Lintang Timoer menatap kaget sosok bertopeng yang keluar dari dalam dinding. Tak menyangka jika lelaki itu dengan mudah menemukan keberadaanya.
Ya, ia memang mengingkari kesepakatan mereka. Tak membawa Renata ke tempat yang sudah ditentukan. Tempat di mana jiwa lotus Renata akan diekstraksi. Alasannya apa lagi selain karena tak tega.
“Ah, maaf Tuan. Saya memang sengaja membawanya ke sini. Saya ingin membujuknya dulu agar bersedia bergabung ke pihak kita.”
Lelaki bertopeng berdecih.
“Kau menyukainya bukan?”
Lintang Timoer terdiam namun beberapa detik kemudian tersenyum. Sadar tak ada gunanya berbohong.
“Anda benar, saya menyukainya.”
Lelaki bertopeng mendengus.
“Dengar, aku tahu ini pasti berat untukmu, tapi kita tidak punya banyak waktu. Saat ini Samudera Biru sudah kembali.”
“Hm, cepat sekali,” gumam Lintang Timoer dengan nada sedikit cemas. Ia menatap&nb
“Tidak, jangan, Ibundaaa!!!”“Biru!! Hei, Biru!!”Samudera Biru membuka mata dengan napas memburu. Di sampingnya Renata yang baru terbangun menatap penuh khawatir.“Mimpi buruk?” tanya gadis itu sembari mengelap keringat yang terhampar seperti jejak gerimis.“Hem,” jawab Samudera Biru memijit dahi yang terasa berdenyut. “Jam berapa sekarang?”“Dua belas siang.”Samudera Biru menghembuskan napas kemudian menoleh.“Masih sakit?”“Sudah lebih baik.”“Syukurlah,” Samudera Biru bergumam lega mengingat betapa cemasnya ia karena selama berjam-jam Renata demam tinggi dan terus mengigau meski semua lukanya telah menghilang dan tulang-tulang patahnya sudah tersambung kembali.Efek semakin terbukanya segel jiwa lotus rupanya tidak main-main. Beruntung Renata memiliki ketahanan tubuh cukup baik, jika
Renata menatap pintu kamar Samudera Biru yang baru ditinggalkannya. Ia menarik napas, mencoba mengusir resah yang menggerogoti hati seperti rayap. Berjalan lunglai menuju ruang makan di lantai bawah.“Kak Renata!!!”Teriakan Shiny membuat Renata mengangkat wajah. Tersenyum ketika gadis dedemit itu melayang, menghambur memeluk dirinya yang baru sampai di pertengahan tangga.Semua mata yang ada di ruang makan sontak menoleh, menatap dengan berbagai ekspresi yang rata-rata terlihat lega.“Syukurlah kau baik-baik saja, Kak,” Shiny menggamit lengan, menggosok kepala pada bahu dengan manja seperti kucing.Sementara Renata sendiri hanya tersenyum, mengelus kepala Shiny lembut lantas mengangguk pada mereka yang mengisi meja makan.“Bagaimana kondisi Anda, Nona Renata?” tanya Panglima Kuning yang entah kapan tiba di mansion. Di sampingnya, Leon, ikut menatap ingin tahu.“Saya baik-baik saja, Panglima,&
“Berikan lengan kananmu sebagai kompensasi.”Suara Samudera Biru terdengar tegas sekaligus bengis. Matanya yang biasanya penuh daya pikat berubah menjadi penuh bahaya.Seisi ruang tamu menahan napas. Tak menyangka dengan permintaan yang terdengar tak manusiawi tersebut.“Pangeran, jangan bercanda,” Renata berusaha mencairkan suasana dengan tertawa kecil.“Aku tidak sedang bercanda,” ucap Samudera Biru dingin membuat Renata seketika menarik tawa konyolnya. “Bagaimana?” Samudera Biru kembali fokus pada Lintang Timoer.“Hamba bersedia."Desah tertahan memenuhi ruangan. Kenzio sontak bangkit, menentang keputusan gila kakaknya.“Duduklah, Zio,” gumam Lintang Timoer tenang.“Tidak, sebelum kau menarik ucapanmu.”“Ini keputusanku, tidak ada hubungannya denganmu.”“Dasar bodoh. Kenapa kau bertindak sejauh ini. Kak
Samudera Biru menatap Renata yang menunduk. Kecewa, sedih, bingung dan amarah bercampur di bola mata cemerlangnya.“Baiklah,” ucap lelaki itu sembari melepas pelukan perlahan.Wajah Renata seketika terangkat. Apa ini? Kenapa Samudera Biru menyetujui begitu cepat?Renata ingin bertanya tetapi kelu. Lagi pula ia yang meminta, memalukan jika sekarang kecewa dengan responnya yang terlalu cepat setuju.Apa ia ingin lelaki itu bersikap impulsif? Berteriak tak terima atau merayu sedemikian rupa? Hah, mimpi.Dia seorang pangeran dengan visual, kekuasaan dan kekayaan luar biasa. Kehilangan satu wanita biasa sepertinya hanya seperti kehilangan koin receh, tak berarti.Ya, pasti seperti itu.Renata menarik napas, menyimpulkan sepihak dengan otak wanitanya yang kompleks.“Mengenai ayahku, kau tak ....”“Jangan khawatir, aku akan tetap membebaskannya.”“Tapi ....”&l
Rombongan Samudera Biru beriringan menyusuri jalan lebar di atas permukaan laut. Tak ada yang bicara. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing.Renata dan Shiny yang bergandengan tangan juga tampak anteng mengamati keadaan sekitar yang begitu lengang.Laut di bawah mereka terasa misterius, tenang tanpa gelombang, hanya menunjukkan riak-riak kecil.Tak ada angin, tak ada awan, tak ada hewan, tak ada tumbuhan bahkan sekedar semak berduri.Jalan yang terbuat dari batu alam pipih tampak begitu rapi, presisi dan bersih tanpa secuil lumut atau jamur. Bahkan tiang penyangga selaiknya jalan atau jembatan di atas laut pun tak ada. Mengundang tanya bagaimana proses pembuatannya?Lain Shiny dan Renata lain juga Lintang Timoer dan Kenzio. Fokus mereka lebih banyak terarah pada Renata yang terlihat kasual dengan jeans blue wash, kaus, sneakers dan tas ransel.Gayanya seperti hendak piknik ke taman wisata alam bukan bertamu ke sebuah kerajaan yang identik
Aula agung begitu hening. Seluruh mata terarah pada Renata, menunggu keputusan sang gadis yang seperti membeku.Kenapa mereka ingin melihat jiwa lotusnya? Apa yang ingin mereka pastikan?Cerita tentang Ratu Galuh Triwardhani yang diekstraksi berputar di kepala Renata, membuatnya menjadi waspada. Tanpa sadar ia menyentuh pinggang di mana pedang giok perak melingkar.“Tenanglah, turuti saja. Aku jamin tidak akan ada yang berani melukaimu.”Renata menoleh, menatap Samudera Biru yang berbisik di telinganya tanpa membuka mulut. Lelaki itu tersenyum, menyentuh pundaknya lembut kemudian mengangguk tipis. Memberi isyarat agar ia menurut.Dengan enggan Renata mengangkat telapak. Menunjukkan lotus putih biru dengan kilau jutaan pelangi berbau sangat harum.Semua mata menatap tanpa kesip. Terpikat tanpa sadar. Membuat Renata buru-buru menarik kembali lengannya. Tak tahan pada berbagai hasrat yang terasai energi jiwa lotusnya.Ini per
Mata Samudera Biru terpicing. Menelisik wajah imut yang menatap dengan berani.“Kenapa? Kau begitu menyukai istanaku, anak kecil?”Kenzio mendengus.“Kuakui istanamu indah tapi aku memilih tinggal lebih untuk menemani Kak Renata. Aku tak bisa membiarkannya sendirian di sarang para serigala.”Samudera Biru menyeringai. Geli, kesal sekaligus kagum dengan keberanian dan ketidaktahumaluan remaja ini. Dia seperti anjing kecil yang menggigit setelah ditolong.“Jangan repot-repot. Aku yang akan menemani Renata. Kau pulang dan kembali belajar saja yang rajin di sekolah,” ejek Samudera Biru.Lengan Kenzio terkepal. Samudera Biru menyerang telak di titik lemahnya. Pelajar, anak kecil. Cih, Kenzio kesal setengah mati. Memangnya kenapa kalau dia masih sekolah? Secara fisik dia tak terlalu kalah dengan Samudera Biru.“Jangan mengurus hal yang bukan urusanmu. Aku akan tetap menemani Kak Renata dengan atau t
Ratu Dyane? Kening Renata berkerut. Untuk apa dia menemuinya? Bukankah tadi mereka sudah bertemu dan wanita itu tak mengatakan apa-apa. Sekarang ia berdiri di balik pintu, jelas bukan untuk sekedar beramah-tamah.Renata bangkit, bergegas membuka pintu. Tak ingin membuat sang ratu terlalu lama menunggu. Itu tak baik terutama untuk ketenangan dan keselamatannya di negeri yang bisa dibilang antah berantah ini.“Yang Mulia,” ucap Renata saat melihat Ratu Dyane bersama belasan pelayan.“Boleh aku masuk?”“Tentu, Yang Mulia.”Renata bergeser, mempersilakan. Beberapa pelayan membawa nampan berisi aneka makanan, sepatu, perhiasan serta sebuah baju dengan bahan yang terlihat sangat mewah.Ratu Dyane duduk di kursi dengan anggun sementara para pelayan menaruh nampan ke atas meja.“Duduklah,” Ratu Dyane menunjuk kursi kosong di sebelahnya.Renata menurut, duduk dengan canggung. Masih dengan
Dalam beberapa hari, Renata yang masih merasa seperti sedang bermimpi jika Samudera Biru telah kembali ke sisinya dibuat kaget setengah mati.Samudera Biru benar-benar mewujudkan ucapannya.Rombongan istana Kerajaan Peri Samudera datang melamar dengan megah!Ratusan kotak hadiah mewah yang mereka bawa bertumpuk di halaman seperti bukit. Sangat menyita perhatian!Beruntung rumah baru Renata berada kaki gunung kecil yang relatif sepi sehingga tidak menimbulkan kehebohan yang tidak perlu.Kedua keluarga mencapai kesepakatan dengan sangat mudah dan cepat.Pernikahan akan digelar dalam tiga hari! Karena Samudera Biru sekarang hanya manusia biasa, dia kehilangan hak untuk mengadakan upacara pernikahan di aula suci Kerajaan Peri Samudera.Sebagai gantinya resepsi akan diadakan di tiga lokasi berbeda di dunia manusia. Di hotel internasional kelas atas, di pulau pribadi dan di atas kapal pesiar selama tiga bulan penuh.Segala hal akan ditanggung oleh pihak keluarga pengantin lelaki. Keluarga
Renata tercekat. Wajah rupawan itu sama persis dengan wajah rupawan yang terpatri di ingatannya.“Kau ....”“Samudera Biru, kekasihmu.”Renata terdiam. Mendengarkan suaranya yang juga sama persis dengan suara yang sangat dikenalnya.Tapi lantas apa? Dia hanya manusia biasa!Renata mengangkat pedang giok perak. Menghunus lurus ke arah sosok putih dengan mata dingin.“Tidak! Kekasihku sudah mati!”Sosok putih mengernyit melihat penolakan Renata yang keras. Namun segera tersadar setelah menatap tubuhnya sendiri. Ia tersenyum tak berdaya. “Ah, maafkan aku. Aku lupa memberitahumu kalau sekarang tubuh ini hanya tubuh manusia biasa. Aku bukan peri lagi.”Renata mengepalkan lengan, menahan gemetar yang melanda dengan hebat. Hatinya menjerit untuk menerima penjelasan itu tapi pikirannya menolak keras.Perang batin itu membuat Renata sedikit kesulitan untuk bernapas. Membuat air matanya berjatuhan seperti gerimis. Mata sosok putih meredup. Ia menghela napas kemudian melayang mendekat. Menurun
Tiga tahun kemudian.“Tring!! Tring!! Tring!!” Lonceng angin berdenting nyaring.“Selamat datang!” Pemuda tampan di balik counter berteriak tanpa menoleh. Suaranya yang magnetis membuat segerombol gadis kecil tersipu dan berbisik-bisik.“Halo, Kak Kenzio!!” sapa mereka manis.Kenzio mendongak, tersenyum irit.“Halo semuanya.” Gadis-gadis kecil itu kembali tersipu dan saling mencubit. Seorang gadis paling cantik maju memimpin, menyerahkan sekotak cokelat dengan kartu hati merah jambu.“Kakak, cokelat ini untuk Kakak. Mohon diterima,” ucapnya dengan malu-malu.Kenzio melirik hadiah dengan sedikit jijik. Namun mata kucing si gadis membuatnya tak tega untuk menolak.Melihat penerimaan Kenzio, gadis-gadis yang lain segera tak mau kalah. Satu-per satu memberikan hadiah hingga lengan Kenzio penuh.Kenzio tersenyum kaku. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot memberi Kakak hadiah lagi.” “Tidak, sama sekali tidak repot,” gadis-gadis itu serempak menolak membuat Kenzio menyeringai tanpa
Hari terus bergulir.Renata telah termakan duka. Tubuhnya menyusut, kuyu dan kehilangan kesegaran. Ia menolak untuk makan, minum atau sekedar menutup mata.Renata laksana mayat hidup yang mengisolasi diri. Menjaga peti mati Samudera Biru siang dan malam. Tak ada seorang pun yang mampu membujuk atau memaksanya. Gadis itu sangat keras kepala, terlalu keras kepala hingga membuat orang tak tahu harus berbuat apa.Di malam ketujuh. Saat Renata nyaris sekarat, Raja Sion datang mengunjungi kastil putih mausoleum.Raja bangsa peri itu menghela napas berat ketika melihat Renata yang meringkuk di sisi peti mati dengan napas tersendat.Raja Sion mengangkat tangan. Satu aliran hangat membungkus tubuh Renata. Mengusir dingin yang menembus hingga ke dalam tulang-tulangnya, sekaligus mengembalikan sebagian vitalitas dan kesadarannya. Mata Renata pelan-pelan terbuka. Menyadari kehadiran seseorang ia bergerak bangun. Ketika menyadari sosok yang berdiri di depannya adalah Raja Sion, Renata buru-buru
Renata berguling, menghindari tikaman belati. Penyerang itu tak membiarkan begitu saja. Ia memburu, menyabetkan belati dengan sangat cepat dan terukur.Renata mendengus, nasibnya benar-benar baik. Baru memulai budidaya, musuh sudah datang entah dari mana. Sambil menahan rasa jengkel Renata mengumpulkan kekuatan internal di kedua lengan, lantas memblokir belati yang mengincar jantungnya dan menyisipkan telapak tangan kirinya yang terbuka ke arah dada lawan.“Dess!!”Si penyerang terjajar mundur.Renata melirik ke arah pintu.“Penjaga!!!” Penyerang itu tertawa terbahak-bahak. “Percuma saja! Mereka sudah kukirim ke alam baka.”Renata tertegun. Menatap sosok bertudung kasa hitam. Ingatannya baik, ia mengenali suara itu. “Ellaria,” Renata menabak tanpa ragu.“Ups, kau mengenali suaraku ya. Sayang sekali. Tapi tak apa. Aku juga muak dengan benda ini.”Ellaria merenggut tudung di kepala. Membuangnya dengan dramatis.Untuk kedua kalinya Renata tertegun. Wajah wanita di depannya nyaris se
Renata sedikit mengernyit, merasakan kecanggungan yang aneh. Meski begitu Renata tetap menjawab dengan sopan.“Hamba akan melakukannya.”Raja Sion mengangguk kecil kemudian menanyakan beberapa pertanyaan yang dijawab Renata dengan lugas. Setelah memberi instruksi gadis tabib untuk menjaga Renata dengan baik, Raja Sion kembali. Sierra Sion mengikuti ayahnya tanpa banyak bicara. Suasana perlahan mengendur. Shiny bahkan menghembuskan napas lega dengan kuat.“Raja Sion sangat menakutkan. Sepertinya ia masih belum bisa menerima kalau ....”“Nona Renata, kami akan pergi dulu. Anda mengobrolah dengan Tuan Singgih, kalian pasti memiliki banyak hal untuk dibicarakan,” Cyrila memotong dengan cepat. Senyum melengkung di wajahnya yang cantik.Shiny mengerjap dan buru-buru mengangguk-angguk seperti burung pipit. “Ah, benar. Aku bodoh sekali, hehe ... Kak Renata, Kakak mengobrolah dengan Paman Singgih, aku pergi dulu.” Shiny melepaskan lengannya yang membelit lengan Renata kemudian turun dan men
Cahaya emas telah berhenti. Petikan kecapi dan aksara peri kuno telah memudar dan menghilang seluruhnya di bawah angin Padang Bulan Nirwana yang sejuk.Dua tubuh tergeletak.Proses ketiadaan Renata telah berhenti, menyisakan tubuh hangat yang sedikit kemerahan. Di sampingnya, Samudera Biru terbujur dengan kepala menghadap ke arah Renata sementara matanya terpejam rapat. Kulitnya pucat pasi tak bersari.Kerumunan segera terbentuk. Tertegun melihat sepasang kekasih yang saling menggenggam. Mereka terlihat sangat damai, cantik tetapi juga mengharukan. Tangisan timbul satu persatu. Mereka meratap tanpa kata-kata. Cahaya keemasan muncul di langit muram. Turun ke tanah seperti gugusan bintang jatuh.Sepasukan Kerajaan Peri Samudera berpakaian emas berbaris rapi.Raja Sion yang agung telah tiba!Semua makhluk yang tengah diliputi kesedihan berlutut. Menatap ke tanah dengan khidmat. Hati mereka bergetar. Mengantisipasi kemurkaan sang raja atas nasib putranya.“Berdiri!” Perintah itu datang
Seruan tertahan memenuhi Padang Bulan Nirwana.Samudera Biru dengan kecepatan tak terlihat menangkap tubuh Renata yang hampir membentur tanah. “Renata, sayang.” Samudera Biru memeriksa dengan cemas. Matanya melebar saat melihat tubuh Renata sedikit demi sedikit menjadi transparan seolah akan menghilang kapan saja.Jantung Samudera Biru berdebar, hatinya diliputi oleh kegelisahan.Singgih Wirayudha yang sebelumnya kalah cepat segera merebut Renata dan langsung dibuat tercekat oleh fenomena aneh di tubuhnya.“Ii ... ini? Apa yang terjadi?” Singgih Wirayudha menatap Samudera Biru yang membisu dengan raut gelap dan dalam. Jantung pria paruh baya itu berdebar, pikirannya membuat tebakan samar yang tak berani ia utarakan. Bibir Samudera Biru bergerak ragu. Terlihat sama takutnya dengan Singgih Wirayudh, kata-katanya tersangkut di tenggorokan.Cyrila menghela napas lantas maju selangkah, mengambil alih keraguan dua lelaki tersebut. Mata Cyrila memeriksa Renata dengan cermat. Wajah cantikny
“Halo, iblis.”Ramangga Kala tertegun. Menatap takjub ke dalam mata indah di hadapannya yang seakan menjadi pusat seluruh galaksi.Dalam satu sentuhan kecil tubuh Ramangga Kala terdorong ke belakang seperti daun kering tersapu angin. Wajah tampannya memucat namun matanya dipenuhi oleh binar ketertarikan.Angin berhembus. Mengibarkan rambut dan gaun putih panjang polos Renata dengan ringan. Wajah yang memikat dengan tanda lotus kecil di antara kedua alis itu terlihat begitu teduh dan suci. Memberikan kesan jauh, agung dan tak tersentuh.Renata seperti kepompong yang telah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.Luar biasa menawan!“Gadis, kau kembali,” Ramangga Kala berucap sembari menahan rasa sakit di bagian dada yang disentuh jari Renata.Renata melengkungkan bibir, membentuk seulas senyum dingin. Saat ini ia dipenuhi oleh energi jiwa lotus yang lebih murni, lebih kaya, lebih tak terhingga dari energi jiwa lotus yang terbentuk secara alami di dalam tubuhnya.Yang tak kalah menakjubkan