Mata Samudera Biru terpicing. Menelisik wajah imut yang menatap dengan berani.
“Kenapa? Kau begitu menyukai istanaku, anak kecil?”
Kenzio mendengus.
“Kuakui istanamu indah tapi aku memilih tinggal lebih untuk menemani Kak Renata. Aku tak bisa membiarkannya sendirian di sarang para serigala.”
Samudera Biru menyeringai. Geli, kesal sekaligus kagum dengan keberanian dan ketidaktahumaluan remaja ini. Dia seperti anjing kecil yang menggigit setelah ditolong.
“Jangan repot-repot. Aku yang akan menemani Renata. Kau pulang dan kembali belajar saja yang rajin di sekolah,” ejek Samudera Biru.
Lengan Kenzio terkepal. Samudera Biru menyerang telak di titik lemahnya. Pelajar, anak kecil. Cih, Kenzio kesal setengah mati. Memangnya kenapa kalau dia masih sekolah? Secara fisik dia tak terlalu kalah dengan Samudera Biru.
“Jangan mengurus hal yang bukan urusanmu. Aku akan tetap menemani Kak Renata dengan atau t
Ratu Dyane? Kening Renata berkerut. Untuk apa dia menemuinya? Bukankah tadi mereka sudah bertemu dan wanita itu tak mengatakan apa-apa. Sekarang ia berdiri di balik pintu, jelas bukan untuk sekedar beramah-tamah.Renata bangkit, bergegas membuka pintu. Tak ingin membuat sang ratu terlalu lama menunggu. Itu tak baik terutama untuk ketenangan dan keselamatannya di negeri yang bisa dibilang antah berantah ini.“Yang Mulia,” ucap Renata saat melihat Ratu Dyane bersama belasan pelayan.“Boleh aku masuk?”“Tentu, Yang Mulia.”Renata bergeser, mempersilakan. Beberapa pelayan membawa nampan berisi aneka makanan, sepatu, perhiasan serta sebuah baju dengan bahan yang terlihat sangat mewah.Ratu Dyane duduk di kursi dengan anggun sementara para pelayan menaruh nampan ke atas meja.“Duduklah,” Ratu Dyane menunjuk kursi kosong di sebelahnya.Renata menurut, duduk dengan canggung. Masih dengan
Samudera Biru menatap jauh ke dalam mata Renata yang berkilat. Ia menemukan keseriusan di sana dan itu membuatnya gusar.“Untuk sekarang aku tidak bisa memenuhi syaratmu. Tapi, aku akan membuktikan jika ucapanku bukan omong kosong,” ucapnya sembari menarik jemari dari rahang sang gadis.Renata tersenyum samar. Kecewa terasa memerah hati sedemikan rupa. Salahnya karena meminta hal yang sejak awal tak akan bisa terpenuhi. Bagaimana mungkin Samudera Biru mau melepas takhta untuknya? Ia berkhayal terlalu tinggi.Renata mendorong Samudera Biru, melepaskan diri dari kungkungan. Berbalik menatap cermin, memoles ulang pewarna bibir yang pudar kemudian mendahului beranjak meninggalkan kamar.Samudera Biru hanya bisa menghela napas, mengikuti langkah-langkah lebarnya tanpa bicara.Di luar, Renata bertemu Kenzio, Lintang Timoer dan Shiny yang sudah terlihat rapi dan tengah berjalan menuju kamarnya.“Wow! Kau terlihat luar biasa, K
Gazebo di atas kolam teratai begitu indah. Kelambu putih tipis yang diikat longgar pada setiap sudut tiang tampak berayun lembut disentuh angin.Lampu kristal bercahaya temaram berjejer sepanjang jembatan kecil hingga ke sekeliling gazebo.Suara-suara binatang malam terdengar lapat-lapat, berpadu dengan desir dedaunan yang tersirami cahaya bulan bundar sempurna.Renata membungkuk pada lelaki yang duduk nyaman di atas bantal. “Yang Mulia.” “Duduklah.” Dengan canggung Renata menempati bantal di seberang meja rendah, di depan lelaki yang ternyata Raja Sion. Seorang pelayan wanita menuangkan teh beraroma unik, perpaduan chamomile, krisan dan entah apalagi. Setelah itu ia menjauh, berdiri dengan kepala menunduk dalam.“Kau tidak menyukai pestanya?” tanya Raja Sion sambil menyesap teh.“Hanya sedikit tidak terbiasa, Yang Mulia.”“Aku juga tidak terlalu menyukai pesta. Namun posisiku sebagai raja mengharuskanku bertoleransi.”Renata tersenyum kemudian ikut menyesap teh. Rasanya benar-be
Udara begitu dingin saat satu sosok melayang di atap ruang kerja Raja Sion. Gerakannya sangat cepat, ringan nyaris serupa angin.Dengan mudah sosok itu melewati para penjaga kemudian menerobos pagar pelindung yang dibangun leluhur bangsa peri beradab-abad lalu tanpa kesulitan sama sekali.“Kenapa kau mengendap-endap seperti pencuri, Pangeran Samudera Biru?” Langkah sosok yang ternyata memang Samudera Biru berhenti di tengah ruangan. Ia menyeringai sinis lantas melempar plakat dan permata kuning milik pertapa ular ke atas meja, di mana Raja Sion tengah fokus membaca kitab.Tak ada salam hormat atau bungkukkan badan seperti layaknya seorang pangeran kepada rajanya atau seorang anak kepada ayahnya. Ekspresi Samudera Biru benar-benar kaku, dingin dan asing.Raja Sion melirik benda yang dilempar ke atas meja, meminta penjelasan tanpa kata-kata.“Lihat baik-baik,” ucap Samudera Biru.Raja Sion menyentuh satu per satu benda tersebut dan ketenangannya seketika memudar. “Menurutmu apa yang h
“Jangan gigit lagi, sakit.” “Tapi aku suka.”“Dasar peri mesum,” Renata mendorong wajah Samudera Biru namun lelaki itu bergeming. Kali ini ia menahan kepala Renata, mengecup dengan kelembutan yang membuat iri para penenun sutra.Dalam sekejap dua rasa bertaut, saling meraup dan bertukar rindu serta gelora dalam dada.“Tidurlah, masih ada beberapa jam lagi sebelum sidang,” ucap Samudera Biru setelah menyudahi tautannya. Ia merapikan lengan baju Renata yang turun dan memeluk lebih erat hingga mereka kini bisa mendengar detak jantung masing-masing.Renata hanya mengangguk patuh, memejamkan mata dengan tenang.“Biru.”“Hemm.”“Setelah ayahku bebas aku akan menikahimu.”Alis Samudera Biru bertaut. Entah harus senang atau geli mendengar ucapan Renata yang begitu santai.“Ada apa denganmu, sayang? Kenapa kau penuh inisiatif seperti ini? Kau tidak sedang balas dendam kan?”“Tidak. Kenapa memangnya? Salah? Kau tidak mau menikah denganku?” cecar Renata dengan mata seketika terbuka kembali.Sam
Seluruh peri yang hadir di aula agung tercekat. Menatap tanpa kesip pada Renata yang terbalut cahaya terang dan berkilauan.Rambut sang gadis berkibar dengan mata bersinar laksana bintang paling terang di seluruh galaksi.Energi yang keluar dari tubuhnya membuat aula agung bergetar hebat. Tiang-tiang berderak, lampu-lampu gantung terjun bebas, kertas dan perkamen berterbangan sementara dinding-dinding retak di beberapa bagian.“Kak Renata,” desis Kenzio cemas. Ia berdiri, akan melayang ke tengah aula namun urung karena Samudera Biru sudah lebih dulu melesat.Peri itu meraih pinggang Renata lantas berbisik lembut, berusaha mencapai titik di mana kesadarannya tertelan.“Renata, kuasai dirimu sayang.”Renata menoleh dengan ganas. Seperti dewi kehancuran dalam cerita pewayangan. Ia menghempaskan lengan Samudera Biru, membuatnya hampir terlempar seandainya tak menahan dengan hampir separuh kekuatannya.“Sayang, tenanglah,” Samudera Biru kembali berbisik sambil memeluk erat, menelusupkan se
Kolam Suci LotusSetelah berkemas rombongan Samudera Biru meninggalkan istana kerajaan peri samudera. Mereka dilepas oleh Raja Sion, Ratu Dyane dan Orion Sion. Bocah kecil itu tampak terus terisak-isak, tak rela ditinggal oleh kedua kakak kesayangannya.“Nona Shiny, tunggulah aku! Jangan melihat lelaki lain! Setelah dewasa aku pasti akan menikahimu!” seru Orion Sion pada rombongan yang mulai menjauh.“Baiklah! Sekarang kau belajar pipis yang lurus dengan baik dan benar dulu, Pangeran!!” jawab Shiny sambil melambaikan tangan.Renata hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat Shiny yang tak ragu mengusili Pangeran Orion Sion, tak peduli di sana ada Raja Sion dan Ratu Dyane.Diam-diam Renata melirik Samudera Biru, khawatir peri itu kesal karena adiknya dijahili. Tapi aman, wajah Samudera Biru lurus bin lempeng, fokus melangkah menuju gerbang di mana para unicorn tengah menunggu.Melihat binatang itu wajah Renata dan Shiny seketika semringah seperti para gadis pemalas yang menang lotre.
Mata Renata melebar. Tak percaya dengan penglihatannya sendiri.“Bi ... Bibi Galuh,” desisnya tercekat. Ia mengerjap, memastikan tidak sedang terjebak dalam ilusi.Sosok Ratu Galuh Triwardhani tersenyum. Berjalan anggun ke arahnya.“Kau sudah besar, Nak,” ucap wanita itu lantas memeluk erat.Sekejapan Renata membeku, sibuk mencerna apa yang tengah terjadi.Ratu Galuh melepas pelukan kemudian tersenyum lembut. Sungguh, tak ada yang berubah darinya. Ia tetap secantik bidadari seperti dalam ingatan lawasnya.Tapi otak Renata segera kembali ke fungsi normal. Menghimpun berbagai tanya dengan cekatan. Bukankah Bibi Galuh sudah meninggal? Apa ini arwahnya? Atau ia sedang bermimpi? Tapi kenapa terasa begitu nyata?“Ini bukan mimpi, sayang,” ucap Ratu Galuh seperti bisa membaca isi kepala sang gadis.“Lantas apa?” tanya Renata masih dengan kebingungan yang kental.Ratu Galuh tersenyum lembut.“Bibi tahu hari ini akan tiba. Karena itu Bibi sengaja menyegel sebagian energi Bibi dan menyimpanny