"Kayaknya kalian makin sweet aja."Aku baru mendaratkan bokong ke kursi saat Arin melemparkan godaan itu. Tanpa ditanya maksudnya pun, aku tahu. Dia sedang menggodaku yang tadi "ribut" di lobi. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri agar enggak asal ceplos menjelaskan kejadian yang sebenarnya. "Ya, namanya juga pacaran, Rin. Wajarlah kalau ada swit-switan dikit." Arin mesem lalu menggeser kursinya mendekatiku. "Kayaknya Pak Giko nggak bakal berulah deh kali ini. Secara yang jadi satpam dia lo." Aku menoleh ke sisi Arin dan melihat wanita itu menarik turunkan alisnya. Aku kembali menghela napas. "Ya belum tentu juga. Dia kan cepat bosan sama cewek.""Beuh! Kalau gue jadi lo dan memergoki dia selingkuh. Gue gantung lehernya di tiang bendera depan kantor." "Ide bagus. Thanks, ya, sarannya," ucapku menepuk pundaknya pelan dan berharap obrolan ini berakhir. Dan harapanku terkabul ketika Danar datang. Arin langsung menggeser kursi kembali ke mejanya dan terlihat mengambil sesua
Tama : Bisa temui aku sebentar? Aku ada di lobi.Aku mengerjap membaca pesan dari Tama. Jam makan siang sudah lama berlalu. Jadi, apa yang dia lakukan di sini? Setelah meminta izin kepada Arin, aku bergegas turun ke lobi. Ini seperti memotong waktu kerja, tapi jika hanya sebentar kurasa nggak masalah. Dia benar ada di sana. Di salah satu sofa yang ada di lobi. Aku bergegas menemuinya. "Tama, ada apa?" Pria yang duduk membelakangiku itu menoleh, dan langsung tersenyum begitu melihatku. Aku segera beringsut ke sofa yang berseberangan dengannya. "Kenapa ada di sini waktu jam kerja?" tanyaku pelan. "Aku tadi habis meeting dengan CEO kalian. Jadi, sekalian saja aku ingin melihat kamu. Aku kangen." Pertemuan terakhir kami saat dia datang ke apartemen dan tahu-tahu ada di dekatku ketika aku tidur. Setelahnya aku sibuk dan dia pun sepertinya begitu. Aku melirik kanan-kiri melihat situasi. Sebisa mungkin aku menjaga jarak dengannya. Karena seluruh kantor ini mungkin tahu aku pacar Giko
Aku melihat Giko berjalan ke arahku. Beberapa saat lalu dia mengirimi pesan agar aku menunggunya di lobi. Kami akan pulang bersama seperti biasanya. Namun, ada orang lain di sisinya yang membuatku tanpa sadar berdecak. Luffy lagi. Aku merasa sejak berkenalan dengannya jadi sering melihat lelaki itu di gedung ini. Padahal dulu dia muncul di gedung ini kalau ada rapat besar. "Yuk, Beb. Kita jadi nonton, kan?" tanya Giko seraya menggiringku untuk berjalan di sampingnya. "Nonton?" Aku bingung. Kapan kami punya rencana seperti itu? Hari ini aku pulang sore, jadi bisa pulang bersama Giko. Danar sendiri sudah pulang lebih dulu tadi. Karena tahu aku pulang bareng Giko, dia meninggalkanku. "Iya, film horor terbaru yang lagi booming. Yuk, ah! Ntar kita telat." Giko langsung menggaet tanganku dan mempercepat langkah hingga aku terseok-seok mengikutinya. Dia sama sekali nggak memberiku kesempatan untuk menyapa Luffy yang dari tadi hanya menonton adegan kami dengan bibir miring. "Kenapa buru
Aku langsung kena mental melihat adegan mesum di bioskop. Ingin mengumpat, tapi di sini dilarang berisik. Risi banget sumpah. Apa mereka nggak punya otak ciuman di tempat umum begini? "Gue cabut aja," bisikku ke dekat Giko. "Filmnya belum setengah jalan masa lo udah mau cabut?" "Risi gue." Giko melirik kursi di samping kami yang penghuninya belum mau melepas bibir mereka masing-masing. Dia lantas mengerling. "Gimana kalau kita juga begitu?"Giko terpekik tertahan, begitu mendapat tabokan keras di kepalanya. "Gila, sakit, Wina." "Lo mau ikut sinting kayak dua orang itu?" tanyaku mendelik.Giko mengusap kepalanya yang barusan kupukul. Maksudnya biar otaknya yang gesrek bisa benar kembali. "Mereka nggak sinting, tapi lagi memanfaatkan momen." Astaga, memang otak pria playboy ini luar biasa. "Liat, Win. Cowoknya nyosor lagi." Ya ampun Giko malah menikmati tontonan lain daripada melihat layar lebar di depannya. "Gue yakin sebentar lagi ceweknya dibikin becek sama tuh cowok." Cuk
Aku sempat mengirimi Tama pesan menanyakan keberadaannya. Bahkan menyuruhnya pergi jika memang dia benar-benar ada di apartemenku. Namun, sampai aku dan Giko naik dan tiba di lantai di mana unitku berada, Tama belum merespons pesanku. Ya Tuhan, semoga dia nggak ada di unit sekarang. Aku menekan password apartemen dengan perasaan tak tenang. Namun, Giko tampak santai sembari mengutak-atik ponselnya. Diam-diam aku berharap akan ada sesuatu yang menghalanginya mampir ke unit. Tapi, sampai aku berhasil membuka pintu, tidak ada tanda-tanda apa pun yang bisa menjadi alasan pria jabrik itu pergi. "Kok diam aja?" tanya Giko yang melihatku malah berdiam diri di depan pintu. Aku nyengir dan bergerak melangkahkan kaki dengan lamban. "Gue seneng banget lo datang ke sini, Giko! Tapi jangan lama-lama, ya. Soalnya gue mau me time sama novel-novel gue!" ujarku dengan lantang, berharap kalau benar Tama ada di dalam mendengar, lalu bersembunyi. "Lo ngapa dah teriak-teriak gitu di unit sendiri?" Gik
Aku dan Danar diam-diam pergi ke Bogor tanpa memberitahu Giko atau pun Tama. Sudah tiga hari ini aku mendiamkan mereka. Sebisa mungkin aku menghindari Tama. Berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut. Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk menenangkan pikiran. Lalu Giko. Ya, lelaki itu masih mendatangiku di kantor. Meminta maaf dan mengajakku makan siang. Namun, tentu saja aku mengabaikan. Dia sangat tahu aku marah. Kota Jakarta masih gelap ketika mobil Danar keluar dari pelataran apartemen. Aku sengaja memintanya untuk mengantarku setelah subuh menjelang. Bukan untuk menghindari macet, tapi menghindari Giko dan Tama, tentu saja. Ponsel bahkan sengaja aku matikan. "Lo masih kelihatan ngantuk. Tidur aja. Kalau udah sampai gue kasih tau." "Hm." Aku nggak menolak dan mencari posisi nyaman untuk merebah. Kursi yang kunaiki aku setting sedikit miring ke belakang. Danar bahkan memberiku bantal kecil. Dua jam waktu yang lumayan buat tidur. Menghindari Tama membuat tidurku kurang. Aku be
Dua alis Dendy meninggi. "Nggak salah nih, Kak? Lo cantik begini masa minta cariin jodoh? Gue yakin yang suka sama lo banyak. Pasti lo nih yang pemilih. Maunya yang gimana sih? Inget umur ngapa." Ebuset, nih anak malah ceramah. "Gue nggak pemilih. Belum nemu yang cocok aja."Dan, sekalinya nemu sudah jadi milik orang. Nasib cintaku memang nggak seberuntung parasku. Dendy tampak menarik napas panjang. Lalu tiba-tiba dia menjentikkan jari. "Lo sama Bang Dean aja gimana?" Detik berikutnya bantal melayang ke kepalanya. "Lo mau gue sama Dean pinces?" "Lo hobi banget mukulin pala gue. Bilangin ibu nih," ujarnya mirip anak bayi. "Soalnya otak lo isinya nggak bener. Ya kali gue sama Dean? Kayak nggak ada cowok di dunia ini aja." "Bang Dean cuma sepupu, di mana letak pinces-nya? Kecuali kita kawin, baru tuh pinces." Dendy terkekeh, tapi buru-buru kembali mingkem saat aku mendelik. "Kalian ribut apa sih? Ini ada tamu malah ditinggalin." Suara ibu terdengar lalu nggak lama sosoknya nongol
Ibu terlihat sangat bahagia melihat kami berkumpul. Kami makan siang lesehan di ruang tengah alih-alih di meja makan. Lebih seru begini. Masakan ibu juga sederhana nggak mewah seperti saat aku makan malam bersama Luffy dan Giko. Dengan beberapa lalapan yang diambil dari kebun sendiri, ibu juga membuat sambal teras andalannya. Ada tahu dan tempe goreng yang menjadi menu wajib. Lalu beberapa potong ayam dan ikan lele yang digoreng bersama kremesan. Semuanya adalah menu yang dulu menjadi jualan ibu saat masih tinggal di Jakarta untuk bertahan hidup dan menyekolahkan kami. "Nak Danar, kamu kangen enggak sama pecel lele ibu?" tanya ibu saat menyuguhkan air teh tawar hangat. "Kangen banget, Bu. Boleh nambah nanti, ya, Bu," sahut Danar sembari menerima piring dariku."Sama, gue aja kangen banget sama pecel buatan ibu. Makanya pas ada lowongan di jabodetabek, gue langsung daftar. Beruntungnya gue dipindah ke cabang Bogor. Jadi nggak perlu jauh-jauh dari ibu lagi," timpal Dendy. Aku bersyu