"Kau?"
Tubuh Kiana membeku. Refleks, tangannya berpegangan erat di lengan Andrew. Menelan ludahnya gugup, bahkan detak jantungnya terdengar sangat cepat. Kenapa? Kenapa orang itu bisa ada di sini? Apakah dia akan ditangkap lagi? Tidak. Kiana tidak mau. Gigi Kiana saling bergemeletuk. Mencoba menghindari tatapan orang itu. Meski kegugupan dan rasa panik, membuatnya sesak napas. Syndrome panic attack, tiba-tiba muncul begitu saja tanpa diduga dan Kiana hanya bisa menjadikan lengan Andrew sebagai pegangan. Hingga entah Andrew menyadarinya atau tidak, laki-laki itu mengelus lengannya seolah berusaha menenangkan Kiana. Andrew berniat menghiraukan panggilan itu dan masuk ke dalam restoran, namun suara laki-laki itu justru kembali menahan langkahnya. "Tunggu, kau Andrew, 'kan? Teman Kiana?" ucapnya sembari menahan tangan Andrew yang akan membawa Kiana pergi menjauh dari sana. Seketika, AndrewKen berjalan pelan ke ruangan Rafael. Sesuai ucapannya, dia perlu memastikan tentang kebenaran kata-kata temannya itu. Benarkah kalau Rafael sudah bertindak dan mengetahui keberadaan Kiana atau semua itu hanyalah omong kosong? Diketuknya pintu ruang Rafael, "Rafael? Kau di dalam?" Tak ada sahutan, membuat Ken menghela napas berat. Tidak sama sekali tidak suka perasaan canggung seperti ini. Bahkan mereka terasa asing untuk kali ini. Hanya gara-gara dia menyelamatkan seorang wanita, Rafael langsung menjauhinya dan menganggap dia pengkhianat, tetapi Ken sama sekali tidak menyesali keputusannya untuk membantu Kiana. Sekali lagi, Ken mengetuk pintu dan menyeru nama Rafael. Namun sama sekali tidak ada jawaban dari sana. Pintunya pun dikunci, membuat tidak bisa sembarang orang bebas masuk. Mungkin Rafael takut kalau Ken akan kembali mengacak-acak ruangannya. Tentu saja, siapa orang yang berniat melakukan hal bodoh untuk kedua
Kiana menyeka peluh di keningnya. Dia sangat lelah melayani banyak pelanggan. Ya, Kiana kembali bekerja. Dia tidak punya pilihan lain. Lagi pula, Andrew sudah menjelaskan semuanya kemarin. Perkataan Rafael tidak benar-benar serius. Begitu kata dokter Ken. Entahlah, dia yang terlalu paranoid atau bagaimana. Kiana terlalu ketakutan sendiri, karena ternyata seharian ini pun dia masih dalam keadaan baik-baik saja. Hanya lelah yang didapat begitu pekerjaannya beres. Namun setidaknya, dia bisa membantu keuangan Andrew. Kiana berjalan pelan menuju sepeda motornya. Kali ini, dia membawa kendaraannya sendiri karena tidak ingin merepotkan Andrew. Meski tentunya, mereka sempat terlibat sebuah perdebatan. Andrew khawatir dan tidak ingin Kiana pulang sendiri, namun Kiana terus bersikeras. Dia tidak tega jika harus melihat Andrew yang menjemputnya, padahal laki-laki itu juga baru pulang kerja. Langit tampak sudah berwarna jingga saa
"Maria, apa yang terjadi padamu? Kenapa kamu bisa ada di sini!" Ken begitu panik saat tadi Rafael menelepon dan mengatakan kalau Kiana ada di rumah sakit dalam kondisi terluka. Semalaman, wanita itu membuatnya sama sekali tidak bisa tidur. Andrew bahkan mencari Kiana ke tempat wanita itu bekerja. Namun sang pemilik toko mengatakan kalau Kiana sudah pulang. Rasa panik itulah yang membuat lingkaran di bawah matanya. Dia hanya tidur beberapa jam. Andrew juga tidak bisa meminta tolong pada polisi, namun dia juga tidak bisa menemukan keberadaan Kiana. Satu-satunya cara yang dia lakukan adalah berkeliling. Kembali menyusuri jalan di mana Kiana melewatinya. "Mobilku tidak sengaja menyerempetnya," ucap Rafael saat melihat Kiana diam saja. Wajah tanpa rasa bersalah itu membuat Andrew langsung marah. Hingga dia dengan cepat memegang kerah baju Rafael dan menyudutkannya ke tembok. "Apa? Kaubilang apa?"&
Kiana menatap apartemen milik Andrew dengan sorot mata kaget. Beralih pada laki-laki itu dengan berbagai macam pertanyaan yang berkelebat dalam benaknya. Kenapa? Apa Andrew memang memiliki uang sebanyak itu untuk menyewa apartemen ini? Apartemen yang terlalu mewah menurutnya karena tempat itu memiliki luas ruangan yang jauh lebih besar dibanding tempat tinggalnya kemarin. Ruangan dengan gaya arsitektur modern dan sedikit kaku kalau menurutnya karena didominasi oleh warna putih dan hitam. Meski ada juga tanaman hijau yang sengaja diletakkan di sudut ruangan. Menambah kesan alami. Sebuah balkon yang juga membuatnya bisa melihat pemandangan gedung-gedung tinggi. Tak hanya itu, di sana juga terdapat kolam renang pribadi. Furniture yang tampak masih baru. Walaupun Andrew sudah kembali bekerja memimpin perusahaan ayahnya, tapi tetap saja ini terlalu berlebihan. Ya, Andrew sudah kembali bekerja di perusahaannya kemarin. Setelah dua hari memik
Senyum miring terlihat di wajah Rafael. Dia duduk berhadapan bersama Kiana dan Andrew. Ketiganya makan bersama di sebuah restoran kecil tak jauh dari taman. Atas usulannya dengan sedikit pemaksaan, keduanya mau tak mau mengikuti Rafael. Meski Andrew tidak bisa untuk tidak mengawasi Rafael. Rafael mengatakan, dia ingin mentraktir mereka sebagai ucapan maafnya atas kejadian yang sempat membuat Kiana kecelakaan. Niat baiknya yang ingin memfasilitasi Kiana, juga tidak bisa dilakukan saat Andrew membawa kabur wanita itu tanpa sepengetahuannya. "Bagaimana keadaanmu? Kau sudah baikkan?" tanya Rafael pada Kiana. Senyum manis tampak terlihat di sana. Sedikit membuat Kiana tersentak. Entah mengapa, dia melihat Rafael yang saat ini lebih ramah dan itu sedikit membantu tidak nyaman. Kiana sampai menghentikan acara makannya dan menatap Andrew, meminta tolong. Dia tidak mau membuka suara atau mengobrol dengan Rafael. Ada rasa
Warning : Konten Dewasa. ~~~ Malam itu, Andrew pulang terlambat. Laki-laki itu sibuk dengan segunung tugasnya, membuat Kiana hanya bisa menunggu sembari menonton televisi. Beberapa kali, dia kerap kali melihat ke arah jam dinding. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Hanya kegelisahan yang Kiana rasakan saat dia merasa seorang diri di apartemen tersebut. Matanya terus fokus menatap televisi, meski sejuta firasat dan perasaan tak enak itu hadir menghantuinya. Tidak nyaman, Kiana ingin Andrew cepat datang. Sampai saat dia sibuk berpikir tanpa memedulikan lagi layar televisi, suara ponselnya yang berdering cukup mengejutkannya. Sebuah pesan dari Andrew. 'Maaf, Kia, sepertinya aku pulang beberapa jam lagi. Mama, Papa dan Kak Arkan sedang bersamaku. Mereka menahanku.' ~ Andrew ~ Kiana menggigit bibir bawahnya dengan cemas. Ternyata Andrew bersama kelu
Hal yang dapat membuat Andrew marah dan terluka, hanyalah ketika melihat Kiana menangis. Seperti sebuah cambukan yang melukai hatinya. Andrew kesal, dia benci melihat Kiana kembali menangis saat dia sama sekali tidak bisa melindunginya. Padahal kemarin, Andrew sudah berjanji untuk menjaganya. Namun yang terjadi, dia membiarkan Kiana mengalami hal terburuk seperti ini. "Ssstt, tenanglah Kia, tidak apa-apa ... jangan menangis." Andrew menepuk kepala Kiana untuk meredakan tangis wanita itu yang sedari tadi tak kunjung reda. Kiana sepertinya syok, bahkan tadi tanpa ragu langsung berhambur ke dalam pelukannya. Menangis sesenggukan sampai membuat Andrew tidak bisa bertanya lebih jauh. Dia hanya bisa melihat pakaian Kiana yang sudah tak karuan, itu sudah cukup menjelaskan kalau ada seseorang yang berusaha menyentuh wanita yang dicintainya. Andrew juga sedikit kesusahan saat membawa Kiana menuju kamar. Berengsek! Siapa d
Sore itu, Andrew pulang buru-buru. Dia sudah sangat khawatir dengan kondisi Kiana, takut kalau terjadi sesuatu yang buruk lagi. Saking khawatirnya, Andrew mempekerjakan seorang pekerja paruh waktu untuk membereskan rumah selama tidak ada, sekalian mendampingi Kiana. Tak sampai sana, setelah kejadian mengerikan itu, Andrew langsung menegur manager dan meminta keamanan diperketat, bahkan CCTV dipasang di setiap sudut ruangan dan terhubung langsung dengan komputer miliknya yang ada di kantor perusahaan. Ya, dia melakukan itu untuk mengawasi Kiana, lebih tepatnya mengawasi orang asing yang mencoba masuk ke dalam apartemennya. Heran sekaligus tidak percaya, bagaimana mungkin orang itu bisa memiliki kunci apartemen? Terlebih melarikan diri lewat balkon, sedang apartemennya berada di lantai yang cukup tinggi. Orang gila mana yang berani melakukan tindakan tersebut? Walaupun memang, ada satu apartemen di sebelahnya yang katanya kosong, tak berpenghuni. Sedang
Dua bulan kemudian. Kiana mengedipkan matanya beberapa kali. Dia melihat ke sekeliling ruangan. Sadar kalau dirinya telah tertidur begitu lelap saat menunggu kedatangan sang suami. Rafael berkata akan pulang sedikit terlambat melalui pesan singkat. Diliriknya sisi ranjang di sebelahnya yang masih kosong. Dingin dan rapi seolah memang tidak tersentuh. Menjelaskan bahwa memang Rafael belum menyentuhnya. Padahal saat ini, jam sudah menunjukkan hampir dua belas malam. Tak ada yang bisa Kiana lakukan selain menghembuskan napas kasar. Dia mendesah bingung. Di mana laki-laki itu? Kiana tidak berharap kalau suaminya menginap di kantor. Kepalanya sedikit berkunang-kunang saat dia berusaha bangkit dari ranjang. Kandungannya yang sudah menginjak usia tujuh bulan, membuat Kiana sedikit kesulitan untuk berjalan. "Rafael, Ayah," panggilnya sambil berjalan menuju ruang tengah. Memerhatikan rumah yang kini
Malam yang indah dengan cahaya bulan yang kini tampak bersinar begitu terang, seolah menjadi momen paling sakral untuk sepasang pengantin yang saat ini dilanda canggung. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam dan pesta selesai beberapa jam lalu. Di sebuah hotel mewah, mereka bersama beberapa tamu memilih untuk menginap. Betapa gugupnya Kiana ketika selesai mengganti baju dan tengah menunggu Rafael yang masih berada di dalam kamar mandi. Dia memilin jari-jarinya seraya menoleh sesekali ke arah kamar mandi. Menilik kembali pakaiannya yang sangat transparan. Sebuah lingerie seksi melekat di tubuhnya. Sedikit dingin karena AC yang terpasang. Suami. Kini Rafael telah menjadi suaminya. Kiana senang, begitu juga dengan sang anak dalam kandungannya. "Kau belum tidur, Sayang?" Suara pintu yang tertutup dan langkah kaki mendekat, mengalihkan perhatian Kiana pada laki-laki yang kini tengah berjalan sam
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Kiana tersenyum dan menatap dirinya di depan cermin. Tersipu malu saat melihat betapa cantiknya dia dalam balutan gaun pengantin. Makeup yang cukup tebal tampak mempertegas kecantikannya. Para perias sudah selesai melakukan tugasnya. Hingga saat Kiana tengah menatap cermin, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Kiana mengira kalau itu adalah ayahnya yang datang untuk menjemputnya, namun ternyata orang yang membukakan pintu adalah Andrew dan Arkan. Dirinya sontak berdiri dan tersenyum melihat keduanya, terutama Andrew yang saat ini ada di depannya. Tidak pernah Kiana sangka kalau laki-laki itu akan hadir di hari pernikahannya, dengan pakaian yang sangat rapi. Dia pikir, Andrew akan tidak akan datang dengan alibi kalau pekerjaannya sedang menumpuk. "Aku kira kau tidak akan datang." Kiana tersenyum dan menatap Andrew dengan mata berbinar senang. Setelah pertemuan mereka dua minggu yang
Mata Rafael berkedip melihat hasil USG yang memerlihatkan janin di perut Kiana yang masih kecil. Jantungnya terasa berdetak cepat. Tiga bulan, usia kandungan Kiana sudah tiga bulan. Persiapan pernikahan mereka selama satu setengah bulan ini sudah hampir selesai. Dia tidak sabar menanti pernikahan mereka dan kelahiran anaknya. "Janin Anda sangat sehat sama seperti ibunya," ucap sang dokter yang memeriksa kondisi Kiana. Membuat senyum manis terbit di bibir wanita yang kini mengelus lembut perutnya. "Terima kasih, Dok." Sang dokter mengangguk. Kemudian mengalihkan pandangannya pada Rafael yang terasa asing. "Tapi, di mana suami Anda?" Kiana dan Rafael saling pandang. Tak mengerti dengan ucapan sang dokter. Suami, siapa yang dimaksud? "Lho, bukannya yang biasa datang adalah suami Anda?" Rafael yang mendengar jawaban sang dokter, sontak menoleh dan menajam
"Tolong jaga putriku. Aku tidak akan memaafkanmu kalau sampai kau menyakiti putriku lagi." "Baik, Om. Saya berjanji akan menjaga Kiana dengan baik. Saya tidak akan mengecewakan, Om." Rafael mengangguk tegas. Sorot matanya tampak penuh keyakinan. Diselipkan tangannya di antara sela-sela jemari lentik Kiana. Sedari tadi, Kiana yang duduk di samping Rafael tak henti-hentinya mengulas senyum lebar setelah mendengar kedatangan laki-laki itu dan Guzman dari sang ayah. Kiana merasa ini seperti mimpi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau Rafael datang untuk melamarnya. Ini seperti sebuah kejutan luar biasa untuknya. "Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita tentukan tanggal pernikahan untuk mereka?" ucap Guzman dengan senyum lebar. Memecah ketegangan yang terasa di ruangan itu. Sedikit kasihan melihat cucunya yang terus memasang ekspresi tegang. "Apa harus secepat ini?" tanya Garry dengan w
Rafael duduk saling berhadapan dengan Guzman. Dia berpikir keras tentang apa yang harus dilakukannya untuk membuat ayah Kiana mau menyetujui mereka menikah. Baru kali ini, Rafael merasa sangat putus asa. Kata-katanya yang tadi menyemangati wanita itu sama sekali tidak memberikan efek berarti untuk dirinya sendiri. Nyalinya ciut. Kariernya memang bagus. Dia bahkan bisa menyesuaikan diri di kantor barunya dengan cepat. Memiliki otak yang jenius. Namun sialnya, Rafael harus menerima kenyataan kalau kehidupan percintaannya tidak berjalan mulus. Sangat sulit sepertinya untuk meraih hati calon mertua. Ini pertama kalinya dia jatuh cinta dan juga pertama kalinya mengalami patah hati. "Jika seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain menyerah." Sorot matanya tampak begitu lelah. Meraih secangkir teh yang ada di depannya sebelum dia mulai meminumnya perlahan. Dadanya sesak. Garry bahkan langsung membawa Kiana pulang tanpa k
"Apa ini yang namanya menjaga putriku?" "Maafkan saya, Om. Saya akan bertanggung jawab atas semuanya." Rafael dengan berani mengangkat kepalanya dan menatap Garry serius. Sebisa mungkin menghilangkan perasaan gugup yang melandanya. Berbeda jauh dengan Kiana yang duduk di sebelahnya. Wanita itu menundukkan kepalanya takut. Mereka kembali tertangkap basah. Kali ini, orang yang memergoki mereka adalah Garry. Pria tua yang memandang mereka dengan sorot mematikan dan satu orang lagi yang merupakan kakek Rafael. Guzman, datang setelah Rafael meneleponnya. "Bertanggung jawab, perkataanmu terdengar seolah mempermainkan putriku saja. Tidak ingatkah apa yang sudah kauucapkan sebelumnya?" dengkusnya kesal. Rafael tidak bisa lagi menjawab. Bagaimana pun, posisinya jelas salah. Dia lupa diri dan hampir saja menyentuh Kiana. "Dan kamu, Kiana. Ayah kecewa denganmu. Kenapa kamu berbohong?" Tatapan Garry
Kiana menatap pintu yang ada di depan matanya. Entah sudah berapa lama dia keluar dari tempat yang dulunya merupakan sangkar emas yang memenjarakannya. Dulu dia sangat ingin sekali kabur dari sini, tapi kali ini kakinya justru memutuskan untuk berdiri di sini. Mengetuk pintu beberapa kali. "Nona, Anda tidak boleh ke sini, bagaimana jika Tuan besar tahu?" Suara seorang pria yang merupakan sopir ayahnya menyela. Raut khawatir dan gelisah dapat dengan jelas terlihat di sana. Pusing dan tidak habis pikir dengan perbuatan anak dari majikannya yang berbohong. "Kalau kau tidak memberitahunya, Ayah tidak akan tahu," jawab Kiana dengan nada sedikit kesal. Sangat susah untuknya bisa keluar dari rumah karena ayahnya terus berkata kalau di luar menakutkan. Memangnya dirinya anak kecil? Kiana tahu kalau ayahnya menyayanginya, meski mereka baru bertemu, tapi tetap saja dia tidak mau diperlakukan seperti anak
"Andrew, sudah kukatakan berapa kali kalau aku tidak mau menikah denganmu!" Kiana meremas rambutnya frustrasi. Dia jengah bukan main dengan temannya itu yang masih saja meminta agar dia mau menikah dengannya. Harus dengan cara apa dia mengatakannya? "Karena Rafael? Apa kau masih mencintainya?" "Iya, aku masih mencintainya," jawab Kiana lirih. Kepalanya menunduk dan matanya melihat jemari manis di sebelah kirinya yang sudah terpasang cincin. Cincin yang dia tahu merupakan cincin yang sama pemberian Rafael kemarin malam. Entah bagaimana bisa, cincin tersebut kini sudah terpasang di jari manisnya. Laki-laki itu memang pemaksa. Padahal dia belum memberi jawaban. Hanya saja, satu hal yang sangat Kiana sesali, kenapa Rafael harus pergi di saat dia bahkan belum membuka mata? "Kau benar-benar sudah buta, Kiana!" "Aku tahu, tapi aku tidak bisa menentukan pada siapa aku akan jatuh cinta. Apal