RINDU SUAMI ORANG
Bab 2
Aku harap Mas Taka becanda, rasanya tidak rela suamiku direbut oleh wanita lain. Meskipun wajahnya tidak setampan Mas Reno, tapi ia sudah cukup mapan. Sedangkan Mas Reno, hanya mengandalkan ketampanannya. Namun, hatiku selalu berdebar ketika menatap paras lelaki belakang rumah.
Aku coba singkirkan prasangka buruk pada Mas Taka. Jangan sampai mulut ini mengakui perselingkuhanku dengan Mas Reno. Aku belum siap, sebab belum memiliki keturunan untuk mendapatkan hak hartanya Mas Taka.
"Kamu becanda, kan?" Aku membelai dagunya dengan lembut. Namun, ia membuang mukanya. "Mas, kok kamu sebut aku selingkuh? Aku sayang banget sama kamu, jadi nggak mungkin ngelakuin itu," lirihku sambil memeluk tubuhnya.
"Sudahlah, aku mau mandi," jawabnya sambil berlalu pergi.
Aku menunggunya keluar dari kamar mandi, dan duduk di depan televisi 32 inch yang dihadiahkan adiknya ketika aku menikah dulu. Sambil menunggu Mas Taka, aku coba menyusun pertanyaan apa yang tadi ia ucapkan.
Tidak lama kemudian, Mas Taka keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk dan kolor saja. Namun, ia dingin terhadapku. Tersiksa rasanya jika ia tak mau bicara. Khawatir uang belanja dan skincare dikurangi.
"Emm, Mas. Kamu kenapa sih? Kok dingin dan cuek?" tanyaku padanya. Ia pun melanjutkan gosok badannya dengan handuk.
Kemudian, ia memakai kaos berwarna hijau tua. Setelah selesai mengenakan baju, ia tak kunjung bicara juga. Aku pun terus menerus menyecarnya.
"Aku tahu, menurut artikel yang aku baca, jika suami berubah total seperti contohnya laki-laki yang ada di hadapanku ini, artinya ia sedang memikirkan wanita lain. Kamu selingkuh ya, Mas?" cecarku dengan mata penuh curiga. Sorotan mataku membuat Mas Taka menghela napas berat.
"Nggak salah tuduh?" tanyanya dingin. Apa maksudnya? Apa ia curiga padaku?
"Tadi kamu yang bilang sendiri, bahwa kamu abis dinner dengan wanita, kamu selingkuh dari aku, Mas? Apa kamu sudah bosan punya istri seperti aku? Hah!" sentakku kasar. Ia pun menggelengkan kepalanya sambil mendesah kesal, lalu duduk di sofa yang sengaja kami letakkan di depan ranjang tempat tidur.
Ia diam, lelaki yang penuh tanggung jawab ini kalau diam biasanya luluh jika aku goda dengan membuka kancing, pasti sudah langsung tersenyum. Namun, untuk kali ini, kucoba melakukannya dengan merebahkan kepala ini di pangkuannya. Setelah itu aku buka kancing baju satu, tapi ia tak menatapku. Kemudian, kubuka satu lagi, ia justru memasangnya kembali.
"Mas, aku kurang cantik, ya? Sampai kamu bosan bicara denganku?" Pertanyaan yang sebenarnya enggan kulontarkan, terpaksa kutanya, sebab perlakuannya sangat aneh. Aku hanya takut ia selingkuh dengan wanita lain.
"Sudah jam delapan, aku mau tidur, capek kerja hari ini." Akhirnya ia mengeluarkan suara juga.
Kemudian, aku mengikutinya dan menggandeng Mas Taka sampai ranjang.
"Besok mau ke luar kota, kan? Jadi sebelum ke luar kota kita ...."
"Aku ngantuk, mau tidur!" cetusnya membuatku mengernyitkan dahi. Masa iya Mas Taka tahu perselingkuhanku dengan Mas Reno? Kan tidak ada yang tahu. Kalau iya, itu artinya Mas Reno yang bocor. Lebih baik aku chat saja orangnya untuk meminta penjelasan.
[Mas, kok kelakuan Mas Taka aneh, apa ada yang melihat kita?] Pesan aku kirim dan langsung dibaca olehnya.
[Nggak, nggak mungkin ada yang tahu, kita ketemu nggak pernah sore, selalu tengah malam.] Balasannya biasa saja, tidak ada rasa takut sedikitpun.
[Amira gimana kelakuannya? Apa ia mau diajak berci*ta malam ini sama kamu?] tanyaku penasaran.
[Amira lagi lampu merah, udahlah kamu tenang aja, semua aman. Ini Amira lagi siap-siap untuk ke luar kota besok.] Jawaban Mas Reno membuatku sedikit lega.
[Mas, aku tidak mau ada yang tahu ya, aku memang nyaman berada di dekat kamu, tapi anggap untuk selingan. Obrolan chat tadi hanya becandaan.]
[Chat apa?] tanyanya.
[Chat tentang aku minta halalin.]
[Iya, aku tahu kok, aku pengangguran, jadi kamu nggak akan mau denganku.]
[Loh kok gitu bicaranya?] tanyaku gantian.
[Memang gitu, kan?] tanyanya balik.
Aku tidak membalas chatnya lagi. Balasannya pun langsung aku hapus agar Mas Taka tidak mengetahuinya.
Aku coba memejamkan mata, tapi yang terlintas hanyalah wajah Mas Reno di pikiranku. Astaga, ternyata rindu suami orang itu sangat menyiksa. Mungkin karena balasan terakhir tadi ia agak sensitif, jadi aku kepikiran. Kenapa ia sama sepertiku, kalau marah seperti itu. Jadi ini yang membuatku nyaman padanya.
***
Langit pagi ini cerah sekali, Mas Taka sudah bersiap untuk berangkat ke luar kota. Katanya lokasi kali ini dekat, jadi hanya semalaman perginya.
"Aku berangkat dulu, tolong jaga kepercayaan aku," pesannya. Rupanya ia sudah tidak ngambek lagi. Buktinya sudah mau pamit padaku. Mungkin semalam lelah bekerja jadi membuatnya hilang mood.
"Kamu hati-hati, tenang saja, istrimu yang cantik ini selalu setia," ucapku sambil mengecup punggung tangannya.
Mas Taka pun pergi, ia pergi dengan menggunakan mobil kesayangannya.
Tidak lama kemudian, selang beberapa menit keberangkatan Mas Taka, datanglah dua orang lelaki berpakaian seperti buruh.
"Permisi, Bu, saya ditugaskan Pak Taka untuk menutup pintu belakang dengan batako, saya sudah pesan batakonya sebentar lagi tiba. Boleh saya masuk, Bu untuk menyiapkan segala sesuatunya di belakang?" tanyanya membuat keheranan. Kenapa Mas Taka tidak bilang aku kalau mau tutup pintu belakang?
"Monggo, Pak. Masuk saja," suruhku mempersilakan. Lalu aku menghubungi Mas Taka untuk memastikan bahwa dua orang ini adalah suruhannya.
"Mas, ini ada dua orang, katanya disuruh kamu untuk nutup belakang?" tanyaku.
"Oh iya lupa. Itu loh aku sering mergokin tikus lewat pintu belakang. Kayaknya tetangga belakang rumah tuh pemalas, jadi sarang tikus di sana, makanya aku tutup saja," jawabnya.
"Oh ya sudah, kalau gitu, hati-hati ya, Mas," pesanku lalu mematikan sambungan teleponnya. Rupanya Mas Taka sering lihat tikus, kok aku nggak pernah ketemu, ya? Aneh kadang Mas Taka juga.
Selang beberapa menit, sebuah mobil pengangkut batako datang. Lalu meletakkannya di depan rumah.
Kemudian, mereka pun memulai pekerjaannya.
[Pintu belakang kamu, ditutup batako, kok bisa? Nanti malam bagaimana?] Mas Reno mengirimkan pesan padaku. Segera aku membalasnya.
[Iya, kata Mas Taka, ia sering lihat tikus muncul dari rumahmu, makanya rajin bersih-bersih, Mas.]
[Apa jangan-jangan Taka tahu, Sayang?] tanyanya.
[Entahlah, Mas. Aku bingung. Jujur saja, aku kangen terus pengen lihat kamu.]
Mas Reno langsung menghubungiku melalui video call.
"Hai, Diana. Mungkin Tuhan menakdirkan kita seperti ini. Cinta pasangan orang," candanya seperti biasa.
"Iya, rindu yang melelahkan itu merindukan pasangan orang," balasku dengan tawa.
Pintu sengaja aku buka, karena bunyi ketukan palu untuk menutup akses pintu belakang sangat keras sekali. Jadi, aku sengaja membuka pintu dengan lebar. Kami becanda sambil tertawa melalui video call. Namun, lagi asik becanda tiba-tiba muncul sosok dari belakangku. Ya, terlihat dari layar video call, dan Mas Reno yang menyadarinya pun mematikan sambungannya.
"Ehem, video call sama siapa tuh?"
Bersambung
Bab 3Aku terkejut melihat kedatangan adiknya Mas Taka, Nadifa Reinata. Ia muncul begitu saja, aku harap Difa tidak melihat sosok yang berada di layar ponsel tadi."Kamu kok nggak bilang ke sini?" tanyaku heran."Iya, Mbak. Tadi disuruh nganter ini sama Mas Taka. Nggak tahu nih apaan isinya," ucap Difa membuatku menghela napas lega. Aku pikir ia tadi lihat aku menghubungi siapa, ternyata Difa tidak membicarakan hal itu.Difa pun pamit dan pergi lagi. Aku membuka titipan yang masih tertutup rapat. Sebuah bingkisan kado, apa ini untukku?[Lingerie ini untukmu, simpan, nanti dipakai.] Aku terkejut, bukankah Mas Taka tidak pulang malam ini? Kenapa kirim bingkisan seperti ini? Nanti saja kubuka jika sudah ketahuan benar atau tidaknya Mas Taka yang kirim.Aku coba menghubungi Mas Ta
Bab 4Lebih baik aku ke rumah Mas Reno saja, memberikan informasi ini, bahwa istrinya ada main dengan suamiku.Akhirnya aku suruh taksi online untuk kembali ke lokasi penjemputan. Ya, aku akan labrak istrinya Mas Reno nanti. Begitu juga dengan Mas Taka, jika ia pulang nanti, akan kumarahi abis-abisan di rumah. Sudah lama mulut ini tidak memberikan ceramah panjang padanya.Aku duduk bersandar sambil melipat kedua tangan. Teringat masa-masa bersama Mas Taka, ia orang yang sabar, tidak pernah neko-neko, tiap kali aku memarahinya, pasti ia hanya diam, justru malah berbalik memelukku. Namun, bayang-bayang nama Amira kini tersemat di hatiku, otak ini tak berhenti berprasangka buruk padanya.Setibanya di rumah Mas Reno, aku pun segera masuk, khawatir ada tetangga depan atau samping yang melihat kedatanganku.
Bab 5Mas Reno menghentikan langkahnya, lalu beradu pandang denganku."Sebentar saja, tolong sembunyi di gudang," bisiknya."Iya, tapi siapa yang datang?" tanyaku penasaran."Mertuaku ada di depan, tidak ada pintu lain untuk kamu keluar dari sini, jalan satu-satunya bersembunyi, tolong jangan keluar sebelum aku panggil," pesannya sambil membawaku ke gudang kecil ukuran satu meter persegi.Gudang itu hanya cukup untuk aku berdiri, langit-langitnya pun dipenuhi sarang laba-laba. Mas Reno membuka pintunya sedikit untuk celah aku bernapas, sebab memang tidak ada lobang untuk sirkulasi udara.Mas Reno terlihat memakai kaos sambil bergegas membuka pintu, aku coba mengamati dari celah yang sengaja dibuka sedikit.Kulihat ia membuka pintu lebar
Bab 6Mas Reno memegang kalungku yang tidak sengaja terjatuh dengan tangan terlihat bergetar. Pasti ia bingung harus jawab apa. Sementara mertuanya tampak menyecarnya dengan mata penuh menyoroti wajah menantunya."Mah, ini kalung untuk Amira, aku mau kasih ia surprise, tapi kelihatannya tadi jatuh, aku lupa," jawab Mas Reno membuatku menghela napas lega. Akhirnya, aku selamat. Kulihat mulut mertuanya sedikit bulat membentuk huruf O seraya ia percaya dengan apa yang menjadi alibi Mas Reno."Oh, gitu. Ya sudah Mama pulang dulu, itu belanjaan Amira taro di kulkas, Mama pulang, ya, sopir sudah nunggu," ucapnya sambil melambaikan tangan.Kuperhatikan wanita tua itu hingga tidak kelihatan lagi batang hidungnya. Setelah itu, barulah aku keluar menghampiri Mas Reno kembali. Sepatu high heels membuatku agak sedikit kesulitan melangkah dengan cepat.
Bab 7Kemudian, ia membuang ikat pinggangnya. Lalu bertanya padaku. "Sudah berapa tahun kita kenal?" tanyanya sinis.Aku tak kuat dengan tatapannya, takut bercampur gemetar, sebab ia tidak pernah marah terhadapku, ini kali pertamanya ia menyorotiku seperti itu.Kupeluk tubuh kekarnya, agar reda amarahnya. Meskipun ia belum cerita apa yang membuatnya marah."Kita sudah menikah sekitar dua tahun, tanpa pacaran, dan baru kali ini aku melihatmu marah tak terkendali, ada apa, Sayang?" Aku balik bertanya di pelukannya.Mas Taka melepaskan pelukan, lalu mengajakku duduk. Namun, tiba-tiba ada suara ketukan pintu terdengar."Assalamualaikum." Salam pun menyertai setelah ketukan pintu terdengar."Waalaikumsalam," jawab kami berdua."Sebentar, Mas. Aku buka pintu dulu," ucapku."Ya sudah, aku mandi dulu," jawabnya masih dengan nada datar, lalu aku bergegas membuka pintu.
Bab 8Rupanya kami dihadapkan di depan RT. Kulihat yang tegang hanya aku dan Mas Reno. Sedangkan Amira dan Mas Taka tampak biasa saja.Aku dijejerkan dengan Amira oleh Bu Sonia. Sementara Mas Taka, ia disuruh duduk di sebelah Mas Reno. Lalu pintu ditutup oleh Pak Riko, dan ia duduk di hadapan kami berempat. Ini seperti rapat keluarga, bukan rapat RT dan warga.Pak Riko menghela napas, lalu menoleh ke arah istrinya. Setelah itu, mereka berdua mengangguk secara berbarengan.Mataku melirik ke arah Mas Reno seraya mencuri pandangan, ia pun sedikit mendongak seraya kode bertanya apa yang akan dibahas Pak Riko?Tak lupa kulirik ke arah Mas Taka yang fokus ke arah Bu Sonia dan Pak Riko. Terlihat tidak ada beban di matanya.
Bab 9"Oh itu, iya memang itu saya, kalau benar Anda mau apa? Jangankan saya, kalian pun curiga kan pada suami saya dan Amira, iya kan?" tanyaku balik. Sebenarnya aku sudah menyusun kata-kata ini jika Mas Taka tahu keberadaanku di rumah Mas Reno. Sebab, tadi ia sangat berperilaku aneh. Jadi saat itulah sanggahan sudah terlintas di otakku ini."Maksudnya Bu Diana itu awalnya juga curiga pada Bu Amira dan Pak Taka? Jadi, Bu Diana berniat menanyakannya gitu?" tanya Bu Sonia sambil mengangguk seraya percaya dengan ucapanku."Ya, seperti itu, jadi kedatanganku ke rumah Amira, ya karena ingin menanyakan langsung padanya gosip itu, dan kebetulan mamanya tiba-tiba datang, saya nggak mungkin dong nunjukin wajah, yang ada malah mencurigai saya, jadi ketika mamanya Amira datang, ya saya sembunyi," jawabku membuat Pak Riko menutup rapat kali ini."Baiklah,
Bab 10"Tidur dulu, istirahatkan badan, aku juga lelah seharian ini, please kamu tidur, ya," suruhnya dengan lembut. Mataku berkaca-kaca ketika mendengar sosok lelaki yang kukhianati bertutur lembut."Mas, jangan ucapkan talak lagi ya, jadi jika emosimu sudah mereda, kita bisa balikan lagi," pintaku sambil menggenggam tangannya.Ia hanya diam, menatapku nanar, kemudian berbaring membelakangiku."Aku tidur di kamar ya, selamat malam," ucapku sambil turun dari ranjang. Ya, aku terpaksa bersikap lembut, khawatir ia mengucapkan talak satu kali lagi, bahkan talak tiga, astaga kalau sampai tiga kali dia berucap talak, maka kesempatan aku balik lagi harus merelakan ia menikah dengan wanita lain lebih dulu, dan aku nggak mau itu terjadi.Aku pindah ke kamar utama. Berbaring ke kanan, lalu balik ke kiri, tetap saja mata
Bab 50Mas Taka sontak melepaskan dekapan Diana. Begitu juga sebaliknya, Diana segera mundur dan mengedarkan pandangannya ke arahku. Kemudian, ia tersenyum lekat sambil menghapus air matanya.Aku menghampiri Mas Taka, lalu menggandeng lengannya yang masih terdiam kaku di depan pintu."Maaf, aku bikin suasana rumah ini jadi kacau, sekali lagi maaf," ucap Diana sambil menunduk.Mas Taka menatapku, ia masih terdiam membisu."To the point aja, ada apa Diana? Kenapa datang-datang langsung nyergap suami orang?" cecarku sedikit sinis. Sebab, kecemburuan suatu hal yang wajar terjadi jika menyaksikan kejadian singkat tadi.Tidak lama kemudian, Mas Reno muncul turun dari mobil, membawa Dika dengan menggendongnya. Ada tawa yang terdengar renyah di ujung sana.
Bab 49"Siapa itu Taka?" tanya mertuaku pada anaknya. Dengan jawaban yang sama, ia hanya menggelengkan kepalanya.Kemudian, kami melepaskan seat. Setelah itu terlihat kaki seseorang turun dari mobil tersebut. Dari high heels yang dikenakan sudah terlihat ia adalah wanita.Aku coba tarik napas, lalu menoleh ke arah Mas Taka sesekali, dan memusatkan perhatianku padanya."Rosa kah itu?" tanyaku. Mamaku yang masih berada di dalam mobil, berusaha menepuk bahu ini dari belakang."Jangan emosi dulu, bicarakan baik-baik di dalam rumah," pesan Mama Silvi, mamaku. Seharusnya ia tidak berada di sini. Namun, karena aku khawatir dengannya, jadi meminta mama ikut ke rumah lebih dulu.Aku melontarkan senyuman pada mama dan mertuaku. Kemudian, kembali menyorot Mas Taka."
Bab 48"Apa, Amira? Barusan kamu bicara apa?" tanya mamaku seperti meringis kesakitan.Tiba-tiba saja aku teringat, bahwa mama lemah jantung. Astaga, apa yang aku lakukan barusan?"Mah, Amira tidak bicara sungguhan, ia hanya main-main supaya diizinkan tetap bersama Taka, percayalah," lirih Mas Taka menghampiri. Aku baru tersadar, bahwa inilah tujuan Mas Taka menyuruhku ikut bersama mama, hanya ingin menjaga kondisi mertuanya baik-baik saja. Namun, aku sendiri yang membuyarkan rencana Mas Taka.Bruk!Mama ambruk seketika, ia jatuhkan bobot tubuhnya ke lantai."Mah!" teriakku ketika melihat sosok wanita yang membesarkanku kini jatuh lunglai ke lantai.Mas Taka membantu mengangkat mama dan membawanya ke rumah sakit. Aku yang selepas operas
Bab 47"Nanti kita lihat saja di rumah ya, aku nggak bisa bicara sambil nyetir," ucap Mas Taka membuatku tambah penasaran. Apa yang sebenarnya ia rahasiakan dariku? Kenapa nunggu sampai di rumah?Aku terus menerus mempertanyakan dalam hati. Sesekali mataku melirik ke arahnya. Ia terlihat agak pendiam, tidak banyak bicara dan bersikap mesra seperti yang dilakukan biasanya. Dingin, kini Mas Taka berubah sedingin es, lelaki yang sudah berjanji telah memaafkan kini sikapnya berubah lagi.Otakku terus berputar, mengingat apakah ada kesalahan yang kuperbuat namun belum diketahui olehnya. Aku ingat-ingat tapi tidak ada satu pun yang melintas di kepala ini."Mas, jika ada satu kesalahan yang belum kusadari, tolong beritahu, aku ingin memperbaikinya," pintaku membuat ia menoleh. Sayup matanya memandangku diiringi senyuman tipis.&nbs
Bab 46"Taka, kamu pindahin aja istrimu ke kelas 2, ngapain di VVIP," sindirnya membuatku menelan ludah. Tidak seperti biasanya ia bersikap seperti itu.Aku hanya tertunduk, sebab sebelumnya aku juga sudah memintanya untuk memindahkan aku ke ruangan yang sesuai dengan asuransi, supaya tidak menjadi beban keluarga."Mah, dua hari lagi juga sudah boleh pulang kok, nggak apa-apa di sini dulu," jawab Mas Taka membelaku.Diva hanya menunduk, sesekali wajahnya menatapku juga, tapi tidak seperti biasanya. Ada apa dengan mereka?"Mah, kalau aku ada salah, maafin aku," ucapku coba berlapang hati meminta maaf lebih dulu."Nggak, Amira, ini bukan tentang minta maaf, tapi tentang harga diri!" celetuk mertuaku membuatku sedikit mencerna ucapannya."Apa maksud Mam
Bab 45"Kenapa bisa banyak darah, Sus? Padahal saya tidak merasakan sakit apa-apa?" tanyaku penasaran. Sebab, jika pendarahan, tentu aku mengalami nyeri hebat."Sebentar, Bu. Saya mau cek bagian saluran air seninya dulu," balasnya.Suster itu sangat sibuk memeriksa kenapa banyak darah yang berceceran di selimut hingga baskom untuk air kencing. Dengan cekatan ia membuang lebih dulu isi baskomnya. Kemudian, memeriksa kembali.Mas Taka yang trauma melihat darah ketika kemarin aku pendarahan pun pamit keluar."Sebentar ya, Bu. Kita ulang kembali masang kateter lagi. Sama pembalutnya diganti," ujar suster."Apa nggak bisa dilepas saja, Sus?" tanyaku balik."Nunggu 24 jam, Bu," jawabnya."Tapi ini kenapa kok bisa ba
Bab 44"Mereka bilang Dika dirawat di rumah sakit ini juga, barusan banget, Dika kejang tanpa demam," ucap Mas Taka membuatku terkejut."Astaga, Mas. Aku ingin jenguk," sahutku padanya."Nanti ya nunggu kamu sudah bisa lepas kateter," timpal Mas Taka. "Padahal tadi ketika nunggu kamu dari observasi, Mas ketemu baik-baik saja," imbuhnya lagi.Tidak ada manusia yang mampu melawan takdir. Namun, aku baru saja ingin menerima Dika sebagai anakku juga, mau nerima atas kekurangan yang ia miliki. Baru saja hati ini ingin menebus kesalahanku yang pernah menelantarkan Dika, yang pernah cubit bahkan bentak Dika sebelum perasaan itu timbul."Mas, maafin aku, kalau boleh minta, aku ingin Dika ikut bersama kita supaya bisa menebus kesalahanku yang telah lalu, jujur sekarang hanya ada penyesalan," tuturku diiringi air mata ya
Bab 43Kemudian dokter pun memberikan baskom, supaya jika aku muntah langsung ke baskom tersebut."Bu, Ibu nervous ya? Coba Bu Amira tarik napas, kemudian hembuskan. Jangan mikir macam-macam," suruh dokter yang berpakaian hijau dan memakai tutup kepala.Aku mengangguk, memang kuakui gugup ketika melihat jarum suntik hampir menusuk ke tubuh. Lalu kupraktekkan apa yang disuruh olehnya. Kemudian, bersama team dokter diminta untuk relaks lagi. Setelah itu barulah jarum itu disuntikkan."Tenang ya, Bu. Biusnya tidak total, hanya untuk pinggul ke bawah." Dokter bicara sambil mempersiapkan. Tidak lama kemudian, team medis berdoa. Lalu setelah memastikan obat biusnya mengalir ke organ tubuh bagian bawah, barulah dimulai melakukan operasi.***Setelah operasi selesai, aku dibawa ke ruangan observasi. Nanti
Bab 42"Alhamdulilah, tumornya bukan tumor ganas, tapi tetap waspada ya Bu, kita lakukan operasi pengangkatan tumor jinak," ucap dokter. "Lalu bagaimana dengan Pak Taka? Apa setuju?" tanyanya lagi.Aku dan Mas Taka saling beradu pandang. Di sisi lain aku senang dengan ucapannya. Namun, ada rasa takut juga melakukan tindakan operasi."Lakukan yang terbaik untuk istri saya, Dok, kalau operasi jalan yang terbaik, maka lakukanlah," jawab Mas Taka membuatku menoleh ke arahnya.Ia sangat memperhatikanku. Seharusnya dari dulu aku menyadari apa yang ia korbankan semuanya demi aku. Dari berinvestasi untuk butik meskipun kini bangkrut, sampai harus mengorbankan menyerahkan Dafa demi aku."Baiklah, kalau begitu kita urus jadwal operasinya ya, Pak," ucap dokter sambil menepuk-nepuk bahunya.