“Umpama aku tetap menikahi Kesi?”“Terserah kalian! Tapi harus tau konsekuensinya. Mas Badrun setiap saat bisa diinginkan Sang Ratu,” jawab Saimah dengan perasan tak karuan.Wanita berparas cantik ini khawatir pembicaraan mereka didengar oleh Sang Ratu. Tulah dari penguasa Gunung Kemukus tersebut tak bisa diremehkan karena bisa nyawa jadi taruhan.“Aku gak punya pilihan? Aku ingin bertanggung jawab. Ada apa dengan kalian?”tanya Badrun sembari menatap Saimah tajam.“Tolong, kalian bicarakan berdua! Harus ada kesepakatan. Kalian meski gimana jika dia datang lagi,” jawab Saimah sembari bangkit lalu masuk ke warung.Kini, tinggal Badrun dan Kesi yang terdiam di tempat duduk masing-masing. Sang wanita hanya bisa menunduk karena menyadari dari dirinya semua berawal.“Maafin aku. Mas jadi ikut terjebak dalam masalah ini,” ucap Kesi dengan suara bergetar tanpa berani mendongakkan kepala.Badrun segera meraih jemari Kesi lalu mengecupnya sesaat. Kemudian tangan pria ini menyentuh dagu Kesi dan
“Udah tau sesat. Kenapa diikuti?” tanya sopir tersebut yang tentu saja membuat kedua wanita meradang.“Kami tau salah, Pak. Tapi ini di luar jadwal ritual. Bapak tak ikut pesugihan dan kena imbasnya bersama kami dan telah ikut ke Gunung Kemukus. Tanpa sadar itu sama dengan jadi tumbal. Tau gak? Setiap saat, nyawa Bapak bisa jadi taruhan, termasuk saat ini,” ungkap Saimah dengan tersenyum sinis. Seketika sopir syok dibuatnya.“Iya, Bu. Maafin saya, keceplosan,” ucap sang sopir sambil kedua mata tetap awas menatap jalan.“Ya, Pak. Lain kali jaga omongan aja. Kami udah sumpek dengan semua kejadian yang menimpa,” ucap Saimah sembari tersenyum, meski terkesan dipaksakan.Perjalanan mereka telah sampai gerbang perumahan. Saimah menoleh ke belakang untuk memberitahu sejoli.“Nanti, kita pura-pura tak tahu soal Pak Sobir. Biar gak merembet jadi kasus besar. Jaga situasi. Cukup pikirkan rencana masa depan kalian,” ujar Saimah dengan perasaan was-was juga.Tak dipungkiri kasus pasangan mesum di
Ada yang ganjil dengan kedua pria dalam mobil menurut Saimah. Wanita ini menatap jalan sembari memikirkan segala kemungkinan dengan keanehan kedua pria. Akhirnya, Saimah segera bertindak tegas dengan membuka pintu lalu turun.“Okey, Pak. Saya udah bayar online. Terserah Bapak mau membawa kakek ini,” ucap Saimah tegas lalu buru-buru meninggalkan mobil. Wanita ini segera berlari ke seberang jalan yang memang ada pangkalan ojek.“Tolong antar ke Perumahan Candra Buana, Pak,” pintanya kepada tukang ojek yang mendekatinya.“Baik, Bu.”Saimah segera naik ke boncengan lalu mereka segera beranjak meninggalkan tempat tersebut. Sepanjang perjalanan Saimah mencium aroma wangi melati berbaur dengan bau asap. Wanita ini merasa familiar dengan perpaduan aroma yang tercium indra penciumannya. Ia mencoba mengingat hal tersebut, tetapi tak juga bisa mendapatkan jawaban.“Gak usah bingung. Sampean masih ingat pria kepala plontos yang mati terbakar, kan? Itu aku,” ucap tukang ojek tiba-tiba yang seakan-a
“Mas khawatir, Dek. Begitu telepon, ponsel gak aktif lagi,”ucap Parman sembari mengusap pucuk kepala Saimah.“Sengaja aku matiin, Mas. Ponsel Kesi dan Mas Badrun juga, biar pikiran bisa tenang. Salah satu dari mereka pasti menelepon kami,” jelas Saimah agar sang suami tak salah paham.Keduanya beriringan masuk ruang tamu. Kemudian mereka duduk berdampingan di sofa. Pandangan keduanya mengarah ke arah jalan depan rumah yang terlihat dari kaca yang memisahkan ruang tamu dengan teras. Tampak tiga orang pria menghampiri pintu gerbang dan mengetuk dari luar.“Assalammu'alaikum, Mas Parman.” Terdengar suara Pak RT memanggil dan diikuti suara yang lain.Parman dan Saimah seketika bangkit dan tentu saja, mereka kaget dengan kedatangan Pak RT dengan warga.“Kamu masuk kamar aja, Dek. Biar Mas yang temui mereka,” saran Parman kepada sang istri.Saimah segera melangkah ke arah kamar, tetapi ia balik badan lalu menatap ke arah Parman.“Baiklah, aku ada dalam kamar. Tapi nanti, kalo diperlukan, ak
“Kami tak akan tunduk padamu! Audzubillah Himinas Syaiton Nirojim!” teriak Badrun sembari melepas lilitan dibantu Kesi.Tiba-tiba, tanpa disangka-sangka muncul asap putih menyelimuti kedua insan yang mulai kelelahan melawan kekuatan ratu siluman. Seketika hening, tak terdengar suara teriakan Kesi maupun Badrun. Beberapa saat hening, lalu ....“Aaawh! Bedebah kalian!” Terdengar suara lengkingan dan umpatan yang kemudian lenyap, menyisakan suara desing kipas angin yang menempel di dinding saja.Tak lama ada suara orang membuka pintu harmonika ruko. Setelah lembaran besi tersebut terbuka sedikit, tampak Saimah dan Parman masuk sambil celingukan. “Sepi gini, Dek?” tanya Parman yang segera menyalakan saklar lampu.“Masih sore, apa mereka sudah tidur, Mas? Sebelum berangkat tadi, saat kutelepon, katanya ada di ruko.”Saimah pun mengamati sekeliling. Tampak di dinding terpajang beberapa hiasan kaligrafi. Wanita berkulit bersih tersebut tersenyum bangga. Dia bahagia, calon pengantin telah me
Asap hangat tampak mengebul dari atas makanan-makanan tersebut. Ada dua gelas kopi dipenuhi uap hangat di atasnya.“Kesi! Mas Badrun!” Terdengar sayup-sayup suara Saimah dan Parman bersahutan.“Kalian di mana?” Suara Parman terdengar jelas di samping kiri sejoli.Keduanya seketika kaget. Mereka mencari sumber suara tersebut. Namun, sejoli ini tak menemukan apa pun, setelah berkeliling ruangan yang berukuran 4x5 meter tersebut, termasuk ke dalam bilik tempat tidur. Sepi. Tak ada seorang manusia pun, kecuali mereka.“Barusan suara Saimah dan Mas Parman, dari mana asalnya?” tanya Kesi sambil meneliti setiap dinding.Dia berpikir di salah satu dinding, ada pintu yang bisa dibuka. Namun,nyatanya hanya dinding anyaman bambu yang rapat tanpa ada pintu rahasia.“Kesi! Mas Badrun!” Terdengar suara Saimah memanggil kembali.Tak lama kemudian, ada bunyi berisik seperti seseorang mencongkel dinding.“Dek, ini pintu apaan? Gak ada handlenya.” Terdengar suara Parman dari balik dinding dapur. Badru
“Ayo! Sekalian Mas tunjukin foto Pak Brahim,” balas Parman.Keduanya pun berjalan beriringan menuju tangga lalu pergi ke bagian belakang ruko lewat pintu samping. Pintu gudang hanya dicantolin gembok tak terkunci. Parman membukanya lalu mendorong daun pintu agar terbuka lebar. Ruangan berukuran 3 x 3 cm tersebut tampak penuh oleh tumpukan barang dan ada dua lemari kayu.“Foto Pak Brahim ada di antara tumpukan map di kardus ini,” jelas Parman sambil memilah-milah barang-barang yang berserakan. Saimah ikut membersihkan debu barang-barang yang telah diturunkan oleh Parman. Di saat tangannya memeriksa sebuah map, matanya tertuju pada sebuah kotak kecil yang terletak di atas lemari.“Mas, tolong ambilin itu!” tunjuk Saimah.Parman menghentikan aktivitasnya sejenak lalu mendongak mengarah ke atas lemari. Kini, tangan pria berbadan kekar tersebut telah menggenggam sebuah kotak kayu berukir. Dengan segera tangannya terulur ke arah istrinya.“Kayaknya ada koin di dalam,” ucap Parman yang lalu
“Nanti, Mas. Aku akan melayanimu sebanyak yang kamu mau. Sekarang kita ke gubug dulu. Yuk,” kata Saimah lalu mencium bibir Parman beberapa saat. Pria ini seketika memerah seluruh wajahnya.“Dek, di dalam gubug saja,” ucap Parman yang kini bersemangat berjalan.Akhirnya pasutri ini sampai teras gubug. Dalam gubug terdapat pelita yang ditempelkan di dinding. Serupa dengan yang ada di teras. Saat menginjak lantai yang berbahan dasar tanah tersebut, mata Saimah tertuju pada dua sosok yang sedang tidur berangkulan di lantai beralas daun pisang.“Lho, ini pembantunya Pak Sarto, Mas,” ucap Saimah pun jongkok. Dia meraba kulit leher pasangan yang terbujur di lantai.“Masa, sih?” tanya Parman tak percaya sambil ikut jongkok di sebelah istrinya.“Masih hidup, Mas. Kenapa dengan mereka, ya.”“Apa mereka keracunan, Dek?”“Mas, buruan kamu minum kopinya. Kalo efeknya keburu lenyap, bisa repot sendiri,” kata Saimah memperingatkan suaminya.“Kopi itu efeknya cuma bikin kuat melek. Kalo ilang efeknya,