waktu, meski terkadang ia melakukan itu karena merasa terpaksa.“Tuhan itu ada dalam hati kita. Kalau kita beriman pada Tuhan, cukuplah setiap waktu mengingatNya, cukuplah setiap saat menjadi waktu untuk beroda. Tak perlu kamu beribadah lima waktu sehari yang itu justru membebani kamu. Agama itu jangan dijadikan beban. Kalau kamu terus menerus mengingat ibadah, kamu tidak akan punya
Part 91Sekar berlari menghampiri Boy yang hendak masuk.“Kenapa?” Boy bertanya saat paham dirinya seperti ditahan masuk.“Jangan masuk dulu, Boy! Ibu sedang sensitif sekali,” jawab Sekar dengan menahan rasa tidak enak.“Ok, aku bawa kabar bahagia untuk kamu. Aku sudah beli rumah untuk kita tinggali, jadi, kamu tidak akan kubawa hidup di tempat kontrakan lagi,” ucap Boy dengan posisi terhalang pintu pagar setinggi satu meter.“Iya, tapi aku tidak bisa pergi sekarang. Ibu masih membutuhkanku,” sahut Sekar.Meski kecewa, Boy berusaha tersenyum. “Tak apa, kamu akan kujemput kapanpun kamu sudah siap.”Sekar dilema. Wajahnya terlihat bimbang. “Bisakah kamu belajar melupakanku? Aku juga akan belajar melupakan kamu. Bagaimanapun apa yang kita lakukan ini salah,” katanya dengan wajah yang berubah sedih.“Aku tidak akan melarang kamu untuk merawat ayah kamu kok. Kita akan hidup bersama, suatu hari nanti. Aku akan setia menunggu sampai kamu selesai dengan tugasmu di rumah ini,” ucap Boy.Sekar
Part 90POV AuthorDiary Cella.Lembar pertama.Masa SMA yang bahagia. Pulang naik bus, berdesak-desakan dengan siswa dari sekolah lain rasanya menyenangkan. Meski Mami dan Papi selalu menyediakan sopir, tetapi aku lebih senang naik bus. Apalagi setiap pagi sudah janjian dengan Andrew di ujung gang komplek perumahan.Kami dekat dan selalu bersama sejak SMP karena belajar di satu sekolah yang sama terus. Aku dan Andrew sudah sepakat kami pacaran. Dia ganteng dan sangat digemari siswa perempuan. Aku sangat beruntung mendapatkannya. Andrew sosok yang sangat perhatian. Kami banyak merangkai mimpi bersama dan saling janji akan menjaga cinta ini sampai dewasa nanti.***Sekar mengambil sebuah foto yang terletak balik halaman yang sudah dibaca. Foto Cella memakai seragam SMK bersama seorang yang diduga itu Andrew. Nampak serasi sekali. Tiba-tiba Sekar merasa dibakar api cemburu. Ia gegas membaca lagi halaman berikutnya.Lembar keduaHari ini adalah hari yang terberat dalam hidupku. Setelah u
Part 89Kami duduk di kursi taman depan rumah sakit sekarang. Alih-alih ingin memakan makanan yang dibawa Boy agar ia tidak kecewa, aku justru kehilangan seluruh rasa lapar. Sambil memegang styrofoam berisi mie lethek yang isinya masih penuh, aku memandangnya yang duduk di samping dengan tatapan kosong.“Kamu juga harus makan. Aku tidak akan muat makan segini banyak. Mienya saja masih banyak. Karena lihat kamu yang murung seperti itu.” Aku berusaha mengalihkan isi pikiran Boy.Ia menghela napas panjang tanpa beralih pandang.“Aku bukain, ya? Atau aku suapin mie?” Lama tak mendapat jawaban, aku berkata lagi.“Tidak perlu. Kamu makan saja sendiri. Kamu butuh tenaga untuk menghadapi segala kondisi yang mungkin tidak menyenangkan.” Kali ini ia mau memandangku.Aku tersenyum senang. Seperti ini saja sudah cukup. Iya, melihat tatapan Boy yang sangat penuh cinta, dunia ini tidak terasa sepi. Benar apa kata Boy, jika dengannya sudah menemukan bahagia, tak perlu juga mencari pasangan hidup yan
Part 87 (Masih POV Sekar) Setelah membereskan urusan Mas Catur, Boy jadi mendiamkan aku. Pagi itu, dia berangkat kuliah tanpa sarapan. “Aku sudah masak makanan kesukaan kamu. Kok langsung mau berangkat?” Aku menegur Boy yang tengah memakai sepatunya. Dia diam tidak menjawab. “Apa aku bawakan bekal buat kamu?” Aku bertanya lagi. Dia tetap diam. “Kamu marah karena aku menyuruhmu membersihkan nama Mas Catur?” Kali ini Boy mau menatapku. “Kamu suka lelaki itu?” Ia bertanya sinis. “Kalau aku suka Mas Catur, aku akan menerima perjodohan dan menikah dengannya. Buktinya aku masih disini menemani kamu, ‘kan? Apa ini belum cukup untuk membuktikan kalau aku menyayangimu dan lebih memilihmu?” Aku balik bertanya. “Dari dulu kamu tidak peduli dengan siapapun cowok yang kubuat menderita karena dekat dengan kamu. Kenapa sekarang kamu berbeda? Kamu mau mengelak kalau kamu punya rasa sama dia?” “Ibunya Mas Catur pernah berjasa pada keluargaku. Aku pernah berhutang budi pada mereka. Tidak seha
Part 86POV Sekar.Micella atau yang sering dipanggil Cella sama dosen, dia adalah sosok yang kukenal saat pertama kali masuk kampus ini. Tepatnya tiga tahun yang lalu. Cella anak yang tomboy, tetapi manis. Rambutnya panjang dan sering dikuncir kuda. Aku sangat suka melihat dan memperhatikan wajahnya lama.Kadang berpikir, aku saja yang perempuan suka melihat dia. Apalagi mahasiswa cowok?Saat kegiatan orientasi, Cella kerap dikerjain oleh senior. Mungkin karena kecantikan dan gaya asyik yang dia miliki.Tidak seperti kebanyakan mahasiswa baru, Cella santai saat disuruh maju. Melakukan apa saja yang diperintahkan padanya. Kadang malah senior cowok yang merasa salah tingkah. Iya, sejak pertama bertemu, aku sudah memperhatikan dia sedetail itu.Kami satu jurusan, tetapi beda kelas. Suatu ketika, aku mendaftar kegiatan kampus Mapala, Mahasiswa Pecinta Alam. Di sanalah kami akhirnya kenalan. Lebih tepatnya dia mengenalku, kalau aku sudah sering mencari tahu siapa Cella.Cella orang yang s