Bab 40
"Mas, tolong speakernya diaktifkan," suruhku padanya. Mas Taka pun mengangguk seraya mengindahkan permintaanku.
"Halo," ucap Mas Taka mendahului menyapa.
"Taka, ini Mama, mertuamu," ucapnya dengan nada seperti menangis. Aku yang mendengarnya pun turut panik.
"Mah, Mama kenapa? Kok suaranya serak!" Aku menyerobot bicara dengan teriak.
"Amira, Mama kecopetan, ponsel dirampas, ini pinjam handphone salah seorang kasir minimarket, tolong Taka suruh jemput Mama, di minimarket mangga dua," pinta mama.
"Mama tenang ya, kalau aku ke sana nanti Mama jadi nunggu lama, soalnya mobil baru jalan diantarkan oleh temanku ke sini, lebih baik Mama minta tolong order taksi online untuk minta antar ke rumah sakit, nanti bayar di sini," sahut Mas Taka.
"Betul juga ya, m
Bab 41"Ada apa, Mas? Bagaimana keadaan Diva dan Mama?" tanyaku padanya."Ceritanya panjang, aku ke rumah sakit sekarang ya," jawab Mas Taka. Itu artinya mertuaku tidak jadi ke rumah sakit."Ya sudah, kamu hati-hati, nanti cerita di rumah sakit ya," timpalku padanya.Sekitar setengah jam menunggu Mas Taka datang. Namun, ia belum juga menampakkan batang hidungnya. Sampai akhirnya satu jam pun berlalu dari Mas Taka menghubungiku tadi.Aku gusar, rasa cemas padanya semakin membuat dadaku bergetar, apa aku mulai merindukan sosok teduh yang ada dalam diri Mas Taka?Kurang lebih dua tahun membersamainya, tapi rasa itu baru muncul sekarang. Tuhan memang yang paling berhak membolak-balikkan hati manusia, secepat ini aku mulai membuka hati untuk Mas Taka. Padahal kemarin sempat menging
Bab 42"Alhamdulilah, tumornya bukan tumor ganas, tapi tetap waspada ya Bu, kita lakukan operasi pengangkatan tumor jinak," ucap dokter. "Lalu bagaimana dengan Pak Taka? Apa setuju?" tanyanya lagi.Aku dan Mas Taka saling beradu pandang. Di sisi lain aku senang dengan ucapannya. Namun, ada rasa takut juga melakukan tindakan operasi."Lakukan yang terbaik untuk istri saya, Dok, kalau operasi jalan yang terbaik, maka lakukanlah," jawab Mas Taka membuatku menoleh ke arahnya.Ia sangat memperhatikanku. Seharusnya dari dulu aku menyadari apa yang ia korbankan semuanya demi aku. Dari berinvestasi untuk butik meskipun kini bangkrut, sampai harus mengorbankan menyerahkan Dafa demi aku."Baiklah, kalau begitu kita urus jadwal operasinya ya, Pak," ucap dokter sambil menepuk-nepuk bahunya. 
Bab 43Kemudian dokter pun memberikan baskom, supaya jika aku muntah langsung ke baskom tersebut."Bu, Ibu nervous ya? Coba Bu Amira tarik napas, kemudian hembuskan. Jangan mikir macam-macam," suruh dokter yang berpakaian hijau dan memakai tutup kepala.Aku mengangguk, memang kuakui gugup ketika melihat jarum suntik hampir menusuk ke tubuh. Lalu kupraktekkan apa yang disuruh olehnya. Kemudian, bersama team dokter diminta untuk relaks lagi. Setelah itu barulah jarum itu disuntikkan."Tenang ya, Bu. Biusnya tidak total, hanya untuk pinggul ke bawah." Dokter bicara sambil mempersiapkan. Tidak lama kemudian, team medis berdoa. Lalu setelah memastikan obat biusnya mengalir ke organ tubuh bagian bawah, barulah dimulai melakukan operasi.***Setelah operasi selesai, aku dibawa ke ruangan observasi. Nanti
Bab 44"Mereka bilang Dika dirawat di rumah sakit ini juga, barusan banget, Dika kejang tanpa demam," ucap Mas Taka membuatku terkejut."Astaga, Mas. Aku ingin jenguk," sahutku padanya."Nanti ya nunggu kamu sudah bisa lepas kateter," timpal Mas Taka. "Padahal tadi ketika nunggu kamu dari observasi, Mas ketemu baik-baik saja," imbuhnya lagi.Tidak ada manusia yang mampu melawan takdir. Namun, aku baru saja ingin menerima Dika sebagai anakku juga, mau nerima atas kekurangan yang ia miliki. Baru saja hati ini ingin menebus kesalahanku yang pernah menelantarkan Dika, yang pernah cubit bahkan bentak Dika sebelum perasaan itu timbul."Mas, maafin aku, kalau boleh minta, aku ingin Dika ikut bersama kita supaya bisa menebus kesalahanku yang telah lalu, jujur sekarang hanya ada penyesalan," tuturku diiringi air mata ya
Bab 45"Kenapa bisa banyak darah, Sus? Padahal saya tidak merasakan sakit apa-apa?" tanyaku penasaran. Sebab, jika pendarahan, tentu aku mengalami nyeri hebat."Sebentar, Bu. Saya mau cek bagian saluran air seninya dulu," balasnya.Suster itu sangat sibuk memeriksa kenapa banyak darah yang berceceran di selimut hingga baskom untuk air kencing. Dengan cekatan ia membuang lebih dulu isi baskomnya. Kemudian, memeriksa kembali.Mas Taka yang trauma melihat darah ketika kemarin aku pendarahan pun pamit keluar."Sebentar ya, Bu. Kita ulang kembali masang kateter lagi. Sama pembalutnya diganti," ujar suster."Apa nggak bisa dilepas saja, Sus?" tanyaku balik."Nunggu 24 jam, Bu," jawabnya."Tapi ini kenapa kok bisa ba
Bab 46"Taka, kamu pindahin aja istrimu ke kelas 2, ngapain di VVIP," sindirnya membuatku menelan ludah. Tidak seperti biasanya ia bersikap seperti itu.Aku hanya tertunduk, sebab sebelumnya aku juga sudah memintanya untuk memindahkan aku ke ruangan yang sesuai dengan asuransi, supaya tidak menjadi beban keluarga."Mah, dua hari lagi juga sudah boleh pulang kok, nggak apa-apa di sini dulu," jawab Mas Taka membelaku.Diva hanya menunduk, sesekali wajahnya menatapku juga, tapi tidak seperti biasanya. Ada apa dengan mereka?"Mah, kalau aku ada salah, maafin aku," ucapku coba berlapang hati meminta maaf lebih dulu."Nggak, Amira, ini bukan tentang minta maaf, tapi tentang harga diri!" celetuk mertuaku membuatku sedikit mencerna ucapannya."Apa maksud Mam
Bab 47"Nanti kita lihat saja di rumah ya, aku nggak bisa bicara sambil nyetir," ucap Mas Taka membuatku tambah penasaran. Apa yang sebenarnya ia rahasiakan dariku? Kenapa nunggu sampai di rumah?Aku terus menerus mempertanyakan dalam hati. Sesekali mataku melirik ke arahnya. Ia terlihat agak pendiam, tidak banyak bicara dan bersikap mesra seperti yang dilakukan biasanya. Dingin, kini Mas Taka berubah sedingin es, lelaki yang sudah berjanji telah memaafkan kini sikapnya berubah lagi.Otakku terus berputar, mengingat apakah ada kesalahan yang kuperbuat namun belum diketahui olehnya. Aku ingat-ingat tapi tidak ada satu pun yang melintas di kepala ini."Mas, jika ada satu kesalahan yang belum kusadari, tolong beritahu, aku ingin memperbaikinya," pintaku membuat ia menoleh. Sayup matanya memandangku diiringi senyuman tipis.&nbs
Bab 48"Apa, Amira? Barusan kamu bicara apa?" tanya mamaku seperti meringis kesakitan.Tiba-tiba saja aku teringat, bahwa mama lemah jantung. Astaga, apa yang aku lakukan barusan?"Mah, Amira tidak bicara sungguhan, ia hanya main-main supaya diizinkan tetap bersama Taka, percayalah," lirih Mas Taka menghampiri. Aku baru tersadar, bahwa inilah tujuan Mas Taka menyuruhku ikut bersama mama, hanya ingin menjaga kondisi mertuanya baik-baik saja. Namun, aku sendiri yang membuyarkan rencana Mas Taka.Bruk!Mama ambruk seketika, ia jatuhkan bobot tubuhnya ke lantai."Mah!" teriakku ketika melihat sosok wanita yang membesarkanku kini jatuh lunglai ke lantai.Mas Taka membantu mengangkat mama dan membawanya ke rumah sakit. Aku yang selepas operas
Bab 50Mas Taka sontak melepaskan dekapan Diana. Begitu juga sebaliknya, Diana segera mundur dan mengedarkan pandangannya ke arahku. Kemudian, ia tersenyum lekat sambil menghapus air matanya.Aku menghampiri Mas Taka, lalu menggandeng lengannya yang masih terdiam kaku di depan pintu."Maaf, aku bikin suasana rumah ini jadi kacau, sekali lagi maaf," ucap Diana sambil menunduk.Mas Taka menatapku, ia masih terdiam membisu."To the point aja, ada apa Diana? Kenapa datang-datang langsung nyergap suami orang?" cecarku sedikit sinis. Sebab, kecemburuan suatu hal yang wajar terjadi jika menyaksikan kejadian singkat tadi.Tidak lama kemudian, Mas Reno muncul turun dari mobil, membawa Dika dengan menggendongnya. Ada tawa yang terdengar renyah di ujung sana.
Bab 49"Siapa itu Taka?" tanya mertuaku pada anaknya. Dengan jawaban yang sama, ia hanya menggelengkan kepalanya.Kemudian, kami melepaskan seat. Setelah itu terlihat kaki seseorang turun dari mobil tersebut. Dari high heels yang dikenakan sudah terlihat ia adalah wanita.Aku coba tarik napas, lalu menoleh ke arah Mas Taka sesekali, dan memusatkan perhatianku padanya."Rosa kah itu?" tanyaku. Mamaku yang masih berada di dalam mobil, berusaha menepuk bahu ini dari belakang."Jangan emosi dulu, bicarakan baik-baik di dalam rumah," pesan Mama Silvi, mamaku. Seharusnya ia tidak berada di sini. Namun, karena aku khawatir dengannya, jadi meminta mama ikut ke rumah lebih dulu.Aku melontarkan senyuman pada mama dan mertuaku. Kemudian, kembali menyorot Mas Taka."
Bab 48"Apa, Amira? Barusan kamu bicara apa?" tanya mamaku seperti meringis kesakitan.Tiba-tiba saja aku teringat, bahwa mama lemah jantung. Astaga, apa yang aku lakukan barusan?"Mah, Amira tidak bicara sungguhan, ia hanya main-main supaya diizinkan tetap bersama Taka, percayalah," lirih Mas Taka menghampiri. Aku baru tersadar, bahwa inilah tujuan Mas Taka menyuruhku ikut bersama mama, hanya ingin menjaga kondisi mertuanya baik-baik saja. Namun, aku sendiri yang membuyarkan rencana Mas Taka.Bruk!Mama ambruk seketika, ia jatuhkan bobot tubuhnya ke lantai."Mah!" teriakku ketika melihat sosok wanita yang membesarkanku kini jatuh lunglai ke lantai.Mas Taka membantu mengangkat mama dan membawanya ke rumah sakit. Aku yang selepas operas
Bab 47"Nanti kita lihat saja di rumah ya, aku nggak bisa bicara sambil nyetir," ucap Mas Taka membuatku tambah penasaran. Apa yang sebenarnya ia rahasiakan dariku? Kenapa nunggu sampai di rumah?Aku terus menerus mempertanyakan dalam hati. Sesekali mataku melirik ke arahnya. Ia terlihat agak pendiam, tidak banyak bicara dan bersikap mesra seperti yang dilakukan biasanya. Dingin, kini Mas Taka berubah sedingin es, lelaki yang sudah berjanji telah memaafkan kini sikapnya berubah lagi.Otakku terus berputar, mengingat apakah ada kesalahan yang kuperbuat namun belum diketahui olehnya. Aku ingat-ingat tapi tidak ada satu pun yang melintas di kepala ini."Mas, jika ada satu kesalahan yang belum kusadari, tolong beritahu, aku ingin memperbaikinya," pintaku membuat ia menoleh. Sayup matanya memandangku diiringi senyuman tipis.&nbs
Bab 46"Taka, kamu pindahin aja istrimu ke kelas 2, ngapain di VVIP," sindirnya membuatku menelan ludah. Tidak seperti biasanya ia bersikap seperti itu.Aku hanya tertunduk, sebab sebelumnya aku juga sudah memintanya untuk memindahkan aku ke ruangan yang sesuai dengan asuransi, supaya tidak menjadi beban keluarga."Mah, dua hari lagi juga sudah boleh pulang kok, nggak apa-apa di sini dulu," jawab Mas Taka membelaku.Diva hanya menunduk, sesekali wajahnya menatapku juga, tapi tidak seperti biasanya. Ada apa dengan mereka?"Mah, kalau aku ada salah, maafin aku," ucapku coba berlapang hati meminta maaf lebih dulu."Nggak, Amira, ini bukan tentang minta maaf, tapi tentang harga diri!" celetuk mertuaku membuatku sedikit mencerna ucapannya."Apa maksud Mam
Bab 45"Kenapa bisa banyak darah, Sus? Padahal saya tidak merasakan sakit apa-apa?" tanyaku penasaran. Sebab, jika pendarahan, tentu aku mengalami nyeri hebat."Sebentar, Bu. Saya mau cek bagian saluran air seninya dulu," balasnya.Suster itu sangat sibuk memeriksa kenapa banyak darah yang berceceran di selimut hingga baskom untuk air kencing. Dengan cekatan ia membuang lebih dulu isi baskomnya. Kemudian, memeriksa kembali.Mas Taka yang trauma melihat darah ketika kemarin aku pendarahan pun pamit keluar."Sebentar ya, Bu. Kita ulang kembali masang kateter lagi. Sama pembalutnya diganti," ujar suster."Apa nggak bisa dilepas saja, Sus?" tanyaku balik."Nunggu 24 jam, Bu," jawabnya."Tapi ini kenapa kok bisa ba
Bab 44"Mereka bilang Dika dirawat di rumah sakit ini juga, barusan banget, Dika kejang tanpa demam," ucap Mas Taka membuatku terkejut."Astaga, Mas. Aku ingin jenguk," sahutku padanya."Nanti ya nunggu kamu sudah bisa lepas kateter," timpal Mas Taka. "Padahal tadi ketika nunggu kamu dari observasi, Mas ketemu baik-baik saja," imbuhnya lagi.Tidak ada manusia yang mampu melawan takdir. Namun, aku baru saja ingin menerima Dika sebagai anakku juga, mau nerima atas kekurangan yang ia miliki. Baru saja hati ini ingin menebus kesalahanku yang pernah menelantarkan Dika, yang pernah cubit bahkan bentak Dika sebelum perasaan itu timbul."Mas, maafin aku, kalau boleh minta, aku ingin Dika ikut bersama kita supaya bisa menebus kesalahanku yang telah lalu, jujur sekarang hanya ada penyesalan," tuturku diiringi air mata ya
Bab 43Kemudian dokter pun memberikan baskom, supaya jika aku muntah langsung ke baskom tersebut."Bu, Ibu nervous ya? Coba Bu Amira tarik napas, kemudian hembuskan. Jangan mikir macam-macam," suruh dokter yang berpakaian hijau dan memakai tutup kepala.Aku mengangguk, memang kuakui gugup ketika melihat jarum suntik hampir menusuk ke tubuh. Lalu kupraktekkan apa yang disuruh olehnya. Kemudian, bersama team dokter diminta untuk relaks lagi. Setelah itu barulah jarum itu disuntikkan."Tenang ya, Bu. Biusnya tidak total, hanya untuk pinggul ke bawah." Dokter bicara sambil mempersiapkan. Tidak lama kemudian, team medis berdoa. Lalu setelah memastikan obat biusnya mengalir ke organ tubuh bagian bawah, barulah dimulai melakukan operasi.***Setelah operasi selesai, aku dibawa ke ruangan observasi. Nanti
Bab 42"Alhamdulilah, tumornya bukan tumor ganas, tapi tetap waspada ya Bu, kita lakukan operasi pengangkatan tumor jinak," ucap dokter. "Lalu bagaimana dengan Pak Taka? Apa setuju?" tanyanya lagi.Aku dan Mas Taka saling beradu pandang. Di sisi lain aku senang dengan ucapannya. Namun, ada rasa takut juga melakukan tindakan operasi."Lakukan yang terbaik untuk istri saya, Dok, kalau operasi jalan yang terbaik, maka lakukanlah," jawab Mas Taka membuatku menoleh ke arahnya.Ia sangat memperhatikanku. Seharusnya dari dulu aku menyadari apa yang ia korbankan semuanya demi aku. Dari berinvestasi untuk butik meskipun kini bangkrut, sampai harus mengorbankan menyerahkan Dafa demi aku."Baiklah, kalau begitu kita urus jadwal operasinya ya, Pak," ucap dokter sambil menepuk-nepuk bahunya.