Yongseng menyambut Buana dengan gembira di bandara international Soeta. Ia langsung memeluk sepupunya itu saat Buana keluar dari terminal kedatangan.
"Waaah, bagaimana bulan madumu? Sudah siap untuk kembali bertugas?" sambut Yongseng dengan penuh semangat.
"Kau ini, aku baru saja sampai, kau sudah membicarakan tugas. Rumah aman?" tanya Buana.
Yongseng mengangguk, "Mbok Ratmi sudah memasak, mang Karta baru saja membersihkan halaman dibantu Takeda tadi," katanya.
"Sayang, kita menginap dulu di Jakarta ya. Di rumahku, lusa baru kita pulang ke Bandung. Aku perlu bertemu juga dengan atasanku besok pagi untuk melapor," kata Buana pada Gendis. Wanita cantik itu hanya mengangguk, "Aku ikut saja, Mas."
"Aahaaai ... romantis sekali kalian ini. Aku hanya menjadi obat nyamuk saja di sini," seloroh Yongseng menggoda. Buana hanya tertawa kecil sambil memukul bahu sepupunya itu.
"Kita akan ke Kuningan nanti
Raden Kamandraka menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Ia merasa seluruh tenaganya sudah habis terkuras. Dewi Gayatri yang sejak tadi bersembunyi segera mendekat setelah melihat Fajar Kelana menghilang."Kakang baik-baik saja?" tanyanya. Raden Kamandraka menoleh dan langsung memeluk istrinya itu dengan erat."Kita tidak bisa bersantai, apa kalian dengar perkataan terakhir yang dia ucapkan sebelum dia menghilang. Aku yakin jika jiwanya masih terus berkelana, dia belum mati," kata Mpu Supa tiba-tiba. Patih Benggala yang terluka parah mengerang sambil memegang dadanya."Ampun, Eyang. Apa dia tidak mati? Bukankah Raden Kamandraka tadi sudah membunuh dengan pedang sakti?" tanyanya. Mpu Supa menggeleng sambil duduk bersila dan mulai menyalurkan tenaga dalam kepada Patih Benggala."Apa yang harus kita lakukan?" tanya Raden Kamandraka."Menunggu, Raden. Kita hanya harus menunggu denga
4O hari setelah memakamkan semua korban Fajar Kelana, Mpu Supa memutuskan untuk bertapa. Ia merasa tidak tenang dengan apa yang terjadi, terlebih setelah mendengar sumpah Fajar Kelana. "Apa saya tidak perlu menemani Eyang guru?" tanya Raden Kamadraka. Mpu Supa menggelengkan kepalanya."Raden kembalilah bersama rombongan dari istana. Kasian pada dewi Gayatri dan juga para prajurit. Lagi pula patih Benggala akan mengunjungi keluarga senopati Sangkar," kata Mpu Supa. Raden Kamandraka terdiam, hatinya gamang. Ia ingin ikut mendampingi gurunya semedi, tetapi dia tidak mungkin membiarkan sang istri pulang tanpa dirinya ke istana."Pulanglah ke istana terlebih dahulu, Raden. Saya akan mengabarkan jika memang Raden harus kembali ke sini," kata Mpu Supa seolah tau isi pikiran Raden Kamandraka."Saya akan segera kembali setelah segala urusan saya di istana selesai, Eyang guru," kata Kamandraka sambil membungkuk memberi h
Lelaki dengan janggut putih panjang itu hanya tersenyum."Kau telah bertemu dengannya.""Apa dia iblis yang Eyang maksud puluhan tahun yang lalu?" tanya Mpu Supa Mandrageni. Mpu Badingga menghela napas panjang, "Rupanya senjata itu adalah satu-satunya senjata yang mampu memusnahkan iblis itu."Mpu Supa Mandrageni mengerutkan dahinya, "Senjata? Senjata apa yang Eyang maksudkan?" tanyanya bingung."Dia dulu datang kepadaku untuk membuat senjata sakt. Tetapi, senjata itu sudah menghilang, karena pecahan dari bahan yang digunakan untuk membuat senjata itu ada padaku, itulah yang membuatku masih ada di antara dua dunia. Hanya saja, senjata itu tidak akan muncul jika bukan pada pewarisnya yang sah.""Di mana senjata itu, Eyang? Iblis itu berkata jika dia akan kembali dan membalas dendam setelah enam ratus enam puluh tahun yang akan datang. Saya tidak akan hidup sampai selama itu untuk
_SETAHUN KEMUDIAN_ Brak!"Punya mata? Nggak liat aku sedang berjalan dengan belanjaan sebanyak ini?" bentak Giselle pada seorang gadis dengan kacamata tebal yang menabraknya tanpa sengaja."Maaf, Mbak saya tidak lihat karena saya juga kesusahan membawa buku-buku ini." Gadis itu pun segera membantu Giselle untuk membereskan belanjaannya yang jatuh."Duh, jaman canggih kayak sekarang masih aja bawa buku tebal model begitu," gerutu Giselle. Gadis itu hanya tersenyum, "Ya, jaman sekarang memang sangat canggih. Mau berita apa saja tinggal googling dengan smart phone. Tapi, saya tidak bisa membaca tulisan yang panjang dari layar ponsel lama-lama. Bisa bertambah minus mata saya. Itu sebabnya saya lebih suka membaca lewat buku saja." Giselle menatap wanita di hadapannya, entah mengapa ia merasa sudah lama mengenal wanita itu tapi sekaligus juga memiliki perasaan tidak suka pada ga
Segara menatap Kalila dengan dahi berkerut."Apa kau tau jika info yang dimiliki oleh polisi itu tidak bisa sembarangan diberitakan keluar? Jika ketauan bisa sangat berbahaya," kata Segara dengan tegas."Aku tau jika beberapa tahun terakhir ini kepolisian sedang pusing menghadapi kasus pembunuhan aneh yang memakan korban para gadis-gadis," kata Kalila sambil menyunggingkan senyum. Segara menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Kalau tidak salah, kakakmu juga adalah perwira tinggi di kepolisian, bukan? Kenapa kau tidak meminta bantuannya?" tanya Segara. Kalila mengembuskan napas dengan keras lalu mengusap wajahnya perlahan."Aku ... hubunganku dengan keluargaku tidak begitu baik. Entahlah, keluargaku tidak pernah mendukung apa pun yang aku lakukan selama ini. Mungkin karena mereka ingin aku menjadi polisi juga. Sementara aku memilih untuk menjadi seorang arke
Kalila tertawa kecil, "Menggunakan kontak lensa membuat mataku lelah dan berair. Aku lebih nyaman menggunakan kacamata saja.""Ya sudah, apa ada lagi yang ingin kau katakan kepadaku? Aku tidak bisa berlama-lama, sore nanti aku akan segera berangkat ke Bandung," kata Segara. Kalila kembali menarik napas panjang."Kalau kau mau, aku akan ke Bandung juga. Malam nanti aku akan berangkat ke Cirebon, apa kau mau jika kita bersama-sama ke sana?""Maksudmu? Aku berangkat sore, bukan malam." Kalila tersenyum, "Maksudku ... malam nanti aku akan berangkat ke Cirebon. Jika kau memang mau ke Bandung juga, kenapa kita tidak bersama-sama saja?" jawab Kalila. Segara tertawa kecil."Kau ini lucu, Kalila. Jika kau mau ke Cirebon untuk apa kita bersama?""Ya ... aku ke Bandung dulu. Setelah itu baru aku ke Cirebon," jawab Kalila. Sebenarnya gadis itu memang sangat penasaran.
Nini Gulipa tersentak saat mendengar jeritan Cokro Suta. Wanita tua itu pun bergegas membawa bayi yang baru saja ia mandikan itu ke dalam."Ada ap-" Ucapan Nini Gulipa mengambang di udara saat melihat Cokro Suta sedang menangis memeluk sang istri yang sudah tidak bergerak lagi."Dia meninggal ...." Nastiti tidak mampu menahan tangisannya. Dengan hati yang sedih ia mengambil bayi merah dalam dekapan Nini Gulipa."Bayi ini bukan bayi biasa," kata Nini Gulipa."Maksud Nini?" Nini Gulipa mengembuskan napasnya."Kau lihat tanda berbentuk bulan sabit ini? Tanda ini adalah tanda dari iblis. Nikahkan dia sebelum usianya genap 17 tahun. Dan jangan izinkan dia keluar di malam kamis legi," kata Nini Gulipa. Cokro Suta tak menjawab, ia tidak tau harus mengatakan apa. Yang saat ini ia rasakan hanya kepedihan
"Aku tidak setuju jika kau terus menerus menangani kasus aneh ini, Mas. Sudah hampir setahun sejak kita menikah kau masih saja ngotot. Sementara penyelidikan pun selalu mengalami jalan buntu. Jujur saja aku lelah, Mas." Buana menarik napas panjang, ia sangat mengerti perasaan Gendis. Selama hampir dua tahun ini ia dan Yongseng benar-benar dibuat pusing dengan kasus kematian berantai yang terus menerus terjadi. Dan saat Segara mengabarkan jika ada seseorang yang 'mungkin' bisa membantu mereka ia kembali bersemangat. Secara psikologi, Buana juga lelah. Ia tau jika tugasnya sebagai seorang anggota kepolisian menuntutnya untuk menyelesaikan kasus ini secepatnya. Tetapi, sebagai manusia biasa Buana juga merasa sangat lelah."Aku tau Sayang. Tapi, bukankah ketika kita menikah dulu kau sudah tau apa yang menjadi pekerjaanku?" tanya Buana."Iya, tapi ... aku tidak menyangka jika tugasmu seaneh ini," jawa
Pagi harinya, ramai orang sudah berkumpul di sebuah pemakaman.Orang-orang berbondong mengenakan pakaian serba berwarna hitam, seperti barisan semut yang mengular panjang untuk mengantarkan sang jenazah ke tempat peristirahatan yang terakhir.Isak tangis terdengar di mana-mana, bebarengan dengan kidung doa yang dilantunkan merdu sepanjang perjalanan menuju ke makam. Inilah waktunya untuk orang baik hati itu pergi meninggalkan dunia fana ini, guna menuju alam yang lebih tinggi dan abadi.Gendis tak kuasa menahan tangisnya sebab kabar ini terlalu mendadak. Semalam dia diberitahu pihak berwajib bahwa suaminya meninggal dunia di atap sebuah apartemen mewah.Benar! Kini Buana telah benar-benar wafat, tepatnya ketika pertarungan puncak berakhir dan jiwa Mpu Supa pergi meninggalkan tubuh tersebut, tampaknya luka-luka yang diderita oleh Buana tidaklah sepele.Tercatat bahwa dadanya berlubang cukup besar, kepalanya pun terus meneteskan darah sebab terbentur
Tak ingin berbicara lebih lama lagi, sebab waktu yang dipunyai terbatas, maka Mpu Supa segera menyerang balik Sang Iblis menggunakan ajian putihnya.Dia terbang melesat mendekati Sang Iblis dengan kecepatan cahaya, dan ketika berada di depannya Mpu Supa langsung memegangi kepala Sang Iblis. Dia membenturkan wajahnya sendiri ke arah wajah Sang Iblis!Duakkk!!! Suara benturan tersebut terdengar sangat keras membelah hening malam.Sang Iblis terpental jauh ke belakang menerima benturan tersebut. Kakinya masih melayang di udara. Namun belum sampai kesadarannya pulih, Mpu Supa sudah melesat lagi menuju ke arahnya dan kali ini hantaman bertubi-tubilah yang dia terima.‘Bugh’‘Bugh’‘Bagh!!!’Dengan jurus seribu cahaya Mpu Supa menghajar Sang Iblis tanpa ampun! Dia menghantam kepala, badan, tangan, kaki, serta titik-titik persendian tertentu yang memang sudah diicarnya sebagai kelemahan dari Sang Iblis.
Di atap gedung, Sang Iblis terus mencekik seraya menyedot darah dari leher Giselle. Perempuan malang itu benar-benar sudah tidak bisa bangun lagi akibat Sang Iblis mengekang jiwanya.Bahkan muka Giselle kini sudah pucat pasi sebab kehilangan darah yang banyak. Setiap darah yang mengalir dari tubuh Giselle segera berpindah kepada Sang Iblis, dan darah tersebut mengandung kekuatan tertentu untuk Iblis. Makin banyak darah yang diambil maka makin banyak kekuatan yang didapat, serta Iblis berencana untuk menyedot semua darah perempuan tersebut.Namun di luar dugaan, saat sedang melakoni ritual tersebut tiba-tiba dua orang datang dengan cara terbang dan mengangumkan. Tentu itu membuat Sang Iblis terheran-heran, pasalnnya sekarang dia menyangka hanya dirinyalah yang mampu terbang seperti itu.“Hentikan perbuatanmu!” teriak Mpu Supa begitu melihat apa yang sedang dilakukan oleh Sang Iblis!“Jauhi perempuan itu sekarang juga!” Raden Kamandr
Sementara itu di saat bersamaan, di dalam apartemen, Buana dan Segara masih terkapar tidak bergerak. Denyut nadinya sudah menghilang, dan jantungnya pun berhenti bergerak.Secara medis memang keduanya sudah dinyatakan meninggalkan, sebab lambat-laun organ tubuh dan sel-sel di dalam badan perlahan berhenti bekerja. Namun, sebenarnya mereka itu belum mati, hanya saja ruh-nya berpindah ke alam yang lebih tinggi.“Bangunlah kalian!” ucap seorang tua berpakaian serba putih kepada ruh Buana dan Segara. Rambut orang tua tersebut juga menjulur panjang dan putih, sambil tersenyum dia pun kembali berkata, “Buana, Segara, bangunlah!”Mendapat panggilan tersebut ruh Buana dan Segara pun seketika bangun. Keduanya tercengang saat mendapati alam sekeliling yang berbeda dengan alam dunia, sebab di sini semuanya serba berwarna putih. “Apakah aku sudah mati?” ucap Buana dan Segera secara bersamaan.“Belum, sebab lebih tepatnya di s
Mendapati kakaknya sedang ditikam spontan saja Segara membantunya. Dia langsung memuul wajah Sang Iblis tepat di ppinya. Namun sayangnya Iblis tak bergeming dengan pukulan lema tersebut. Malahan dengan kejam dia berkata, “Lihatlah sekarang Kakakmu ini akan kubunuh di depan matamu! Hahahaa...”“Sial, lepaskan dia!” teriak Segara yang masih berusaha terus memukul. Namun Sang Iblis terlalu tangguh untuk menerima pukulan lemah tersebut. “Hentikan! Aku bilang hentikan!”Sang Iblis tak peduli! Dia terus menancapkan kukunya semakin dalam dan bahkan kini mengenai bagian jantung Buana, lalu merobeknya membuat seisi perut porak-poranda!Buana sudah lemas tidak bisa melawan lagi, wajahnya yang penuh dengan darah hanya menatap ke langit-langit, mengerjab satu kali, kemudian mati!“Hahahaa!! Lihatlah makhluk lemah ini. Hanya dengan begini saja dia sudah mati. Cih, siapa suruh mau melawanku!” ucap Sang Iblis dengan tawany
Genta terpental mendapat tiga tembakan tersebut. Tubuhnya ambruk menghantam meja kaca hingga pecah.Meski dengan tiga buah peluru yang bersarang di dada, namun Genta tidak mati. Dia hanya limbung sebentar kemudian bangkit lagi dan tertawa renyah.“Kamu pikir bisa membunuhku dengan pistol seperti itu?” ucapnya yang kini sudah terdengar bahwa itu bukanla suara Genta lagi. Suara itu terdengar berat dan serak, serta menggunakan logat seperti orang zaman kuno. Jelas sekali bahwa itu adalah suara Sang Iblis.Mendengar suara aneh tersebut Buana bersiap-siap untuk menembak kembali. Namun sayangnya Sang Iblis sudah terlebih dahulu bergerak cepat sekali, secepat cahaya, yang tiba-tiba dirinya sudah berada di samping persis Buana. “Enyahlah kamu! Dasar manusia makhluk lemah dan penganggu!”Brakkk!!! Dipukul-lah kepala Buana dengan telak hingga sampai tengkoraknya berbunyi.Buana terlempar cukup jauh hingga sampai menabrak dinding. Lalu
Mimik wajah genta berubah menjadi ketakutan saat tahu Buana tidak main-main. Wajar, siapa yang tidak takut dengan peristiwa seperti ini, ditodong pistol tepat di hadapan keningnya? Jelas saja semua orang akan takut. Namun sebenarnya yang dilakukan Buana hanyalah sedang ingin memancing Sang Iblis agar keluar dari tubuh Genta. Sebab sampai saat ini belum ada tanda-tanda kemuculan makhluk laknat tersebut.“Akan kuhitung satu sampai tiga, jika kamu masih mengelak atas perbuatanmu, maka jangan salahkan aku jika kutarik pelatuk ini!” ucap Buana semakin menekan moncong pistol ke kening iparnya.“Satu...”Tubuh Genta mulai gemetar. Terlihat jelas dia ketakutan dan tidak ingin mati. Sepertinya jiwanya sekarang sedang ingin melawan Sang Iblis yang mengekang dalam dirinya.“Dua...” Buana terus menghitung mundur tanpa ampun. Jarinya telah bersiap untuk menarik pelatuk!“Tiga!!!”“Oke, oke, stop! Aku
Tidak heran jika ini disebut apartemen elite karena berada di tengah kawasan tempat tinggal para orang konglomerat. Bagi Genta tentu saja uang bukanlah masalah sebab dia merupakan putra seorang yang sangat berada, sehingga bahkan uang sakunya sangat cukup jika harus membeli apartemen di sini.Bangunan ini terdiri dari 15 lantai, sedangkan lantai paling atas digunakan untuk tempat pendaratan helikopter. Sebab tidak jarang para penghuni apartemen di sini kerap menyewa helikopter untuk kepentingan sehari-hari atau sekadar untuk cari sensasi. Begitulah.Setelah menganalisis dengan saksama lingkungan sekitar apartemen, Buana dan Segara langsung naik menuju lantai sembilan. Kepada security di depan Buana menunjukkan lencananya sebagai perwira polisi dan berkata dia ingin melakukan investigasi dengan salah satu penghuni di sini.Tentu saja si security langsung memberikan izin tanpa banyak bertanya. Malahan dia menawarkan jasa informasi mengenai apartemen jika memang di
Memang begitulah yang terjadi. Setelah bertemu dengan Mpu Badingga, seolah kehidupan Buana dan Segara selalu diikuti oleh sosok ruh yang tidak kasat mata.Semua ini terlau sulit untuk dijelaskan oleh keduanya, tetapi mereka benar-benar merasakan kehadirannya, sosok Mpu Supa dan Raden Kamandraka.Seperti halnya ketika Buana sedang tidur, dia akan didatangi oleh sosok laki-laki tua berambut serba putih yang menjulur panjang. Memang di dalam mimpi tersebut sosok Kakek tua tidak terlihat begitu jelas, namun yang pasti Buana bisa memastikan melalui instingnya bahwa itu adalah sosok Mpu Supa.Saat mendatangi Buana di alam mimpi Mpu Supa tidak bericara banyak hal. Beliau hanya suka duduk di samping Buana, dan saat itu adalah malam hari dengan taburan bintang-bintang.Buana pun tidak mencoba untuk bertanya hal apa pun dengan sosok Mpu Supa di dalam mimpinya, melainkan Buana hanya membiarkan beliau tersenyum memandangi wajahnya, sambil sesekali mengusap-usap kepal