"Oh ya nama saya Saras, Kak. Saya adik Mas Al."
Kanza tiba-tiba tersenyum lebar mengusir rasa canggung, "Saya Kanza, salam kenal ya."
"Kak Kanza dipaksa Mas Al ya kesini?" tanya Saras membuat Kanza tersenyum kikuk pasalnya memang benar kalau dia dipaksa.
Saras mengangguk paham, "Jujur aja random banget Mas Al."
"Iya. Oh ya ngomong-ngomong kamu semester berapa?" tanya Kanza kini menaruh atensi penuh ke wanita manis di depannya itu. Saras tersenyum canggung dan kikuk, ia merasa sedikit trauma sekarang jika ditanya perihal kuliah. Tapi melihat mata Kanza yang sangat penasaran akhirnya Saras memberanikan diri untuk menjawab.
"Semester 3."
Sejak pertemuanku dengan Saras. Adik dari Bapak Abian itu, ia terus-terusan berkomunikasi denganku. Sayangnya kami belum bisa bertemu lagi. Tapi hari ini kami berdua sudah janjian untuk jalan-jalan berdua membeli bahan makanan. Dia ingin mengajakku membuat Makaroni schotel di rumahnya. Aku mengiyakan saja karena ia juga bilang Pak Abian sedang tidak berada di rumah. Terlebih jika di rumahku tidak ada alat yang lengkap termasuk oven. Setelah bersiap Saras menjemputku dengan motor maticnya. Aku tersenyum lebar ketika Saras sampai di depan rumah. "Ayok Mbak keburu siang." Ucap Saras menyerahkan helm yang sering aku pakai ketika pulang dengan Pak Abian. Tunggu, jika dipikir aku terlalu sering pulang bersama Pak Abian. Oke mulai sekarang tidak boleh dekat-dekat. Aku menerima helm tersebu
—Kanza's pov Malam ini aku menghela nafas kasar menunggui Jihan yang tidak kunjung pulang. Biasanya aku bisa langsung tidur karena Jihan sudah membawa kunci, tapi tumben sekali ia lupa tidak membawa kunci. Berakhirlah aku harus menungguinya sampai pulang. Sudah pukul 1 malam dia juga masih belum pulang, aku mengirimi pesan tapi tidak dibalas. Bahkan aku meneleponnya. Aku hanya takut, jika Jihan itu seperti dulu. Apalagi akhir-akhir ini dia terlihat stress dengan pekerjaannya. Aku menatap ponselku sejenak, apa aku harus telepon Seno? Akhir-akhir ini Jihan sering hangout dengan Seno. Dan Seno juga sering main kesini sekedar mampir setelah mengantarkan Jihan. Seno yang ku lihat dia pria baik-baik, dia sopan meski sedikit nyablak.
Abian dan Kanza selalu jadi yang terakhir saat pulang. Entah kenapa laki-laki itu selalu saja menambah pekerjaan Kanza. Yang memindah file, ikut membuat laporan, kadang disuruh berjaga-jaga memantau komputer. Angan-angan Kanza untuk segera pulang sungguh pupus ya meski Abian sering mengantarnya pulang, tapi tetap saja bersama Abian itu membuat ia malas. Apalagi sekarang hectic karena rapat evaluasi akhir bulan akan dilaksanakan. "Ck. Bapak tu kebiasaan pas saya udah mau pulang, udah siap-siap eh disuruh mindah file. Kenapa gak dari tadi gitu loh pak. Mana filenya cuma dikit-dikit." Kanza mengomel-ngomel sedari tadi perihal file, meski begitu ia tetap menurut memindahkan file dari komputer ke laptop Abian. Mereka berdua masih di kantor sambari. Sedangkan Abian hanya diam saja, ia sud
Kanza membalas beberapa pesan yang masuk dalam ponselnya setelah tadi sempat tertunda. Ia melongok ke kanannya, Saras dan Jihan sudah tidur setelah tadi ribut berdebat. Ia lantas beringsut mendudukkan dirinya ketika pesan yang masuk itu sangat mengganggu pikirannya, terlebih orang yang mengirimi pesan masih online jam segini. Kanza memilih keluar kamar dengan pelan. Setelah sukses keluar kamar ia lantas berjalan menuju balkon bersamaan dengan itu ada panggilan masuk yang tertera pada layar. “Hallo?” sapa Kanza pertama kali dan obrolan itu berlanjut dengan Kanza yang mendengar dengan seksama. Beberapa kali Kanza menghela nafas berat dan memberi argumennya, tapi orang yang diseberang sana juga terlihat mempertahankan argumentnya yang tidak bisa disanggah. Kanza menatap langit malam yang tidak ada satupun bintang atau bulan menghiasi malam ini. Perlahan ia mengangguk ketika
Kanza resmi menjadi pegawai tetap sekarang dan semakin lama ia semakin sibuk. Hanya sibuk bekerja tapi tenaga dan pikirannya benar-benar terkuras. Untuk hari libur saja Kanza memilih tidur kalau tidak hanya bermalas-malasan. Sebenarnya ia ingin mengajak siapa saja untuk berkeliling Jakarta. Ia masih belum tahu dimana makanan yang perlu ia coba. Tapi Jihan sibuk, Saras juga sibuk dengan kuliahnya. Sayang sekali ia tidak punya teman disini. Dengan iseng ia melihat story milik seseorang yang selalu membuatnya kesal. Ia sedang bersenang-senang dengan kelompok orang yang Kanza yakin mereka adalah temannya. Kanza keluar dari aplikasi tersebut sembari menghela nafas pelan lalu menatap langit-langit kamar. Dahulu ia suka sekali memilih tidak bergabung mencari teman karena ia tipe orang yang mudah lelah di tengah keramaian dengan waktu cukup lama. Atau bisa dibilang ia juga cukup malas apalagi acara-acara kumpul-kumpul tanpa ada tujuan. Ia juga menolak sering ikut pergi jalan
Sampai di lokasi, mereka semua meregangkan ototnya yang cukup kaku karena perjalanan yang cukup jauh dan tadi sempat macet. Disana mereka langsung disambut oleh tiga orang yang bertanggung jawab tentang pantai. Mereka duduk sebentar disalah satu pendopo dekat pantai membuka acara agar berjalan sukses. Kanzapun lekas duduk disamping salah satu wanita yang belum ia ketahui namanya, setelah tiba-tiba disuruh Abian untuk duduk karena Abian dan Farhan harus berbincang terlebih dahulu dengan mereka. "Mbak?" panggil wanita berambut pendek samping Kanza. Kanza langsung menoleh dan ia sudah mendapatkan senyum ramah dari wanita tersebut. "Kita belum kenalan." Lanjut wanita tersebut. "Eh iya iya, maaf. Saya Kanza." Ucap Kanza dengan senyum s
Pagi-pagi suasana kantor cukup heboh, suasananya sangat ceria membuat Kanza mengernyit sepanjang lorong dari masuk lift sampai keluar lift ia bingung sendiri sebenarnya ada apa dengan pagi ini. Masuk ke ruangan ia disambut dengan beberapa kata olahraga. Dengan segenap kebingungannya dia menaruh tasnya. "Nah kebetulan sekali Mbak Kanza sudah datang," Ucap Pak Joni tiba-tiba menepuk pundaknya sontak membuat Kanza refleks menoleh dengan penuh tanda tanya. Di belakang Pak Joni kini ada Fera yang menghampirinya dengan es krim di tangan kanannya dan tangan kiri memeluk sebuah kain berbalut plastik putih yang Kanza rasa sebuah baju. Pagi-pagi es krim? Sungguh gila, pikir Kanza. "Jadi melihat raut wajah Mbak Kanza bingung ayo jelaskan Mbak Fera." Fera menyelesaikan makan eskrimnya keluar sejenak membuang sampah lalu kembali kedalam dengan wajah ceria. Ia lantas menyerahkan bungkus plastik berisi kaos itu ke Kanza. "Ini, jadi ini adalah setelan olahraga punya Mbak Kan
Kanza terdiam merenung menatap langit-langit kamarnya. Sejak pulang kerja, wanita itu terus-terusan menghela nafas dan melamun menatap langit-langit. Pikirannya bukan kosong tapi penuh sampai rasanya berdenyut, ditambah tadi terkena bola basket. Tapi bukan itu masalahnya. Perilaku Abian tadi masalah utamanya.Jika Kanza ulas balik tentang awal pertama kali bertemu Abian di sini, Abian itu galak tapi punya sisi baik yang entah kenapa selalu ditunjukkan kepada Kanza. Atau mungkin pencintraan saja? Tapi tidak sepertinya. Dari suka mengajak pulang bersama, ditraktir makan, berkenalan dengan teman Abian dan adiknya, dan masih banyak lagi. Kendati demikian, sifat Abian yang menyebalkan tetap menutupi semua kebaikannya.Dan tadi, entah kenapa teringat wajah panik Abian itu membuatnya kepikiran. Apa jika Fera yang terkena bola basket, Abian juga sepanik itu? Jika demikian memang dasarnya Abian itu baik dan tidak terpusat padanya.Kanza menggelengkan kepalanya, semakin i
Dua minggu lamanya Kanza benar-benar mengabaikan pesan dari Abian, dan sudah terhitung satu minggu terakhir Abian tidak mengubungi Kanza lagi setelah ia mengirim pesan yang terakhir untuk menjelaskan alasan apa yang terjadi. Suasana menjadi sangat kacau, banyak sekali rumor yang tidak masuk akal termasuk menyangkut dirinya. Kanza sudah tidak peduli dengan semua orang, karena semua orang itu palsu, bermuka dua dan tidak dapat dipercaya. Yang tidak bisa ia pikirkan sebenarnya Kanza harus menunggu apa? Dan lagi Abian pindah tim? Benar-benar pria gila. Kanza membereskan barangnya untuk segera pulang karena jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Harinya sama, sama-sama melelahkan bagi Kanza. "Kanza mau pulang?" tanya Samuel, Ketua Tim Kanza yang akhir-akhir ini mendekati Kanza. Bukan ada maksud apa-apa menurutnya semua yang menjadi anggotanya menjadi tanggung jawabnya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan anggotanya. Entah sekedar menawari untuk pulang bersama atau mencoba meng
From : Bapak Abian YTH Kamu gak mau liat keadaan saya? Tanggung jawab punggung saya sakit. . Kanza menghembuskan nafas lelah, jujur memang ia tidak bisa mengunjungi Abian kemarin dikarenakan shift. Dan sekarang ia sedang menuju rumah sakit tentu saja mengunjungi Abian meski dengan perasaan yang campur aduk. Ia tidak tahu apakah nanti bisa mengendalikan emosinya atau malah akan menangis keras, yang jelas pikiran Kanza masih kacau. Tentang keterangan Abian tidak masuk yaitu dengan alasan salah otot sehingga pinggang Abian cedera. Abian tidak memberitahu bahwa ia kena insiden yang tidak perlu ia sebutkan, yang ada malah menjadi berita yang tidak-tidak. Menerima pesan tadi Kanza sudah berdiri di depan pintu ruang inap Abian, ia sudah berdiri selama kurang 15 menit. Entah mengapa ia harus menyiapkan dirinya, mungkin karena merasa bersalah mendalam. Bahkan ia masih ingat detail bagaimana kejadian itu, rasanya begitu sesak mengingatnya. Kanza menggelengkan kep
Lorong rumah sakit nampak cukup sepi. Setelah kejadian tadi, Kanza hanya terdiam di depan kamar rawat setelah membersihkan diri tadi. Wajah Kanza masih terlihat bengkak sedikit pucat, tangannya juga masih bergetar. Ia masih terlalu kaget dengan kejadian ini, menyesali segalanya. Di dalam kamar rawat ada Saras yang masih menunggui kakaknya itu siuman, sedangkan Seno mengurus Panca di kantor polisi. Penyerangan akan memberatkan tuntutannya. Drrt drrt Suara getar ponsel Kanza terdengar, ia mengeluarkan ponsel dari saku. Ada panggilan masuk dari Jihan membuat seketika ia menghela nafas berat sebelum menerima. Cukup lama ia hanya memandang kosong layar ponsel bercantumkan nama Jihan tiba-tiba Saras keluar dengan tergesa dan sontak membuat Kanza otomatis langsung berdiri. "Mbak, mbak kenapa belum pulang?" tanya Saras cukup ketus. Saras masih belum bisa berpikir rasional sekarang, ia masih syok juga atas kejadian yang menimpa kakaknya. "Pak Abi
Setelah Seno berbincang dengan Abian hanya sekitar 10 menit, Abian langsung mengirimkan pesan ke Kanza untuk mengirimkan lokasinya sekarang juga. Boleh jadi sekarang ia bertemu dengan Panca. Kira-kira ini obrolan sebelum Abian menancapkan gas motor menuju lokasi yang Kanza kirimkan. "Lo denger gue gak sih, Al?" Abian melirik sejenak, "Denger.""Terus kenapa lo malah main hp?"Tidak menanggapi pertanyaan Seno, Abian kembali mengecek pesan masuk dari Kanza tetapi nihil."Al?!" Seno emosi sendiri karena Abian sedari tadi seperti tidak memperhatikan ia bicara.Abian menghela nafas kasar, "Gue tahu. Gue tahu dari lama, lo pikir gue gak mastiin Kanza balik sesuai permintaan lo? Makanya gue lagi—"Suara notifikasi masuk ke dalam ponsel milik Abian. Kanza mengirimkan lokasi yang tidak jauh dari Kafe Seno. Tidak menghiraukan Seno yang tengah mengomel panjang, Abian langsung mengambil kunci motor dan langsung bergegas menuju lokasi meninggalkan Seno yang men
Kanza membuka matanya terkejut ketika mimpi buruk itu seolah ingin menangkapnya. Peluh berjatuhan, nafasnya tersenggal. Ia lantas mendudukkan dirinya mencoba menetralkan nafas, tangan Kanza meraih ponsel guna melihat pukul berapa sekarang. Masih pukul 3 pagi. Kanza mengambil gelas disamping meja dan meminum sekali tandas.Akhir-akhir ini ia merasa gelisah, bahkan ia sering mimpi buruk kejadian itu terulang lagi. Tapi sebelum-sebelumnya ia menyangkal jika hanya pikirannya saja yang penuh. Kanza menghela nafas lalu kembali merebahkan dirinya. Ia menatap langit-langit menerawang jauh memikirkan kondisinya. Ia merasa baik-baik saja, tapi terkadang ia merasa sangat kacau. Kanza sedikit takut jika ia harus menemui psikolog karena kondisi psikis yang akibatnya berdampak pada kondisi perut. Sejak kejadian itu, perut Kanza menjadi sangat sensitif, dari sering melilit atau paling parah yaitu kram. Padahal ia sudah cek ke dokter dan tidak ada apa-apa. Dokter hanya bilang itu dikarenakan
Kanza tersenyum cerah ketika tidak sengaja tadi melihat sekelompok mahasiswa di ruang sebelah setelah ia dari kamar mandi. Ia langsung bergegas menuju ruangannya untuk bersiap menyambutnya. Dibanding harus terlihat seperti orang yang keren saat bekerja, Kanza justru malah ingin berinteraksi dengan mereka tapi tidak bisa karena hanya dia saja yang merasa begitu yang lain begitu fokus dengan pekerjaan mereka. Tentang Nata, mereka sama sekali tidak bertegur sama semenjak kemarin. Masa bodoh, Kanza tidak peduli. "Selamat siang semuanya," suara Bapak Humas Instansi menyapa semua orang di ruangan Cirrus. Sontak semuanya menoleh dan membalas sapaan dari Bambang si Humas yang membawa kelompok mahasiswa tersebut. Abian yang tadinya di dalam ruangannya lantas keluar menghampiri Bambang untuk menyambut mereka. Kanza tersenyum cerah ketika melihat para Mahasiswa di luar, beberapa anak mengintip dan tersenyum ke arahnya. "Baik semuanya, karena ada sekitar 7 orang
Obrolan kemarin sore baik Abian dan Kanza mulai menjaga jarak, bahkan hanya bertegur sapa singkat dan bekerja sesuai dengan jadwalnya. Gosip tentang Kanza pun belum mereda, masih banyak yang menyinggung jadwal shift yang ditetapkan. Mungkin prinsip Kanza sekarang ia akan bekerja dan dibayar lalu pulang, tidak mencampuri urusan lain ataupun ikut nongkrong apapun. Dia akan biasa tidak akan terlalu dekat dengan rekan kantor karena tidak ada yang dapat dipercaya.Ia harus fokus kembali tujuan awal yaitu mencari uang untuk adiknya sekolah dan dirinya. Hanya itu. Ia harus mengingat jika ada orang yang perlu ia bahagiakan yaitu keluarganya.Agaknya beberapa kali Abian mencuri pandang ke arah dimana Kanza bekerja. Wanita itu tengah fokus dengan dahi yang berkerut, rambut pendek sebahu yang ia kucir satu menyisakan beberapa helai anak rambut, gurat wajahnya yang terlihat lelah dan sepertinya bertambah kurus. Pipi chubby saat pertama kali ia kemari berkurang.Abian menghe
Mungkin bagi Kanza, menjadi anak perempuan pertema sekaligus cucu pertama yang bisa memenuhi permintaan mendiang Kakeknya itu adalah hal yang luar biasa. Beban ia langsung terangkat begitu saja sehingga pundaknya menjadi ringan. Bagi Kanza itu semua dilakukan dengan mudah, tidak banyak mengeluh dan mengiyakan perkataan orang tua.Lalu bagaimana cara dia bertahan dan menjadi kuat?Pura-pura adalah jawabannya. Kanza terbiasa berpura-pura untuk menjadi lebih kuat disaat dia pada titik terendah. Dia juga terbiasa berpura-pura untuk baik-baik saja karena ia yakin besok akan baik-baik saja, padahal pikirannya berbanding terbalik. Kanza selalu menekan kelelahan secara psikisnya hanya dengan tidur karena ia percaya dengan begitu ketika bangun ia bisa kembali berlindung dalam kata 'pura-pura', seolah tidak terjadi apa-apa.Seolah menutup telinganya rapat, Kanza keluar dari bilik kamar mandi setelah beberapa orang tadi pergi. Kanza menghela nafas berat, topik
Mungkin jika saat itu tidak berakhir, maka kedua insan itu masih merasakan bagaimana letupan-letupan rasa bahagia dalam hati mereka. Menciptakan banyak kenangan dari masa ke masa. Namun keadaan yang memaksa mereka untuk berhenti, berhenti mencintai satu sama lain sehingga meninggalkan sebuah kenangan yang tidak berarti dan hanya terasa seperti luka tidak mengering. Bersikap layaknya tidak terjadi apa-apa bahkan menjaga jarak merupakan yang mereka sekarang. Sebuah formalitas membingkai setiap pertemuan mereka. Dan terus sampai begitu. Apakah bisa seperti dulu? Mungkinkah? Entahlah. Wanita berparas cantik itu tersenyum ketika seorang pria berseragam pegawai itu berjalan menghampiri dirinya di luar ruangan. Dari dulu sampai sekarang menurutnya pria itu tidak berubah, paras dingin, langkah tegap, penampilan rapi selalu menjadi kesukaannya. Mungkin jika dulu ia bisa melihat senyum tipis terpatri pada wajah tegas pria itu sekarang tidak. Senyum yang jujur saja ia rindukan menghila