"Kerjain PR gue. Jam tujuh lewat lima belas menit, lo udah harus antarin bukunya ke kelas gue," ucap Rian yang terdengar seperti perintah.
Raina yang mendapat perintah seperti itu dari Rian langsung melotot tidak percaya. Apalagi, PR Rian tidaklah sedikit. Waktu yang diberikan cowok itu pun juga tidak banyak. Apa mungkin ia bisa menyelesaikan semua PR Rian dengan tepat waktu?
"Tapi ini kan banyak banget, Yan. Gak mungkin gue bisa kerjain semuanya dalam waktu lima belas menit. Lagian, kenapa semalam lo gak antarin ke rumah gue aja? Kalau semalam lo antarin ke rumah gue, kan udah selesai PR nya."
"Gak usah bacot. Gue gak mau tahu. Kalau sampai jam tujuh lewat lima belas menit lo belum ke kelas gue juga, jangan harap lo bakal lepas dari gue." Setelah mengancamnya, Rian langsung keluar dari kelas Raina.
"Dosa apa gue harus punya cowok gak waras kayak dia? Udah nakal, kasar, suka perintah lagi," gumam Raina.
"Sabar, ya, Rain. Mungkin Rian lagi tes lo aja," ujar Luna, temannya Raina.
"Tes apanya? Ya kali, dites mulu. Gue udah pacaran sama dia selama dua minggu, dan setiap hari dia selalu nyuruh gue ini-itu. Itu bukan tes tapi dia jadiin gue budaknya," omel Raina.
Luna menepuk-nepuk pundak Raina. "Sabar, Rain. Ini cobaan."
"Tapi, dibalik semuanya, lo juga harus bersyukur karena lo itu pacarnya seorang Rian Armando. Cowok populer di sekolah. Dari sekian banyak cewek yang naksir sama dia, dia malah milih lo buat jadi ceweknya."
"Gue gak pernah mau jadi pacarnya dia. Dan gue juga gak bersyukur jadi pacarnya dia."
"Terus kenapa lo mau jadi pacarnya dia?"
"Karena gue dipaksa sama dia."
"Dipaksa apa lo yang maksa?"
"Ck! Percuma ya gue ngomong sama lo. Yang ada gue tambah esmosi," decak Raina.
"Emosi kali, bukan esmosi," koreksi Luna.
"Serah lo."
"Na," panggil Risa yang juga merupakan teman sekelas Raina.
"Iya. Kenapa Sa?" tanya Raina.
"Sini gue bantuin." Ucapan Risa membuat Raina langsung mengembangkan senyumnya.
"Ah, makasih Risa. Lo emang sahabat gue yang paling terbaik, deh."
"Lain kali, suruh cowok lo kerjain sendiri PR nya. Jangan mau disuruh-suruh kayak gini," ucap Risa.
"Maunya sih gitu, Sa, tapi gue gak bisa. Lo kan tahu sendiri gimana sifatnya Rian. Gue gak bisa lawan dia."
"Lagian nih, ya, kalau aja dia gak bantuin gue, gak bakal tuh gue mau disuruh-suruh kayak gini."
"Sabar Rain, sabar," ucap Luna.
"Dari tadi suruh gue sabar mulu, tapi gak bantuin gue. Ayo bantuin gue."
"Ogah. Itu kan bukan PR pacar gue. Jadi ngapain gue harus repot-repot kerjain?"
"Oke kalau lo gak mau bantuin. Gue bakal traktir Risa aja."
Mendengar kata traktir, Luna langsung mendekati Raina.
"Eh, gue juga mau deh bantuin lo. Tapi janji bakal traktir, ya?"
"Iya." Meskipun ia harus mengeluarkan uang untuk membelikan makanan untuk Luna, tapi itu tidak masalah. Yang terpenting sekarang, ia harus segera menyelesaikan semua PR Rian dengan tepat waktu.
*****
"RAINA!" teriak Rian memenuhi ruang kelas. Sebagian murid yang ada di dalam kelas hanya diam. Meskipun mereka merasa terganggu dengan teriakan Rian, tapi mereka tidak akan berani menegurnya. Karena, jika mereka menegurnya itu sama saja dengan mereka mencari masalah dengan seorang Rian. Cowok yang terkenal pandai berkelahi dan mudah tersulut emosi. Siapapun takut dengannya.
"Raina di mana?" tanyanya pada seorang cowok yang duduk di pojok kanan tepatnya di belakang.
"Tadi gue liat dia pergi sama Luna."
"Ke mana?"
"Gak tahu."
"Itu Raina." Pandangan Rian langsung beralih ke arah pintu kelas. Di mana Raina dan Luna yang baru saja masuk kelas sembari tertawa kecil.
Rian pun segera mendekati Raina dengan raut wajah kesal.
"Dari mana?" tanya Rian.
"Dari toilet."
Tanpa banyak bicara, Rian langsung menarik lengan Raina membawa cewek itu keluar dari kelas.
"Eh, kita mau ke mana, Yan?"
"Gak usah banyak nanya."
Rian melepas tangan Raina saat mereka sampai di depan toilet cowok.
"Kita mau ngapain di sini, Yan?" tanya Raina.
Rian mengambil kain pel dan ember lalu yang ada di samping toilet lalu memberikannya pada Raina membuat kening gadis itu mengerut.
"Ngapain lo kasih gue kain pel sama ember?"
"Bersihin toiletnya sampai bersih."
"Lah, kok gue? Gak mau. Toiletnya bau, Yan." Raina tidak akan kuat jika harus membersihkan toilet cowok yang terkenal akan kotor dan baunya yang luar biasa.
"Gue gak terima penolakan. Pokoknya, selesai istirahat lo juga harus selesai bersihin toiletnya." Belum sempat Raina ingin kembali protes, cowok itu sudah pergi meninggalkannya.
"Nyebelin banget sih tuh orang. Dia yang dihukum tapi gue yang kena," dumelnya.
*****
"Loh, Yan, kok lo malah ke sini? Lo gak bersihin toilet?" tanya Andi, temannya Rian.
"Enggak. Udah ada Raina yang bersihin."
"Wah, gila lo. Masa lo nyuruh Raina yang jalanin hukuman lo, sih? Tega banget lo sama cewek sendiri."
"Gue jadiin dia cewek gue supaya dia bisa kerjain semua yang gue suruh. Termasuk jalanin hukuman gue."
"Gila lo. Emangnya Raina salah apa sampai lo jadiin dia kayak budak lo?"
"Gak tahu. Intinya setiap gue liat mukanya, bawaannya gue kesal mulu."
"Kesal tapi sayang, kan?"
"Kalau gak sayang mana mungkin Rian pacarin?" sahut Liam, yang juga merupakan teman Rian.
Hal itu membuat Rian langsung melayangkan tatapan tajamnya pada Liam. Tidak suka dengan ucapan Liam.
"Gue gak sayang sama dia!"
"Mendingan lo bawain minum buat Raina, Yan. Kasihan dia, pasti dia capek."
"Ogah. Kalau dia haus ya dia bisa datang ke kantin buat beli minum."
"Ya elah, jadi cowok kok tega banget sih sama ceweknya sendiri. Kalau lo kayak gini terus, bisa-bisa Raina gak tahan sama lo terus minta putus. Lo mau?" ucap Andi.
*****
Raina baru saja selesai membersihkan toilet. Ia menyeka keringatnya yang bercucuran di dahinya. Lalu ia memilih duduk agak jauh dari toilet untuk beristirahat sejenak.
"Akhirnya selesai juga. Bisa istirahat."
Raina menatap arloji yang melekat di tangan kirinya.
"Yah, tinggal tiga menit lagi udah bel masuk. Kalau gue makan, pasti waktunya gak bakal cukup."
"Ini semua salah Rian. Coba aja dia gak nyuruh gue buat bersihin toilet, pasti sekarang gue udah selesai makan."
Raina terkejut saat merasakan dingin di pipinya. Ia menoleh mendapati Rian yang menempelkan sebotol air mineral di pipinya.
"Ngapain lo ke sini?" ketus Raina.
"Minum." Raina langsung mengambil air mineral itu dari tangan Rian. Ia meneguknya hingga setengah. Dari cara Raina meminum air tersebut, Rian sudah tahu kalau cewek itu benar-benar kehausan.
"Nih, roti buat lo." Rian kembali menyodorkan sebungkus roti pada Raina membuat Raina tersenyum. Ia segera menerimanya.
"Gitu kek. Dikasih makanan."
"Pekerjaan gue udah selesai, jadi gue mau balik kelas dulu."
"Kata siapa lo boleh pergi?"
"Terus lo mau gue ngapain lagi? Lo mau nyuruh gue bersihin langit-langit toilet?"
"Bukan."
"Terus apa?"
"Pulang sekolah, ikut gue ke rumah gue."
"Mau ngapain?" tanya Raina.
Tanpa menjawab pertanyaan Raina, Rian langsung pergi dari sana. Sebelum itu, ia sempat menarik rambut Raina membuat cewek itu mengumpat kesal.
"Dasar cowok stres! Gila! Sampai kapan dia nyiksa gue terus?"
***********************
Raina mengernyit heran saat melihat tumpukan buku yang dibawa oleh Rian. Mereka kini sedang berada di rumah Rian. Sesuai perintah Rian, Raina mengikuti cowok itu untuk pergi ke rumahnya. Selama perjalanan tadi, Raina terus bertanya apa tujuan cowok itu membawanya ke rumahnya, namun Rian sama sekali tidak mau menjawab pertanyaannya membuat Raina kesal sendiri."Lo ngapain bawa buku banyak-banyak?" tanya Raina masih dengan wajah herannya."Catat materi yang ada di buku paket ke buku tulis gue.""Maksudnya lo nyuruh gue gitu?""Iya lah. Siapa lagi kalau bukan lo?" ketusnya."Tapi kan ini banyak banget, Yan. Kalau kayak gini bisa-bisa gue gak pulang ke rumah gue.""Itu bukan urusan gue. Sekarang lo harus catat semua materinya sampai selesai.""Gini aja deh, daripada gue catat di sini, mendingan gue pulang aja. Nanti biar gue catat di rumah. Kan lebih simpel.""Gak. Kalau lo catat di rumah lo, yang ada lo gak selesain catatannya. Ka
Pagi-pagi sekali, Raina sudah ditelepon oleh Rian. Cowok itu membangunkannya untuk menyuruh Raina membawakan bekal untuk cowok itu.Ingin sekali Raina menolak perintah Rian, namun ia sadar kalau ia menolak maka cowok itu akan semakin seenaknya memerintahnya."Raina. Tumben pagi-pagi kamu udah bangun. Mau ngapain?" tanya Dian.Riana yang sedang menyendok nasi menoleh pada mamanya lalu tersenyum."Ini Ma, aku mau masak nasi goreng.""Masak nasi goreng? Mau bawa bekal?""Iya Ma.""Ya udah sini biar Mama aja yang buatin.""Eh, gak usah, Ma. Biar aku aja.""Emang kamu bisa sendiri?""Dibisa-bisain, lah, Ma. Lagian, aku kan juga udah belajar dikit dari Mama."Dian tersenyum lalu mengusap lembut rambut putrinya. "Hebat anak Mama. Udah mulai bisa masak."Raina tersenyum lalu melanjutkan kegiatan mengiris bawang.*****Pukul tujuh tepat, Raina sudah sampai di sekolahnya. Dengan senyum yang
Raina, Luna, dan Risa berjalan memasuki kantin. Mereka memilih duduk di bangku yang kosong yang berada di pojok kanan kantin, tepatnya di samping meja Rian, Liam, dan Andi.Sebenarnya Raina tidak mau duduk di sana, mengingat ada Rian di sana. Ia tidak mau melihat wajah Rian. Jujur, ia masih kesal dengan cowok itu karena Rian sudah membuang nasi gorengnya ke tempat sampah. Bahkan cowok itu juga tidak meminta maaf padanya. Seolah ia tidak merasa bersalah."Lo berdua mau beli apa biar gue yang beliin," ucap Luna."Gue temenin lo aja deh," ujar Risa."Lo mau beli apa, Rain?" tanya Luna lagi."Gue mi goreng sama es teh." Raina menyerahkan uang sepuluh ribu pada Luna yang langsung diterima oleh cewek itu."Oke. Tunggu bentar, ya, Rain."Sembari menunggu kedua temannya membeli makanan, Raina memilih membuka ponselnya."Hai Rain," sapa Andi. Cowok itu duduk di hadapan Raina.Raina yang sibuk dengan ponselnya pun mengangkat wajahnya lalu
Rian menatap bingung Liam dan Andi yang berada di depan rumahnya. Kedua cowok itu datang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. "Ngapain lo berdua ke sini?" tanya Rian. "Dia yang ngajak gue ke sini," ucap Liam menunjuk Andi. Andi yang diberikan tatapan datar oleh Rian langsung membuka mulutnya untuk menjelaskan. "Em, gue bosan di rumah makanya gue ke sini. Gue ngajak Liam biar lo bisa ijinin gue buat masuk. Kalau gue sendiri kan lo gak bakal mau gue masuk rumah lo," ucap Andi. "Gimana dia mau ijinin lo masuk kalau lo aja berisik mulu." Andi hanya cengengesan mendengar ucapan Liam. Memang benar, jika Andi datang sendiri ke rumah Rian, pasti cowok itu tidak akan mengizinkan Andi untuk masuk ke rumahnya. Karena jika Andi sudah masuk ke dalam rumahnya, maka Andi pasti akan berbuat aneh-aneh. Dan Rian tidak menyukainya.Kecuali jika Andi datang bersama Liam, barulah Rian akan mengizinkan Andi untuk masuk ke rumahnya. Karena Liam a
Raina berjalan menyusuri koridor sekolah dengan wajah bantalnya. Sebenarnya, ia masih mengantuk karena semalam ia tidak tidur nyenyak. Dan itu semua karena Rian. Semalam cowok itu mengganggunya. Rian terus meneleponnya dan memarahinya karena Raina membuang martabak di depan rumahnya."Woi." Rian menarik lengan Raina membuat langkah cewek itu terhenti."Apa? Mau marahin gue lagi? Kan semalam gue udah minta maaf. Belum cukup lo ngomel-ngomelnya?""Mana buku PR gue?" tanya Rian sembari menjulurkan tangannya di depan Raina.Dengan malas, Raina membuka tasnya lalu memberikan buku milik Rian pada cowok itu.Saat Raina hendak melanjutkan langkahnya, lagi-lagi Rian menarik lengannya membuat Raina berdecak."Apalagi sih, Yan? Gak usah ganggu gue deh.""Urusan kita belum selesai. Lo pikir dengan minta maaf aja bakal cukup?""Terus lo mau gue ngelakuin apa?"*****"Sapu yang benar. Kalau gak bersih gue suruh ulang, ya," ucap
Rian menyandarkan tubuhnya di tembok depan kelas Raina. Cowok itu menunggu Raina keluar dari kelasnya.Tak lama kemudian, Raina pun keluar dari kelasnya bersama Luna dan Risa."Na, lo jadi temenin gue ke mall, kan?" tanya Luna."Ja---""Raina sama gue," potong Rian membuat ketiganya langsung menoleh pada cowok itu."Enak aja lo. Gue duluan yang udah janjian sama Raina. Iya kan Rain?"Raina melirik Rian yang tampaknya tidak ingin dibantah."Sorry, Lun, bukannya gue gak mau nemenin lo, tapi gue gak bisa. Soalnya Rian udah duluan ngajak gue pergi."Wajah Luna tampak kecewa. "Terus gue pergi sama siapa dong?""Sama Risa aja. Sa, mau temenin Luna, kan?"Risa menggeleng cepat. "Gak. Malas gue ke mall. Mendingan gue tidur di rumah.""Sa, jangan gitu lah sama Luna. Sekali-kali temenin Luna. Lagian kalau gue bisa aja pasti gue udah temenin Luna.""Ya udah oke. Gue mau." Raina dan Luna tersenyum lebar karena R
Raina menatap pantulan wajahnya di cermin. Memastikan penampilannya sudah baik atau belum. Setelah dirasanya sudah baik, ia pun mengambil tas selempangnya lalu memakainya.Sesuai janjinya pada Rian, malam ini ia akan menemani Rian ke rumah tante cowok itu.Raina turun ke lantai bawah. Ternyata Rian sudah menunggunya di bawah. Cowok itu sedang mengobrol dengan kedua orang tuanya."Jadi kamu mau ngajakin Raina keluar?" tanya Seno."Iya Om. Boleh kan, Om?""Boleh aja. Asal sebelum jam sepuluh kamu udah antarin Raina pulang.""Siap Om.""Em, Pa, Ma, aku pergi sama Rian dulu, ya." Raina mendekati Seno dan Dian lalu mencium tangan keduanya diikuti Rian."Hati-hati, ya."Mereka berdua berjalan keluar dari rumah. Pandangan Rian tidak terlepas dari Raina. Ia cukup kagum karena malam ini Raina terlihat cantik."Kenapa liatin gue kayak gitu? Gue jelek, ya?" Pertanyaan Raina sukses membuat Rian tersadar. Buru-buru cowok
Raina berjalan mendekati Rian yang sedang duduk di tepi lapangan. Cowok itu berkeringat karena baru saja selesai berlari mengelilingi lapangan. Tadi, ia datang terlambat, sehingga ia dihukum."Nih, minumnya." Raina memberikan sebotol air mineral yang ia beli tadi di kantin. Sebenarnya, ia datang ke sini bukan karena ia mau, melainkan karena disuruh oleh Rian.Rian menerima botol minum tersebut lalu meneguknya hingga setengah.o"Mau ke mana?" tanya Rian saat Raina hendak pergi."Ke kantin.""Emangnya gue udah bolehin lo pergi?""Emangnya gue harus butuh izin lo dulu baru gue boleh pergi?""Selama lo jadi cewek gue, lo harus nurutin apa kata gue.""Ngatur banget, ya, lo."Rian kembali meminum airnya tanpa membalas ucapan Raina."Hai Rian. Aduh pasti lo capek banget ya, habis dihukum. Sini gue lap keringat lo." Seorang cewek dengan seragam ketatnya tiba-tiba menghampiri Rian dan Raina. Cewek itu menarik tisu dari bun
“Ngapain lo ke sini?” Rian bertanya dengan ekspresi tidak suka. Sama sekali tidak ada niatan untuk menyambut tamunya dengan ramah. Apalagi setelah tahu tamu yang datang adalah Sofhie.Setelah bertemu Raina tadi, “Gue ke sini mau ngomong sama lo. Sebentar aja.”“Lima menit. Habis itu lo udah harus pergi.”Sofhie mengangguk.“Mau ngomong apa?”Sofhie mengambil napas sejenak, lalu mulai berbicara, “Gue ke sini karena mau minta maaf sama lo. Gue nyesal udah ganggu hubungan lo sama Raina. Harusnya gue gak ngelakuin itu. Gue pikir dengan gue kembali lo bakal mau balik lagi sama gue. Ternyata gue salah.”“Soal preman-preman itu? Lo gak mau ngaku?” tanya Rian. Karena Rian masih curiga dengan Sofhie.Sofhie menggeleng. “Gue berterima kasih sama Raina karena dia udah mau nolongin gue. Tapi jujur gue sama sekali gak pernah nyuruh preman-preman itu. Kalau lo gak mau percaya silakan. Gue gak bakal maksa.”“Gue janji gak bakal ganggu hubungan lo sama Raina lagi. Gue bakal pergi jauh biar kalian gak
“Ya ampun, Raina! Itu kenapa jidat lo?” Luna mendekati Raina hendak menyentuh kening Raina, tapi Raina menghindar.“Jatuh kemarin.”“Kok bisa?”“Didorong sama preman.”“Preman? Maksudnya?” Risa ikut bertanya.Kedua sahabatnya bingung dan juga kaget. Raina bisa memaklumi, karena ia memang tidak sempat menceritakan kejadian kemarin pada keduanya. Raina tidak mau mengganggu waktu keduanya. Jadi Raina memilih untuk menceritakan langsung.“Kemarin gue nolongin Sofhie yang digangguin preman. Terus premannya dorong gue. Jadi kayak gini, deh.” Raina menjelaskan secara singkat.“What? Nolongin Sofhie? Serius lo?” Luna mengembuskan napas sejenak lalu kembali melanjutkan ucapannya, “Gini ya, dia itu musuh lo. Tapi bisa-bisanya lo nolongin dia?”“Ya, gue kasihan sama dia. Lagian kita harus saling tolong-menolong, kan?”“Iya emang tapi lo mikir-mikir juga kali. Bisa aja dia sengaja nyewa preman-preman itu biar keliatan kalau dia digangguin, tapi ternyata cuma mau narik perhatian lo buat nolongin di
Rian berdecak ketika ponselnya berdering. Ia kesal karena yang meneleponnya adalah Sofhie. Sudah lima kali Rian menolak panggilan cewek itu, tapi Sofhie tidak menyerah menghubunginya.Rian membiarkan ponselnya begitu saja tanpa ada niatan untuk menjawabnya.Tak lama kemudian ponselnya kembali berdering. Rian yang tadinya ingin mematikan ponselnya segera mengurungkan niatnya karena ternyata yang meneleponnya kali ini adalah Andi.“Kenapa?”'Yan, gawat!'Rian mengerutkan keningnya ketika mendengar suara Andi yang cukup panik.“Lo kenapa? Ada masalah?”'Raina.'Rian makin bingung.“Raina? Kenapa Raina?”'Barusan Sofhie telfon gue katanya Raina masuk rumah sakit.'Rian mendadak terdiam. Apa ia tidak salah dengar? “Gue gak salah dengar, kan?” Rian bertanya memastikan.'Iya, Yan. Mendingan lo buruan ke rumah sakit kenanga. Gue juga otw ke sana.'Panggilan pun diakhiri oleh Andi. Berbagai pertanyaan muncul dalam benaknya, tapi ia tidak ada waktu untuk mencari semua jawaban itu. Karena yang
“Nyapu sendiri lagi?” Rian menghampiri Raina di kelas setelah pelajaran selesai. Kebetulan Raina sedang menyapu kelas. Tadinya ada beberapa temannya yang juga piket, tapi mereka sudah selesai lebih dulu. Mereka ingin menunggu Raina sampai selesai, tapi Raina menolak dan menyuruh mereka untuk pulang lebih dulu.Raina menoleh sejenak pada Rian, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. Enggan menjawab Rian.“Gue bantuin, ya,” tawar Rian.“Gak usah.” Raina menolak.“Udah gak papa biar gue bantuin. Kasihan lo kecapekan.” Rian hendak mengambil alih sapu dari Raina, namun Raina sudah lebih dulu menjauhkannya.“Gak usah ganggu gue,” ucap Raina dingin.“Ya udah, kalau gitu gue nungguin lo sampai selesai, ya. Biar bisa pulang bareng.”Raina kembali menoleh pada Rian dengan satu alis terangkat. “Emang gue bilang mau pulang sama lo?”Rian mengangguk, “Tadi kan kita udah sepakat pulang bareng waktu istirahat.”“Gue gak pernah buat kesepakatan sama lo. Pergi!”“Rain, jangan kayak gini dong. Gue tahu l
Rian memainkan ponselnya sembari menunggu Raina yang kembali dari toilet.Saat sedang asyik dengan ponselnya, tiba-tiba seorang cewek datang. Lalu, tanpa izin darinya cewek itu langsung memeluk Rian.Rian yang tiba-tiba dipeluk seperti itu langsung terkejut.“Sofhie?” Rian lebih terkejut ketika tahu siapa cewek itu.“Gue gak nyangka kita ketemu di sini. Kayaknya kita emang ditakdirkan buat balikan lagi, deh. Soalnya kita selalu ketemu padahal gak pernah janjian.”“Apaan sih lo. Gak usah ngaco, deh. Lepasin gue.” Rian hendak melepaskan pelukan Sofhie, namun cewek itu malah memeluknya lebih erat.“Sofhie lepasin.”“Rian.”“Ra-Raina.” “Hai Rain. Ketemu lagi kita.” Sofhie menyapa sembari tersenyum.Kesempatan itu Rian gunakan untuk melepas pelukan Sofhie.“Lo tahu gue sama Rian itu emang ditakdirkan buat bersama. Buktinya kita selalu ketemu tanpa diduga. Kayak sekarang ini.” Sofhie menoleh pada Rian. “Iya kan, Yan?”Raina tersenyum sinis. “Takdir? Gak usah sok-sokan ngomong takdir. Rian
Rian mencari Raina ke kelas cewek itu, tapi Raina tidak ada. Rian sudah bertanya pada Luna dan Risa, tapi mereka juga tidak tahu keberadaan Raina.Sejak pagi, Rian belum juga bertemu dengan Raina. Saat Rian pergi ke rumah Raina untuk menjemput cewek itu, Raina ternyata sudah berangkat sekolah lebih dulu.Rian tidak tahu ada apa dengan Raina. Tapi Rian merasa Raina sedang menghindarinya. Apa mungkin Raina menghindar karena takut Rian akan marah pada cewek itu perihal masalah kemarin?Mungkin Rian memang marah pada Raina karena sudah membohonginya, tapi itu kemarin. Sekarang Rian tidak ingin memarahi Raina, tapi ia hanya ingin berbicara dengan Raina. Rian ingin tahu alasan Raina berbohong padanya.“Akhirnya ketemu juga.” Raina menoleh pada Rian.Setelah mencari Raina di beberapa tempat, akhirnya Rian menemukan Raina di rooftop.Raina terkejut, tidak menyangka Rian akan menemukannya. Padahal, daritadi Raina mencoba menghindari Rian.“Lo kenapa hindarin gue? Gue kan udah bilang kemarin ma
“Gue gak akan biarin lo rebut Rian dari gue, Sofhie. Gak akan!” gumam Raina kesal.Ada rasa kesal karena ucapan Sofhie tadi, tapi di lain sisi Raina cukup puas karena bisa memberitahu langsung cewek itu kalau ia tidak akan merelakan Rian kembali bersama cewek itu. Raina harus melakukan itu agar Sofhie sadar kalau dia tidak akan bisa bersama Rian lagi. Karena Rian kini miliknya.“Raina?” Raina yang baru keluar dari cafe terkejut ketika bertemu dengan Liam.Raina seketika langsung tersenyum, “Eh, Liam. Kok sendiri? Gak sama Andi?”“Iya, mau ketemu teman. Lo sendiri ngapain di sini? Gak sama Rian?” Liam balik bertanya.“Em, sama. Ketemu teman juga. Kalau gitu gue duluan, ya.” Raina buru-buru pergi dari sana. Raina terpaksa berbohong pada Liam karena ia tidak mau Liam tahu kalau ia bertemu dengan Sofhie. Karena jika Liam tahu, maka dipastikan Rian juga akan tahu. Dan kalau sampai Rian tahu cowok itu pasti akan marah padanya.Liam merasa ada yang aneh dengan Raina, tapi cowok itu memilih
Andi berlari menghampiri Rian dan Liam yang sedang mengobrol di depan kelas.“Eh, ada berita bagus. Lo berdua mau dengar gak?”“Gak!” jawab keduanya kompak.“Oke, karena lo berdua penasaran banget jadi gue kasih tahu aja deh.”“Terserah lo deh.”Andi tersenyum lalu melanjutkan ucapannya, “Wanda udah pindah sekolah ke luar negeri.”“Serius lo?” Rian yang tadinya tidak peduli langsung merespons.“Serius lah. Masa gue bohong.”“Kapan pindahnya? Kok kita gak tahu?” Liam bertanya.“Jelas lo gak tahu lah. Lo kan gak pernah peduli sama orang lain. Apalagi cari tahu berita kayak gini.”“Bagus deh kalau dia udah pindah.” Rian tersenyum lega. Tentu ia merasa lega karena sudah tidak ada yang mengganggunya lagi.“Emang bagus sih Wanda udah pergi, tapi masalahnya Sofhie muncul lagi. Jadi lo belum bisa dinyatakan bebas.”Rian terdiam. Benar yang dikatakan Andi. Dirinya belum sepenuhnya bebas karena kehadiran Sofhie. Apalagi cewek itu memiliki sifat yang tidak mudah menyerah. Meskipun begitu, Rian t
Rian segera melepaskan tangan Sofhie ketika cewek itu menggenggam tangannya.“Apa yang mau lo jelasin? Gue kasih lo waktu lima menit.”“Bisa pesan minum dulu gak? Gue kangen banget bisa ke kafe ini lagi sama lo. Rasanya udah lama banget kita gak ke sini.”“Oke. Buruan pesan.”Sofhie tersenyum lalu memanggil waiters untuk memesan minuman.“Mbak, saya cappucino satu, ya.” Sofhie lalu beralih menatap Rian, “Lo mau minum apa?”Rian menggeleng.“Yakin? Gak haus?” Sofhie bertanya memastikan.“Hm.”“Ya udah, Mbak, pesanannya itu aja dulu, ya.”Setelah waiters tersebut pergi, Rian kembali berucap, “Buruan ngomong.”“Nunggu minumannya datang dulu, lah, Yan.”Rian menghela napas. “Kalau sampai minumannya datang dan lo gak mau jelasin juga gue pulang.”“Iya, lo gak usah marah-marah dong.”Tak lama kemudian minuman pesanan Sofhie datang.Rian menunggu Sofhie menyeruput minumannya sebelum cewek itu berbicara. Kalau saja Raina tidak menyuruhnya untuk mendengarkan penjelasan Sofhie, Rian tidak akan