Bab 8
Rupanya kami dihadapkan di depan RT. Kulihat yang tegang hanya aku dan Mas Reno. Sedangkan Amira dan Mas Taka tampak biasa saja.
Aku dijejerkan dengan Amira oleh Bu Sonia. Sementara Mas Taka, ia disuruh duduk di sebelah Mas Reno. Lalu pintu ditutup oleh Pak Riko, dan ia duduk di hadapan kami berempat. Ini seperti rapat keluarga, bukan rapat RT dan warga.
Pak Riko menghela napas, lalu menoleh ke arah istrinya. Setelah itu, mereka berdua mengangguk secara berbarengan.
Mataku melirik ke arah Mas Reno seraya mencuri pandangan, ia pun sedikit mendongak seraya kode bertanya apa yang akan dibahas Pak Riko?
Tak lupa kulirik ke arah Mas Taka yang fokus ke arah Bu Sonia dan Pak Riko. Terlihat tidak ada beban di matanya.
"Silakan, Pak. Mulai saja," suruh Mas Taka.
"Baik, saya mulai ya, kalian jawab jujur pertanyaan saya. Jadi, ada informasi, menurut penglihatan salah seorang warga sini. Katanya, kalian ini tukar pasangan, apa betul?" tanya Pak Riko membuat bola mataku membulat. Aku terperanjat mendengar pertanyaan Pak Riko.
"Apa-apaan ini, Pak? Kenapa pertanyaan Anda seperti itu? Apa ada bukti yang menguatkan pertanyaan Anda? Hati-hati loh ini pencemaran nama baik namanya. Nggak mungkin suami saya mau dengan wanita ini!" tuturku dengan suara lantang. Posisiku juga berdiri karena mengelak dan tidak percaya bahwa Mas Taka ada hubungan lebih dengan Amira. Bukan tidak percaya, lebih tepatnya tidak terima.
"Tenang dulu, Bu. Kami bukan berniat mencemarkan nama baik, tapi kami ingin ini dibicarakan. Sebab, jika itu benar, yang nanggung dosa 40 rumah, Bu," papar Pak Riko. Aku berusaha tenang, agar tidak terlihat panik oleh Mas Taka. Sebab, semenjak aku berdiri dan meracau, tatapan Mas Taka berubah sinis.
"Gini saja, saya tidak hanya nuduh, semua ada saksinya. Sebelum memanggil saksi, saya ingin Bu Diana dan yang lainnya bicara dulu, jika tuduhan itu salah, bisa berikan bukti pada kami," ucap Pak Riko kembali ke pokok pembahasan. "Silakan Pak Taka, jawab duluan pertanyaan saya tadi," sambungnya lagi.
"Baik, saya dan Amira hanya rekan bisnis, kami berdua sedang ada proyek bareng, makanya mungkin jadi timbul fitnah, Amira lagi buka Butik, dan saya adalah investor tetapnya," tutur Mas Taka membuatku emosi. Namun, yang lebih dulu emosi mendengarnya justru Mas Reno.
"Kenapa kamu nggak bilang bahwa sedang bangun bisnis Butik, aku kan bisa bantu kamu," sungut Mas Reno pada istrinya.
Amira hanya tersenyum tipis, tidak bicara sepatah katapun.
"Apa ada buktinya pertemuan kalian ini hanya sekadar bisnis?" tanya Pak Riko lagi.
"Sebentar, boleh saya tanya dulu, yang nuduh kami ada hubungan lebih itu atas dasar apa?" tanya Amira akhirnya bersuara. Dari gelagatnya ia memang menyimpan suatu rahasia, namun terlihat tenang dan bersahaja.
"Jadi, tetangga yang melihat kalian berdua makan malam berdua, dan kalian terlihat sangat dekat," susul Bu Sonia.
Aku berdiri lalu menghampiri Mas Taka. "Mas, jadi benar yang kamu ucapkan tempo hari? Kamu dinner dengan Amira? Hah!" hardikku sambil memukul bahunya. Ternyata aku salah menilai Mas Taka, suamiku juga mendua, dengan wanita yang sangat dicintai selingkuhanku pula.
"Ya, kami memang dinner, tapi hanya sebatas teken kontrak saja, saya bisa tunjukkan bukti teken kontrak untuk investasi Butik milik Amira. Karena waktu itu tanda tangan, mungkin tetangga melihat kedekatan kami saat Amira menunjukkan di mana letak saya harus menandatangani," terang Mas Taka. Meskipun ia menjelaskannya, aku tidak percaya, pasti mereka ada apa-apanya.
"Baik, saya pikir alasan Pak Taka ada benarnya juga, jadi saksi yang melihat hanya salah paham," tutur Pak Riko sambil manggut-manggut.
"Perlu bukti nggak, Pak? Saya ambil bukti perjanjian kontrak investasi," tantang Mas Taka.
Kemudian, Mas Reno tampak kesal, ia berdiri dan menarik tangan Amira seraya hendak meninggalkan rumah Pak Riko.
"Pak Reno mau ke mana?" tanya Pak Riko turut bangkit dari duduknya.
"Saya mau urus rumah tangga saya dengan istri, ini bukan ranah kalian, jujur saja, sebagai suami yang mendengar istrinya berbisnis tanpa sepengetahuan saya, itu adalah masalah besar," sungutnya menolak melanjutkan rapat intern ini.
"Tapi Pak Reno belum menjawab pertanyaan saya tadi, ini bukan masalah sekadar rumah tangga, tapi menjurus ke zina. Bisa tidak Pak Reno duduk kembali? Saya ingin mendengarkan pembelaan Pak Reno jika itu hanyalah fitnah belaka, seperti Pak Taka, ia santai menghadapi tuduhan ini. Begitu juga dengan Pak Reno, jika memang tuduhan warga itu salah, tolong berikan pembelaan sesuai bukti," jelas Pak Riko. Aku harap Mas Reno dapat mengelak tuduhan yang warga layangkan.
"Baiklah, tuduhan warga tadi adalah kami melakukan tukar pasangan, saya jawab itu tidak benar," sungut Mas Reno mencoba mengelak tuduhan.
"Ya, jangan seenaknya nuduh," sambungku.
"Kalau boleh tahu, warga melihat apa hingga bisa berprasangka buruk terhadap istri saya dan Tuan Reno? Saya juga ingin mengetahui itu," susul Mas Taka dengan tenangnya.
Kemudian, gantian Bu Sonia yang bersiap bicara.
"Jadi, di grup ada yang kirim foto, bahwa Pak Reno sedang melompati batako belakang rumah," ucap Bu Sonia sambil menyodorkan ponsel miliknya. Kulihat dengan seksama, ada foto saat Mas Reno melompat, kejadian itu sebelum pintu belakang ditutup oleh Mas Taka.
Mas Reno tertawa lepas, ia memberikan kembali ponsel Bu Sonia. "Bu, itu malam-malam saya ngejar tikus di halaman belakang. Memang sampai lompat ke penghalang batako, tapi Anda salah paham," tutur Mas Reno menjelaskan.
Syukurlah kalau Mas Reno mengelak, aku nggak tahu bagaimana jadinya kalau sampai ia mengakui di hadapan RT. Bisa-bisa kami berdua diarak warga keliling cluster.
"Sejak kapan di halaman belakang banyak tikus, Mas?" tanya Amira pada Mas Reno. Kenapa aku jadi sangat membencinya, melihat wajahnya kini terlihat cantik, rasanya kesal sendiri padanya.
"Memang di belakang banyak tikus, buktinya Mas Taka menutup pintu belakang tadi pagi, tanya saja dengan rekan bisnismu," sungutku padanya. Semenjak tahu bahwa Mas Taka menjadi investor Butik miliknya, saat itu juga aku semakin membencinya.
"Apa betul begitu, Pak Taka? Banyak tikus di belakang hingga Anda menutup akses pintu belakang?" tanya Pak Riko. Mas Taka pun mengangguk.
"Jadi, rapat ini selesai kan? Tidak ada bukti yang menyudutkan kami, itu hanya gosip dari warga yang tidak menyukai keluarga kami, bukan begitu, Pak Riko?" sindirku pada Pak Riko, selaku RT Cluster Gelora.
"Tunggu sebentar, ada satu lagi yang menyudutkan Anda, Pak Reno. Sore tadi, setelah mertua Anda pulang, ada yang melihat wanita keluar dari rumah Anda, bisa dijelaskan itu siapa? Karena menurut saksi, ia adalah Bu Diana." Pak Riko benar-benar sudah curiga terhadapku dan Mas Reno. Apa jangan-jangan ada foto lagi sebagai buktinya? Kalau ada fotoku, rasanya sulit berkelit lagi.
Bersambung
Bab 9"Oh itu, iya memang itu saya, kalau benar Anda mau apa? Jangankan saya, kalian pun curiga kan pada suami saya dan Amira, iya kan?" tanyaku balik. Sebenarnya aku sudah menyusun kata-kata ini jika Mas Taka tahu keberadaanku di rumah Mas Reno. Sebab, tadi ia sangat berperilaku aneh. Jadi saat itulah sanggahan sudah terlintas di otakku ini."Maksudnya Bu Diana itu awalnya juga curiga pada Bu Amira dan Pak Taka? Jadi, Bu Diana berniat menanyakannya gitu?" tanya Bu Sonia sambil mengangguk seraya percaya dengan ucapanku."Ya, seperti itu, jadi kedatanganku ke rumah Amira, ya karena ingin menanyakan langsung padanya gosip itu, dan kebetulan mamanya tiba-tiba datang, saya nggak mungkin dong nunjukin wajah, yang ada malah mencurigai saya, jadi ketika mamanya Amira datang, ya saya sembunyi," jawabku membuat Pak Riko menutup rapat kali ini."Baiklah,
Bab 10"Tidur dulu, istirahatkan badan, aku juga lelah seharian ini, please kamu tidur, ya," suruhnya dengan lembut. Mataku berkaca-kaca ketika mendengar sosok lelaki yang kukhianati bertutur lembut."Mas, jangan ucapkan talak lagi ya, jadi jika emosimu sudah mereda, kita bisa balikan lagi," pintaku sambil menggenggam tangannya.Ia hanya diam, menatapku nanar, kemudian berbaring membelakangiku."Aku tidur di kamar ya, selamat malam," ucapku sambil turun dari ranjang. Ya, aku terpaksa bersikap lembut, khawatir ia mengucapkan talak satu kali lagi, bahkan talak tiga, astaga kalau sampai tiga kali dia berucap talak, maka kesempatan aku balik lagi harus merelakan ia menikah dengan wanita lain lebih dulu, dan aku nggak mau itu terjadi.Aku pindah ke kamar utama. Berbaring ke kanan, lalu balik ke kiri, tetap saja mata
Bab 11"Kenapa jika kamu punya bukti, sewaktu Pak Riko dan Bu Sonia menyidang kita tidak diberikan saja bukti itu?" tanyaku memastikan.Mas Taka tertawa kecil, lalu ia menghela napas sambil tersenyum. "Diana, aku tidak ingin masalah rumah tangga kita dibuka di depan umum, aku mencintaimu, tidak ingin membuka aibmu di hadapan orang lain, meskipun kamu telah menyakitiku," jawabnya membuatku tambah menyesal.Astaga, kenapa setan merasukiku, hanya karena Mas Reno lebih tampan, aku melepaskan Mas Taka yang penyabar. Ibarat berlian aku telah melepaskannya hanya demi menggenggam perak. "Satu lagi, aku tidak akan memberitahu masalah ini pada kedua orang tuaku, agar kamu tidak diusir dari rumah ini," tambahnya lagi."Mas, aku sangat menyesal, bisakah kita perbaiki?" tanyaku seraya memohon."Sudah tidak ada yang perlu diperbaiki, kamu wajib perbaiki kelakuanmu, tapi dengan lelaki yang akan menyuntingmu nanti setelah masa i
Bab 12"Ini ada apa? Diana gatal sama siapa?" tanya Mama Kenny ketika datang. Lalu aku meraih punggung tangannya untuk aku kecup."Nggak, Mah. Nggak ada apa-apa," jawab Difa. Ia pun melakukan hal yang sama mengecup punggung tangan mamanya."Mama ngapain ke sini?" tanya Difa. Ia tampak tidak menyukai kedatangan mamanya."Mau kasih ini ke Diana," jelasnya.Mama mertuaku duduk sambil meletakkan sebuah bingkisan yang ia bawa di atas meja. Difa pun langsung meraihnya dan melihat isi bingkisan itu tanpa bertanya lebih dulu. Kemudian dengan mata membulat, ia marah pada mertuaku. "Mah, yang anaknya Mama tuh aku, bukan Diana, kenapa beliin kalung emas segala untuk perempuan gatal ini?" tanya Difa dengan nada tinggi. Ini kebetulan sekali, kalungku putus kemarin.Aku jadi teringat obrolanku beberapa bulan lalu pada Mama Kenny. Ya, aku memang sangat dekat dengannya.***Flashback"Ini bagus nggak,
Bab 13Aku letakkan ponsel itu di kamar yang sudah disediakan mertuaku. Kemudian, aku bergegas membantunya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, mama mertuaku berubah sikapnya. Aku bagaikan orang asing yang sengaja ia bawa lalu dicampakkan."Kamu di kamar saja, nggak usah bantu mama. Lagian sudah ada pembantu di sini yang akan merapikan nantinya," tuturnya saat aku menyentuh piring kotor.Aku kembali ke kamar. Mondar-mandir memikirkan apalagi yang harus kukerjakan. Rasanya benar-benar sudah tidak mengenakan.Kemudian, ada pesan masuk dari Mas Reno. Bisa-bisanya ia baru mengingatku sekarang.[Diana, kamu di rumah? Tiap gang sekarang ada cctv, jadi kita tidak bisa ketemu di sini. Bisakah kita ketemuan di luar?] tanyanya membuatku geram. Mau apalagi lelaki itu? Belum puas kah menghancurkan hidupku ini?
Bab 14"Tolonglah Mas Arya ke butik miliknya, ini alamatnya, pasti ia ada di sana saat ini, tolong berikan minuman ini untuknya. Ya, aku ingin ia tidak cerai dengan suaminya, lalu menikah dengan Mas Taka, itu sangat menyakitkan untukku, nanti setelah aku selesai mediasi kan gantian dia," tuturku pada Mas Arya."Ini hanya obat tidur kan? Bukan racun?" tanya Mas Arya menyelidik."Bukan, Mas. Mana berani aku ngeracunin," timpalku.Setelah memberikan minuman itu pada Mas Arya. Akhirnya ia pun pergi, setelah itu barulah aku menghubungi Mas Reno. Ia harus tahu rencanaku ini bisa membuatnya tidak kehilangan Amira. Untuk saat ini, aku menginginkan Mas Taka kembali ke pelukanku."Halo, Mas. Kamu sudah siap-siap mediasi?" tanyaku."Satu jam lagi," jawabnya.
Bab 15Perselingkuhan itu awalnya indah, namun setelahnya akan ada bencana yang menyiksa. Tidak heran orang yang berselingkuh akan mengalami kehancuran di ujung jalannya."Mas Taka bilang apa?" tanyaku menyelidik."Ya, suamimu itu sangat cinta padamu, hingga ia tidak ingin kamu masuk bui, cinta itu memang tidak harus memiliki, meskipun ia telah tersakiti, masih ada hati untuk tidak menjatuhkan kamu, Diana. Berhentilah untuk mempertahankan, sebab semakin engkau memaksa, maka emosi dan dendam akan muncul. Akui kesalahan dan mulai hidup yang baru," tutur Amira panjang lebar. Aku tidak butuh nasihat darinya, yang aku inginkan hanya Mas Taka kembali padaku."Ada satu hal yang perlu kamu tahu, aku juga tidak menginginkan ini, tapi Mas Reno yang lebih dulu menggodaku," sahutku di hadapannya."Oh, jadi kamu menya
Bab 16"Perhatian! Kalau Anda sekalian mau tahu, owner dari butik yang Anda singgahi ini adalah seorang pelakor, ia telah memeras suamiku untuk berinvestasi di butik ini. Kalau bukan karena suamiku, ia takkan mampu punya butik!" sindirku di hadapan para pembeli yang datang. Aku tertawa sambil menyorot dari ujung ke ujung. Mereka semua jadi berisik menggunjing Amira yang kusebut pelakor."Diana! Kamu sudah gila, ya! Playing victim!" tegasnya."Aku punya bukti bahwa kamu telah menggoda suamiku agar mau berinvestasi!" timpalku lagi. Kemudian, aku keluarkan ponsel yang berisikan foto mereka ketika duduk bersama. Ya, para hadirin pasti percaya dengan foto ini."Wah, Bu Amira jahat ya, jangan-jangan nanti suami kita juga digoda!" teriak salah seorang pembeli yang membawa suami."Pantesan, kok bisa pegaw
Bab 50Mas Taka sontak melepaskan dekapan Diana. Begitu juga sebaliknya, Diana segera mundur dan mengedarkan pandangannya ke arahku. Kemudian, ia tersenyum lekat sambil menghapus air matanya.Aku menghampiri Mas Taka, lalu menggandeng lengannya yang masih terdiam kaku di depan pintu."Maaf, aku bikin suasana rumah ini jadi kacau, sekali lagi maaf," ucap Diana sambil menunduk.Mas Taka menatapku, ia masih terdiam membisu."To the point aja, ada apa Diana? Kenapa datang-datang langsung nyergap suami orang?" cecarku sedikit sinis. Sebab, kecemburuan suatu hal yang wajar terjadi jika menyaksikan kejadian singkat tadi.Tidak lama kemudian, Mas Reno muncul turun dari mobil, membawa Dika dengan menggendongnya. Ada tawa yang terdengar renyah di ujung sana.
Bab 49"Siapa itu Taka?" tanya mertuaku pada anaknya. Dengan jawaban yang sama, ia hanya menggelengkan kepalanya.Kemudian, kami melepaskan seat. Setelah itu terlihat kaki seseorang turun dari mobil tersebut. Dari high heels yang dikenakan sudah terlihat ia adalah wanita.Aku coba tarik napas, lalu menoleh ke arah Mas Taka sesekali, dan memusatkan perhatianku padanya."Rosa kah itu?" tanyaku. Mamaku yang masih berada di dalam mobil, berusaha menepuk bahu ini dari belakang."Jangan emosi dulu, bicarakan baik-baik di dalam rumah," pesan Mama Silvi, mamaku. Seharusnya ia tidak berada di sini. Namun, karena aku khawatir dengannya, jadi meminta mama ikut ke rumah lebih dulu.Aku melontarkan senyuman pada mama dan mertuaku. Kemudian, kembali menyorot Mas Taka."
Bab 48"Apa, Amira? Barusan kamu bicara apa?" tanya mamaku seperti meringis kesakitan.Tiba-tiba saja aku teringat, bahwa mama lemah jantung. Astaga, apa yang aku lakukan barusan?"Mah, Amira tidak bicara sungguhan, ia hanya main-main supaya diizinkan tetap bersama Taka, percayalah," lirih Mas Taka menghampiri. Aku baru tersadar, bahwa inilah tujuan Mas Taka menyuruhku ikut bersama mama, hanya ingin menjaga kondisi mertuanya baik-baik saja. Namun, aku sendiri yang membuyarkan rencana Mas Taka.Bruk!Mama ambruk seketika, ia jatuhkan bobot tubuhnya ke lantai."Mah!" teriakku ketika melihat sosok wanita yang membesarkanku kini jatuh lunglai ke lantai.Mas Taka membantu mengangkat mama dan membawanya ke rumah sakit. Aku yang selepas operas
Bab 47"Nanti kita lihat saja di rumah ya, aku nggak bisa bicara sambil nyetir," ucap Mas Taka membuatku tambah penasaran. Apa yang sebenarnya ia rahasiakan dariku? Kenapa nunggu sampai di rumah?Aku terus menerus mempertanyakan dalam hati. Sesekali mataku melirik ke arahnya. Ia terlihat agak pendiam, tidak banyak bicara dan bersikap mesra seperti yang dilakukan biasanya. Dingin, kini Mas Taka berubah sedingin es, lelaki yang sudah berjanji telah memaafkan kini sikapnya berubah lagi.Otakku terus berputar, mengingat apakah ada kesalahan yang kuperbuat namun belum diketahui olehnya. Aku ingat-ingat tapi tidak ada satu pun yang melintas di kepala ini."Mas, jika ada satu kesalahan yang belum kusadari, tolong beritahu, aku ingin memperbaikinya," pintaku membuat ia menoleh. Sayup matanya memandangku diiringi senyuman tipis.&nbs
Bab 46"Taka, kamu pindahin aja istrimu ke kelas 2, ngapain di VVIP," sindirnya membuatku menelan ludah. Tidak seperti biasanya ia bersikap seperti itu.Aku hanya tertunduk, sebab sebelumnya aku juga sudah memintanya untuk memindahkan aku ke ruangan yang sesuai dengan asuransi, supaya tidak menjadi beban keluarga."Mah, dua hari lagi juga sudah boleh pulang kok, nggak apa-apa di sini dulu," jawab Mas Taka membelaku.Diva hanya menunduk, sesekali wajahnya menatapku juga, tapi tidak seperti biasanya. Ada apa dengan mereka?"Mah, kalau aku ada salah, maafin aku," ucapku coba berlapang hati meminta maaf lebih dulu."Nggak, Amira, ini bukan tentang minta maaf, tapi tentang harga diri!" celetuk mertuaku membuatku sedikit mencerna ucapannya."Apa maksud Mam
Bab 45"Kenapa bisa banyak darah, Sus? Padahal saya tidak merasakan sakit apa-apa?" tanyaku penasaran. Sebab, jika pendarahan, tentu aku mengalami nyeri hebat."Sebentar, Bu. Saya mau cek bagian saluran air seninya dulu," balasnya.Suster itu sangat sibuk memeriksa kenapa banyak darah yang berceceran di selimut hingga baskom untuk air kencing. Dengan cekatan ia membuang lebih dulu isi baskomnya. Kemudian, memeriksa kembali.Mas Taka yang trauma melihat darah ketika kemarin aku pendarahan pun pamit keluar."Sebentar ya, Bu. Kita ulang kembali masang kateter lagi. Sama pembalutnya diganti," ujar suster."Apa nggak bisa dilepas saja, Sus?" tanyaku balik."Nunggu 24 jam, Bu," jawabnya."Tapi ini kenapa kok bisa ba
Bab 44"Mereka bilang Dika dirawat di rumah sakit ini juga, barusan banget, Dika kejang tanpa demam," ucap Mas Taka membuatku terkejut."Astaga, Mas. Aku ingin jenguk," sahutku padanya."Nanti ya nunggu kamu sudah bisa lepas kateter," timpal Mas Taka. "Padahal tadi ketika nunggu kamu dari observasi, Mas ketemu baik-baik saja," imbuhnya lagi.Tidak ada manusia yang mampu melawan takdir. Namun, aku baru saja ingin menerima Dika sebagai anakku juga, mau nerima atas kekurangan yang ia miliki. Baru saja hati ini ingin menebus kesalahanku yang pernah menelantarkan Dika, yang pernah cubit bahkan bentak Dika sebelum perasaan itu timbul."Mas, maafin aku, kalau boleh minta, aku ingin Dika ikut bersama kita supaya bisa menebus kesalahanku yang telah lalu, jujur sekarang hanya ada penyesalan," tuturku diiringi air mata ya
Bab 43Kemudian dokter pun memberikan baskom, supaya jika aku muntah langsung ke baskom tersebut."Bu, Ibu nervous ya? Coba Bu Amira tarik napas, kemudian hembuskan. Jangan mikir macam-macam," suruh dokter yang berpakaian hijau dan memakai tutup kepala.Aku mengangguk, memang kuakui gugup ketika melihat jarum suntik hampir menusuk ke tubuh. Lalu kupraktekkan apa yang disuruh olehnya. Kemudian, bersama team dokter diminta untuk relaks lagi. Setelah itu barulah jarum itu disuntikkan."Tenang ya, Bu. Biusnya tidak total, hanya untuk pinggul ke bawah." Dokter bicara sambil mempersiapkan. Tidak lama kemudian, team medis berdoa. Lalu setelah memastikan obat biusnya mengalir ke organ tubuh bagian bawah, barulah dimulai melakukan operasi.***Setelah operasi selesai, aku dibawa ke ruangan observasi. Nanti
Bab 42"Alhamdulilah, tumornya bukan tumor ganas, tapi tetap waspada ya Bu, kita lakukan operasi pengangkatan tumor jinak," ucap dokter. "Lalu bagaimana dengan Pak Taka? Apa setuju?" tanyanya lagi.Aku dan Mas Taka saling beradu pandang. Di sisi lain aku senang dengan ucapannya. Namun, ada rasa takut juga melakukan tindakan operasi."Lakukan yang terbaik untuk istri saya, Dok, kalau operasi jalan yang terbaik, maka lakukanlah," jawab Mas Taka membuatku menoleh ke arahnya.Ia sangat memperhatikanku. Seharusnya dari dulu aku menyadari apa yang ia korbankan semuanya demi aku. Dari berinvestasi untuk butik meskipun kini bangkrut, sampai harus mengorbankan menyerahkan Dafa demi aku."Baiklah, kalau begitu kita urus jadwal operasinya ya, Pak," ucap dokter sambil menepuk-nepuk bahunya.