Tugas Berat
***
Aku meneliti setiap ruangan, termasuk di dalam lemari, tapi Daisy-ku tak ada. Apakah ia pergi? Pada dini hari seperti ini? Dia bukan gadis lemah, bisa saja nekat dan benar-benar melakukannya.
Aku sudah gila! Gila! Apa yang sudah ku lakukan padanya?? Bodoh!! Seharusnya ku tempeleng pipiku sendiri. Bisa-bisanya aku melakukan hal sekotor itu!! Aku memperlakukannya dengan biadab. Ini gara-gara wine sialan itu. Sekarang tenggorokanku bahkan terasa seperti dibakar, perutku pun demikian, panas.
Aku butuh air dingin di kulkas untuk mengguyur otak panasku. Dan sesuatu yang tak ku duga seolah menugguku di dapur..
Aku menemukan tubuh meringkuk, menggigil kedinginan memeluk lututnya. Tubuhnya bergetar hebat saat aku mendekatinya. Matanya yang sembab merah berkaca-kaca mencoba menghindariku. Ia ketakutan.
Aku melihat ada luka di bibirnya, ulahku kah? Bukan hanya bibi
love nya dong
Tunggu Aku.. *** "Kamu itu diam saja, urus cucu Mama, biar Mama sendiri yang membereskan jamuan.." "Tapi.." "Jangan ngeyel, nurut sama Mama.." Tap... Tap.. Tap.. Ranti maupun Asya menoleh ke belakang, ke arah tangga, dan menemukan langkah tak berenergi milik Dina. Gadis itu turun dan menghampiri mereka. "Kak Asya temani mereka saja, biar aku yang bantu Mama.." Asya terperangah, sejak kejadian mengerikan di rumah sakit, ini pertama kalinya Dina mengajaknya bicara. Mungkin sebagai luapan kekesalan atau kesedihan, sebelumnya setiap kali Asya mengajaknya bicara pun tak ada tanggapan. Tak hanya pada Asya, tapi pada semua orang di rumahnya Dina lebih memilih tak mengacuhkan, mengurung diri di kamar, mengenang kepergian Mungilnya. Sebulan yang lalu, di malam itu baik Raka maupun Elan sama-sama dirundung kecemasan. Istri mereka sama-sama melahirkan tapi dengan masa dep
Cinta Itu Ada *** Lelaki tampan berlesung pipit itu tersenyum seraya mengulurukan tangan pada lawan bicaranya yang sedang duduk di balik meja kerja. Tatapan keduanya bertemu, saling menyunggingkan senyum kemenangan. "Selamat Pak Elan.. Dengan kemenangan kita atas gugatan perdata mereka, perusahaan tidak perlu menjualDNA townbukan?" Elan berdiri, menyambut uluran tangan Ranu. Pertanda terima kasih yang besar. Lelaki itu sangat berjasa baginya, juga bagi kelangsungan rumah tangganya secara tidak langsung. "Itulah gunanya mempekerjakan dirimu di perusahaan ini. Yah sesuai isu yang beredar bahwa kemampuanmu di meja hijau tidak diragukan, cukup tidak memalukan untuk seorangcumlaudedariColumbia University." Ranu hanya tersenyum kecil lalu menuju sofa mengikuti arahan tangan kliennya. "Saya lihat anda lebih bersemangat dari sebelum-sebelumnya." "Jangan t
Pertama – Keempat *** Sesuai janji, Elan datang menjemput pukul delapan tepat. Lelaki itu berusaha kaku terhadap waktu, seolah ingin menunjukkan pada Dina bahwa dirinya sedang tak main-main. "Ma
Mengulang Malam *** Dina menggerakkan kepala ke kanan, membuka bibirnya perlahan kala mencium wangi yang ia kenal. Kelopak matanya mulai tak tenang lalu tak lama kemudian terbuka. Ia tersentak karena ruangan itu tak asing baginya. Mata Dina semakin terbelalak ketika teringat oleh satu hal, pakaiannya. Ia menengok di balik selimut kemudian berhembus lega karena semua utuh. Dina meraba keadaan, apa yang sebenarnya terjadi? Seingatnya terakhir kali berada di bangku taman bermain bersama pemilik ruangan ini,ah kemana dia? Pandangannya menyapu sekeliling, mencari Elan dan mendapati lelaki itu berjalan ke arahnya dengan segelas jus jeruk di tangan. "Kenapa aku di sini?" Tanya Dina ketus. "Minumlah dulu.. Kamu pingsan." Lirikan Dina ke arah Elan yang duduk di tepi ranjang mengandung curiga. Menuduh dalam picingan yang memastikan. "Aku tidak melakukan apapun padamu
Sekuatku, Semampumu *** Dina merasa kulit keningnya lelah saat kedua kelopak mata mulai bergerak lambat. Terbuka sedikit lalu mengernyit oleh cahaya lampu yang tajam menyelinap, menyilaukan dan menyamarkan pandang. Ia menggigit getir bibirnya saat menyadari masih ada di tempat yang sama seperti terbangun sebelumnya. Bahkan yang lebih menyesakkan dada, ada nyeri di lipatan paha, ada sakit yang terulang, ada luka batin menguar oleh kepercayaan yang tergadai. Yah, Dina merasa dibawa kembali ke masa lampau, waktu di mana Elan merenggut kesuciannya. Bayangan akan kenangan itu semakin nyata kala ia mengintip di balik selimut dan menemukan beberapa bekas merah, antara hasil gigitan dan hisapan. Bau peluh yang menyengat menggetarkan mata, menjatuhkan airnya. Ia benci. "Sudah bangun?" Tanya seseorang yang sedang mengucek mata di belakangnya. Dina beringsut, reflek merapatkan selimut pada tubuh telanjangnya. Tak
Our limited Happiness *** Bagai diserang bencana alam, isi apartemen Elan kacau balau. Semua berserakan. Bantal sofa bergelimpangan, buku dan tumpukan berkas berjatuhan dari atas meja kerja. Belum berhenti di situ, kondisi kamar tak kalah mengenaskan. Bantal, guling, selimut sprei semua tercerai berai melantai. Begitupun dengan kimono handuk, pakaian dalam, celana, dress, dan serba serbi penutup tubuh lainnya. Gairah keduanya meledak, saling mencurahkan hasrat yang terpendam. Mereka cinta dan bercinta. Mereka suka dan saling mengobati luka. Sejak dari meja sarapan, mereka tak henti melakukannya. Hingga pakaian yang melekat selepas mandi pun hanya mampu bertahan beberapa menit saja. Mereka melakukannya di mana-mana, sesuka mereka. Sekuat tenaga. "Kakak.. Sudah ya.." Rengek Dina manja. "Mmm." "Kok cumammm?" Dina memainkan jarinya di dada bidang Elan. "Kalau kamu mau
Akan Berakhir *** Tersenyumlah dengan hatimu, lupakan segala sakit yang aku berikan Hiduplah dengan caramu tanpa aku di sisimu, biarkan aku merindumu dengan seluruh nafasku Rindukanlah aku dengan senyumanmu, biarkan aku menatapmu dari kejauhan Berbahagialah dengan masa mudamu, biarlah aku sendiri dalam kelamnya malam bersama angin yang memainkan pesan bernada cinta yang aku simpan untukmu ByshellyferND *** Baru kali ini aku tidak terpejam sama sekali setelah bercinta. Biasanya aku pasti tidur walau hanya sebentar. Tapi kali ini ku tahan kantuk, sebisa mungkin tetap terjaga. Aku tidak mau kehilangan masa yang ku nanti sekian lama. Tak ingin hilang kesadaran barang sedetikpun. Aku selalu ingin menikmati wajah ayu yang seharian ini berada dalam kuasaku. Daisy-ku terlelap, sangat lelah usai sedikit ku paksa melayaniku sekali lagi, m
Berakhir? *** Sosok di hadapan Dina tampak asing. Ia tak kenal lelaki itu tapi tiba-tiba ada di depan pintu rumahnya, mengagetkannya pula. Dari kerutan di wajah, sepertinya berumur sekitar setengah abad, tidak tinggi dengan rambut memutih. "Bapak siapa?" Tanya Dina curiga. "Ini ibu Dina ya?" Dina mengangguk ragu. Aneh, dari mana lelaki itu tahu namanya. Namun yang lebih membuatnya heran, lelaki itu memanggilnya 'Ibu'? Tidak salah nih.. Segera Dina mengklarifikasi sebutan yang disematkan Bapak-bapak itu padanya. "Jangan panggil Ibu, saya mungkin seusia anak Bapak." Nadanya terdengar tak terima. Ia pun mulai menyelidik. "Memangnya Bapak ini siapa? Ada perlu apa ke rumah saya?" "Mari ikut saya sebentar Bu.." Dina menarung alisnya. Selain karena risih karena lelaki itu masih saja memanggilnya dengan embel-embel 'Ibu' di depan namanya, ia juga agak kesal karena merasa sedang diperintah. Siapa and
Bahagia Kedelapan***Dua puluh tahun kemudian.“Tapi Mom..”“Pokoknya Mommy tidak mau tahu, Krisan!” Bentak istriku. Ekspresinya menunjukkan sedang tak ingin dibantah.Hari-hari ini rumah kami memang lebih sering diwarnai prengutan wajah Daisy-ku. Pasalnya putri sulung kami yang menginjak usia dua puluh empat tahun mulai berulah. Krisan diam-diam menjadi pengagum Rash, putra kandung Raka dan Asya. Dari Asya kami tahu Krisan bahkan berani mengungkap perasaannya.Tentu saja aku turut memikirkannya, tapi mana tega menyakiti Krisan dengan kemanjaannya. Mungkin ini salahku juga terlalu memanjakannya, hingga ia terbiasa mendapat segala sesuatu yang diinginkan. Namun kali ini aku pun tak bisa meluluskan keinginannya. Ini tidak benar. Kedekatan hubungan kami berempat tak memperkenankan Krisan menjalin hubungan dengan Rash.“Berani kamu dekati
Bahagia Ketujuh***Edelweis. Itu nama putri ketiga kami. Lambang cinta abadi yang tak lekang oleh waktu, begitu kata Kak Elan padaku.Terkadang kami kesulitan membuat nama panggilan untuknya. Aku bersikukuh memanggil dia Edel, sedang Daddy-nya lebih suka memanggil Ed. Hmm.. Sebal! Seperti anak lelaki saja.Bicara soal anak laki-laki, suamiku memang sedang mendambakannya. Namun mau bagaimana lagi, berulang kali konsultasi ke dokter Diana pun belum membuahkan hasil pejantan lain di keluarga kami, hingga lahirlah bayi Edel yang punya mirip sekali dengan Yasmin kakaknya. Daddy tetap yang tertampan di antara kami.Usia Edel memang baru enam bulan tapi dari kemarin yang Kak Elan bicarakan hanya soal bayi tabung, bayi tabung, dan bayi tabung. Alasannya, dia ingin punya jagoan yang melindungi kakak-kakak perempuannya.“Beluk tentu seratus persen berhasil Kak..”“Yang penting kita berusaha
Bahagia Keenam***Tiga tahun kemudian."Dinaaaa!""Apa sih, Ma?" Dina mendekat dengan langkah lelahnya. Ia mendekati ibunya yang memegangi kepala tak kuat."Pusing Mama lama-lama."Seolah hafal perilaku ibunya, Dina segera mencari sumber masalah yang membuat ibunya menjerit memanggil namanya. Di balik meja dapur, Dina menemukan sosok kecil yang berkedip lugu duduk menatapnya. Tubuhnya dibalur tepung dari kepala hingga kaki, hanya menyisakan warna hitam di kedua mata. Warna mata Elan yang sempit tapi tajam."Yasmin.."Daripada marah, Dina justru terpingkal melihat putri kecilnya yang baru belajar berjalan itu."Anak Mommy ya ampun.." Seru Dina sambil menunduk, bersiap mengangkat tubuh si wajah bulat Yasmin."Eitt!"Seseorang datang mencegah tangannya."Mommy jangan angkat-angkat, ingat kata dokter Diana..""Kakak.. Aku sudah hafal kali..""Sok hafal ju
Bahagia Kelima***Hari ke empat puluh lima setelah melahirkan, Dina dan Elan masih tinggal di rumah Ranti. Elan paham, yang dibutuhkan seorang ibu pemula seperti Dina adalah ilmu keibuan yang bisa diperoleh dari senior-seniornya.Alhasil, rumah itu dihuni tiga pasang suami istri. Lengkap dengan tawa dan tangis kecil cucu Ranti dan Darius. Dua jagoan kecil Raka dan Asya yang mulai aktif berjalan ditambah pula si montok Krisan.Tak seperti panggilannya selama di dalam kandungan, nyatanya putri 'Sultan' satu itu lahir dengan bobot 3,8 kilogram, pipinya pun bulat tebal ala Dina kecil. Pantas saja Dina sempat menjerit tak mau tidur dengan Elan lagi kala itu.Lalu bagaimana malam ini?“Krisan, tidur dong Nak..” Elan berujar lesu sambil membelai pipi putrinya di dalam box bayi.Dina sedang sibuk menyiapkan kemeja dan jas Elan untuk esok pagi. Ia samar-samar mendengar Elan mengajak putrinya mengobrol.
Dina mempersilahkan tamunya masuk. Mengarahkan untuk mendampinginya di sofa. Seorang tamu agung yang lama ia nanti-nanti.“Itu perut pengen ditendang kayaknya, bulat amat..”“Kampret kamu!” Umpat Dina menyaksikan Bryan mengikik geli melihat bentuk tubuhnya. “Ditunggu-tunggu main lama, sekalinya datang bikin emosi kamu Bry!”Bryan pun tergelak. Temannya itu masih sama. Masih enak dikata-katain.“Kapan lahiran?”“Kata dokter sih dua minggu lagi. Aku sih ingin secepatnya, biar cuti kuliah pasca melahirkan bisa lebih lama. Aduh!”“Kenapa kamu?” Bryan panik melihat sahabatnya mengaduh sambil memegangi perutnya.“Biasa Bry, Mumut tingkahnya aduhai.. Apa semua ibu hamil merasakan begini ya? Seperti yang dokter bilang, anaknya aktif sekali. Hmm.. Persis Daddy-nya.”Mumut? Bryan memutar bola matanya. Sebuah panggilan a
Sesampainya di apartemen, Elan semakin berlebihan memperlakukan istrinya. Ia menggendong Dina dari tempat parkir hingga masuk ke dalam. Dina pun hanya bisa malu-malu saat berpapasan dengan orang lain. Namun sisi bahagia menguasai segalanya. Rasa malu itupun sirna sedemikian rupa.Elan baru menurunkan istrinya di sofa. Mereka berbahagia. Mereka menikmati karunia yang Tuhan titipkan di perut ramping Dina.Elan tak sabar segera membuka perut istrinya. Mengusap-usapnya lembut lalu menciumnya tak terus menerus.“Kak, geliihh..”Elan tak peduli. Ia hanya ingin menyalurkan kasih sayangnya. Menebus dosa masa lalu karena tak bisa memberi Mungil limpahan kasih sayang.“Kakak.. Sudaah..” Rajuk Dina.Elan merayap ke atas. Tersenyum lalu mencium bibir istrinya yang juga tertarik lebar. Ia memutar posisi, menelungkupkan Dina di atas tubuhnya yang terlentang.“Kakak bahagia ya usahanya berhasil?”Bibir Elan
Semakin hari Elan semakin diuji oleh Dina. Bak jatuh tertimpa tangga, sudah lama tak dapat jatah, ia malah mau-mau saja diminta Dina melakukan apapun keinginannya. Jika saja tidak teringat kemungkinan ada adik Mungil di dalam sana rasanya ia tak mungkin rela berpuasa hampir dua minggu lamanya.Hampir setiap hari Elan memaksa Din memakai testpack tapi selalu ditolak mentah-mentah. Tunggu seminggu katanya, seperti Mungil dulu.Hueekk.. Hueekk..Elan mendengar suara itu dari arah dapur. Ia panik menemukan istrinya memegang kepala dan perut tampak kesakitan.“Sayang kamu kenapa?”Dina mewek, merengek, menangis manja. Elan pun semakin mendekat untuk memastikan istrinya baik-baik saja.“Hiks.. Sakit Kak perutnya..”Elan mengusap air mata di pipi Dina. Dilanjutkan mengelus perutnya lembut sekali. Ia yakin 99,99% ada adik Mungil di dalam sana. Kepanikannya berangsur kendur, terutama setelah Dina denga
"Kupasin!"Elan mengalihkan bola mata dari layar laptopnya. Melirik wajah menyun yang tiba-tiba seenak sendiri meletakkan sekantung kacang di atas keyboard laptop lalu duduk di sofa.Ia terpaksa menutup laptop setelah menyinyalir gelagat kecemburuan dari istrinya. Memang salahnya juga menduakan perhatian pada pekerjaan.Dengan sabar, Elan mengupas kacang garing itu lalu menyetorkan setiap butirnya di tangan Dina. Ia tersenyum karena belum juga menemukan senyuman di bibir istrinya."Cemberut terus? Kan sudah dikupasin..""Tahu! Sebel!" Dina ketus.Elan meletakkan kacangnya di atas meja. Ia gemas melihat raut muka Dina. Tubuhnya tiba-tiba menerjang istrinya agar rebah di atas sofa."Iiiihhh!! Tidak mau! Pergi!! Kakak bauuu!!" Dina terus mengajukan protes keras sembari menepuk-nepuk dada Elan.Elan pun mencium kedua ketiaknya sendiri. Menurutnya wangi, tapi dari kemarin setiap kali dipeluk Dina selalu me
PR *** "Kak.. Nanti aku cukup diam kan di antara kalian? Aku malu kalau terlihat bodoh." "Itu lagi itu lagi yang ditakutkan hmph.." Elan membuang mukanya ke kaca mobil di sebelahnya. Tangan dan pikirannya sibuk berkonsentrasi pada jalanan yang cukup ramai, tapi ucapan Dina barusan berhasil memecahnya. "Ya kan aku takut Kak.." Dina bergumam sedih. "Hey jangan cemberut begitu ah, ada Vio juga di sana. Kamu bisa mengobrol dengannya.." "Dengan Afsheen juga tidak?" Dina bersemangat. Elan menaikkan pundaknya tanda tak tahu. "Sepertinya tidak. Jarek bilang mereka mau menginap di hotel tempat acara." "Loh kok?" Dina bertanya-tanya. "Mereka mau bulan madu kecil-kecilan mungkin." "Kan kasihan Afsheen Kak, kita culik yuk!" Dina mengutarakan ide gila. Tentu saja bercanda. "Terlalu beresiko, lebih baik bikin sendiri." "Kumat mesumnya ini bison. Tidak peduli malam, pagi, siang, sore, sa